Anda di halaman 1dari 21

BAB 3

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Anatomi

2.1.1 Faring

Faring merupakan tabung muskular yang berukuran 12,5-14 cm yang

merentang dari bagian dasar tulang tengkorak sampai esofagus.Faring adalah

kantong fibrous yang membentuk seperti corong dimana kantong ini dimulai dari

dasar tengkorang dan menyambung dengan esofagus setinggi vertebre servikal ke

enam. Faring berhubungan dengan hidung melalui koana, kedepan berhubungan

dengan mulut melalui ismus orofaring, sedangkan dibawahnya berhubungan

dengan laring melalui aditus laring dan kebawahnya berhubungan dengan

esofagus (Hermani, 2009). Faring terbagi menjadi tiga, yaitu:

1. Nasofaring

Bagian posterior rongga nasal yang membuka ke arah rongga nasal

melalui dua naris internal (koana). Pada nasofaring terdapat dua tuba eustacius

dan amandel faring (adenoid) adalah penumpukan jaringan limfatik yang terletak

di dekat naris internal. Pembesaran adenoid dapat menghambat aliran

udara.Nasofaring yang relatif kecil, mengandung serta berhubungan dengan

beberapa struktur pentung yaitu adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral

faring dengan resesus faring yang disebut dengan fossa russenmuller, kantong

rathke, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan akrtilsgo

tuba eustacius, koana, foramen jugular, yang dilalui oleh nervus glossofaring,

nervus vagus dan nervus asesirius spinal saraf kranial dan vena jugularis interba,

3
4

bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba eustachius

(Sloane, 2013).

2. Orofaring

Disebut juga mesofaring, dimana batas atasnya adalah palatum mole, batas

bawah adalah tepi atas epiglotis, batas depan rongga mulut, sedangkan ke

belakang dengan vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga faring adalah

dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil serta arkus faring anterior dan

posterior , uvula, tonsil lingual, dan foramen sekum (Hermani, 2009).

3. Laringofaring

Mengelilingi mulut esofagus dan laring yang merupakan gerbang untuk

sistem respiratorik selanjutnya(sloane). Batas superiornya adalah tepi atas

epiglotis, batas anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas

posterior adalah vertebre servikal. Pada pemeriksaan laringoskopi tidak langsung

struktur pertama kali yang terlihat adalah valekula (pill pockets). Bagian ini

merupakan dua buah cekungan yang dibentuk oleh ligamentum glosoepiglotika

medial dan ligamentum glosoepiglotika lateral. Di bawah valekula terdapat

terdapat epiglotis, epiglotis berfungsi juga untuk melindung (proteksi) glotis

ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke

sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar

sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada

saat pemberian anestesi lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi

langsung (Hermani, 2009).


5

Gambar 2.1 Anatomi Faring (Grevers, 2009)

Faring mendapatkan perdarahan dari cabang arteri carotis eksterna

(cabang faring asenden dan fausial) serta dari cang arteri maksilaris interna yakni

cabang dari arteri palatina superior. Persarafan faring terdiri dari sensorik dan

motorik yang berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk dari

cabang nervus vagus, cabang nervus glossofaringeal dan serabut saraf simpatis.

Cabang farin dar nervus vagus berisi saraf motorik. Dari faring yang eksternsif ini

keluar cabang-cabang untuk otot-otot faring kecuali muskulus stilofaring yang

langsung dipersarafi oleh nervus glossofaringeal (Hermani, 2009).


6

Gambar 2.2 Anatomi Otot Penyusun Faring (Grevers, 2009)

2.1.2 Laring

Laring merupakan suatu penghubung antara faring dan trakea. Laring

berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago tiga

berpasangan dan tiga tidak berpasangan. Batas atas laring adalah aditus laring,

sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. Kerangka laring

tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan beberapa tulang rawan. Tulang

hiolid berbentuk huruf U, dimana bagian atasnya berhubungan dengan lidah,

mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi

otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam,

maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakan

lidah. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago

krikoid, kartilago aritenoid, kartilago kunikulata, kartilago tiroid (Sloane, 2013).


