PENDAHULUAN
1.1.Latar Belakang
Jawa Timur adalah sebuah Provinsi yang multikultur. Berdasarkan ciri pustaka budaya (kultural
heritage) yang dimiliknya, baik yang tangibles (bendawi) maupun yang intagibles (non
benadawi), provinsi JawaTimur yang berpenduduk sekitar 38 juta jiwa dapat dipetakan menjadi
10 wilayah kebudayaan, ditambah 2 budaya (budaya Cina dan Arab) yang berkembang diantara
mereka. 10 wilayah kebudayaan yang dimaksud adalah wilayah kebudayaan jawa mataraman,
Jawa Panaragan, Arek, Samin, Tengger, Osing, Pandalungan, Madura Pulau, Madura Bawean,
Madura Kangean. Masing-masing pendukung wilayah kebudayaan ini pada umumnya
menempati wilayah tertentu dan mengembangkan lingkungan budaya yang khas jika
dibandingkan wilayah budaya lain. Pembangian wilayah kebudayaan ini bukan suatu yang final.
Artinya seiring dengan perubahan dan perkembangan zaman, karakter suatu wilayah
kebudayaan.
Seperti yang kita ketahui Using merupakan salah satu pemetaan kebudayaan Jawa Timur. Secara
administrartif orang Using (Osing) bertempat tinggal di kabupaten Banyuwangi, sebuah
kabupaten yang terletak di ujung timur Provinsi Jawa Timur. Beberapa abad yang lalu ,wilayah
yang sekarang dikenal sebagai Kabupaten Banyuwangi ini merupakan wilayah utama kerajaan
blambangan. Dari 21 kecamatan di kabupaten Banyuwangi masih tercatat tinggal 9 kecamatan
yang diduga masih mempertahankan Kebudayaan Using, kecamatan-kecamatan tersebut adalah
banyuwangi, Giri, Glagah, Kabat, Rogojampi, Sanggon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng.
Kehidupan sehari-hari masyarakat Using yaitu menjalankan aktivitas mereka yang memiliki
pekerjaan yaitu dibidang pertanian sawah dan lading yakni sebagai petani, pemilik dan
penggarap, dan buruh tani.
Masyarakat Using sangat kuat dalam memegang tradisi namun dinamis sehingga tidak tergerus
oleh budaya global. Proses perkembagan kebudayaan yang terjadi pada masyarakat Using
tidaklah terjadi secara tiba-tiba, namun melalui proses yang sangat panjang yang didukung oleh
sifat masyarakat using itu sendiri yang sangat terbuka bagi masuknya unsur-unsur kebudayaan
lain yang mewarnai dinamika kebudayaan mereka.
Masyarakat Using dikenal dengan masyarakat yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan yang
mereka ciptakan ini masih dijaga dengan baik dan masih dilestarikan, namun ada beberapa yang
hampir punah. Kesenian pada masyarakat Using merupakan produk adat yang mempunyai relasi
dengan nilai religi dan pada pola mata pencaharian di bidang pertanian. Kesenian bagi
Selain pada kebudayaan etos kerja pada masyarakat using yaitu suka dengan gotong royong.
Misalnya pada saat upacara perkawinan atau acara-acara besar yang diselenggarakan di desa
maka gotong royong ini sangat ditonjolkan. Pemikiran dari masyarakat tentang gotong royong
yaitu apabila nanti dirinya menyelenggarakan acara maka ada yang membantu, jadi gotong
royong di masyarakat Using ini sangat ditonjolkan. Seperti halnya dengan suku yang lain, Using
memiliki agama yang dianut oleh setiap masyarakatnya yaitu agama islam, namun agama ini
masih dipengarhi oleh sistem kepercayaan terhadap para leluhur, dalam suku masyarakat Using
ini terdapat dua aliran kepercyaan yaitu Sapto Darmo dan PAMU. Dua aliran kepercayaan
tersebut masih dianut oleh masyarakat Using Banyuwangi, dan menjadi dua aliran keagamaan
yang sangat terkenal di kalangan masyarakat Using Banyuwangi.
Using merupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya.
Dalam lingkup lebih luas, Using merupakan salah satu bagian sub-etnis Jawa. Dalam peta
wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian wilayah Sabrang Wetan yang berkembang
di daerah ujung timur pulau Jawa.
Sebagai sebuah suku yang menempati satu kabupaten secara penuh, suku Using memiliki
karakteristik yang berbeda dibanding suku lainnya di JawaTimur, dibanding 9 wilayah
kebudayaan lainnya, suku Using memiliki percampuran antara budaya Jawa Kuno dan Bali
sebagai akar budayanya.
Suku terasing merupakan suku yang masyarakatnya bersifat primitif jauh dari kehidupan modern. Ciri-
ciri suku terasing ialah masyarakatnya selalu hidup menggantungkan diri dengan alam dan lebih bersifat
konservatif serta kurang diferensiasi. Dibawah ini merupakan suku-suku terasing yang terdapat di
Indonesia.
