Anda di halaman 1dari 18

KATA PENGANTAR

Puji syukur kepada Tuhan Yang Maha Esa, karena atas kehendak-Nya penulis dapat
menyelesaikan referat dengan judul “Chronic Fatigue Syndrome”. Referat ini dibuat sebagai
salah satu tugas dalam Kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Panti Sosial Bina Laras Harapan
Sentosa 3. Mengingat pengetahuan dan pengalaman penulis untuk menyusun referat, penulis
menyadari masih banyak kekurangan dalam referat ini. Untuk itu kritik dan saran pembaca
yang bersifat membangun sangat diharapkan oleh penulis.

Pada kesempatan ini penulis mengucapkan banyak terima kasih kepada dr. Carlamia H.
Lusikooy, Sp.KJ selaku pembimbing kepaniteraan Ilmu Kesehatan Jiwa Panti Sosial Bina
Laras Harapan Sentosa 3. Akhir kata penulis berharap kiranya referat ini dapat menjadi
masukan yang berguna bagi tenaga medis dan profesi lain yang terkait dengan masalah
kesehatan.

1
DAFTAR ISI

Kata Pengantar ............................................................................................................................... 1

Daftar Isi ........................................................................................................................................ 2

BAB 1: Pendahuluan...................................................................................................................... 3

BAB 2: Tinjauan Pustaka............................................................................................................... 4

Chronic Fatigue Syndrome (CFS) ................................................................................................. 4

Definisi .......................................................................................................................................... 4

Epidemiologi ................................................................................................................................ 5

Etiologi .......................................................................................................................................... 6

Gejala klinis ................................................................................................................................... 6

Pemeriksaan fisik dan penunjang................................................................................................... 7

Diagnosis ....................................................................................................................................... 8

Tatalaksana .................................................................................................................................... 10

Prognosis ........................................................................................................................................ 16

BAB 3: Penutup ............................................................................................................................. 17

Daftar Pustaka ................................................................................................................................ 18

2
BAB I

PENDAHULUAN

Chronic fatigue syndrome (CFS) atau juga dikenal sebagai encephalomyelitis myalgic
(ME) adalah penyakit didefinisikan gejalanya dengan gejala utama dari kelelahan yang parah,
tidak henti-hentinya dengan istirahat dan dijelaskan oleh sebab-sebab medis atau kejiwaan.
Dalam bahasa Indonesia adalah ‘Sindroma Letih dan Lesu Kronis’ atau ‘Letih dan Lesu’. CFS
adalah suatu kumpulan gejala yang didominasi oleh perasaan letih dan lesu dan terdapat
masalah kognitif pada penderitanya. CFS tidak diketahui penyebabnya secara jelas dan
dikatakan kronis bila telah berlansung lebih dari 6 bulan Perkiraan prevalensi adalah antara
0,2% dan 0,4% di Inggris dengan dengan konsekuensi ekonomi yang cukup besar untuk jasa,
pasien, dan keluarga mereka.

α-PVP atau flakka memiliki sifat adiktif dan mampu mengubah perilaku seseorang. α-
pyrrolidinovalerophenone (α-PVP) paling dikenal dengan nama jalannya "flakka” adalah
turunan kathinone sintetis dan sering disebut sebagai zat psikoaktif baru atau new
psychoactive substance (NPS), “research chemical”, ‘bath salt”, “designer drug.
Penyalahgunaan α-PVP sedang meningkat, terutama di daerah-daerah di seluruh Florida, Ohio,
Texas, dan Tennessee. Lebih dari 130 kematian telah dikaitkan dengan α-PVP dan di antara
intoksikasi akut yang dilaporkan, diperlukan rawat inap.

Mengobati kecanduan memang bukan perkara mudah. Saking beratnya, pecandu


bahkan bisa kembali lagi terjerat narkoba meski sudah menjalani terapi. Berbagai terapi pun
banyak ditawarkan untuk menghilangkan kebiasaan mengonsumsi barang-barang adiktif
tersebut.

