Anda di halaman 1dari 10

Kumpulan LP dan Askep

Senin, 04 Juli 2016

LAPORAN PENDAHULUAN TYPOID

1. PENGERTIAN

Demam thypoid merupakan suatu penyakit infeksi sistemik yang disebabkan oleh Salmonella thypi yang
masih dijumpai secara luas di berbagai negara berkembang yang terutama terletak di daerah tropis dan
subtropis. (Simanjuntak, 2009)

Demam thypoid (enteric fever) adalah penyakit infeksi akut yang biasanya mengenai saluran
pencernaan dengan gejala demam yang lebih dari satu minggu, gangguan pada pencernaan, dan
gangguan kesadaran. (Nursalam, 2005)

Demam thypoid merupakan penyakit infeksi akut pada usus halus dengan gejala demam satu minggu
atau lebih disertai gangguan pada saluran pencernaan dengan atau tanpa gangguan kesadaran.
(Rampengan, 2007)

2. ETIOLOGI

Etiologi demam thypoid adalah salmonella thypi (S.thypi) 90 % dan salmonella parathypi (S. Parathypi
Adan B serta C). Bakteri ini berbentuk batang, gram negatif, mempunyai flagela, dapat hidup dalam air,
sampah dan debu. Namun bakteri ini dapat mati dengan pemanasan suhu 600 selama 15-20 menit.
Akibat infeksi oleh salmonella thypi, pasien membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

a. Aglutinin O (antigen somatik) yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

b. Aglutinin H (antigen flagela) yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

c. Aglutinin Vi (envelope) terletak pada kapsul yang dibuat karena rangsangan antigen Vi (berasal dari
simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin
tinggi titernya makin besar pasien menderita tifoid. (Aru W. Sudoyo, 2009)

3. PATOFISIOLOGI
Bakteri Salmonella typhi bersama makanan atau minuman masuk ke dalam tubuh melalui mulut. Pada
saat melewati lambung dengan suasana asam (pH < 2) banyak bakteri yang mati. Keadaan-keadaan
seperti aklorhidiria, gastrektomi, pengobatan dengan antagonis reseptor histamin H2, inhibitor pompa
proton atau antasida dalam jumlah besar, akan mengurangi dosis infeksi. Bakteri yang masih hidup akan
mencapai usus halus. Di usus halus, bakteri melekat pada sel-sel mukosa dan kemudian menginvasi
mukosa dan menembus dinding usus, tepatnya di ileum dan jejunum. Sel-sel M, sel epitel khusus yang
melapisi Peyer’s patch, merupakan tempat internalisasi Salmonella typhi. Bakteri mencapai folikel limfe
usus halus, mengikuti aliran ke kelenjar limfe mesenterika bahkan ada yang melewati sirkulasi sistemik
sampai ke jaringan RES di organ hati dan limpa. Salmonella typhi mengalami multiplikasi di dalam sel
fagosit mononuklear di dalam folikel limfe, kelenjar limfe mesenterika, hati dan limfe.

Setelah melalui periode waktu tertentu (periode inkubasi) yang lamanya ditentukan oleh jumlah dan
virulensi kuman serta respons imun pejamu makaSalmonella typhi akan keluar dari habitatnya dan
melalui duktus torasikus masuk ke dalam sirkulasi sistemik. Dengan cara ini organisme dapat mencapai
organ manapun, akan tetapi tempat yang disukai oeh Salmonella typhi adalah hati, limpa, sumsum
tulang belakang, kandung empedu dan Peyer’s patch dari ileum terminal. Invasi kandung empedu dapat
terjadi baik secara langsung dari darah atau penyebaran retrograd dari empedu. Ekskresi organisme di
empedu dapat menginvasi ulang dinding usus atau dikeluarkan melalui tinja. Peran endotoksin dalam
patogenesis demam tifoid tidak jelas, hal tersebut terbukti dengan tidak terdeteksinya endotoksin dalam
sirkulasi penderita melalui pemeriksaan limulus. Diduga endotoksin dari Salmonella typhi menstimulasi
makrofag di dalam hati, limpa, folikel limfoma usus halus dan kelenjar limfe mesenterika untuk
memproduksi sitokin dan zat-zat lain. Produk dari makrofag inilah yang dapat menimbulkan nekrosis sel,
sistem vaskular yang tidak stabil, demam, depresi sumsum tulang belakang, kelainan pada darah dan
juga menstimulasi sistem imunologik. (Soedarmo, dkk., 2012)

