Anda di halaman 1dari 68

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Lanjut usia (lansia) adalah kelompok penduduk

yang berumur 60 tahun atau lebih menurut UU No.13

tahun 1998. Pada tahap ini biasanya individu tersebut

sudah mengalami kemunduran fungsi fisiologis organ

tubuhnya. Usia yang dikategorikan lansia menurut WHO

adalah usia pertengahan (middle) 45-59 tahun, lanjut

usia (elderly) 60-74 tahun, lanjut usia atau (old) 75-

90 tahun dan usia sangat tua (very old) di atas 90

tahun (mubarrak, 2010)

Proses menua ( aging )merupakan suatu proses

menghilangnya secara perlahan-lahan kemampuan jaringan

untuk memperbaiki diri atau mengganti dan

mempertahankan fungsi normal sehingga tidak dapat

bertahan terhadap infeksi serta memperbaiki kerusakan

yang diderita. Seiring dengan proses menua tersebut

tubuh akan mengalami berbagai masalah kesehatan atau

yang biasa disebut sebagai penyakit degeneratif.

Proses yang dialami yang disertai dengan adanya

penurunan kondisi fisik, psikologis maupun sosial akan

saling satu sama lain. Pada lanjut usia, proses

penuaan terjadi secara alamiah seiring dengan

penambahan usia. Perubahan psikologis yang terjadi

1
dapat dihubungkan pula dengan keakuratan mental dan

keadan fungsional efektif (Maryam, 2011)

Jumlah lansia di beberapa Negara mengalami

peningkatan. Salah satu Negara yang mengalami

pertambahan jumlah lansia adalah Indonesia. Hal ini

telah mengubah profil kependudukan baik nasional

maupun dunia. Hasil sensus penduduk pada tahun 2010

menunjukkan bahwa jumlah penduduk lansia di Indonesia

berjumlah 18,57 juta jiwa, peningkatan sekitar 7,93%

dari tahan 2000 yang sebanyak 14,44 juta jiwa.

Diperkirakan jumlah penduduk lansia di Indonesia akan

terus bertambah sekitar 450.000 jiwa/per tahun. Dengan

demikian, pada tahun 2025 jumlah penduduk lansia di

Indonesia sekitar 34,22 juta jiwa (Badan Pusat

Statistic, 2010).

Peningkatan jumlah penduduk lansia di Indonesia

terlihat pada sensus penduduk tiap lima tahun sekali

menunjukkan bahwa pada tahun 2012 jumlah lansia

sebesar 9,06 % dari seluruh penduduk Indonesia. Pada

tahun 2013 jumlah lansia bertambah lagi menjadi 13,2%

dari seluruh penduduk Indonesia dan prediksi jumlah

lansia pada tahun 2020 akan menjadi 16,34% dari jumlah

penduduk Indonesia (Depkes RI, 2013). Secara demografi

lansia di Indonesia termasuk lima besar terbanyak di

dunia dengan jumlah lansia sesuai dengan jumlah


sensus penduduk 2013 berjumlah 21,2 juta jiwa (13,2%

dari total penduduk) pada 2020 di perkirakan akan

mencapai 38,7 juta (Depkes RI, 2013)

BKKBN (2012) menyatakan bahwa bertambahnya

jumlah penduduk dan meningkatnya usia harapan hidup

lansia akan menimbulkan berbagai masalah antara lain

masalah kesehatan, psikologi dan sosial ekonomi.

Sebagian besar permasalahan pada lansia adalah masalah

kesehatan akibat dari proses penuaan, ditambah

permasalahan lain seperti masalah keuangan, kesepian,

merasa tidak berguna dan tidak produktif.

Salah satu masalah kesehatan yang sering

terjadi pada usia lanjut adalah hipertensi atau

tekanan darah tinggi. Hipertensi merupakan terjadinya

peningkatan secara abnormal dan terus menerus darah

yang di sebabkan satu atau beberapa faktor yang tidak

berjalan semestinya dalam mempertahankan tekanan darah

secara normal (Levine dan Fodor, 2003). Hipertensi

pada usia lanjut sebagian besar Hipertensi Sistolik

Terisolasi (HTS) (Kuswardani, 2006). Hipertensi

sistolik terisolasi adalah hipertensi yang terjadi

ketika tekanan sistolik lebih dari 140 mmHg namun

tekanan diastolik dalam batasan normal (Wahid, 2008).

Nusa Tenggara Barat (NTB) sendiri jumlah penduduk

lansia pada tahun 2013 mencapai 215.973 jiwa dan pada


tahun 2014 mengalami peningkatan menjadi 280.938 jiwa

dari jumlah total penduduk NTB yang berjumlah 892,080

jiwa. Peningkatan UHH (Usia Harapan Hidup) akan

menambah jumlah lanjut usia yang akan berdampak pada

pergeseran pola penyakit di masyarakat dari penyakit

infeksi ke penyakit degeneratif. Salah satu masalah

kesehatan yang sering terjadi pada masa usia lanjut

adalah hipertensi atau tekanan darah tinggi.

Hipertensi merupakan penyakit yang banyak dijumpai

dimuka bumi ini, penyakit ini dikenal sebagai the

silent killer atau pembunuh tersembunyi karena banyak

kasus tidak timbul gejala hingga terjadi komplikasi

serius (Darmawan, 2012). Hipertensi (tekanan darah

tinggi) adalah kondisi medis yang terjadi akibat

peningkatan tekanan darah secara kronis (dalam jangka

waktu yang lama). Penderita yang mempunyai tekanan

darah 140/90 mmHg, diperkirakan mempunyai keadaan

darah tinggi. Tekanan darah yang selalu tinggi

merupakan salah satu resiko utama penyebab stroke,

serangan jantung, gagal jantung kronis dan aneurisme

arterial (Adib, 2011).

Berdasarkan Profil Kesehatan Kota Mataram,

kejadian Hipertensi sebanyak 5.958 orang. Berdasarkan

survey pendahuluan yang dilakukan Di Dusun Barat Kubur

Desa Sesela Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok

Barat pada bulan Desember 2017 di dapatkan data


lansia sebanyak 75 orang dan yang menderita Hipertensi

sebanyak 15 orang.