3
BAB II
PEMBAHASAN

α-PVP

Penggunaan obat cathinone sintetis berbahaya yang disebut Alpha-


pyrrolidinopentiophenone (alpha-PVP), dikenal sebagai "Flakka" sedang meningkat, terutama
di daerah-daerah di seluruh Florida, Ohio, Texas, dan Tennessee. Populer disebut "bath salts,"
dan berbentuk kristal putih atau pink, berbau busuk yang bisa dimakan, dihirup, disuntikkan,
diuapkan dalam rokok elektronik atau sejenisnya.1

Penguapan, yang mengirimkan obat dengan sangat cepat ke dalam aliran darah,
membuatnya sangat mudah untuk overdosis. Seperti obat lain dari jenis ini, α-PVP dapat
menyebabkan suatu kondisi yang disebut"excited delirium" yang mengakibatkan
hiperstimulasi, paranoia, halusinasi yang dapat menyebabkan perilaku kekerasan dan agresif.
Obat tersebut telah dikaitkan dengan kematian karena bunuh diri. 1

Gambar 1. α-PVP.1

Struktur α-PVP

α-pyrrolidinovalerophenone (α-PVP; flakka) merupakan senyawa derivat dari


Chatinone. Chatinone, sebuah aminophenone (dimana R adalah –CH3), merupakan produk
alami yang didapat dari tanaman Catha edulis. Nomenklatur untuk agen ini kadang
membingungkan. Cathinone ini adalah turunan dari aminophenone. Bila substituen dari
aminofenon adalah gugus metil (-CH3), mereka disebut sebagai propiophenone.
Methcathinone, adalah propiophenone. Seiring meningkatnya gugus R dari satu atom karbon

4
menjadi dua, tiga, atau empat, ini disebut butyrophenones, valerophenones (terkadang disebut
pentiophenones atau pentanophenones), dan heksanofenon, dan seterusnya.1

"P" pertama di α-PVP menunjukkan bagian pirolidin; Jika rantai samping diperpendek
satu atom karbon, maka akan menjadi α-pyrrolidinobutyrophenone (α-PBP), jika diperpendek
dua atom karbon, maka akan menjadi α-pirolidinopropiophenone (α-PPP), dan seterusnya.1

Gambar 2. Struktur Formula α-PVP.2

Gambar 3. Struktur formula α-PVP dan beberapa senyawa lain.1

Mekanisme Kerja α-PVP

α-PVP terkait erat dengan 3',4'-methylenedioxypyrovalerone (MDPV) dimana


keduanya merupakan turunan atau derivat dari Chatinone, yang merupakan zat psikoaktif
utama pada tanaman Catha edulis, biasa disebut kath, ditemukan di Arab dan Afrika Timur.
Mengunyah daun dari tanaman tersebut dapat menginduksi euphoria dan peningkatan
kewaspadaan. α-PVP memberi efek neurologis, psikiatri dan efek kardiovaskular. Dalam studi
preklinis, efek perilaku yang diinduksi oleh α-PVP sebanding dengan stimulan psikomotor
lainnya seperti kokain, methamphetamine dan MDPV, menyebabkan peningkatan aktivitas
motorik, gangguan persepsi, tindakan kekerasan, ketergantungan, halusinasi, takikardia,

5
hipertensi, hipertermia, agitasi. Lebih dari 130 kematian dikaitkan dengan α-PVP, dan rawat
inap bagi kalangan pengguna dengan intoksikasi akut.1,2

Salah satu fitur menonjol yang sering ditemui dengan psikostimulan kokain dan
amfetamin adalah kemampuan untuk meningkatkan dopamin (DA), norepinephrine
(noradrenalin, NE) dan serotonin. α-PVP adalah blocker kuat pada Dopamine transporter
(DAT) dan Norepinephrine transporter (NET) dan sedikit aktivitas pada Serotonin transporter
(SERT). Sejauh ini, ilmu yang diperoleh dari studi yang dilakukan secara in vivo juga
menunjukkan kecenderungan α-PVP sebagai psikostimulan yang dapat membuat perilaku
penyalahgunaan terhadap zat tersebut.3