1 .3 PENGERTIAN MULTIKULTURALISME
Multikulturalisme adalah istilah yang digunakan untuk menjelaskan pandangan seseorang tentang
ragam kehidupan di dunia, ataupun kebijakan kebudayaan yang menekankan tentang penerimaan
terhadap adanya keragaman, dan berbagai macam budaya (multikultural) yang ada dalam kehidupan
masyarakat menyangkut nilai-nilai, sistem, budaya, kebiasaan, dan politik yang mereka anut.
Masyarakat Indonesia merupakan masyarakat dengan tingkat keanekaragaman yang sangat kompleks.
Masyarakat dengan berbagai keanekaragaman tersebut dikenal dengan istilah mayarakat multikultural.
Bila kita mengenal masyarakat sebagai sekelompok manusia yang telah cukup lama hidup dan bekerja
sama sehingga mereka mampu mengorganisasikan dirinya dan berfikir tentang dirinya sebagai satu
kesatuan sosial dengan batas-batas tertentu (Linton), maka konsep masyarakat tersebut jika
digabungkan dengan multikurtural memiliki makna yang sangat luas dan diperlukan pemahaman yang
mendalam untuk dapat mengerti apa sebenarnya masyarakat multikultural itu.
Multikultural dapat diartikan sebagai keragaman atau perbedaan terhadap suatu kebudayaan dengan
kebudayaan yang lain. Sehingga masyarakat multikultural dapat diartikan sebagai sekelompok manusia
yang tinggal dan hidup menetap di suatu tempat yang memiliki kebudayaan dan ciri khas tersendiri yang
mampu membedakan antara satu masyarakat dengan masyarakat yang lain. Setiap masyarakat akan
menghasilkan kebudayaannya masing-masing yang akan menjadi ciri khas bagi masyarakat tersebut.
Dari sinilah muncul istilah multikulturalisme. Banyak definisi mengenai multikulturalisme, diantaranya
multikulturalisme pada dasarnya adalah pandangan dunia -yang kemudian dapat diterjemahkan dalam
berbagai kebijakan kebudayaan- yang menekankan tentang penerimaan terhadap realitas keragaman,
pluralitas, dan multikultural yang terdapat dalam kehidupan masyarakat. Multikulturalisme dapat juga
dipahami sebagai pandangan dunia yang kemudian diwujudkan dalam “politics of recognition”
(Azyumardi Azra, 2007). Lawrence Blum mengungkapkan bahwa multikulturalisme mencakup suatu
pemahaman, penghargaan, dan penilaian atas budaya seseorang, serta penghormatan dan
keingintahuan tentang budaya etnis orang lain. Berbagai pengertian mengenai multikulturalisme
tersebut dapat ddisimpulkan bahwa inti dari multikulturalisme adalah mengenai penerimaan dan
penghargaan terhadap suatu kebudayaan, baik kebudayaan sendiri maupun kebudayaan orang lain.
Setiap orang ditekankan untuk saling menghargai dan menghormati setiap kebudayaan yang ada di
masyarakat. Apapun bentuk suatu kebudayaan harus dapat diterima oleh setiap orang tanpa membeda-
bedakan antara satu kebudayaan dengan kebudayaan yang lain.
Pada dasarnya, multikulturalisme yang terbentuk di Indonesia merupakan akibat dari kondisi sosio-
kultural maupun geografis yang begitu beragam dan luas. Menurut kondisi geografis, Indonesia memiliki
banyak pulau di mana setiap pulau tersebut dihuni oleh sekelompok manusia yang membentuk suatu
masyarakat. Dari masyarakat tersebut terbentuklah sebuah kebudayaan mengenai masyarakat itu
sendiri. Tentu saja hal ini berimbas pada keberadaan kebudayaan yang sangat banyak dan beraneka
ragam.
Dalam konsep multikulturalisme, terdapat kaitan yang erat bagi pembentukan masyarakat yang
berlandaskan bhineka tunggal ika serta mewujudkan suatu kebudayaan nasional yang menjadi
pemersatu bagi bangsa Indonesia. Namun, dalam pelaksanaannya masih terdapat berbagai hambatan
yang menghalangi terbentuknya multikulturalisme di masyarakat.
Multikultural dapat terjadi di Indonesia karena: 1. Letak geografis indonesia 2. perkawinan campur 3.
iklim
Keragaman budaya atau “cultural diversity” adalah keniscayaan yang ada di bumi Indonesia. Keragaman
budaya di Indonesia adalah sesuatu yang tidak dapat dipungkiri keberadaannya. Dalam konteks
pemahaman masyarakat majemuk, selain kebudayaan kelompok sukubangsa, masyarakat Indonesia
juga terdiri dari berbagai kebudayaan daerah bersifat kewilayahan yang merupakan pertemuan dari
berbagai kebudayaan kelompok sukubangsa yang ada di daerah tersebut. Dengan jumlah penduduk 200
juta orang dimana mereka tinggal tersebar dipulau-pulau di Indonesia. Mereka juga mendiami dalam
wilayah dengan kondisi geografis yang bervariasi. Mulai dari pegunungan, tepian hutan, pesisir, dataran
rendah, pedesaan, hingga perkotaan. Hal ini juga berkaitan dengan tingkat peradaban kelompok-
kelompok sukubangsa dan masyarakat di Indonesia yang berbeda.
