TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Anatomi
2.1.1 Faring
kantong fibrous yang membentuk seperti corong dimana kantong ini dimulai dari
1. Nasofaring
melalui dua naris internal (koana). Pada nasofaring terdapat dua tuba eustacius
dan amandel faring (adenoid) adalah penumpukan jaringan limfatik yang terletak
beberapa struktur pentung yaitu adenoid, jaringan limfoid pada dinding lateral
faring dengan resesus faring yang disebut dengan fossa russenmuller, kantong
rathke, torus tubarius, suatu refleksi mukosa faring di atas penonjolan akrtilsgo
tuba eustacius, koana, foramen jugular, yang dilalui oleh nervus glossofaring,
nervus vagus dan nervus asesirius spinal saraf kranial dan vena jugularis interba,
3
4
bagian petrosus os temporalis dan foramen laserum dan muara tuba eustachius
(Sloane, 2013).
2. Orofaring
Disebut juga mesofaring, dimana batas atasnya adalah palatum mole, batas
bawah adalah tepi atas epiglotis, batas depan rongga mulut, sedangkan ke
belakang dengan vertebra servikal. Struktur yang terdapat di rongga faring adalah
dinding posterior faring, tonsil palatina, fossa tonsil serta arkus faring anterior dan
3. Laringofaring
epiglotis, batas anterior adalah laring, batas inferior adalah esofagus, serta batas
struktur pertama kali yang terlihat adalah valekula (pill pockets). Bagian ini
ketika menelan minuman atau bolus makanan, pada saat bolus tersebut menuju ke
sinus piriformis dan ke esofagus. Nervus laring superior berjalan di bawah dasar
sinus piriformis pada tiap sisi laringofaring. Hal ini penting untuk diketahui pada
saat pemberian anestesi lokal di faring dan laring pada tindakan laringoskopi
(cabang faring asenden dan fausial) serta dari cang arteri maksilaris interna yakni
cabang dari arteri palatina superior. Persarafan faring terdiri dari sensorik dan
motorik yang berasal dari pleksus faring yang ekstensif. Pleksus ini dibentuk dari
cabang nervus vagus, cabang nervus glossofaringeal dan serabut saraf simpatis.
Cabang farin dar nervus vagus berisi saraf motorik. Dari faring yang eksternsif ini
2.1.2 Laring
berbentuk seperti kotak triangular dan ditopang oleh sembilan kartilago tiga
berpasangan dan tiga tidak berpasangan. Batas atas laring adalah aditus laring,
sedangkan batas bawahnya ialah batas kaudal kartilago krikoid. Kerangka laring
tersusun dari satu tulang, yaitu tulang hioid dan beberapa tulang rawan. Tulang
mandibula, dan tengkorak oleh tendon dan otot-otot. Sewaktu menelan, kontraksi
otot-otot ini akan menyebabkan laring tertarik ke atas, sedangkan bila laring diam,
maka otot-otot ini bekerja untuk membuka mulut dan membantu menggerakan
lidah. Tulang rawan yang menyusun laring adalah kartilago epiglotis, kartilago
belakang laring dan membentuk sendi dengan kartilago krikoid, disebut artikulasi
(suprahioid), dan ada yang terletak di bawah tulang hioid (infrahioid). Otot-otot
otot-otot intrinsik adalah otot aduktor (kontraksinya akan mendekatkan kedua pita
Pada laring terdapat pita suara asli (plika vokalis ) dan pita suara palsu
(plika ventrikularis). Bidang antara plika vokalis kiri dan kanan disebut rima
glotis, dan bidang antara plika ventrikularis kiri dan kanan disebut rima vestibuli.
Plika vokalis dan plika ventrikularis membagi rongga laring dalam 3 bagian, yaitu
9
suara. Saraf ini mula-mula terletak di atas m.konstriktor faring medial, di sebelah
medial a.karotis interna dan eksterna, kemudian menuju ke kornu mayor tulang
membagi diri dalam 2 cabang, yaitu ramus eksternus dan ramus internus. Nervus
laringis inferior merupakan lanjutan dari n.rekuren setelah saraf itu memberikan
cabangnya menjadi ramus kardia inferior. Nervus rekuren merupakan cabang dari
membran ini untuk berjalan di submukosa dari dinding lateral dan lantai
bawah dari m. konstriktor faring inferior dan mendarahi mukosa dan otot
laring.
10
Gambar 2.6 Aliran darah dan Kelenjar Getah Bening Laring (Hermani, 2009)
11
Vena laringis superior dan vena laringis inferior letaknya sejajar dengan a.
laringis superior dan inferior. Pembuluh limfa untuk laring banyak, kecuali di
daerah lipatan vokal. Disini mukosanya tipis dan melekat erat dengan ligamentum
vokale. Di daerah lipatan vokal pembuluh limfa dibagi dalam golongan superior
2.1.3 Esofagus
melewati diafragma dan hiatus esofagus (lubang) pada torakal kesepuluh dan
membuka ke arah lambung (Iro, 2009). Esofagus adalah bagian daei saluran cerna
bagian proksimalnya disebut introitus esofagus yang terletak setinggi batas bawah
esofagus dari daerah servikal esofagus masuk ke dalam rongga torak, di dalam
rongga torak, esofagus berada di mediastinum superior, antara trakea dan kolumna
diafragma setinggi vertebra torakal sepulu dengan jarak kurang lebih tiga
(Soepardi, 2009).