LD50 α-PVP hidroklorida (tikus, intravena) terjadi pada pemberian sebanyak 38,5
mg/kg. Sebuah tes sitolisis yang baru dilakukan menggunakan α-PVP dan berbagai analog lain
tidak menyebabkan efek sitotoksik pada kondisi yang dipelajari (setelah 4 jam inkubasi pada
37°C, konsentrasi obat 100 μM). Data tentang efek metabolit α-PVP saat ini tidak tersedia.3

Farmakokinetik

Sampai saat ini informasi yang tersedia masih sedikit namun bisa didapatkan dalam
bentuk laporan kasus. Hasil yang didapat dari analisis laporan kasus menunjukkan alpha PVP
yang tidak diubah secara metabolit dapat terdeteksi dan produk-produk lain yang berhubungan
dengan target analisis seperti B-hydroxy (HO-PVP).1

Hidroksilasi dari rantai samping alpha PVP dapat dikatalisir setelah terpajan dengan
enzim sitokrom-P450 (CYP) di hepar, CYP2B6, CYP2C19, CYP2D6 dan CYP1A2. Proses
kimiawi akan berlanjut dengan mereduksi metabolit-metabolit yang terdapat dalam komposisi
alpha PVP. Produk yang dihasilkan di antaranya adalah benda keton. Benda keton yang
tereduksi dapat terdeteksi dalam urin dalam jumlah besar. Waktu paruh dari alpha PVP adalah
22 jam pada lima hari pertama analisis urin dan akan bertambah 40 jam pada hari ke 6-10
berikutnya.1

Epidemiologi

Penyalahgunaan α-PVP sedang meningkat, terutama di daerah-daerah di seluruh


Florida, Ohio, Texas, dan Tennessee. Dengan mudah dibeli melalui internet dari China, India,
atau Pakistan, α-PVP dapat dimakan, disuntikkan, dihirup, atau diuapkan. Penguapan
menyebabkan obat cepat memasuki aliran darah, membuat metode ini lebih cenderung

6
menyebabkan overdosis. Lebih dari 130 kematian telah dikaitkan dengan α-PVP dan di antara
intoksikasi akut yang dilaporkan, diperlukan rawat inap.1

Efek Samping yang Ditimbulkan oleh α-PVP

Selain dopamin, neurotransmiter norepinephrine, atau hormone stress juga meningkat.


Norepinephrine biasanya dilepaskan saat tubuh mengalami stress atau menghadapi ancaman.
Ini bertanggungjawab atas respons "fight or flight", saat seseorang berada dalam situasi yang
mengancam jiwa. Pelepasan norepinephrine meningkatkan aliran darah dan oksigen ke organ
vital dan jaringan otot, yang menyebabkan peningkatan fokus, vasokonstriksi, peningkatan
glukosa. Meningkatnya kadar norepinephrine ke tingkat yang tidak wajar dapat mengubah
denyut jantung, pernapasan, dan tekanan darah ke tingkat yang mengancam jiwa, menyebabkan
produksi keringat meningkat, dan kecemasan yang berlebih.4

Efek kesehatan yang merugikan meliputi kerusakan pada jaringan otot, kerusakan paru-
paru, jika dihirup seperti uap atau asap, gagal ginjal, efek kardiovaskular berbahaya termasuk
aritmia, kejang otot, perilaku tidak menentu dan kekerasan, dan neurotoksisitas. Perubahan di
otak bisa memicu halusinasi yang kuat, paranoid, kecemasan, insomnia, perilaku kasar dan
agresif, psikosis, dan kematian.4

Efek kesehatan yang buruk terkait dengan flakka:

 Kerusakan jaringan otot

 Kerusakan paru-paru

 Kerusakan ginjal permanen

 Aritmia jantung

 Kejang otot

 Perilaku tidak menentu dan penuh kekerasan

 Neurotoksisitas

 Halusinasi

 Paranoid

7
 Kecemasan

 Insomnia

 Perilaku kekerasan dan agresif

 Psikosis

 Delirium

 Kematian

Gambar 4. Efek samping flakka.4

Intoksikasi α-PVP

Flakka adalah bahan aktif senyawa kimia yang disebut alpha-PVP versi sintetis dari
amphetamine sejenis stimulan katinon, yang menurut daftar badan obat-obatan AS merupakan
zat yang paling mungkin disalahgunakan. Seperti yang telah diketahui selama ini bahwa
pemakaian atau penggunaan narkoba selalu membawa dampak atau efek buruk bagi
penggunanya sendiri. Apalagi jika pengguna sudah mengalami fase kecanduan, maka efek
yang dapat dihasilkan bisa menjadi parah dan mengancam nyawa. Tak terkecuali dengan
narkoba jenis Flakka yang baru-baru ini sedang marak digunakan oleh masyarakat dari
berbagai belahan negara di dunia.5

8
Efek samping penggunaan Flakka yang parah adalah memicu pemakainya untuk
mengalami gangguan psikotik, paranoid, agitasi, delusi, halusinasi dan cenderung melukai
dirinya sendiri.6-8

Beberapa contoh perilaku mirip zombie dengan melukai diri sendiri yang sering ditemui
dari beberapa kasus pecandu Flakka adalah menabrakkan dirinya ke kaca mobil, ke tembok-
tembok bangunan, melukai tubuhnya sendiri, paranoid, melukai orang di sekitarnya.6

Selain itu, penggunaan Flakka mengakibatkan penurunan kesadaran, kesulitan untuk


bernafas dan bisa menyebabkan kematian. Efek samping lainnya atau tanda-tanda keracunan
karena penyalahgunaan α-PVP terkait dengan sistem kardiovaskular seperti hipertensi arterial,
palpitasi, dyspnea, vasokonstriksi, aritmia, gagal jantung, dan miokarditis.6-8

Menurut Marusich J, et al tahun 2012, dosis tinggi α -PVP yang diberikan kepada tikus
menyebabkan gejala hiperaktif disertai perilaku yang aneh seperti melompat-lompat, serta
perilaku yang atipikal lainnya seperti ataksia, tremor, retropulsi, posisi tubuh yang merata.
Tanda-tanda neurologis juga ditemukan kepada pasien yang mengalami intoksikasi α-PVP
seperti sakit kepala, midriasis, pusing, paresthesia, kejang, gerakan distonik, tremor, amnesia,
edema serebral, kejang otot dan nistagmus, parkinson dan stroke. Dari efek psikiatri ditemukan
agitasi, agresi, halusinasi, kebingungan, kegelisahan, insomnia, katatonia, anhedonia,
anoreksia, depresi, peningkatan libido, serangan panik, perilaku mencederai diri sendiri, bunuh
diri dan psikosis. Terdapat juga gejala seperti mual, muntah, sakit perut, dan demam.6-8

Sindrom Putus Obat dari Flakka

Sindrom putus obat dari obat-obatan stimulant seperti yang terkandung dalam flakka
meliputi depresi, mudah tersinggung, cemas, insomnia, fatigue, keringat malam, penambahan
berat badan, memiliki pikiran atau berniat untuk bunuh diri. Seseorang yang telah
menyalahgunakan flakka akan mendapat manfaat dari pemantauan medis dan pengelolaan
sindrom putus obat ini, terutama pada kasus kerusakan hati dan jaringan, atau dimana pada
kasus-kasus yang memiliki resiko bunuh diri yang tinggi. Mengobati kecanduan narkoba
memang bukan perkara mudah. Saking beratnya, pecandu bahkan bisa kembali lagi terjerat
narkoba meski sudah menjalani terapi. Berbagai terapi pun banyak ditawarkan untuk
menghilangkan kebiasaan mengonsumsi barang-barang adiktif tersebut.4

9
Tatalaksana

Tatalaksana Terapi dan Rehabilitasi NAPZA terdiri dari:

- Outpatient (rawat jalan)


- Inpatient (rawat inap)
- Residency (Panti / pusat rehabilitasi)