Keberagaman bangsa Indonesia dapat dibentuk oleh banyaknya jumlah suku bangsa yang tinggal di
wilayah Indonesia dan tersebar di berbagai pulau dan wilayah di penjuru indonesia. Setiap suku bangsa
memiliki ciri khas dan karakteristik sendiri pada aspek sosial dan budaya. Menurut penelitian badan
statistik auat BPS, yang di lakukan tahun 2010, di Indonesia terdapat 1.128 suku bangsa.
Keberagaman yang ada pada masyarakat, bisa saja menjadi tantangan hal itu disebabkan karena
orang yang mempunyai perbedaan pendapat bisa lepas kendali. Munculnya perasaan kedaerahan serta
kesukuan yang berlebihan dan dibarengi tindakan yang dapat merusak persatuan, hal tersebut dapat
mengancam keutuhan NKRI. Karean itu adanya usaha untuk dapat mewujudkan kerukunan bisa
dilakukan dengan menggunakan dialog dan kerjasama dengan prinsip kesetaraan, kebersamaan,
toleransidan juga saling menghormati satu sama lain.
Keberagaman ini antara lain di pengaruhi oleh letak geografis indonesia yang terletak di jalur
perdagangan internasional, serta kekayaan alam yang melimpah maka perdagang asing datang ke
Indonesia. Selain melakukan kegiatan perdagangan, mereka juga menyebarkan ajaran agama dan
kepercayaan yang mereka yakni agama Budha dan Hindu masuk dibawa oleh bangsa India yang telah
lama berdagang dengan Indonesia, lalu menyusul para pedagang Gujarat yang menyebarkan agama
Islam. Kedatangan bangsa Eropa membawa agama katolik dan kristen, sedangkan pedagang cina
menyebarkan ajaran Kong Hu Chu. Berbagai agama diterima oleh bangsa Indonesia karena sebelumnya
masyarakat sudah mengenal kepercayaan sperti dinamisme maupun animisme. Juga sifat keterbukaan
masyarakat Indonesia terhadap budaya lain.
Keberagaman Ras dapat diartikan sebagai sekelompok besar manusia yang memiliki ciri-ciri fisik yang
sama. Manusia yang satu mempunyai perbedaan ras dengan manusia yang lainnya sebab adanya
perbedaan ciri-ciri fisik seperti bentuk rambut, warna kulit, bentuk badan, ukuran badan, bentuk mata,
warna mata, dan ciri fisik lainnya. Masyarakat indonesia memiliki keberagaman ras disebabkan oleh
kehadiran bangsa asing ke wilayah Indonesia. Beberapa ras yang ada di Indonesia seperti ras malayan-
mongoloid yang tersebar di wilayah sumatra, kalimantan, sulawesi, jawa, bali,. Yang kedua adalah ras
malanesoid yang tersebar di daerah Papua, NTT dan maluku. Ketiga ras Kaukosoid yaitu orang India,
timur Tengah, Australia, Eropa dan Amerika. Terakhir yaitu ras Asiatic mongoloid seperti orang
Tionghoa, korea dan jepang. Ras ini tinggal dan menyebar di seluruh wilayah Indonesia, namun
terkadang mendiami wilayah tertentu.
Aspek kewilayahan menjelaskan, bahwa wilayah Negara Kesatuan Republik Indonesia merupakan
negara kepulauan yang memiliki ribuan pulau besar kecil di dalamnya. Satu pulau dengan pulau yang
lain dipisahkan oleh bentangan laut yang sangat luas. Kondisi wilayah yang demikian menjadikan
keterpisahan antara satu bagian wilayah negara dengan wilayah negara yang lain dalam negara
Indonesia. Selain itu juga terdapatnya jarak yang jauh antara pusat dengan daerah. Terbawa oleh kondisi
Aspek sosial budaya menjelaskan, bahwa masyarakat Indonesia diwarnai oleh berbagai macam
perbedaan, baik perbedaan agama, suku, ras, bahasa dan kebudayaan. Kondisi sosial budaya yang
demikian menjadikan kehidupan bangsa Indonesia menyimpan potensi terjadinya konflik. Kenyataan
juga menunjukkan, bahwa dalam kehidupan bangsa Indonesia sering terjadi konflik antar-kelompok
masyarakat yang dilatarbelakangi oleh perbedaan-perbedaan tersebut. Sampai saat ini, konflik-konflik
yang terjadi tidak menimbulkan perpecahan dalam kehidupan bangsa ini. Namun demikian kenyataan
semacam itu perlu manjadikan perhatian semua pihak agar dapat mempertahankan persatuan dan
kesatuan bangsa Indonesia tetap terjaga.