Pengobatan hipertensi secara garis besar dibagi

menjadi 2 jenis pengobatan yaitu pengobatan non obat

(non farmakologi) dan pengobatan menggunakan obat-

obatan (farmakologi), misalnya dengan memberikan obat

diuretik hemat kalium, betta blocker dan lain

sebagainya. Pengobatan non farmakologi misalnya

dengan mengubah dan mengatur gaya hidup, menurunkan

kelebihan berat badan, Mengurangi asupan garam dan

diantaranya adalah relaksasi otot progresif. Relaksasi

otot progresif adalah latihan untuk mendapatkan

sensasi rileks dengan meregangkan suatu kelompok otot

dan menghentikan tegangan (Mashudi, 2010). Menurut

penelitian yang dilakukan oleh valentine, dkk (2014),

didapatkan hasil bahwa dengan relaksasi otot progresif

terbukti tekanan darah pada penderita hipertensi dapat

menurun. Peneleitian lain yang dilakukan oleh Patel,

dkk (2012) juga menunjukkan adanya penurunan tekanan

darah pada penderita hipertensi esensial dengan

dilakukannya relaksasi otot progresif. Sedangkan

menururt Kumutha, dkk (2014) relaksasi otot progresif

dapat menurunkan stress dan tekanan darah pada lansia

yang menderita hipertensi.


Bardasarkan latar belakang di atas, maka peneliti

tertarik mengambil judul “Pengaruh Latihan Relaksasi

Otot Progresif Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada

Penderita Hipertensi Di Dusun Barat Kubur Desa Sesela

Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat”.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas maka dapat

dirumuskan permasalahan penelitian sebagai berikut

“Pengaruh Latihan Relaksasi Otot Progresif Terhadap

Penurunan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi Di

Dusun Barat Kubur Desa Sesela Kecamatan Gunungsari

Kabupaten Lombok Barat”?

C. Tujuan penelitian

1. Tujuan umum

Mengetahui Pengaruh Relaksasi Otot Progresif

Terhadap Penurunan Tekanan Darah Pada Penderita

Hipertensi Di Di Dusun Barat Kubur Desa Sesela

Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat.

2. Tujuan khusus

a. Mengidentifikasi tekanan darah pada penderita

hipertensi sebelum diberikan relaksasi otot

progresif.
b. Mengidentifikasi tekanan darah pada penderita

hipertensi sebelum diberikan relaksasi otot

progresif.

c. Menganalisa pengaruh relaksasi otot progresif

terhadap penurunan tekanan darah pada penderita

hipertensi di Di Dusun Barat Kubur Desa Sesela

Kecamatan Gunungsari Kabupaten Lombok Barat.

D. Manfaat penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan mempunyai manfaat:

1. Manfaat Teoritis

Hasil penelitian ini dapat menambah khasanah

pustaka mengenai pengaruh relaksasi otot progresif

terhadap penurunan tekanan darah pada penderita

hipertensi Di Dusun Barat Kubur Desa Sesela Kecamatan

Gunungsari Kabupaten Lombok Barat.

2. Manfaat Praktis

a. Bagi Peneliti

Dapat menambah ilmu pengetahuan dan memperdalam

pengalaman peneliti tentang riset keperawatan serta

pengembangan wawasan tentang pengobatan non

farmakologis dengan relaksasi otot progresif.

b. Bagi Penderita Hipertensi

Hasil penelitian dapat menjadi bahan pertimbangan

untuk memilih pengobatan alternatif yang tepat dan


praktis dalam menurunkan tekanan darah yaitu dengan

relaksasi otot progresif.

c. Bagi Di Dusun Barat Kubur Desa Sesela Kecamatan

Gunungsari Kabupaten Lombok Barat

Hasil penelitian diharapkan dapat memberikan

salah satu alternatif pengobatan untuk menurunkan

tekanan darah pada penderita Hipertensi.


BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A.Konsep Lansia

1. Pengertian Lansia

Lansia (lanjut usia) adalah eseorang yang

aakarena usianya mengalami perubahan biologis,

fisik,kejiwaan dan sosial(UU No 23 Tahun 1992

tentang kesehatan). Pengertian dan pengelolaan

lansia menurut undang-undang Republik Indonesia

Nomer 13 Tahun 1998 tenteng lansia sebagai

berikut :

a. Lansia adalah seseorang yan telah mencapai usia

60 Tahun keatas.

b. Lansia usia potensial adalah lansia yang masih

melakukan pekerjaan dan kegiatan yang dapat

menghasilkan barang atau jasa.

c. Lansia tak potensial adalah lansia yang tak

berdaya mencari nafkah sehingga hidupnya

tergantung paa bantuan orang lain (Maryam,2010).

2. Batasan Lansia

Menurut WHO Badan Kesehatan Dunia (World

Health Organzation) yang di katakan lanjut usia

tersebut di bagi kedalam tiga kategori yaitu : Usia

Lanjut 60-74 Tahun, usia lanjut tua 75-89 tahun dan


usia sangat tua diatas 90 Tahun (Dalam Aspiani,

2014)

Sedangkan menurut Depkes membaginya lanjut

usia menjadinya sebagai berikut : Kelompok

menjelang usia lanjut 45-54 Tahun, keadaan ini

dikatakan sebagai virilitas, kelompok usia lanjut

55-64 sebagai masa presenium, kelompok usia lanjut

diatas 65 Tahun yang di katakana sebagai masa

senium (Dalam Aspiani, 2014)

Menurut UU No 4 Tahun 1965 pasal 1

seseorang dapat dinyatakan sebagai seorang jompo

atau lanjut usia setelah yang bersangkutan mencapai

55 Tahun, tidak mempuyai atau tidak berdaya mencari

nafkah sendiri atau keperluan hidupnya sehari-hari

dan menerima nafkah dari orang lain. Menurut UU NO.

13 Tahun 1998 tentang kesejahteraan lansia bahwa

lansia adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun

keatas (Azizah, 2011).

3. Teori proses menua

Penuaan adalah konsekuensi yang tidak dapat

dihindari. Ilmu tentang penuaan yaitu gerontology

(secara harfiah, studi tentang penuaan) digunakan

untuk mencari dan mengklarifikasikan penyebab dan

konsekuensi penuaan. Sedangkan para ahli geriatric

masih mencari mencari penyakit yang berhubungan

dengan penuaan dan cara pengobatannya. Pengetahuan


tentang hal tersebut di dapat dengan mempelajari

pengertian tentang penuaan, yang terwujud dalam

kosep ”Proses penuaan”. Walaupun proses penuaan ini

benar adanya dan merupakan sesuatu yang normal,

akan tetapi pada kenyataannya, proses ini lebih

menjadi beban bagi orang lain yang terjadi. Hal ini

secara keseluruhan tidak bisa dipungkiri lagi oleh

beberapa orang yang merasa lebih menderita karena

pengaruh.