4. MANIFESTASI KLINIS

Menurut Sjamsuhidayat, (1998) tanda dan gejala demam typoid antara lain:

a. Pada kondisi demam, dapat berlangsung lebih dari 7 hari, febris reminten, suhu tubuh berangsur
meningkat

b. Ada gangguan saluran pencernaan, bau nafaas tidak sedap,bibir kering pecah-pecah (ragaden), lidah
ditutpi selaput putih kotor (coated tongue, lidah limfoid) ujung dan tepinya kemerahan, biasanya disertai
konstipasi, kadang diare, mual muntah, dan jarang kembung.

c. Gangguan kesadaran, kesadaran pasien cenderung turun, tidak seberapa dalam, apatis sampai
somnolen, jarang sopor, koma atau gelisah

d. Relaps (kambung) berulangnya gejala tifus tapi berlangsung ringan dan lebih singkat.
5. KOMPLIKASI

1. Komplikasi intestinal

a. Perdarahan usus

b. Perporasi usus

c. Ilius paralitik

2. Komplikasi extra intestinal

a. Komplikasi kardiovaskuler : kegagalan sirkulasi (renjatan sepsis), miokarditis, trombosis,


tromboplebitis.

b. Komplikasi darah : anemia hemolitik, trobositopenia, dan syndroma uremia hemolitik.

c. Komplikasi paru : pneumonia, empiema, dan pleuritis.

d. Komplikasi pada hepar dan kandung empedu : hepatitis, kolesistitis.

e. Komplikasi ginjal : glomerulus nefritis, pyelonepritis dan perinepritis.

f. Komplikasi pada tulang : osteomyolitis, osteoporosis, spondilitis dan arthritis.

g. Komplikasi neuropsikiatrik : delirium, meningiusmus, meningitis, polineuritis perifer, sindroma


Guillain bare dan sidroma katatonia.

6. PEMERIKSAAN DIAGNOSTIK

Pemeriksaan penunjang pada klien dengan typhoid adalah pemeriksaan laboratorium, yang
terdiri dari :

1. Pemeriksaan leukosit

Di dalam beberapa literatur dinyatakan bahwa demam typhoid terdapat leukopenia dan limposistosis
relatif tetapi kenyataannya leukopenia tidaklah sering dijumpai. Pada kebanyakan kasus demam
typhoid, jumlah leukosit pada sediaan darah tepi berada pada batas-batas normal bahkan kadang-
kadang terdapat leukosit walaupun tidak ada komplikasi atau infeksi sekunder

2. Pemeriksaan SGOT dan SGPT

SGOT dan SGPT pada demam typhoid seringkali meningkat tetapi dapat kembali normal setelah
sembuhnya typhoid.

3. Biakan darah
Bila biakan darah positif hal itu menandakan demam typhoid, tetapi bila biakan darah negatif tidak
menutup kemungkinan akan terjadi demam typhoid. Hal ini dikarenakan hasil biakan darah tergantung
dari beberapa faktor:

a. Teknik pemeriksaan laboratorium

Hasil pemeriksaan satu laboratorium berbeda dengan laboratorium yang lain, hal ini disebabkan
oleh perbedaan teknik dan media biakan yang digunakan. Waktu pengambilan darah yang baik adalah
pada saat demam tinggi yaitu pada saat bakteremia berlangsung.

b. Saat pemeriksaan selama perjalanan penyakit

Biakan darah terhadap salmonella thypi terutama positif pada minggu pertama dan berkurang pada
minggu-minggu berikutnya. Pada waktu kambuh biakan darah dapat positif kembali.

c. Vaksinasi di masa lampau

Vaksinasi terhadap demam typhoid di masa lampau dapat menimbulkan antibodi dalam darah
klien, antibodi ini dapat menekan bakteremia sehingga biakan darah negatif.

d. Pengobatan dengan obat anti mikroba

Bila klien sebelum pembiakan darah sudah mendapatkan obat anti mikroba pertumbuhan kuman
dalam media biakan terhambat dan hasil biakan mungkin negatif.

4. Uji widal

Uji widal adalah suatu reaksi aglutinasi antara antigen dan antibodi (aglutinin). Aglutinin yang
spesifik terhadap salmonella thypi terdapat dalam serum klien dengan typhoid juga terdapat pada orang
yang pernah divaksinasikan. Antigen yang digunakan pada uji widal adalah suspensi salmonella yang
sudah dimatikan dan diolah di laboratorium. Tujuan dari uji widal ini adalah untuk menentukan adanya
aglutinin dalam serum klien yang disangka menderita typhoid. Akibat infeksi oleh salmonella thypi, klien
membuat antibodi atau aglutinin yaitu :

a. Aglutinin O, yang dibuat karena rangsangan antigen O (berasal dari tubuh kuman).

b. Aglutinin H, yang dibuat karena rangsangan antigen H (berasal dari flagel kuman).

c. Aglutinin VI, yang dibuat karena rangsangan antigen VI (berasal dari simpai kuman).

Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang ditentukan titernya untuk diagnosa, makin
tinggi titernya makin besar klien menderita typhoid.

7. PENATALAKSANAAN

1. Observasi
a. Pasien harus tirah baring absolute sampai 7 hari bebas demam atau kurang lebih dari selam 14 hari.
MAksud tirah baring adalah untuk mencegah terjadinya komplikasi perforasi usus.

b. Mobilisasi bertahap bila tidak panas, sesuai dengan pulihnya kekuatan pasien.

c. Pasien dengan kesadarannya yang menurun, posisi tubuhnya harus diubah pada waktu-waktu
tertentu untuk menghindari komplikasi pneumonia dan dekubitus.

d. Defekasi dan buang air kecil perlu diperhatikan karena kadang-kadang terjadi konstipasi dan diare.

2. Diet

a. Diet yang sesuai ,cukup kalori dan tinggi protein.

b. Pada penderita yang akut dapat diberi bubur saring.

c. Setelah bebas demam diberi bubur kasar selama 2 hari lalu nasi tim

d. Dilanjutkan dengan nasi biasa setelah penderita bebas dari demam selama 7 hari

3. Pengobatan

Obat-obatan yang umumnya digunakan antara lain:

A. Anti Biotik (Membunuh Kuman) :

1. Klorampenicol

2. Amoxicilin

3. Kotrimoxasol

4. Ceftriaxon

5. Cefotaxim

B. Antipiretik (Menurunkan panas): Paracetamol

(Smeltzer & Bare. 2002)

8. KONSEP DASAR KEPERAWATAN

a. Pengkajian

1) Identitas klien

Meliputi nama, umur, jenis kelamin, alamat, pekerjaan, suku/bangsa, agama, status perkawinan,
tanggal masuk rumah sakit, nomor register dan diagnosa medik
2) Keluhan utama

Keluhan utama demam thypoid adalah panas atau demam yang tidak turun-turun, nyeri perut, pusing
kepala, mual, muntah, anoreksia, diare serta penurunan kesadaran.

3) Riwayat penyakit sekarang

Peningkatan suhu tubuh karena masuknya kuman salmonella typhi ke dalam tubuh.

4) Riwayat penyakit dahulu

Apakah sebelumnya pernah sakit demam thypoid.

5) Riwayat penyakit keluarga

Apakah keluarga pernah menderita hipertensi, diabetes melitus.

6) Pola-pola fungsi kesehatan

a) Pola nutrisi dan metabolisme

Klien akan mengalami penurunan nafsu makan karena mual dan muntah saat makan
sehingga makan hanya sedikit bahkan tidak makan sama sekali.

b) Pola eliminasi

Klien dapat mengalami konstipasi oleh karena tirah baring lama. Sedangkan eliminasi urine tidak
mengalami gangguan, hanya warna urine menjadi kuning kecoklatan. Klien dengan demam
thypoid terjadi peningkatan suhu tubuh yang berakibat keringat banyak keluar dan merasa haus,
sehingga dapat meningkatkan kebutuhan cairan tubuh.

c) Pola aktivitas dan latihan

Aktivitas klien akan terganggu karena harus tirah baring total, agar tidak terjadi komplikasi maka segala
kebutuhan klien dibantu.

d) Pola tidur dan istirahat

Pola tidur dan istirahat terganggu sehubungan peningkatan suhu tubuh.

e) Pola persepsi dan konsep diri

Biasanya terjadi kecemasan pada orang tua terhadap keadaan penyakit anaknya.

f) Pola sensori dan kognitif

Pada penciuman, perabaan, perasaan, pendengaran dan penglihatan umumnya tidak mengalami
kelainan serta tidak terdapat suatu waham pada klien.
b. Pemeriksaan fisik

Didapatkan klien tampak lemah, suhu tubuh meningkat 38 – 41°C muka kemerahan. Dapat terjadi
penurunan kesadaran (apatis).

9. DIAGNOSA KEPERAWATAN

1) Hipertermi berhubungan dengan penyakit atau trauma

2) Kurangnya volume cairan berhubungan dengan peningkatan suhu tubuh, intake cairan peroral yang
kurang (mual, muntah)

3) Nyeri akut berhubungan dengan agen penyebab cidera biologis atau infeksi

10. INTERVENSI KEPERAWATAN

No. Dx

Tujuan Dan Kriteria Hasil

Intervensi

Rasional

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan suhu tubuh pasien dapat turun, kriteria:

- Suhu tubuh stabil 36-37 C

- Tanda-tanda vital dalam rentang normal

1. Pantau suhu tubuh pasien setiap 4 jam

2. Kolaborasi pemberian antipiretik sesuai anjuran

3. Turunkan panas dengan melepaskan selimut atau menanggalkan pakian yang terlalu tebal, beri
kompres pada aksila dan liatan paha.