Dengan dua alasan tersebut, maka penting sekali memahami keberagaman yang ada di masyarakat
Indonesia yang ditujukan untuk mengusahakan dan mempertahankan persatuan dan kesatuan Negara
Kesatuan Republik Indonesia. Tanpa memiliki kesadaran akan keberagaman yang ada, bangsa Indonesia
bisa saja terjerumus ke arah perpecahan.
Perbedaan budaya yang ada dapat menciptakan rasa cinta tanah air, karena keanekaragam budaya
merupaka suatu kekayaan yang dimiliki suatu bangsa. Tidak hanya hasil tambang, komoditi ekspor yang
mempengaruhi pendapatan negara. Faktor budaya juga menjadi daya tarik dan kekayaan yang bisa
dimiliki suatu bangsa. Budaya mengajarkan kita akan nilai-nilai leluhur bangsa yang memiliki keunikan
dan kegunaannya masing-masing.
Ketika kita memandang bahwa keanekaragaman budaya merupakan suatu kekayaan, maka dengan
sendirinya kita akan berusaha menjaga kekayaan kita tersebut. Sehingga sikap memiliki dan menghargai
kekayaan bangsa dapat muncul di dalam diri kita.
Saat ini masih banyak suku terasing di Indonesia yang masih benar-benar perawan dan bebas dari
hingar bingar dunia modern. Indonesia memang dapat dikategorikan sebagai salah satu negara yang
masih berkembang. Namun suasana modern di ibu kota dan kota-kota besar lainnya menjadikan
Indonesia memiliki gaya hidup yang lebih modern. Hal ini tentu memiliki dampak negatif dan positifnya.
ISI /PEMBAHASAN
2 . 1 SEJARAH ASAL USUL SUKU OSING BANYUWANGI
Suku osing merupakan penduduk asli banyuwangi karena suku osing adalah masyarakat yang hidup
pada pemerintahan kerajaan blambangan. Suku osing juga memiliki adat istiadaat budaya, bahasa yang
berbeda dari masyarakat jawa dan Madura.
Sejarah Berdirinya Suku OsingSejarah Suku Using diawali pada akhir masa kekuasaan Majapahit
sekitar tahun 1478 M.Perang saudara dan pertumbuhan kerajaan-kerajaan Islam terutama
Kesultanan Malakamempercepat jatuhnya Majapahit. Setelah kejatuhannya kerajaan tersebut,
orang-orangmajapahit mengungsi ke beberapa tempat, yaitu lereng Gunung Bromo (Suku
Tengger),Blambangan (Suku Using) dan Bali. Kedekatan sejarah ini terlihat dari corak kehidupan
SukuUsing yang masih menyiratkan budaya Majapahit Kerajaan Blambangan, yang di dirikan oleh
masyarakat osing, adalah kerajaan terakhiryang bercorak Hindu. Dalam sejarahnya Kerajaan Mataram
Islam tidak pernah menancapkankekuasaanya atas Kerajaan Blambangan, hal inilah yang menyebabkan
kebudayaan masyarakatUsing mempunyai perbedaan yang cukup signifikan dibandingkan dengan Suku
Jawa. SukuUsing mempunyai kedekatan yang cukup besar dengan masyarakat Bali, hal ini sangat
terluhatdari kesenian tradisional Gandrung yang mempunyai kemiripan ,dan mempunyai sejarah sendiri-
sendiri. Kemiripan lain tercermin dari arsitektur bangunan antar Suku Using dan Suku Bali
yangmempunyai banyak persamaan, terutama pada hiasan di bagian atap bangunan. Osing
jugamerupakan salah satu komunitas etnis yang berada di daerah Banyuwangi dan sekitarnya.
Dalamlingkup lebih luas. Dalam peta wilayah kebudayaan Jawa, Osing merupakan bagian
wilayahSabrang Wetan, yang berkembang di daerah ujung timur pulau Jawa. Keberadaan
komunitasOsing berkaitan erat dengan sejarah Blambangan (Scholte, 1927). Menurut
Leckerkerker(1923:1031), orang-orang Osing adalah masyarakat Blambangan yang tersisa.
Suku osing menempati beberapa kecamatan di kabupaten banyuwangi bagian tengah dan utara.
Terutama di kecamatan banyuwangi, kecamatan rogojampi , sempu, gelagah singojuruh, giri, kalipuro
dan songgon. Suku osing atau lebih dikenal dengan wong osing memiliki bahasa sendiri yakni bahasa
osing yang merupakan turunan langsung dari bahasa jawa kuno tapi bukan merupakan bahasa jawa
karena dialegnya yang berbeda.
Dari system kepercayaan wong osing dahulu adalah pemeluk agama hindu seperti majapahit. Namun
seiring berkembangnya kerajaan islam di pantura atau pantai utara jawa menyebabkan agama islam
cepat menyebar di kalangan suku osing. Dikeseharian, mata pencaharian suku osing adalah bertani,
berkebun dan sebagian kecil lainnya adalah pedagang dan pegawai di bidang formal seperti karyawan,
guru dan pegawai pemda.