Menua bukanlah suatu penyakit tetapi

merupakan proses berkurangnya daya tahan tubuh

dalam menghadapi rangsangan dari dalam maupun luar

tubuh. Walaupun demikian, memang harus diakui

bahwa ada berbagai penyakit yang sering

menghinggapi kaum lanjut usia. Proses menua sudah

berlangsung sejak seseorang mencapai usia dewasa,

misalnya dengan terjadinya kehilangan jaringan pada

otot, susuna syaraf, dan jaringan lain sehingga

tubuh mati sedikit demi sedikit (Azizah, 2011).

Perubahan yang terjadi pada lansia

Menurut Fatimah (2010), perubahan pada

lanjut usia sebagai berikut:

a. Perubahan kondisi fisik

Penuaan intrinsik mengacu pada perubahan yang

diakibatkan oleh proses menua normal yang

telah deprogram secara genetik dan pada


dasarnya universal dan spesies yang

bersangkutan. Sedangkan penuaan eksterinsik

terjadi akibat pengaruh dari luar seperti

penyakit, popusi udara dan sinar matahari

merupakan penuaan yang abnormal yang dapat

dihilangkan dengan intervensi perwatan

kesehatan yang efektif.

b. Perubahan Sel

Perubahan sel pada ekstra sel pada lanjut usia

mengakibatkan penurunan tampilan dan fungsi

fisik. Lanjut usia menjadi lebih pendek

akibat dari pengurangan lebar bahu dan

pelebaran lingkar dada dan perut, serta

diameter pelvis. Kulit menjadi tipis dan

keriput, masa tubuh berkurang dan masa lemak

bertambah. Kemampuan tubuh memelihara

hemosaltik menjadi berkurang seiring dengan

penuaan seluler. Sistem organ tidak efesien

lagi akibat berkurangnya sel dan jaringan.

c. Perubahan Kardiovaskuler

perubahan struktur jantung dan sistem vaskuler

mengakibatkan penurunan kemampuan untuk

berfungsi secara efesien. Katup jantung

menjadi lebih tebal dan kaku, jantung dan

arteri kehilangan elastisitasnya, timbulnya

kalsiun dan lemak dalam dinding arteri, vena


menjadi sangat berkelok-kelok. Pengaruh dari

degenerasi yang terjadi pada orang yang

bertambah usianya mengakibatkan meningkatnya

tekanan darah sesuai peningkatan usia.

d. Perubahan Pernapasan

Perubahan pernapasan yang berhungan dengan

usia yang mempengaruhi dan fungsi paru

meliputi peningkatan diameter anterioposterior

dada, kolaps ostiopotik vertebra yang

mengakibatkan kifosis, kalsifikasi kartilago

kosta dan penurunan mobilitas kosta, penurunan

efisiensi otot pernapasan, peningkatan

regiditas paru atau hilangnya regoil paru

mengakibatkan peningkaatan residu paru dan

penurunan kapasitas paru, penurunan luas

permukaan eveoli. Penurunan efesiensi batuk,

berkurangnya aktivitas silia dan peningkatan

ruang rugi pernapasan membuat lanjut lansia

lebih rentan terhadap infeksi pernapasan

e. Perubahan integument

Bertambah usia mempengaruhi fungsi dan

penampilan kulit, dimana epidermis dan dermis

menjadi lebih tipis, jumlah serat elastic

berkurang dan kolagen menjadi lebih kaku.

Lemak subkutan terutama diekstermitas

berkurang, hilangnya kapiler dikulit


mengakibatkan penurunan suplai darah, kulit

menjadi hilang kekenyalannya, keriput dan

mengelimbir, pigmentasi rambut menurun dan

rambut menjadi berubah, distribusi pigmen

kuliti tidak rata dan tidak beraturan terutam

pada bagian yang selalu terpancar sinar

matahari. Kulit menjadi lebih kering dan

rentang terhadap iritasi karena menurunnya

aktivitas kelenjar sabaseal dan kelenjer

keringat sehingga mengakibatkan kulit lebih

rentang terhadap iritasi dan gatal-gatal.

f. Perubahan Sistem Reproduksi

Saat menopaus ekstrogen dan progesteron oleh

ovarium menurun. Pada wanita terjadi

penipisan pada dinding vagina dengan

pengecilan ukuran dan hilangnya elastisitas,

penurunan sekresi mengakibatkan kering, gatal

dan menurunnya keasaman vagina, uterus dan

ovarium mengalami atropil, tonus otot

pubokoksigeus, menurun sehingga vagina

melemas, akibat berubahan tersebut vagina

dapat mengalami perdarahan dan nyeri saat

senggama, sedangkan pada lanjut usia laki-

laki, ukuran penis mengecil dan kadar

androgen menurun.
g. Perubahan Genitourinaria

Sistem genitourinaria tetap berfungsi secara

adekuat pada individu lanjut usia, meskipun

terjadi penurunan masa ginjal akibat

hilangnya beberapa nefron. Perubahan fungsi

ginjal meliputi penurunan laju infiltrasi,

penurunan fungsi tubuler dengan penurunan

efisiensi dan reabsorsi dan pemekatan urine,

pelambatan restorasi keseimbangan asam basa

terhadap stress.

h. Perubahan Gastrointestinal

Saluran gastrointestinal masih tetap adekuat

pada lanjut usia, tetapi pada beberapa lanjut

usia dapat terjadi ketidak nyamanan akibat

melambatnya metonitas. Sekita populasi telah

habis giginya Saat berusia 60 tahun.