4. Observasi adanya konfusi disorientasi

5. Berikan cairan IV sesuai yang dianjurkan.

1. Mengetahui suhu tubuh klien


2. Menurunkan demam.

3. Meningkatkan kenyaman, menurunkan temperatur suhu tubuh

4. Perubahan tingkat kesadaran dapat merupakan akibat dari hipoksia jaringan

5. Menghindari kehilangan air natrium klorida dan kalium yang berlebihan.

Setelah dilakukan tindakan keperawatan diharapkan kebutuhan cairan terpenuhi, kriteria

- Tidak mual

- Tidak demam

- Suhu tubuh dalam batas normal

1. Jelaskan kepada pasien tentag pentingnya cairan

2. Monitor dan catat intake dan output cairan

3. Kaji tanda dan gejala dehidrasi hypovolemik, riwayat muntah, kehausan dan turgor kulit

4. Berikan cairan peroral pada klien sesuai kebutuhan

5. Anjurkan kepada orang tua klien untuk mempertahankan asupan cairan secara dekuat

6. Kolaborasi pemberian cairan intravena

1. Agar pasien dapat mengetahui tentang pentingnya cairan dan dapat memenuhi
kebutuhan cairan.

2. Untuk mengetahui keseimbangan intake da output cairan

3. Hipotensi, takikardia, demam dapat menunjukkan respon terhadap dan atau efek dari kehilangan
caira

4. Cairan peroral akan membantu memenuhi kebutuhan caira

5. Asupan cairan secara adekuat sangat diperlukan untuk menambah volume cairan tubuh

6. Pemberian intravena sangat penting bagi klien untuk memenuhi kebutuhan cairan yang hilang
3

Setelah dilakukan tindakan keperawatan pasien menunjukkan tingkat kenyamanan meningkat, kriteria:

- Pasien dapat melaporkan nyeri berkurang Frekuensi nyeri

- Tanda-tanda vital dalam batas normal

1. Lakukan pegkajian nyeri secara komprehensi

2. Observasi reaksi nonverbal dari ketidaknyamanan.

3. Kontrol faktor lingkungan yang mempengaruhi nyeri seperti suhu ruangan, pencahayaan, kebisingan.

4. Ajarkan teknik non farmakologis (relaksasi, distraksi dll) untuk mengetasi nyeri.

5. Berikan analgetik untuk mengurangi nyeri.

1. Respon nyeri sangat individual sehingga penangananya pun berbeda untuk masing-masing individu.

2. Menngetahui tingkat kenyamanan

3. Lingkungan yang nyaman dapat membantu klien untuk mereduksi nyeri.

4. Pengalihan nyeri dengan relaksasi dan distraksi dapat mengurangi nyeri yang sedang timbul.

5. Pemberian analgetik yang tepat dapat membantu klien untuk beradaptasi dan mengatasi nyeri.

DAFTAR PUSTAKA

Nugroho, Susilo. (2011). Pengobatan Demam Tifoid. Yogyakarta: Nuha Medika

Mansjoer, Arif. (2009). Kapita Selekta Kedokteran. Jakarta: Media Aesculapius

Simanjuntak, C. H. (2009). Demam Tifoid, Epidemiologi dan Perkembangan Penelitian. Cermin Dunia
Kedokteran No. 83. Jakarta. Nuha

Sjamsuhidayat. (1998). Buku Ajar Ilmu Bedah. Edisi revisi. Jakarta: EGC
Smeltzer & Bare. (2002). Keperawatan Medikal Bedah II. Jakarta: EGC

Soedarmo, dkk. (2012). Buku Ajar Infeksi & Pediatri Tropis. Jakarta: IDAI

Widodo, D. (2007). Buku Ajar Keperawatan Dalam. Jakarta: FKUI

Kumpulan LP dan Askep di 22.15

Berbagi

1 komentar:

Teguh Wahyudi16 Februari 2017 05.17

kunjungi juga donk, ini ada lp typoid http://pustakaperawatku.blogspot.co.id/2017/02/laporan-


pendahuluan-typoid.html

Balas

Beranda

Lihat versi web

Mengenai Saya

Kumpulan LP dan Askep

Lihat profil lengkapku

Diberdayakan oleh Blogger.

Anda mungkin juga menyukai