Predikat Using dilekatkan kepada masyarakat Blambangan karena kecenderungan mereka menarik diri
dari pergaulan dengan masyarakat pendatang pasca perang Puputan Bayu. Pendudukan VOC di
Blambangan tentu saja memerlukan banyak tenaga kerja untuk menjalankan usaha-usaha eksploitasi di
Blambangan. Oleh karena itu, kemudian VOC mendatangkan banyak pekerja dari Jawa Tengah dan
Madura dalam jumlah besar,sementara sisa-sisa masyarakat Blambangan /wong osing yang mayoritas
telah memilih untuk mengucilkan diri di pegunungan.
Sesekali interaksi terjadi, antara masyarakat asli dan pendatang. Dalam interaksi tersebut, masyarakat
asli acapkali menggunakan istilah “sing” atau “hing” yang berarti “tidak”. Dari sanalah penamaan Wong
Penduduk sisa-sisa rakyat Blambangan yang mendiami wilayah Kabupaten Banyuwangi, sebagian
Jember, Bondowoso, Situbondo dan Lumajang disebut masyarakat Using. Dulu sebelum dibakukan,
banyak menulis dengan kata “Osing” kadang juga “Oseng”, namun setelah diurai secara fonetis oleh
pakar Linguisitik dari Universitas Udayana Bali (Prof Heru Santoso), diperoleh kesepakatan resmi dengan
menulis kata “Using” yang berarti “Tidak”. Pertanyaannya, kenapa orang asli Blambangan disebut Using?
Penyebutan itu, sebetulnya bukan permintaan orang-orang Blambangan. Ini lebih merupakan ungkapan
prustasi dari penjajah Belanda saat itu, karena selalu gagal membunjuk orang-orang sisa Kerajaan
Blambangan untuk bekerja sama. Kendati pimpinan mereka sudah dikalahkan, tetapi tidak secara
otomatis menyerah kepada musuh. Sikap yang sama, juga ditujukkan saat awal-awal Orde Baru
berkuasa, orang Banyuwangi paling susah diajak kerja sama, atau menjadi pegawai Negeri. Mereka
masih menganggap, pemerintahan yang ada tidak jauh berbeda dengan penjajah Belanda.
Meski akhirnya sikap “Sing” ini berangsur-angsur melunak, dengan banyaknya orang Using yang menjadi
pegawai negeri, atau masuk ranah-ranah publik yang sebelumnya tidak pernah dilakukan, namun nama
“Using” sudah terlanjur melekat. Bahkan tumbuh kebanggan kolektif, bila disebut sebagai orang Using.
Setelah generasi-generasi muda itu, tahu sejarah bagaimana nenek moyangnya berjuang mati-matian,
mempertahankan wilayah dan harga diri.
Perang “Puputan” atau juga dikenal perang habis-habisan, akhirnya dijadikan tonggak hari lahirnya
Kabupaten Banyuwangi. Pertimbangannya, semangat heroik dari tentara Blambangan ini diharapkan
bisa menjadi tauladan. Bahkan seorang penulis asal Belanda menyebutkan, jika rakyat Blambangan
hanya tinggal berapa ribu saja. Sebagai bentuk penekanan terhadap warkat Blambangan, kepala laskar
Blambangan yang kalah perang, ditancapkan di sepanjang jalan. Meski demikian, sisa rakyat
Blambangan tidak langsung menyerah dan tunduk kepada musuh. Mereka memilih mengungsi ke
gunung atau membentuk kelompok-kelompok kecil. Mereka berkomunikasi menggunakan bahasa-
bahasa sandi, berupa nama-nama bintang. Kelang bahasa sandi ini menjadi umpatan khas wong Using.
Selain itu, bahasa Using dikenal mempunyai ratusan dialek. Setiap kampung-kampung Using, bisa
diidentifikasi dari cara mereka berbicara dan berpakaian. Misalnya dalam satu pertemuan besar di
sebuah lapangan, maka mereka akan mudah mengenali orang Using dari daerah mana, dari cara mereka
berbicara.
Selain itu, ternyata kampung-kampung Using tidak ada yang menghadap jalan raya. Umumnya kampung
Using itu merupakan jalan kecil dari sebuah jalan raya beraspal, kemudian di kawasan itu berjubel
pemukiman. Meski berada di pedesaan, namun kampung-kampung Using terkenal padat. Ini ternyata
tidak lepas dari sejarah masa lalu wong Using yang selalu dilanda ketakutan, pasca kekalahan laskar
Blambangan pada Perang Puputan Bayu. Mereka selalu berkelompok dan selalu mewaspadai
kedatangan orang asing.