Meskipun merupakan konsekuensi proses menua

yang tidak dihindari, sering terjadi penyakit

periodontal yang mengakibatkan gigi berkurang

dan ompong, aliran ludah berkurang lanjut

usia mengalami mulut kering.

i. Perubahan Muskuloskeletal

Pada wanita menopaus mengalami kehilanngan

densitas tulang ynag massif dan mengakibatkan

osteoporosis dan berhungan dengan kurang


beraktivitas, masukan kalsium yang tidak

adekut dan kehilangan estrogen, pengurangan

dan penyusutan tinggi tubuh akibat dari

perubahan osteoporotic pada tulang punggung,

kifosis dan fleksi pinggul dan lutut,

perubahan ini menyebabkan penurunan

mobilitas, keseimbangan dan fungsi organ

internal, ukuran otot berkurang dan otot

hilang kekuatan, fleksibilitas dan ketahanan

sebagai akibat penurunan aktivitas dan

penuaan.

j. Perubahan Sistem Persarafan

Pada lanjut usia terjadi perubahan struktur

dan fungsi sistem saraf. Masa otak berkurang

secara progresif akibat dari kurang sel saraf

yang rusak dan tidak dapat diganti, penurunan

sistem dan metabolisme neorotrans miter

utama, implus saraf dihantar lebih lambat,

sehingga lanjut usia memerlukan waktu yang

lebih lama untuk merespon dan bereaksi,

kelenjar sistem saraf otonom berkurang

efisiensinya dan mudah terjadi hipotensi

postural yang mengakibatkan seseorang pusing

saat berdiri dengan cepat, hemostatisis juga

lebih sulit dijaga, perubahan sistem saraf

sering dengan penurunan aliran darah otak,


walaupun dalam kondisi normal glukosa dan

oksigen masih mencukupi.

k. Perubahan Pisikososial

Lanjut usia yang sehat secara psikososial

dapat dari kemampuannya beradaptasi terhadap

kehilangan fisik, sosional dan emosional

serta mencapai kebahagiaan, kedamaian dan

kepuasan hidup. Ketakutan menjadi tua dan

tidak mampu memproduksi lagi memunculkan

gambaran yang nengatif tentang proses menua.

Banyak culture dan budaya yang ikut

menumbuhkan anggapan negatif ini, dimana

lanjut usia dipandang sebagai individu yang

tidak mempunyai sumbangan apapun terhadap

masyarakat dan memboroskan semberdaya

ekonomi.

l. Perubahan Kognitif

Banyak mitos yang berkembang di masyarakat

pada penurunan intelegensia lanjut usia dan

anggapan bahwa lanjut usia untuk diberikan

pelajaran karena proses piker yang mulai

melambat, mudah lupa, bingung dan pikun.

Padahal peneliti memperhatikan bahwa

lingkungan yang memberikan stimulus, tingkat

pendidikan yang tinggi, status pekerjaan, dan

kesehatan kardiovaskuler yang baik dapat


memberikan efek positif terhadap intelegensia

lanjut usia. Kemampuan belajar dan menerima

keterampilan dan informasi baru akan menurun

pada individu yang telah melewati 70 tahun.

4. Penyakit yang sering terjadi pada lanjut usia

menurut Stilitz (1945) dalam (Reny, 2014)

ada empat penyakit yang sangat erat hubungannya

dengan proses menua yaitu :

a. Gangguan sirkulasi darah, seperti Hipertensi,

kelainan pembuluh darah di otak, koroner dan

ginjal.

b. Gangguan metabolisme hormonal, seperti

Diabetes militus, klimakterium dan

ketidakseimbangan tiroid.

c. Gangguan persendian, seperti Osteoarthritis,

gout arthritis, ataupun penyakit kolagen

lainnya.

d. Berbagai macam neoplasma.

B. Konsep Hipertensi

1. Pengertian

Hipertensi adalah tekanan darah tinggi

(Muda, 2003). Menurut rahyanudin (2007)

hipertensi adalah suatu peningkatan tekanan

darah didalam arteri. Sedangkan menurut price

dan Wilson (2006) Hipertensi didefenisikan

sebagai peningkatan tekanan darah sistolik


sedikitnya 140 mmHg atau tekanan diastolic

sedikitnya 90 mmHg (Price dan Wilson, 2006)

Hipertensi didefenisikan oleh joint

National Committee on detection, Evaluation

and Treatment of High Blood Preassur (JNC)

sebagai tekanan yang lebih dari 140/90 mmHg.

Secara umum hipertensi merupakan suatu keadaan

tanpa kejala, dimana tekanan darah yang

abnormal tinggi didalam arteri menyebabkan

meningkatnya resiko terhadap stroke,

aneurisma, gagal jantung, serangan jantung dan

kerusakan ginjal.

2. Epidemologi

Angka kejadian hipertensi masih sangat

tinggi. Sekitar 20% populasi dewasa mengalami

hipertensi, lebih dari 90% diantara mereka

menderita hipertensi esensial (primer) dimana

tidak dapat ditentukan penyebabnya medisnya.

Sisanya mengalami kenaikan tekanan darah

dengan penyebab tertentu (hipertensi sekunder)

seperti penyempitan arteri renalis (Smeltzer

dan Bare, 2002).

Di amerika hipertensi dikenal sebagai

salah satu penyebab utama kematian. Sekitar

seperempat jumlah penduduk dewasa menderita

hipertensi dan insedensinya lebih tinggi


dikalangan Afro – Amerika setelah usia remaja

(Price dan Wilson, 2006)

Angka-angka prevalensi hipertensi di

Indonesia menunjukkan bahwa didaerah pedesaan

masih banyak penderita hipertensi yang belum

terjangkau oleh layanan kesehatan. Baik dari

segi temuan kasus (case-finding) maupun

penataksanaan pengobatan, jangkauan yang masih

sangat terbatas. Hal ini masih di tambah

dengan tidak adanya keluhan dari sebagian

penderita hipertensi. Prevalensi terbanyak

berkisar antara 6% sampai 15%, tetapi ada pula

wilayah dengan angka ekstren yang rendah,

seperti di ungaran. Jawa tengah (1,8%),

Lembah Baliem Pegunungan Jawa Wilayah, Irian

Jaya (0,6%), dan Talang Sumatera Barat

(17,8%).

3. Klasifikasi

Klasifikasi hipertensi menurut Shep (2005)

terbagi menjadi dua berdasarkan penyebabnya,

yaitu :

1) Hipertensi Primer

Hipertensi primerdi sebut juga

hipertensi esensial atau idiopatik adalah

suatu peninggatan persisten tekanan arteri

yang dihasilkan oleh ketidak teraturan


mekanisme kontrol homeostaltik normal.

Hipertensi ini tidak diketahui penyebabnya dan

mencakup 90 % dari kasus hipertensi.

2) Hipertensi Skunder

Hipertensi skunder adalah hipertensi

persisten akibat kelainan dasar kedua selain

hipertensi esensial. Hipertensi ini

menyebabkan diketahui dan menyangkut 10%

dari kasus hipertensi.