7

Kartilago krikoid dihubungkan dengan kartilago tiroid oleh ligamentum

krikotiroid. Terdapat sepasang kartilago aritenoid yang terletak dekat permukaan

belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi

krikoaritenoid. Sepasang kartilago kornikulata melekat pada kartilago aritenoid di

daerah apex, sedangkan sepasang kartilago kuneiformis terdapat di dalam lipatan

ariepiglotik.Pada laring terdapat 2 buah sendi, yaitu artikulasi krikotiroid dan

artikulasi krikoaritenoid Gerakan laring dilaksanakan oleh kelompok otot-otot

ekstrinsik dan otot-otot intrinsik (Sloane, 2013).

Otot-otot ekstrinsik laring ada yang terletak di atas tulang hioid

(suprahioid), dan ada yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid). Otot-otot

ekstrinsik yang suprahioid ialah m.digastrikus, m.geniohioid, m.stilohioid dan

m.milohioid. Otot yang infrahioid adalah m.sternohioid, m.omohioid dan

m.tirohioid. Otot-otot ekstrinsik laring yang suprahioid berfungsi menarik laring

ke bawah, sedangkan yang infrahioid menarik laring ke atas.Otot-otot intrinsik

laring adalah m.krikoaritenoid lateral, m.tiroepiglotika,m.vokalis, m.tiroaritenoid,

m.ariepiglotika, m.krikotiroid. Otot-otot ini terletak di bagian lateral laring. Otot-

otot intrinsik laring yang terletak di bagian posterior, ialah m.aritenoid

transversum, m.aritenoid oblik dan m.krikoaritenoid posterior. Sebagian besar

otot-otot intrinsik adalah otot aduktor (kontraksinya akan mendekatkan kedua pita

suara ke tengah) kecuali m.krikoaritenoid posterior yang merupakan otot abduktor

(kontraksinya akan menjauhkan kedua pita suara ke lateral (Sloane, 2013).


8

Gambar 2.3 Anatomi Laring (Hermani, 2009)

Gambar 2.4. Otot penyusun Laring (Hermani, 2009)

Pada laring terdapat pita suara asli (plika vokalis ) dan pita suara palsu

(plika ventrikularis). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima

glotis, dan bidang antara plika ventrikularis kiri dan kanan disebut rima vestibuli.

Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu
9

: vestibulum laring/supraglotik (di atas plika ventrikularis), glotik, dan subglotik

(di bawah plika vokalis) (Sloane, 2013).

Laring dipersarafi oleh cabang-cabang nervus vagus, yaitu n. laringis

superior dan n. laringis inferior. Nervus laringis superior mempersarafi

m.krikotiroid, sehingga memberikan sensasi pada mukosa laring di bawah pita

suara. Saraf ini mula-mula terletak di atas m.konstriktor faring medial, di sebelah

medial a.karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang

hioid, dan setelah menerima hubungan dengan ganglion servikal superior,

membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Nervus

laringis inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu memberikan

cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang dari

n.vagus. Nervus rekuren kanan akan menyilang a.subklavia kanan di bawahnya,

sedangkan n.rekuren kiri akan menyilang arkus aorta (Sloane, 2013).

Pendarahan laring terdiri dari 2 cabang, yaitu (Sloane, 2013) :

1. Arteri laringis superior, merupakan cabang dari arteri tiroid superior.

Berjalan melewati bagian belakang membran tirohioid dan menembus

membran ini untuk berjalan di submukosa dari dinding lateral dan lantai

sinus piriformis untuk mendarahi mukosa dan otot-otot laring.

2. Arteri laringis inferior, merupakan cabang arteri tiroid inferior. Berjalan ke

belakang sendi krikotiroid, lalu masuk laring melalui daerah pinggir

bawah dari m. konstriktor faring inferior dan mendarahi mukosa dan otot

laring.
10

Gambar 2.5 Anatomi Perdarahan dan Persarafan Laring (Iro, 2009)

Gambar 2.6 Aliran darah dan Kelenjar Getah Bening Laring (Hermani, 2009)
11

Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan a.

laringis superior dan inferior. Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di

daerah lipatan vokal. Disini mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum

vokale. Di daerah lipatan vokal pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior

dan inferior (Sloane, 2013).