Dari aspek seni-budaya, orang luar banyak menyatakan. jika budaya dan kesenian Banyuwangi
merupakan perpaduan Jawa-Madura dan Bali. Pernyataan ini memang tidak terbantahkan, karena letak
geografis Banyuwangi yang berdekatan dengan Bali. Namun ada yang menarik dari catatan Sejarawan
asal Belanda TG. Pigeaud dalam bukunya Runtuhkan Kerajaan Mataram Islam. Dalam buku itu
disebutkan. jika wilayah Kerajaan Blambangan saat itu, menjadi rebutan antara Kerajaan Mataram di
bawah Sultan Agung dengan kerajaan Mengwi di Bali. Dr. Theodoor Gautier Thomas Pigeaud
menyatakan, suatusaat pengaruh Bali sangat kuat dalam segala aspek kehidupan rakyat Blambangan,
maka saat itu pula pengaruh Mataram melemah. Namun apabila Mataram sudah bisa mengusai kembali
sendi-sendi kehidupan di Blambangan, saat itu juga pengarusnya secara sosial kemasyarakat juga akan
kuat. Dalam proses inilah, lahir kesenian semacam Janger yang mirip dengan langedrian yang ada di
Yogyakarta, dengan cerita diambil dari Serat Damarwulan yang ditulis Pujangga di Kerajaan Mataram.
Atau Kesenian Praburoro yang mengabil cerita Hikayat Amir Hamzah (Kata orang Using: Amir Ambyah),
kesenian ini juga bisa ditemukan di Sleman DIY. Janger bentuk sampaan seperti Ketoprak, sedang
Praburoro seperti Wayang Orang. Namun mocopat yang berkembang di Banyuwangi, bukan berasal dari
kalangan Keraton, melainkan mocopat pesisiran. Nama-nama pupuhnya hampir sama, hanya ada
penekanan pada pupuh-pupuh tertentu.
Setelah itu, orang-orang Mataraman atau bisa disebut Jowo Kulon mulai masuk Banyuwangi, trerutama
daerah selatan. Mereka juga membawa kesenian, seperti wayang, Reog Ponorogo dan kesenian Jawa
lainnya. Namun dalam perkembangannya, terjadi asimilasi. Misalnya, secara teknis seniman Banyuwangi
itu mempunyai ciri khas dalam memukul alat musik, yaitu tekhnik timpalan. Ini terjadi baik cara
memukul gamelan, maupun rebana (terbang).
Namun dalam kehidupan sosial, kadang orang-orang pendatang ini merasa lebih tinggi dibanding orang
asli Banyuwangi. Mereka memang mengusai sektor-sektor formal. Misalnya pegawai Negeri di
Kabupaten hingga Kecamatan, banyak dijabat orang pendatang. Mereka yang masih selaran dengan
perjuangan Mataram ini, kadang memandang orang asli Banyuwangi sebelah mata. Padangan orang
terbelakang dan tidak mau diajak maju, kadang sulit dihilangkan. Apalagi pada saat jaman pergolakan
Sebagai pemilik syah atas warisan leluhurnya,ternyata orang-orang Using sangat sulit memperjuangkan
Bahasa Using sebagai materi ajar di sejumlah sekolah dasar. Ini tidak heran, karena para pejabat di
Pemkab Banyuwangi dan Dinas Pendidikan saat itu, memang dijabat orang Jowo Kulonan. Mereka masih
beragapan sebagai penjajah, karena menganggap Bahasa using sebagai sub-dealek dari Bahasa Jawa.
Padahal berdasarkan penelitian Profersor Heru Santoso, Using bukan sebagai dialek-Jawa,tetapi sudah
merupakan bahasa sendiri. Tentu kaidah-kaidah menetukan suatu bahasa disebut bahasa sendiri, bukan
sebagai dialek, sudah dikupas panjang lebar oleh Pakar Linguistik dari Udayana Bali ini.
Bahkan peneliti dari Balai Bahasa Yogyakarta, Wedawaty menyebutkan, jika bahasa Using dan Bahasa
Jawa itu kedudukannya sama sebagai turunan dari Bahasa Jawa Kuno ayau Bahasa Kawi. Bahasa Jawa
sekarang lebih berkembang, terutama adanya strata atau tingkatan bahasa sesuai kasta dan umur.
Namun bahasa Using terlihat lebih statis, karena tidak mengenal tingkatan tutur, seperti Bahasa kawi
induknya. Bahkan Budayawan using, Hasan Ali menduga, kota kata Bahasa Bali dalam Balines-Nederland
yang disusun seorang misionaris Belanda adalah kota kata Bahasa using, karena penyusunlan puluhan
tahun tinggal di Blambangan, sebelum bisa menyebrang ke Bali.
Alahmdullah, setelah puluhan tahun perjuangan, akhirnya Bahasa Using diajarkan di tingkat SD dan SMP.
Ini tidak lepas dari uapaya keras dari Budayan yang tergabung dalam Dewan Kesenian Blambangan
(DKB) dan Budayawan Hasan Ali yang menyusun Kamu Using. Berngasur-angsur wong Using juga mulai
menunjukkan eksistensi dalam berbagai aspek kehidupan. Bahkan sempat menempatkan Syamsul Hadi
yang orang Using sebagai Bupati, meski akhirnya terjerat sejumlah kasus korupsi. Sebelumnya, Bupati
Banyuwangi selalu dijabat orang dari luar dan tentara tentunya. Saat Orde Lama pernah dijabat M Yusuf,
itupun sementara setelah Bupati aslinya terlibat PKI. Saat Orde Baru, ternyata meneruskan Mataram.