Klasifikasi hipertensi berdasarkan

hasil ukuran tekanan darah menurut Joint

National Committee on Detection, Evaluation

and Treatment of High Blood Preassure (JNC)

dalam smeltzer dan Bare (2002) yaitu <130 mmHg

untuk tekanan darah systole dan <85 mmHg untuk

tekana diastole. Klasifikasi hipertensi

menurut JNC secara detail dapat dilihat di

tabel dibawah ini. Klasifikasi tekanan darah

orang dewasa berusia 18 tahun keatas yang

tidak sedang memakai obat anti hipertensi dan

tidak sedang sakit akut, kategori tekanan

darah sistolik tekanan darah diastolik.


Tabel 2.1 kategori tekanan darah sistolik
dan diastolik
Kategori Tekanan Darah Tekanan Darah
Sistolik Diastolik
Normal <130 mmHg <85 mmHg
Normal tinggi 130-139 mmHg 85-89 mmHg
Stadium 1
(Hipertensi 140-159 mmHg 90-99 mmHg
Ringann)
Stadium 2
(Hpertensi 160-179 mmHg 100-109 mmHg
Sedang)
Stadium 3
(Hipertensi 180-209 mmHg 110-119 mmHg
Berat)
Stadium 4
(Hipertensi 210 mmHg/ 120 mmHg/
Maligna/ Sangat Lebih Lebih
Berat)

Menurut National Heart, Lung, and Blood

Institute (1993) dalam Potter dan Perry (2005)

hipertensi sistolik isolasi merupakan betuk

hipertensi paling menonjol pada lansia.

Hipertensi sistolik adalah dimana tekanan

sistolik mencapai 140 mmHg atau lebih sedangkan

tekanan diastolik kurang dari 90 mmHg. Sehingga

hipertensi juga dapat dikategorikan dalam MAP

(Mean Arterial Pressure)

MAP adalah tekanan darah antara sistolik

dan diastolik,karena diastolik berlangsung lebih

lama dari pada sistolik maka MAP setara dengan

40% tekanan sistolik ditambah 60% tekanan


diastolik (Woods, Froelicher, Motzer, dan

Bridges, 2009)

Adapun rumus MAP adalah tekanan darah

sistolik ditambah dua kali tekanan darah

diastolic dibagi 3. Rentang normal MAP adalah

70 mmHg – 90 mmHg, Kategori hipertensi

berdasarkan nilai MAP dapat dilihat pada tabel

dibawah ini.

Tabel 2.2 kategori hipertensi berdasarkan nilai


MAP dapat dilihat pada table dibawah ini

Kategori Nilai MAP


Normal 70-99 mmHg
Normal Tinggi 100-105 mmHg
Stadium 1 (Hipertensi 106-119 mmHg
Ringan)
stadium 2 (Hipertensi 120-132 mmHg
Sedang)
Stadium 3 (Hipertensi 133-149 mmHg
Berat)
Stadium 4 (Hipertensi 150Hg/ Lebih
Maligna/ Sangat berat)

4. Etiologi

a. Hipertensi Primer

Hipertensi primer adalah hipertensi

esensial atau hipertensi yang 90% tidak

diketetahui penyebabnya. Beberapa factor yang

diduga berkaitan dengan perkembangan hipertensi

esensial diantaranya :

1) Genetik
Individu yang mempunyai riwayat keluarga dengan

hipertensi, beresiko lebih tinggi mendapatkan

penyakit ini ketimbang mereka yang tidak.

2) Jenis kelamin dan usia

Laki-laki berusi 30-50 tahun dan wanita pasca

menopause berisiko tinggi untuk mengalami

resiko hipertensi.

3) Diet

Konsumsi diet tinggi garam atau kandungan

lemak, secara langsung berkaitan dengan

berkembang penyakit hipertensi

4) Obesitas

Berat badan/obesitas 25% lebih berat di atas

berat badan ideal juga erring dikaitkan dengan

perkembangan hipertensi.

5) Gaya hidup

Gaya hidup dan konsumsi alcohol dapat

meningkatkan tekanan darah (bila gaya hidup

yang tidak sehat tersebut tetap diterapkan)

(Ardiansyah, 2012).

b. Hipertensi sekunder

hipertensi sekunder adalah jenis hipertensi

yang penyebabnya diketahui. Beberapa gejala

ataupenyakit yang menyebabkan hipertensi jenis

ini antara lain :


1) Kegemukan (obesitas) dan gaya hidup yang tidak

aktif (malas berolah raga)

2) Setres, yang cendrung menyebabkan kenaikan

tekanan darah untuk sementara waktu. Jika

stress telah terlalu, maka tekanan darah

biasanya akan kembali normal.

3) Kehamilan

4) Luka bakar

5) Peningkatan volume intravascular

6) Merokok, nikotin dalam rokok dapat merangsang

pelepasan katekolamin. Peningkatan katekolamin

ini mengakibatkan iritabilitas miokardial,

peningkatan denyut jantung, serta menyebabkan

vasokontriksi yang kemudian meningkatkan

kenaikan tekanan darah (Ardiansyah, 2012)

5. Patofisiologi

Mekanisme yang mengontrol konstriksi dan

relaksasi pembuluh darah terletak dipusat

vasomotor, pada medula di otak. Dari pusat

vasomotor ini bermula dari saraf simpatis, yang

berkelanjutankebawah korda spinalisdan keluar

dari kolumna medulla spinalis ke ganglia simpatis

di toraks dan abdomen. Rangsangan pusat

vasomotor dihantarkan dalam bentuk implus yang

bergerak kebawah melalui sistem saraf simpatis ke

ganglia simpatis, pada titik ini neuron pre-


ganglion melepaskan asettilkolin yang aakan

merangsang serabut saraf pasca ganglion ke

pembuluh darah, dimana dengan dilepaskannya

neroepinefrin mengakibatkan konstriksi pembuluh

darah.

Berbagai faktor seperti kecemasan dan

ketakutan dapat mempengaruhi respons pembuluh

darah terhadap rangsang vasokonstriktor.

Individu dengan hipertensi sangat sensitive

terhadap non epinefrin, meskipun tidak diketahui

dengn jelas mengapa Hal tersebut bisa terjadi.

Saat bersamaan dimana sistem syaraf simpatis

merangsang pembuluh darah sebagai respon rangsang

emosi, kelenjar adrenalin juga teransang

mengakibatkan tambahan aktifitas vasokontriksi,

medulla adrenal mensekresi epinefrin yang

menybabkan vasokontriksi.