Tujuan Terapi dan Rehabilitasi

1. Abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA.


Tujuan ini tergolong sangat ideal, namun banyak orang tidak mampu atau mempunyai
motivasi untuk mencapai tujuan ini, terutama kalau ia baru menggunakan NAPZA pada
fase-fase awal. Pasien tersebut dapat ditolong dengan meminimalisasi efek-efek yang
langsung atau tidak langsung dari NAPZA. Sebagian pasien memang telah abstinensia
terhadap salah satu NAPZA tetapi kemudian beralih untuk menggunakan jenis NAPZA
yang lain.9

2. Pengurangan frekuensi dan keparahan relaps.


Sasaran utamanya adalah pencegahan relaps. Bila pasien pernah menggunakan satu kali
saja setelah “clean” maka ia disebut “slip”. Bila ia menyadari kekeliruannya, dan ia
memang telah dibekali keterampilan untuk mencegah pengulangan penggunaan
kembali, pasien akan tetap mencoba bertahan untuk selalu abstinensia. Pelatihan
relapse prevention program, program terapi kognitif, opiate antagonist maintenance
therapy dengan naltrekson merupakan beberapa alternatif untuk mencegah relaps.9

3. Memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi adaptasi sosial.


Dalam kelompok ini, abstinensia bukan merupakan sasaran utama. Terapi rumatan
(maintenance) metadon merupakan pilihan untuk mencapai sasaran terapi golongan
ini.9

10
Petunjuk Umum

Terapi yang diberikan harus didasarkan diagnosis, sama seperti bila menghadapi
penyakit lain. Bila dinilai mampu memberikan terapi, lakukan dengan rasa tanggung jawab
sesuai kode etik kedokteran. Bila ragu, sebainya dirujuk ke dokter ahli. Selain kemampuan
dokter, perlu diperhatikan fasilitas yang tersedia di puskesmas (apakah mempunyai fasilitas
dan tenaga terlatih di bidang kegawatdaruratan). Pasien dalam keadaan overdosis sebaiknya di
rawat inap di UGD RS. Pasien dalam keadaan intoksikasi dimana pasien menjadi agresif atau
psikotik sebaiknya di rawat inap di fasilitas rawat inap, bila perlu dirujuk ke Rumah Sakit Jiwa.
Pasien dirawat inap, karena mungkin akan mengalami kejang dan delirium.9

Terapi dan Rehabilitasi

Dalam rehabilitasi pasien ketergantungan NAPZA, profesi medis (dokter) mempunyai


peranan terbatas. Proses rehabilitasi pasien ketergantungan NAPZA melibatkan berbagai
profesi dan disiplin ilmu. Namun dalam kondisi emergency, dokter merupakan pilihan yang
harus diperhitungkan. Gawat darurat yang terjadi meliputi berbagai gejala klinis berikut:

 Intoksikasi
 Overdosis
 Sindrom putus NAPZA
 Berbagai macam komplikasi medik (fisik dan psikiatrik)

Yang penting dalam kondisi gawat darurat adalah keterampilan menentukan diagnosis,
sehingga dengan cepat dan akurat dapat dilakukan intervensi medik. Berbagai bentuk Terapi
dan Rehabilitasi:

1. Terapi Medis (Terapi Organo-Biologi)


Terapi ini antara lain ditujukan untuk:
a. Terapi terhadap keadaan intoksikasi
- Beri Diazepam 10-30 mg oral atau parenteral, atau Klordiazepoksid 10-
25 mg oral atau Clobazam 3x10 mg. Dapat diulang setelah 30 menit
sampai 60 menit. Untuk mengatasi palpitasi beri Propanolol 3x10-40 mg
oral.9

11
b. Terapi terhadap keadaan overdosis
Usahakan agar pernapasan berjalan lancar, yaitu:
- Lurus dan tengadahkan (ekstenikan) leher kepada pasien (jika
diperlukan dapat memberikan bantalan dibawah bahu)
- Kendurkan pakaian yang terlalu ketat
- Hilangkan obstruksi pada saluran napas
- Bila perlu berikan oksigen

Usahakan agar peredaran darah berjalan lancar:

- Bila jantung berhenti, lakukan masase jantung eksternal, injeksi


adrenalin 0,1 - 0,2 cc I.M.
- Bila timbul asidosis (misalnya bibir dan ujung jari biru, hiperventilasi)
karena sirkulasi darah yang tidak memadai, beri infus 50 ml sodium
bikarbonas.
- Pasang infus dan berikan cairan (misalnya: RL atau NaC1 0,9%) dengan
kecepatan rendah (10-12 tetes permenit) terlebih dahulu sampai ada
indikasi untuk memberikan cairan. Tambahkan kecepatan sesuai
kebutuhan jika didapatkan tanda-tanda kemungkinan dehidrasi.9

Lakukan pemeriksaan lebih lanjut untuk melihat kemungkinan adanya perdarahan atau
trauma yang membahayakan. Observasi terhadap kemungkinan kejang. Bila timbul kejang
berikan diazepam 10 mg melalui IV atau perinfus dan dapat diulang sesudah 20 menit jika
kejang belum teratasi. Bila ada hipoglikemi, beri 50 ml glukosa 50% IV.9

c. Terapi pada sindrom putus zat


Rawat inap perlu dipertimbangkan karena kemungkinan melakukan percobaan
bunuh diri. Untuk mengatasi gejala depresi berikan antidepresi. Pada delirium
putus sedativa/hipnotika beri Diazepam seperti pada terapi intoksikasi
sedative/hipnotika atau alcohol.9

12
d. Terapi terhadap komplikasi medik
Terapi disesuaikan dengan besaran masalah dan dilaksanakan secara terpadu
melibatkan berbagai disiplin ilmu kedokteran. Misalnya:
- Komplikasi Paru dirujuk ke Bagian Penyakit Paru
- Komplikasi Jantung dirujuk ke Bagian Penyakit Jantung atau
Interna/Penyakit Dalam.9

e. Terapi maintenance (rumatan)


Terapi maintenance/rumatan ini dijalankan pasca detoksifikasi dengan tujuan
untuk mencegah terjadinya komplikasi medis serta tindak kriminal. Secara
medis terapi ini dijalankan dengan menggunakan:
- Terapi perilaku, diselenggarakan berdasarkan pemberian hadiah dan
hukuman
- Self-help group.9

2. Rehabilitasi
Setelah selesai detoksifikasi, penyalahgunaan NAPZA perlu menjalani rehabilitasi.
Kenyataan menunjukkan bahwa mereka yang telah selesai menjalani detoksifikasi
sebagian besar akan mengulangi kebiasaan menggunakan NAPZA, oleh karena rasa
rindu (craving) terhadap NAPZA yang selalu terjadi. Dengan rehabilitasi diharapkan
pengguna NAPZA dapat :
 Mempunyai motivasi untuk tidak menyalahgunakan NAPZA lagi
 Mampu menolak tawaran penyalahgunakan NAPZA
 Pulih kepercayaan dirinya, hilang rasa rendah dirinya
 Mampu mengelola waktu dan berubah perilaku sehari-hari dengan baik
 Dapat berkonsentrasi untuk belajar atau bekerja
 Dapat diterima dan dapat membawa diri dengan baik dalam pergaulan di
lingkungannya

13
Beberapa bentuk program/pendekatan rehabilitasi yang ada, antara lain:

a. Program yang berorientasi psikososial


Program ini menitikberatkan berbagai kegiatannya pada terapi psikologik
(kognitif, perilaku, suportif, asertif, dinamika kelompok, psikoterapi individu,
desensitisasi dan lain-lain) dan keterampilan sosial yang bertujuan
mengembangkan kepribadian dan sikap mental yang dewasa, serta
meningkatkan mutu dan kemampuan komunikasi interpersonal. Berbagai
variasi psikoterapi sering digunakan dalam setting rehabilitasi. Tergantung pada
sasaran terapi yang digunakan.10
 Psikoterapi yang menggunakan sasaran pencegahan relaps seperti
Cognitive Behaviour Therapy dan Relaps Prevention Training
 Supportive Expressive Psychotherapy
 Psychodrama, art-therapy adalah psikoterapi yang dijalankan secara
individual