Bisa percaya bisa tidak, dua pejabat Bupati banyuwangi berasal dari Mojokerto (dulu Majapahit), yaitu
Djoko Supaat dan T. Pornomo Sidik. Saat Mataram menguasai Blambangan, juga menggunakan
backgorund Majahit dalam cerita Damarwulan untuk mendiskreditkan Raja Blambangan.
Bahasa
Suku Osing mempunyai Bahasa Osing yang merupakan turunan langsung dari Bahasa Jawa
Kuno seperti halnya Bahasa Bali. Bahasa Osing berbeda dengan Bahasa Jawa sehingga bahasa
Osing bukan merupakan dialek dari bahasa Jawa seperti anggapan beberapa kalangan.
Demografi
Suku Osing menempati beberapa kecamatan di kabupaten Banyuwangi bagian tengah dan bagian
utara, terutama di Kecamatan Banyuwangi, Kecamatan Rogojampi, Kecamatan Sempu,
Kecamatan Glagah dan Kecamatan Singojuruh, Kecamatan Giri, Kecamatan Kalipuro, dan
Kecamatan Songgon. Komunitas Osing atau lebih dikenal sebagai wong Osing oleh beberapa
kalangan dan hasil penelitian1 dianggap sebagai penduduk asli2 Banyuwangi, sebuah wilayah di
ujung paling timur pulau Jawa yang juga dikenal sebagai Blambangan. Komunitas ini menyebar
di desa-desa pertanian subur di bagian tengah dan timur Banyuwangi yang secara administratif
merupakan kecamatan-kematan Giri, Kabat, Glagah, Rogojampi, Sempu, Singojuruh, Songgon,
Cluring, Banyuwangi Kota, Genteng, dan Srono. Di tiga kecamatan terakhir, mereka telah
bercampur dengan penduduk non-Osing, migran berasal dari bagian barat Jawa Timur dan Jawa
Tengah, termasuk Yogyakarta (wong Osing menyebutnya wong Jawa-Kulon).
Mata Pencaharian
Lapangan kerja yang paling dominan adalah di bidang pertanian sawah dan lading yakni sebagai
petani, pemilik, penggarap, dan buruh tani, mereka yang bekerja dibidang pertanian ada sekitar
65% dari jumlah penduduk yang sudah, bekerjaan lainnya yang cukup menonjol adalah buruh
(23,1%), namun tidak cukup jelas bekerja sebagai buruh dimana dan apa, pekerjaan lainnya
seperti pegawai negeri tercatat 2,8%, diantaranya adalah pegawai puskesmas, penyuluh
pertanian, staf desa dan guru yang dinas di Kemiren. Karena sebagian besar masyarakat osing
yang ada di kemiren ini bekerja sebagai Petani maka muncul organisasi “kelompok tani” dan
organisasi ini sedikit menonjol dibandingkan dengan organisasi yang lain dan didesa kemiren ini
ada 7 kelompok “kelompok tani” dan pengelompokan tersebut didasarkan pada luas lahan yang
mereka miliki. Dengan memiliki pekerjaan, maka dalam kehidupan masyarakat ada penyebutan
kaya dan miskin, adanya orang kaya dan orang miskin ini tergnatung pada pemilikan lahan
persawahan beberapa kali lebih banyak dari warga lainnya dan sebagian besar warga desa ini
dapat digolongkan sebagai orang kaya namun tidak sedikit yang dapat digolongkan miskin.
Sebagian besar warga desa ini adalah petani yang sangat tekun, baik laki-laki maupun yang
perempuan, kebanyakan bekerja di sawah dari pagi hingga petang.
Stratifikasi Sosial
Suku Osing berbeda dengan Suku Bali dalam hal stratifikasi sosial. Suku Osing tidak mengenal
kasta seperti halnya Suku Bali, hal ini banyak dipengaruhi oleh agama Islam yang dianut oleh
sebagian besar penduduknya.
Seni
Kesenian Suku Osing sangat unik dan banyak mengandung unsur mistik seperti kerabatnya Suku
Bali dan Suku Tengger. Kesenian utamanya antara lain Gandrung Banyuwangi, Patrol, Seblang,
Angklung, Tari Barong, Kuntulan, Kendang Kempul, Janger, Jaranan, Jaran Kincak, Angklung
Caruk dan Jedor.
Kesenian lain yang masih dipelihara adalah tembang dolanan, khususnya oleh kalangan anak
usia sekolah. Contohnya adalah Jamuran dan Ojo Rame-Rame. Sesuai dengan sebutannya,
tembang-tembang yang pada umumnya bersyair pendek ini digunakan mengiringi permainan
anak-anak. Selain menambah keceriaan anak saat bermain berkelompok, tembang dolanan dapat
berfungsi mengajarkan nilai-nilai positif sejak dini. Tembang Jamuran, misalnya, mengajarkan
tentang gotong-royong dan Ojo Rame-Rame mengajarkan patriotisme.