Korteks adrenal mensekresi kortisol dan

steroid lainnya yang dapat memperkuat

vasokonstriktor pembuluh darah. Vasokonstriksi

yang mengakibatkan penurunan aliran darah ke

ginjal menyebabkan pelepasan renin. Rennin

meransang pembentukan angiotensin I yang kemudian

diubah menjadi angiotensin II, suatu

vasokonstiktor kuat yang pada gilirannya

meransang sekresi aldosteron oleh korteks


adrenal. Hormon ini menyebabkan retensi natrium

dan air oleh tubulus ginjal, menyebabkan

peningkatan volume intravaskuler.

Semua faktor tersebut cendrung mencetuskan

keadaan hipertensi (Price dan Wilson 2006),

hipertensi pada lansia terjadi karena adanya

perubahan structural dan fungsional pada sistem

pembuluh perifer yang bertanggung jawab paa

perubahan tekanan darah. Perubahan tersebut

tersebut meliputi aterosklerosis, hilangnya

hilangnya elastisitas jaringan ikat dan penurunan

dalam relaksasi otot polos pembuluh darah yang

pada gilirannya menurunkan kemampuan distensi dan

daya regang pembuluh darah. Konsekuensinya aorta

dan arteri besar kurang kemampuannya dalam

mengakomodasi volume darah yang dipompa oleh

jantung, mengakibatkan penurunan curah jantung

dan peningkatan tahanan perifer (Smelzer dan

Bare, 2002)

6. Manifestasi klinik

Pemeriksaan fisik mungkin tidak ditemukan

kelainan selain tekanan darah yang tinggi, akan

tetapi dapat pula ditemukan ditemukan pada retina

seperti pendarahan, eksudut, penyempitan pada

pembuluh darah dan pada kasus berat terdapat

edema pupil (Smelzer dan Bare, 2002). Tanda


gejala lain meskipun secara tidak sengaja terjadi

secara bersamaan dan dipercaya berhungan dengan

tekanan darah tinggi yaitu sakit kepala,

perdarahn di hidung, pusing yang terkadang

terjadi pada seseorang dengan tekanan darah

normal. Jika hipertensi berat atau menahun dan

tidak terobati, dapat timbul gejal-gejala seperti

sakit kepala, kelelahan, mual, muntah, sesak

nafas, gelisah, pandangan kabur (karena adanya

kerusakan pada otak, mata, jantung dan ginjal)

(Ruhyanudin, 2007)

7. Penatalaksanaan hipertensi

Penatalaksanaan pada hipertensi terbagi

menjadi dua yaitu penatalaksanaan farmakologi dan

non farmakologi:

a. Penatalaksanaan farmakogi

1) Hidroklorotiazid (HCT) 12,5-25 mg per hari

dengan dosis tunggal pada pagi hari (pada

hipetensi dalam kehamilan, hanya digunakan

bila disertai hemokonsentrasi/udema paru).

2) Resepin 0,1-0,25 mg sehari sebagai dosis

tunggal.

3) Propanol mulai dari 10 mg dua kali sehari yang

dapat dinaikkan 20 mg dua kali sehari

(kontraindikasi untuk penderita asma),


4) Kaptropil 12,5-25 mg sebanyak dua sampai tiga

kali sehari (kontraindikasi pada kehamilan

selama janin masih hidup dan penderita asma)

5) Nifedipin mulai dari 5 mg dua kali sehari,

bisa dinaikkan 10 mg dua kali sehari.

b. Nonfarmakologi

Langkah awal biasanya adalah dengan mengubah

pola hidup penderita, yakni dengan cara:

1) Menurunkan berat badan sampai dengan batas

ideal.

2) Mengubabh pola makan pada penderita diabetes,

kegemukan, atau kolesterol darah tinggi,.

3) Mengurangi pemakaian garam sampai kurang dari

2,3 gram natrium atau 6 gram natrium klorida

setiap harinnya (disertai dengan asupan

kalsium, magnesium, dan kalium yang cukup).

4) Mengurangi konsumsi alkohol

5) Berhenti merokok

8. Komplikasi

Hipertensi merupakan faktor resiko utama

terjadinya penyakit jantung kongestif, stroke,

gangguan penglihatan, dan penyakit ginjal.

Komplikasi yang terjadi pada hipertensi ringan

dan sedang yaitu pada mata, ginjal, jantung dan

otak. Komplikasi pada mata berupa perdarahan


retina, gangguan penglihatan sampai dengan

kebutaan.

Gagal jantung merupakan kelainan yang

sering ditemukan pada hipertensi berat selain

kelainan koroner dan miokard. Komplikasi lain

pada sering teerjadi pendarahan yang disebabkan

oleh pecahnya mikroaneurisma yang dapat mengkibat

kematian. Kelainan lain yang terjadi adalah

proses tromboemboli dan serangan iskemia otak

sementara (Transient Ischemic Attack / TIA).

Gagal ginjal sering di jumpai sebagai komplikasi

hipertensi yang lama dan pada proses akut seperti

pada hipertensi maligna.