b. Therapeutic community
Berupa program terstruktur yang diikuti oleh mereka yang tinggal dalam satu
tempat. Dipimpin oleh bekas penyalahguna yang dinyatakan memenuhi syarat
sebagai konselor, setelah melalui pendidikan dan latihan. Tenaga professional
hanya sebagai konsultan saja. Disini penderita dilatih keterampilan mengelola
waktu dan perilakunya secara efektif serta kehidupannya sehari-hari, sehingga
dapat mengatasi keinginan memakai NAPZA atau sugesti (craving) dan
mencegah relaps. Dalam komunitas ini semua ikut aktif dalam proses terapi.
Ciri perbedaan anggota dihilangkan. Mereka bebas menyatakan perasaan dan
perilaku sejauh tidak membahayakan orang lain. Tiap anggota
bertanggungjawab terhadap perbuatannya, ganjaran bagi yang berbuat positif
dan hukuman bagi yang berperilaku negative diatur oleh mereka sendiri.10

c. Program yang berorientasi sosial

14
Program ini memusatkan kegiatan pada keterampilan sosial, sehingga mereka
dapat kembali ke dalam kehidupan masyarakat yang normal, termasuk mampu
bekerja.10

d. Program yang berorientasi kedisiplinan


Program ini menerapkan modifikasi behavioral atau perilaku dengan cara
melatih hidup menurut aturan disiplin yang telah ditetapkan.10

e. Program dengan pendekatan religi atau spiritual


Pesantren dan beberapa pendekatan agama lain melakukan trial and error untuk
menyelenggarakan rehabilitasi ketergantungan NAPZA.10

f. Lain-lain
Beberapa profesional bidang kedokteran mencoba menggabungkan berbagai
modalitas terapi dan rehabilitasi. Hasil keberhasilan secara ilmiah dan dapat
dipertanggungjawabkan masih ditunggu.10

3. Program Pasca Rawat (After Care)


Setelah selesai mengikuti suatu program rehabilitasi, penyalahguna NAPZA masih
harus mengikuti program pasca rawat (After Care) untuk memperkecil kemungkinan
relaps (kambuh). Setiap tempat/panti rehabilitasi yang baik mempunyai program pasca
rawat ini.10

Rujukan

1. Karena keterbatasan pengetahuan dan keterampilan petugas puskesmas, atau


karena fasilitas yang tersedia terbatas, pasien yang tak dapat diatasi, sebaiknya
dirujuk ke dokter ahli yang sesuai atau dirujuk untuk rawat inap di rumah sakit
(misalnya : RS Umum/Swasta, RS Jiwa, RSKO) atau ke pusat rehabilitasi.11
2. Pasien juga dapat dirujuk hanya untuk konsultasi atau meminta pemeriksaan
penunjang saja, seperti pemeriksaan laboratorium (tes urin), pemeriksaan radio-
diagnostik, elektrodiagnostik, maupun test psikologik (IQ, kepribadian, bakat,
minat).11

15
Prognosis

Beberapa efek negatif yang telah diidentifikasi dari penyalahgunaan flaka yaitu
kerusakan otak, henti jantung, gagal ginjal, dan pikiran dan usaha untuk bunuh diri. Orang yang
menyalahgunakan atau kecanduan flakka mungkin juga memiliki risiko tinggi untuk
mengalami gangguan kesehatan mental seperti gangguan kecemasan, gangguan bipolar,
gangguan depresi, dan skizofrenia. Pecandu bisa kembali lagi terjerat narkoba meski sudah
menjalani terapi.12

16
BAB III

PENUTUP

Narkoba merupakan singkatan dari Narkotika, Psikotropika dan Bahan Adiktif lainnya.
Narkotika atau bahan berbahaya yang disingkat dengan narkoba adalah istilah dari pemerintah
Indonesia untuk menggambarkan narkotika atau zat dalam obat yang dapat mengakibatkan
penurunan atau perubahan kesadaran, hilang rasa nyeri serta dapat menimbulkan rasa
ketergantungan kepada pemakainya. Narkoba memiliki sifat adiktif dan mampu mengubah
perilaku seseorang. Masuknya narkoba akan mempengaruhi fungsi vital organ tubuh, yaitu
jantung, peredaran darah, pernafasan, dan terutama pada kerja otak (susunan saraf pusat). Hal
ini akan menyebabkan kerja otak berubah (bisa meningkat atau menurun).