2.1.3 Esofagus

Esofagus adalah tuba muskulara dengan panjang 9 sampai 10 inch, dengan

diameter 1 inch, dimana esofagus berawal pada area terbawah laringofaring,

melewati diafragma dan hiatus esofagus (lubang) pada torakal kesepuluh dan

membuka ke arah lambung (Iro, 2009). Esofagus adalah bagian daei saluran cerna

yang menghubungkan hipofaring atau laringofaring dengan lambung yang mana

bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak setinggi batas bawah

kaertilago krikoid dan setinggi vertebre servikal enam. Dalam perjalananya

esofagus dari daerah servikal esofagus masuk ke dalam rongga torak, di dalam

rongga torak, esofagus berada di mediastinum superior, antara trakea dan kolumna

vertebrata, terus ke mediastinum posterior di belakang atrium kiri dan menembus

diafragma setinggi vertebra torakal sepulu dengan jarak kurang lebih tiga

sentimeter di depan vetrebra. Akhirnya esofagus ini sampai di rongga abdomen

dan bersatu dengan lambung di daerah kardia setinggi vertebra torakal XI

(Soepardi, 2009).
12

Gambar 2. 7 Anatomi Esofagus (Grevers, 2009)

Struktur dinding esofagus terdiri dari tiga lapis yang mana mukosa

tersusun dari epitel skuamosa yang diatasnya dilapisi dengan lamina propria dan

mukosa otot. Submukosa terbuat dari jaringan elastis dan fibrosa dan yang mana

adalah lapisan terkuat dari dinding esofagus. Otot esofagus tersusun dari otot

sirkuler pada sisi dalam dan otot longitudinal pada lapisan. Pada sepertiga tiga

atas dari susunan otot esofagus terdiri dari otot lurik dan susuan dua pertiga bawah

terdiri dari otot polos. Sfingter atas esofagus terbentuk dari otot krikofaringeus

dengan muskulus konstriktor faring inferior dan serabur dari dinding esofagus.

Sfingter esofagus bawah tidak terlalu jauh berbeda dengan struktur anatomi
13

sfingter esofagus atas. Namun sfingter esofagus bawah tidak mempunyai lapisan

serosa (Patti, 2008).

2.2 Definisi Laryngopharyngeal reflux (LPR)

Manifestasi dari penyakit refluks gastroesofagus di luar esofagus

didefinisikan sebagai refluks ekstraesofagus (REE). Istilah Refluks lagringo

Faring (RLF) adalah REE yang menimbulkan manifestasi dari penyakit –penyakit

oral, faring, laring dan paru. Laryngopharyngeal reflux (LPR) atau refluks

laringofaring adalah pergerakan retrograde dari isi lambung (asam dan enzim-

enzim) ke laringofaring (charles). Sehingga perlu diketahui adanya hubungan

yang kompleks antara penyakit REE yang ditimbulkan oleh penyakit refluks

gastroesofagus, karena pasien REE sering di obati sebagia rinitis non alergi

dengan sekret belakang hidung, rinofaringitis nonspesifik, sinusitis rekuren.

Keluhan yang timbul akibat REE adalah keluhan tenggorokan terasa nyeri dan

kering, panas di pipi, sensai ada rasa menyumbat (globulus sensation), kelainan

laring dengan suara serak, batuk kronik, asma (Yunizaf, 2009).

2.3 Etiologi

Beberapa penyebab yang dapat menimbulkan LPR adalah sebagai berikut

(Andersson, 2009) :

1. Retrograde refluks asam lambung atau bahan lainnya (pepsin) atau

keduanya ke esofagus proksimal dan SEA yang berlanjut dengan

kerusakan mukosa faring dan laring.


14

2. Pajanan asam esofagus distal akan merangsang refleks vagal yang

menyebabkan terjadinya spasme bronkus, batuk, sering meludah,

menyebabkan perubahan inflamasi pada laring dan faring.

3. Defek pada enzim karbonat anhydrase isoenzyme III.

2.4 Epidemiologi

Selama dekade terakhir ada peningkatan dan kepedulian terhadap penyakit

yang disebabkan oleh refluks asam yang terjadi secara retrograde ini. Pada

penelitian yang di lakukan di amerika diperkirakan 75 juta penduduk diperkirakan

menderita GERD, dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala LPR atau

extraesophageal reflux (EER) (Jecker, 2015).

Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih

dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi

keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria,

wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR. Pada bayi dan anak

sering terlewatkan penanganan LPR (Ford, 2015).

2.5 Patofisiologi

Ada dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab terjadinya LPR

akibar GERD, teori yang pertama mengatakan adanya kontak langsung refluks

asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan segmen esofagus atas yang

berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring, laring, dan paru. Teori yang

kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang merangsang reflek vagal, yang
15

menyebabkan terjadinya batuk dan bronkospasme bronkus, batuk, sering meludah,

sehingga menyebabkan perubahan inflamsi dari laring (Yunizaf, 2009).

Refluks laringofaring berbeda dengan Gastro esofageal reflux, dimana

refluks laringofaring tidak menunjukkan gejala rasa terbakar di dada dan

regurgitasi.Dimana ada beberapa agen yang bertanggung jawab menimbulkan

munculnya gejala saluran nafas atas dan kelainan patologi pada laring yaitu HCL,

pepsin, asam empedu dan tripsin. Hubungan dari masing-masing agen dalam

patogenesis munculnya gejala tersebut saih dalam perdebatan. Pepsin yang

dikobinasi kan dengan asam sering ditemukan dan menjadi agen yang paling

banyak melukai dengan gejala yang spesifik pada lesi di laring. Pada penelitian

yang dilakukan pada binatang dan secara invitro menunjukan secara bahwa pepsin

dapat aktif dan menyebabkan kerusakan pada sel sampai pH 6. Refluks dapat

berupa gas, cairan atau gabungan keduanya. Paling banyak refluks faringeal

adalah berupa gas dengan penurunan pH yang umum terjadi pada pasien LPR

(Andersson, 2009).

Saluran cerna terdapat mekanisme atau barrier pelindung untuk melawan

refluks.Terdapat empat penghalang fisiologis yang melindungi saluran jalan napas

bagian atas dari trauma akibat refluks, yaitu: spingter esofagus bawah,

pembersihan asam dengan motor esofagus, resistensi jaringan mukosa esofagus,

dan spingter esofagus atas. Pengaktivasi produksi pompa bikarbonat pada ruangan

ekstraseluler pada esofagus, tetapi tidak ada di dalam laring sehingga tidak dapat

bertahan terhadap asam. Namun penelitian terbaru menemukan bahwa jaringan

laring juga diproteksi dari kerusakan refluks oleh karbonat anhidrase yang
16

dihasilkan oleh mukosa laring posterior. Karbonat anhidrase mengkatalisis hidrasi

karbon dioksida menghasilkan bikarbonat. Bikarbonat ini berfungsi untuk

menetralkan asam yang terdapat pada cairan refluks. Enzim karbonik anhidrase

diekskresikan tinggi oleh mukosa faring yang ditemukan pada biopsi spesimen

pasien LPR (Andersson, 2009).

Ada dua mekanisme yang dianggap sebagai penyebab terjadinya LPR

akibar GERD, teori yang pertama mengatakan adanya kontak langsung refluks

asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan segmen esofagus atas yang

berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring, laring, dan paru. Teori yang

kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang merangsang reflek vagal, yang

menyebabkan terjadinya batuk dan bronkospasme bronkus, batuk, sering meludah,

sehingga menyebabkan perubahan inflamsi dari laring (Rees, 2010).

2.6 Gejala Klinis

Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di

jumpai adalah suara serak. Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia,

throat clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk

kronik, sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan

(Barry, 2010).Pada pemeriksaan laring pada LPR akan ditemukan gambaran

eritema, edema serta gambaran cobblestone dengan adanya pseudosulkus vokalis

dengan gambaran ulkus, nodul, polip, leukoplakia dan kerusakan ventrikular band

(Diamond, 2015).
17

2.7 Diagnosis

Diagnosa LPR ditegakkan berdasarkan anamnesis, pemeriksaan fisik serta

pemeriksaan penunjang. Pada sebuah survei internasional yang dilakukan oleh

American Bronchoesophagological Association ditemukan dari anamesis pasien

yang dicurigai mengalami LPR mengeluhkan suara serak (95%), throat clearing

(98%), batuk-batuk kronik (97%) dan globus pharingeus (95%) (Ford, 2015).