C. Terapi relaksasi otot progresif


Menurut Herodes (2010), teknik relaksasi otot
progresif adalah teknik relaksasi otot dalam yang
tidak memerlukan imajinasi, ketekunan, atau sugesti.
Berdasarkan keyakinan bahwa tubuh manusia berespons
pada kecemasan dan kejadian yang merangsang pikiran
dengan ketegangan otot (Davis, 1995). Teknik relaksasi
otot progresif memusatkan perhatian pada suatu
aktivitas otot dengan mengidentifikasi otot yang
tegang kemudian menurunkan ketegangan dengan melakukan
teknik relaksasi untuk mendapatkan perasaan relaks
(Herodes, 2010). Teknik relaksasi otot progresif
merupakan suatu terapi relaksasi yang diberikan kepada
klien dengan menegangkan otot-oto tertentu dan
kemudian relaksasi. Relaksasi progresif adalah salah
satu cara dari teknik relaksasi mengombinasikan
latihan napas dalam dan serangkaian seri kontraksi dan
relaksasi otot tertentu. (Kustanti dan Widodo, 2008).
Menurut Stuart & Laraia (2005) Gangguan fisik
dapat mengancam integritas diri seseorang, ancaman
tersebut berupa ancaman eksternal dan internal.
Sedangkan Taylor (2007) mengatakan bahwa ancaman
gangguan fisik yang terjadi dalam kehidupan individu
dapat menjadi stressor yang bisa menyebabkan
terjadinya stress dan kecemasan. Stres dan kecemasan
serinhkali terjadi pada kehidupan seseorang dan
disebabkan oleh semua peristiwa yang dialami sehari-
hari.
Menurut Stuart dan Laraia (2005) ansietas adalah
kekhawatiran yang tidak jelas dan menyebar, berkaitan
dengan perasaan tidak pasti dan tidak berdaya. Keadaan
emosi ini tidak memiliki obyek yang spesifik, dialami
secara subyektif dan dikomunikasikan secara
interpersonal. Respon individu bersifat unik dan
membutuhkan pendekatan yang unik pula. Salah satu
terapi spesialis keperawatan jiwa sebagai manajemen
ansietas adalah dengan progressive muscle relaxation
yang merupakan bagian dari terapi relaksasi.
Penggunaan relaksasi dalam bidang klinis telah
dimulai semenjak awal abad 20 ketika Edmund Jacobson
melakukan penelitian dan dilaporkan dalam sebuah
buku Progressive Relaxation yang diterbitkan oleh
Chicago University Press pada tahun 1938. Jacobson
menjelaskan mengenai hal-hal yang dilakukan seseorang
pada saat tegang dan rileks. Pada saat tubuh dan
pikiran rileks, secara otomatis ketegangan yang
seringkali membuat otot-otot mengencang akan diabaikan
(Zalaquet & mcCraw, 2000 dalam ramdhani & Putra,
2009).
Progressive muscle relaxation adalah terapi
relaksasi dengan gerakan mengencangkan dan melemaskan
otot–otot pada satu bagian tubuh pada satu waktu untuk
memberikan perasaan relaksasi secara fisik. Gerakan
mengencangkan dan melemaskan secara progresif kelompok
otot ini dilakukan secara berturut-turut (Synder &
Lindquist, 2002). Pada latihan relaksasi ini perhatian
individu diarahkan untuk membedakan perasaan yang
dialami saat kelompok otot dilemaskan dan dibandingkan
ketika otot-otot dalam kondisi tegang. Dengan
mengetahui lokasi dan merasakan otot yang tegang, maka
kita dapat merasakan hilangnya ketegangan sebagai
salah satu respon kecemasan dengan lebih jelas
(Chalesworth & Nathan, 1996).
Terapi ini didasarkan pada keyakinan bahwa tubuh
berespon pada kecemasan yang merangsang pikiran dan
kejadian dengan ketegangan otot, oleh karena itu
dengan adanya relaksasi otot progresif yang bekerja
melawan ketegangan fisiologis yang terjadi sehingga
kecemasan bisa teratasi ( Davis dkk, 1995). Terapi
relaksasi merupakan sarana psikoterapi efektif sejenis
terapi perilaku yang dikembangkan oleh Jacobson dan
Wolpe untuk mengurangi kecemasan dan ketegangan otot-
otot, syaraf yang bersumber pada objek-objek tertentu
(Goldfried dan Davidson, 1976 dalam Subandi, 2002).

1. Teori Terapi Relaksasi Otot Progresif


Salah satu kebutuhan dasar klien adalah
kebutuhan tidur dan istirahat. Sekitar 60% klien
mengalami insomnia atau sulit tidur. Stress
terhadap tugas maupun permasalahan lainnya yang
tidak segera diatasi dapat menimbulkan kecemasan
dalam diri seseorang. Kecemasan dapat berakibat
pada munculnya emosi negative, baik terhadap
permasalahan tertentu maupun kegiatan sehari-hari
seseorang bila tidak diatasi. Semua ini dapat
menyebabkan gangguan tidur atau insomnia. Insomnia
pada klien dapat diatasi dengan cara nonmedikasi
yaitu dengan terapi relaksasi sehingga seseorang
kembali pada saraf normal (Alim, 2009). Salah satu
terapi relaksasi adalah dengan terapi relaksasi
otot progresif yang dapat membuat tubuh dan pikiran
terasa tenang,relaks, dan memudahkan untuk tidur
(Susanti, 2009).

2. Tujuan Terapi Relaksasi Otot Progresif


Menurut Herodes (2010), Alim (2009), dan potter
(2005), tujuan dari teknik ini adalah untuk:
a. Menurunkan ketegangan otot, kecemasan, nyeri
leher dan punggung, tekanan darah tinggi,
frekuensi jantung, laju metabolic.
b. Mengurangi disritmia jantung, kebutuhan oksigen;
c. Meningkatkan gelombang alfa otak yang terjadi
ketika klien sadar dan tidak memfokuskan
perhatian serta relaks;
d. Meningkatkan rasa kebugaran, konsentrasi;
e. Memperbaiki kemampuan untuk mengatasi stress
f. Mengatasi insomnia, depresi, kelelahan,
iritabilitas, spasme otot, fobia ringan, gagap
ringan, dan
g. Membangun emosi positif dari emosi negative.

3. Indikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif


a. Klien lansia yang mengalami gangguan tidur
(insomnia).
b. Klien lansia yang sering mengalami stress.
c. Klien lansia yang mengalami kecemasan.
d. Klien lansia yang mengalami depresi.
4. Kontraindikasi Terapi Relaksasi Otot Progresif
a. Klien lansia yang mengalami keterbatasan gerak,
misalnya tidak bisa menggerakkan badannya.
b. Klien lansia yang menjalani perawatan tirah
baring (bed rest).

5. Hal-Hal yang Perlu Diperhatikan


Berikut adalah hal-hal yang perlu diperhatikan
dalam melakukan kegiatan terapi relaksasi otot
progresif.
a. Jangan terlalu menegangkan otot berlebihan karena
dapat melukai diri sendiri.
b. Dibutuhkan waktu sekitar 20-50 detik untuk
membuat otot-otot relaks.
c. Perhatikan posisi tubuh. Lebih nyaman dengan mata
tertutup. Hindari dengan posisi berdiri.
d. Menegangkan kelompok otot dua kali tegangan.
e. Melakukan pada bagian kanan tubuh dua kali,
kemudian bagian kiri dua kali.
f. Memeriksa apakah klien benar-benar relaks.
g. Terus-menerus memberikan instruksi.
h. Memberikan instruksi tidak terlalu cepat dan
tidak terlalu lambat.