12
Struktur dinding esofagus terdiri dari tiga lapis yang mana mukosa
tersusun dari epitel skuamosa yang diatasnya dilapisi dengan lamina propria dan
mukosa otot. Submukosa terbuat dari jaringan elastis dan fibrosa dan yang mana
adalah lapisan terkuat dari dinding esofagus. Otot esofagus tersusun dari otot
sirkuler pada sisi dalam dan otot longitudinal pada lapisan. Pada sepertiga tiga
atas dari susunan otot esofagus terdiri dari otot lurik dan susuan dua pertiga bawah
terdiri dari otot polos. Sfingter atas esofagus terbentuk dari otot krikofaringeus
dengan muskulus konstriktor faring inferior dan serabur dari dinding esofagus.
Sfingter esofagus bawah tidak terlalu jauh berbeda dengan struktur anatomi
13
sfingter esofagus atas. Namun sfingter esofagus bawah tidak mempunyai lapisan
Faring (RLF) adalah REE yang menimbulkan manifestasi dari penyakit –penyakit
oral, faring, laring dan paru. Laryngopharyngeal reflux (LPR) atau refluks
laringofaring adalah pergerakan retrograde dari isi lambung (asam dan enzim-
yang kompleks antara penyakit REE yang ditimbulkan oleh penyakit refluks
gastroesofagus, karena pasien REE sering di obati sebagia rinitis non alergi
Keluhan yang timbul akibat REE adalah keluhan tenggorokan terasa nyeri dan
kering, panas di pipi, sensai ada rasa menyumbat (globulus sensation), kelainan
2.3 Etiologi
(Andersson, 2009) :
2.4 Epidemiologi
yang disebabkan oleh refluks asam yang terjadi secara retrograde ini. Pada
menderita GERD, dimana 50% dari populasi ini menunjukan gejala LPR atau
Prevalensi pasien dengan keluhan LPR berkisar antara 15-20% dan lebih
dari 15% pasien tersebut berobat ke dokter spesialis THT dengan manifestasi
keluhan LPR. Kasus LPR 4-10% terdapat pada pasien dengan PRGE. Pria,
wanita, bayi, anak-anak hingga dewasa bisa mengalami LPR. Pada bayi dan anak
2.5 Patofisiologi
akibar GERD, teori yang pertama mengatakan adanya kontak langsung refluks
asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan segmen esofagus atas yang
berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring, laring, dan paru. Teori yang
kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang merangsang reflek vagal, yang
15
munculnya gejala saluran nafas atas dan kelainan patologi pada laring yaitu HCL,
pepsin, asam empedu dan tripsin. Hubungan dari masing-masing agen dalam
dikobinasi kan dengan asam sering ditemukan dan menjadi agen yang paling
banyak melukai dengan gejala yang spesifik pada lesi di laring. Pada penelitian
yang dilakukan pada binatang dan secara invitro menunjukan secara bahwa pepsin
dapat aktif dan menyebabkan kerusakan pada sel sampai pH 6. Refluks dapat
berupa gas, cairan atau gabungan keduanya. Paling banyak refluks faringeal
adalah berupa gas dengan penurunan pH yang umum terjadi pada pasien LPR
(Andersson, 2009).
bagian atas dari trauma akibat refluks, yaitu: spingter esofagus bawah,
dan spingter esofagus atas. Pengaktivasi produksi pompa bikarbonat pada ruangan
ekstraseluler pada esofagus, tetapi tidak ada di dalam laring sehingga tidak dapat
laring juga diproteksi dari kerusakan refluks oleh karbonat anhidrase yang
16
menetralkan asam yang terdapat pada cairan refluks. Enzim karbonik anhidrase
diekskresikan tinggi oleh mukosa faring yang ditemukan pada biopsi spesimen
akibar GERD, teori yang pertama mengatakan adanya kontak langsung refluks
asam lambung dan pepsin ke esofagus proksimal dan segmen esofagus atas yang
berlanjut dengan kerusakan pada mukosa faring, laring, dan paru. Teori yang
kedua mengenai pajanan asam esofagus distal yang merangsang reflek vagal, yang
Gejala klinis dari LPR bervariasi, namun gejala yang paling sering di
jumpai adalah suara serak. Selain suara serak, gejala lainnya merupakan disfonia,
throat clearing, globus pharingeus, disfagia, post nasal drip, voice fatigue, batuk
kronik, sensasi penuh pada tenggorokan yang tidak hilang dengan menelan
dengan gambaran ulkus, nodul, polip, leukoplakia dan kerusakan ventrikular band
(Diamond, 2015).