Terdapat dua bentuk penilaian yang digunakan dalam menentukan

diagnosis LPR, yaitu reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS).

Penilaian skor RSI dikembangkan oleh Belafsky et al pada tahun 2002, sistem

RSI ini didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada pasien, setiap

pertanyaan memiliki skala dari 0 sampai 5. Nilai 0 menampilkan tidak ada

masalah sedangkan nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah total dari RSI

adalah 45 dan dikatakan sugestif LPR apabila skor RSI >13 (Tarafder et al. 2012).

Tabel 2.1 Reflux Score Index

(Sumber: Tarafder et al. 2012)

Pada RFS, skor dinilai berdasarkan delapan temuan fisik yang

berhubungan dengan gejala LPR. Penilaian diukur berdasarkan grading dengan


18

jumlah total skor 26. Apabila skor yang ditemukan lebih dari 7 maka sugestif

untuk terjadinya LPR (Tarafder et al. 2012).

Tabel 2.2 Reflux Finding Score

(Sumber: Tarafder et al. 2012)

2.8 Diagnosis Banding

Ada beberapa diagnosis banding dari LPR yaitu laringitis akut atau kronik,

stenosis laring serta tumor ganas pada laring. Pada laringitis akut, terjadi infeksi

pada laring yang tidak lebih dari 3 minggu dan biasanya dapat sembuh sendiri.

Penyebab dari laringitis akut ini sendiri adalah infeksi yang biasanya di dahului

oleh infeksi saluran nafas atas (Amirlak, 2014).

2.9 Pemeriksaan Penunjang

Ada beberapa pemeriksaan penunjang yang dapat dilakukan pada setiap

kasus yang dicurigai LPR, yaitu:

1. Laringoskopi

Pemeriksaan dengan laringoskopi untuk LPR terbagi menjadi dua yaitu

laringoskopi indirek (indirect laryngoscopy/IL) dan laringoskopi fleksibel


19

(flexible fibreobtic laryngoscopy). Pada pemeriksaan ini biasanya akan ditemukan

hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada plica vokalis dan

kerusakan pada ventrikular band. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menilai

Reflux Finding Score. Adanya edema dan eritema pada plika vokalis, walaupun

bukan tanda patogmonis namun sudah dapat menguatkan adanya tanda

peradangan pada laring. Temuan lain yang sering adalah granuloma, sekitar 65-

75% pasien yang terkonfirmasi LPR dengan monitoring pH akan tampak

granuloma pada pemeriksaan laringoskopi. Gambaran pseudokulkus juga

merupakan salah temuan fisik lain yang sering, sekitar 90% pasien yang

terkonfirmasi LPR memperlihatkan gambaran pseudokulkus (Ford, 2015).

Gambar 2.8 Gambaran granuloma dan pseudoculcus (tanda panah) pada


pemeriksaan laringoskopi (Ford, 2015)

2. Endoskopi

Pemeriksaan endoskopi biasanya tidak dilakukan saat awal, namun

pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari perubahan mukosa pada
20

esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi

(Irfandy, 2014).

3. 24-hour pH Monitoring

Pemeriksaan pH 24 jam ini atau Prolonged Ambulatory pH Monitoring

berfungsi untuk menilai refluks yang terjadi pada kasus GERD maupun LPR.

Pemeriksaan ini biasanya dilakukan apabila pengobatan tidak memberikan respon

yang baik dan gejala yang ditampilkan cukup berat. Pemeriksaan ini merupakan

gold standard untuk LPR karena dapat membedakan refluks asam yang terjadi

pada sfingter esofagus atas ataupun bawah (Irfandy, 2014).

Pemeriksaan ini menggunakan dua elektroda yang dapat memantau

perubahan pH, elektroda pertama di pasang 5 cm di bawah sfingter esofagus

bawah dan elektroda kedua di letakkan pada laringofaring (hipofaring). Elektroda

tersebut tersambung pada komputer yang akan merekam setiap perubahan dari

pH, setelah pemeriksaan selama 24 jam, hasil data tersebut akan di analisa

(Tarafder et al. 2012).