Di bidang adat istiadat masyarakat Osing mengenal upacara-upacara yang disebut Rebo
pungkasan, 1 Suro, petik laut dsb. Juga adat perkawinan ala Banyuwangi asli dimana si pria
harus lebih dahulu melarikan calon mempelai puteri sebelum mendapat pengakuan sah sebagai
suami isteri. Ada lagi tradisi berpacaran yang disebut gredoan, dimana sepasang muda-mudi
yang sedang jatuh cinta dapat melakukan dialog pada malam hari. Pada adat istiadat perkawinan
suku Osing yaitu Dalam tradisi pernikahan Suku Osing, gaya busana pengantin banyak
dipengaruhi oleh gaya Jawa, Madura, Bali, dan suku lain. Jadi, tidaklah terlalu unik. Yang
menarik justru tradisi mereka yang dikenal dengan istilah geredhoan, yaitu ajang mencari jodoh
yang dilakukan oleh pemuda-pemudi suku tersebut. Tetapi pada prinsipnya mereka mengawali
hidup baru dengan tradisi perkenalan, lalu ke tahap meminang dan terakhir baru ke pelaminan.
Dan hal tersebut yang menjadi keunikan suku osing .
3 . 1 KESIMPULAN
Using merupakan salah satu pemetaan kebudayaan Jawa Timur. Secara administrartif orang
Using (Osing) bertempat tinggal di kabupaten Banyuwangi, sebuah kabupaten yang terletak di
ujung timur Provinsi Jawa Timur. Beberapa abad yang lalu ,wilayah yang sekarang dikenal
sebagai Kabupaten Banyuwangi ini merupakan wilayah utama kerajaan blambangan. Dari 21
kecamatan di kabupaten Banyuwangi masih tercatat tinggal 9 kecamatan yang diduga masih
mempertahankan Kebudayaan Using, kecamatan-kecamatan tersebut adalah banyuwangi, Giri,
Glagah, Kabat, Rogojampi, Sanggon, Singojuruh, Cluring, dan Genteng. Kehidupan sehari-hari
masyarakat Using yaitu menjalankan aktivitas mereka yang memiliki pekerjaan yaitu dibidang
pertanian sawah dan lading yakni sebagai petani, pemilik dan penggarap, dan buruh tani.
Masyarakat Using dikenal dengan masyarakat yang kaya akan kebudayaan. Kebudayaan yang
mereka ciptakan ini masih dijaga dengan baik dan masih dilestarikan, namun ada beberapa yang
hampir punah. Kesenian pada masyarakat Using merupakan produk adat yang mempunyai relasi
dengan nilai religi dan pada pola mata pencaharian di bidang pertanian. Kesenian bagi
masyarakat Using merupakan jiwa bagi masyarakat Using dan masih menjaga adat serta
pemahaman mereka terhadap pentingnya kesenian sebagai ungkapan rasa syukur kepada para
petani telah menjadikan kesenian Using masih dijaga hinga sekarang.
Masyarakat Using saat ini sebagian besar adalah pemeluk agama Islam, yang memiliki latar
belakang agama Hindu yang cukup kuat, yaitu pada masa Kerajaan Hindu Ciwa. Oleh karena itu,
maka tradisi-tradisi yang mengandung nilai-nilai Hindu tidak bisa dihilangkan sepenuhnya,
bahkan ajaran Islam berjalan beriringan dengan adat-istiadat yang ada.
Masyarakat Using Banyuwangi dapat dikatakan sebagai masyarakat yang dinamis, tidak suka
berkelahi dan familier, namun oleh kalangan budayawan dikatakan juga memiliki ciri-ciri yang
tidak ideal. Seperti yang dikatakan oleh Hasnan Singodimadyan bahwa kepribadian masyarakat
Using tidak bersifat halus atau toleran seperti oran Jawa., melainkan bersifat aclak, ladak,
bingkak dan tidak punya sopan santun. Aclak berarti sok tahu, sok ingin memudahkan orang lain
dan tidak takut merepoti diri sendiri walaupun tidak sanggup melakukannya atau sering disebut
juga sebagai “maunya sendiri”. Sedangkan Ladak berarti sombong . bingkak berarti acuh tak
acuh , tidak mau tahu urusan orang lain .
Evan Permana, Proposal film documenter seri Kebudayaan Osing dalam program budaya
Tribute to East Java Heritage. Surabaya: Institute Teknologi Sepuluh November.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Usaha Kesejahteraan Sosial. 2002. Kehidupan Sosial
Budaya Komunitas Adat Terpencil, Departemen Sosial RI.
Saputra, Heru S.P. Dari Lisan ke Tulisan dan Seni Pertunjukan, Kajian Bandingan: Resepsi dan
Transformasi Mantra Using. Makalah dipresentasikan pada seminar internasional sastra
Bandingan di Fakultas Sastra Universitas Jember, 10 Desember 2004.