17
2.7 Diagnosis
yang dicurigai mengalami LPR mengeluhkan suara serak (95%), throat clearing
(98%), batuk-batuk kronik (97%) dan globus pharingeus (95%) (Ford, 2015).
diagnosis LPR, yaitu reflux system index (RSI) dan reflux finding score (RFS).
Penilaian skor RSI dikembangkan oleh Belafsky et al pada tahun 2002, sistem
RSI ini didasarkan oleh 9 pertanyaan yang diberikan pada pasien, setiap
masalah sedangkan nilai 5 diartikan sebagai masalah berat. Jumlah total dari RSI
adalah 45 dan dikatakan sugestif LPR apabila skor RSI >13 (Tarafder et al. 2012).
jumlah total skor 26. Apabila skor yang ditemukan lebih dari 7 maka sugestif
Ada beberapa diagnosis banding dari LPR yaitu laringitis akut atau kronik,
stenosis laring serta tumor ganas pada laring. Pada laringitis akut, terjadi infeksi
pada laring yang tidak lebih dari 3 minggu dan biasanya dapat sembuh sendiri.
Penyebab dari laringitis akut ini sendiri adalah infeksi yang biasanya di dahului
1. Laringoskopi
hipertrofi dari komissura posterior, edema dan eritema pada plica vokalis dan
kerusakan pada ventrikular band. Pemeriksaan ini sangat penting untuk menilai
Reflux Finding Score. Adanya edema dan eritema pada plika vokalis, walaupun
peradangan pada laring. Temuan lain yang sering adalah granuloma, sekitar 65-
merupakan salah temuan fisik lain yang sering, sekitar 90% pasien yang
2. Endoskopi
pemeriksaan ini dapat menilai derajat beratnya dari perubahan mukosa pada
20
esofagus. Pada LPR hanya 30% temuan esofagitis pada pemeriksaan endoskopi
(Irfandy, 2014).
3. 24-hour pH Monitoring
berfungsi untuk menilai refluks yang terjadi pada kasus GERD maupun LPR.
yang baik dan gejala yang ditampilkan cukup berat. Pemeriksaan ini merupakan
gold standard untuk LPR karena dapat membedakan refluks asam yang terjadi
tersebut tersambung pada komputer yang akan merekam setiap perubahan dari
pH, setelah pemeriksaan selama 24 jam, hasil data tersebut akan di analisa
4. Pemeriksaan Videotoboskopi
xenon yang di aktivasi oleh pergerakan pita suara, gambaran ini dapat dilihat
dalam bentuk lambat. Pada hampir seluruh pasien yang mengeluhkan masalah
adanya tanda-tanda dari gejala LPR. Selain dalam kriteria diagnostik, pemeriksaan
ini juga dapat memantau perkembangan penyakit LPR yang sedang dala
pengobatan, fungsinya untuk menilai apakah terapi yang diberikan antireflux yang
(A) (B)
2.10 Tatalaksana
tidak lepas dari 3 kategori utama yaitu edukasi pasien dan perubahan pola hidup,
terapi medikomentosa serta terapi bedah. Hal yang perlu diperhatikan bahwa
22
penyakit ini merupakan penyakit dengan kondisi kronik yang berulang sehingga
hentikan merokok, kurangi berat badan, tidak makan 2-3 jam sebelum tidur, tidak
memakai pakaian yang ketat atau ikat pinggang yang terlalu ketat serta
2. Terapi medikamentosa
Terdapat 4 macam obat yang digunakan dalam terapi LPR yaitu PPI atau
sebagai pengobatan utama dalam terapi medikamentosa ini. PPI yang biasanya
diberikan adalah Omeprazole dengan dosis 20 mg/hari. Obat lain yang dapat
reseptor H2 dengan dosis 150 mg yang diberikan 2 kali sehari. Obat proteksi yang
sering diberikan adalah antasid sedangkan obat prokinetik yang sering dipakai
adalah metoclopramid dengan dosis 5-10 mg dan diminum 4 kali dalam sehari.
23
Obat proteksi dapat menetralisasi refluks asam serta mengurangi kerusakan dari
3. Terapi Bedah
Apabila modifikasi gaya hidup serta terapi medikamentosa tidak bisa lagi
mengobati LPR maka pilihan terakhir adalah terapi bedah. Ada beberapa operasi
bedah yang dikenal seperti Nissen fundoplication (komplit) atau Toupet atau Bore
(parsial). Tujuan dari operasi ini adalah untuk memperbaiki kompetensi dari
terapi bedah standar yang aman dan efektif dalam pengobatan LPR (Ford, 2015).
2.11 Komplikasi
stenosis, ulkus dan suara serak. LPR juga dapat mengakibatkan disfungsi dari tuba
eustachius yang akan mengakibatkan otitis media akut dan otitis media efusi. Pada