Gambar 2.9 Gambaran 24-hour pH Monitoring (Tarafder et al. 2012)


21

4. Pemeriksaan Videotoboskopi

Merupakan pemeriksaan dengan menggunakan endoskop sumber cahaya

xenon yang di aktivasi oleh pergerakan pita suara, gambaran ini dapat dilihat

dalam bentuk lambat. Pada hampir seluruh pasien yang mengeluhkan masalah

pada suaranya saat diperiksan dengan pemeriksaan videotoboskopi ditemukan

adanya tanda-tanda dari gejala LPR. Selain dalam kriteria diagnostik, pemeriksaan

ini juga dapat memantau perkembangan penyakit LPR yang sedang dala

pengobatan, fungsinya untuk menilai apakah terapi yang diberikan antireflux yang

diberikan berhasil atau tidak (Raghunandhan, 2011).

(A) (B)

Gambar 2.10(A) Gambaran edema eritonoid pada pemeriksaan videostoboskopik,


(B) Hipertrofi dan leukoplakia pada plika vokalis pada pemeriksaan
videostroboskopik (Raghunandhan, 2011)

2.10 Tatalaksana

Terdapat algoritma penatalaksanaan LPR, namun penatalaksanaan LPR

tidak lepas dari 3 kategori utama yaitu edukasi pasien dan perubahan pola hidup,

terapi medikomentosa serta terapi bedah. Hal yang perlu diperhatikan bahwa
22

penyakit ini merupakan penyakit dengan kondisi kronik yang berulang sehingga

pengobatan yang diberikan tidak akan menghasilkan proses penyembuhan yang

cepat (Hermani, 2009).

1. Edukasi pasien dan perubahan pola hidup

Pemeriksa harus menasehati pasien mengenai hal-hal yang dapat

meningkatkan aliran refluks asam lambung. Pasien sebaiknya mengurangi atau

hentikan merokok, kurangi berat badan, tidak makan 2-3 jam sebelum tidur, tidak

memakai pakaian yang ketat atau ikat pinggang yang terlalu ketat serta

meninggikan kepala tempat tidur. Pasien juga harus diingatkan untuk

memodifikasi dietnya, seperti tidak memakan makanan yang dapat mengiritasi

lambung dan esofagus (Yunizaf, 2009).

2. Terapi medikamentosa

Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau

Proton-pump Inhibitor, obat-obat antagonis H2, obat-obat prokinetik dan obat-

obat proteksi sel atau cytoprotective. Pengobatan dengan PPI dipertimbangkan

sebagai pengobatan utama dalam terapi medikamentosa ini. PPI yang biasanya

diberikan adalah Omeprazole dengan dosis 20 mg/hari. Obat lain yang dapat

dipilih seperti Lanzoprazole dengan dosis 30 mg/hari (Ford, 2015).

Obat lain yang digunakan adalah ranitidin merupakan golongan antagonis

reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari. Obat proteksi yang

sering diberikan adalah antasid sedangkan obat prokinetik yang sering dipakai

adalah metoclopramid dengan dosis 5-10 mg dan diminum 4 kali dalam sehari.
23

Obat proteksi dapat menetralisasi refluks asam serta mengurangi kerusakan dari

mukosa serta mencegah aktivitas pepsin (Yunizaf, 2009).

3. Terapi Bedah

Apabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi

mengobati LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa operasi

bedah yang dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau Toupet atau Bore

(parsial). Tujuan dari operasi ini adalah untuk memperbaiki kompetensi dari

sfingter esofagus bawah (SEB). Laparoscopic Nissen Fundoplication adalah

terapi bedah standar yang aman dan efektif dalam pengobatan LPR (Ford, 2015).

2.11 Komplikasi

Pada anak-anak, komplikasi LPR sering mengakibatkan masalah pada

saluran pernafasan seperti penyempitan di bawah pita suara atau subglotis

stenosis, ulkus dan suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba

eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada

orang dewasa, LPR dapat mengakibatkan perubahan mukosa esofagus dan

mengakibatkan karsinoma esofagus (Tarafder et al. 2012).

Anda mungkin juga menyukai