α-pyrrolidinovalerophenone (α-PVP) paling dikenal dengan nama jalannya "flakka”


adalah turunan kathinone sintetis. Efek kesehatan yang buruk terkait dengan flakka yaitu
kerusakan jaringan otot, kerusakan paru-paru, kerusakan ginjal permanen, aritmia jantung,
kejang otot, perilaku tidak menentu dan penuh kekerasan, neurotoksisitas, halusinasi, paranoid,
kecemasan, insomnia, perilaku kekerasan dan agresif, psikosis, delirium, serta kematian.

α-PVP atau flakka memiliki sifat adiktif dan mampu mengubah perilaku seseorang.
Mengobati kecanduan memang bukan perkara mudah. Saking beratnya, pecandu bahkan bisa
kembali lagi terjerat narkoba meski sudah menjalani terapi. Berbagai terapi pun banyak
ditawarkan untuk menghilangkan kebiasaan mengonsumsi barang-barang adiktif tersebut.
Tatalaksana penyalahgunaan NAPZA terdiri dari terapi dan rehabilitasi, dimana tujuan terapi
dan rehabilitasi adalah abstinensia atau menghentikan sama sekali penggunaan NAPZA,
pengurangan frekuensi dan keparahan relaps, serta memperbaiki fungsi psikologi dan fungsi
adaptasi sosial sehingga mereka dapat kembali ke dalam kehidupan masyarakat yang normal.

17
Daftar Pustaka
1. WHO. Critical review report α-PVP. Geneva: WHO; 2015. p.6-17.
2. Fratantonio J, Andrade L, Febo M. Designer drugs: a synthetic catastrophe: Journal of
reward deficiency syndrome; 2015.p.82-4.
3. WHO. WHO expert committee on drug dependence. Geneva: WHO; 2015.p.20-1.
4. Diunduh dari: http://www.rehabcenter.net/flakka-addiction-and-the-best-rehab-
centers-for-treatment/
5. Marusich JA, Antonazzo KR, Wiley JL. Pharmacology of novel synthetic stimulants
structurally related to the ‘‘bath salts’’ constituent 3,4-methylenedioxypyrovalerone
(MDPV): Neuropharmacology; 2014.p.206–13.
6. Ross EA, Watson M, Goldberger B. Bath salts intoxication. England: N Engl J Med;
2011.p.967–8.
7. Kelly JP. Cathinone derivatives: a review of their chemistry, pharmacology and
toxicology. England: N Engl J Med; 2011.p.439-53.
8. Hohmann N, Mikus G, Czock D. Effects and risks associated with novel psychoactive
substances: mislabeling and sale as bath salts, spice, and research chemicals. Deutsch:
Dtsch Arztebl Int; 2014.p.139–47.
9. Merry W. Terapi-terapi untuk pengobatan kecanduan narkoba. 4 Juni 2016. Diunduh
dari https://health.detik.com/read/2012/06/06/173447/1934616/775/terapi-terapi-
untuk-pengobatan-kecanduan-narkoba.
10. Diunduh dari http://drugabuse.com/library/flakka-abuse/#flakka-abuse-treatment. 3
Juni 2016.
11. How Cocaine addiction is treated. National institute of drug abuse. May 2016. Diunduh
dari https://www.drugabuse.gov/publications/research-reports/cocaine/what-
treatments-are-effective-cocaine-abusers. 3 Juni 2016
12. Substance Abuse and Mental Health Servives Administration. Prevention of substance
abuse and mental illness. Diunduh dari https://www.samhsa.gov/prevention. 3 Juni
2016.

18

Anda mungkin juga menyukai