6. Teknik Terapi Relaksasi Otot Progresif


Persiapan
Persiapan alat dan lingkungan: kursi, bantal, serta
lingkungan yang tenang dan sunyi
Persiapan klien:
a. Jelaskan tujuan, manfaat, prosedur, dan pengisian
lembar persetujuan terapi pada klien;
b. Posisikan tubuh klien secara nyaman yaitu
berbaring dengan mata tertutup menggunakan bantal
dibawah kepala dan lutut atau duduk dikursi
dengan kepala ditopang, hindari posisi berdiri;
c. Lepaskan asesoris yang digunakan seperti
kacamata, jam, dan sepatu;
d. Longgarkan ikatan dasi, ikat pinggang atau hal
lain yang sifatnya mengikat ketat.
Prosedur
Gerakan 1: ditujukan untuk melatih otot tangan.
a. Genggam tangan kiri sambil membuat suatu kepalan.
b. Buat kepalan semakin kuat sambil merasakan
sensasi ketegangan yang terjadi.
c. Pada saat kepalan dilepaskan, klien dipandu untuk
merasakan relaks selama 10 detik.
d. Gerakan pada tangan kiri ini dilakukan dua kali
sehingga klien dapat membedakan perbedaan antara
ketegangan otot dan keadaan relaks yang dialami.
e. Prosedur serupa juga dilatihkan pada tangan
kanan.
Gerakan 2: ditujukan untuk melatih otot tangan
bagian belakang.
Tekuk kedua lengan ke belakang pada pergelangan
tangan sehingga otot di tangan bagian belakang dan
lengan bawah menegang, jari-jari menghadap ke
langit-langit. Gerakan melatih otot tangan bagian
depan dan belakang ditunjukkan pada gambar.
Gambar:

Gerakan 3: ditujukan untuk melatih otot biseps


(otot besar pada bagian atas pangkal lengan).
a. Genggam kedua tangan sehingga menjadi kepalan.
b. Kemudian membawa kedua kepalan ke pundak
sehingga otot biseps akan menjadi tegang.
Gambar:

Gerakan 4: ditujukan untuk melatih otot bahu supaya


mengendur.
a. Angkat kedua bahu setinggi-tingginya seakan-akan
hingga menyantuh kedua telinga.
b. Fokuskan atas, dan leher.

Gambar:

Gerakan 5 dan 6: ditujukan untuk melemaskan otot-


otot wajah (seperti otot dahi, mata, rahang, dan
mulut).
a. Gerakkan otot dahi dengan cara mengerutkan dahi
dan alis sampai otot terasa dan kulitnya keriput.
b. Tutup keras-keras mata sehingga dapat dirasakan
disekitar mata dan otot-otot yang mengendalikan
gerakan mata.
Gerakan 7: ditujukan untuk mengendurkan ketegangan
yang dialami oleh otot rahang. Katupkan rahang,
diikuti dengan menggigit gigi sehingga terjadi
ketegangan disekitar otot rahang.
Gerakan 8: ditujukan untuk mengendurkan otot-otot
sekitar mulut. Bibir dimoncongkan sekuat-kuatnya
sehingga akan dirasakan ketegangan di sekitar mulut.

Gambar :

Gerakan 9: ditujukan untuk merileksikan otot leher


bagian depan maupun belakang.
a. Gerakan diawali dengan otot leher bagian belakang
baru kemudian otot leher bagian depan.
b. Letakkan kepala sehingga dapat beristirahat.
c. Tekan kepala pada permukaan bantalan kursi
sedemikian rupa sehingga dapat merasakan ketegangan
dibagian belakang leher dan punggung atas.
Gerakan 10: ditujukan untuk melatih otot leher begian
depan.
a. Gerakan membawa kepala ke muka.
b. Benamkan dagu ke dada, sehingga dapat merasakan
ketegangan di daerah leher bagian muka.
Gerakan 11: ditujukan untuk melatih otot punggung
a. Angkat tubuh dari sandaran kursi.
b. Punggung dilengkungkan.
c. Busungkan dada, tahan kondisi tegang selama 10
detik, kemudian relaks.
d. Saat relaks, letakkan tubuh kembali ke kursi sambil
membiarkan otot menjadi lemas.
Gerakan 12: ditujukan untuk melemaskan otot dada.
a. Tarik napas panjang untuk mengisi paru-paru dengan
udara sebanyak-banyaknya.
b. Ditahan selama beberapa saat, sambil merasakan
ketegangan di bagian dada sampai turun ke perut,
kemudian dilepas.
c. Saat ketegangan dilepas, lakukan napas normal dengan
lega.
d. Ulangi sekali lagi sehingga dapat dirasakan
perbedaan antara kondisi tegang dan relaks.
Gambar:
Gambar:

Gerakan 13: ditujukan untuk melatih otot perut.


a. Tarik dengan kuat perut kedalam.
b. Tahan sampai menjadi kencang dank eras selama 10
detik, lalu dilepaskan bebas.
c. Ulangi kembali seperti gerakan awal perut ini.
Gerakan 14-15: ditujukan untuk melatih otot-otot kaki
(seperti paha dan betis).
a. Luruskan kedua telapak kaki sehingga otot paha
terasa tegang.
b. Lanjutkan dengan mengunci lutut sedemikian rupa
sehingga ketegangan pindah ke otot betis.
c. Tahan posisi tegang selama 10 detik, lalu dilepas.
d. Ulangi setiap gerakan masing-masing dua kali.
D. Kerangka konsep

Lansia Secara garis besar


pengobatan hipertensi di
golongkan menjadi 2 jenis
1. Farmakologi
Gangguan yang sering terjadi (Menggunakan obat-
pada lansia obatan tertentu)
1. Gangguan metabolisme  Hidroklorotiazd
hormonal Seperti diabetes  Resepin
militus.  Propanol
2. Gangguan pada persendian  Kaptropil
seperti  Nifedipin
(osteoatritis,goutatritis, 2. Non farmakologi
rematik atritis
 Mengubah dan
mengatur gaya
3. Gangguan Kardiovaskuler :
hidup.
Hipertensi.  Menurunkan keebihan
berat badan.
 Mengurangi asupan
garam.

Hipertensi

 Ringan (140-90)  Terapi relaksai


 Sedang (160-100) otot progresif

 Hipertensi berat (180-110)

Penurunan tekanan darah.

Keterangan :

: Yang akan di teliti

: Tidak diteliti

Bagan 2.1 kerangka konsep pengaruh terapi daun


sirsak terhadap penurun tekanan darah
pada lansia penderita hipertensi di
Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika
Provinsi NTB.
E. Hipotesa

hipotesa merupakan jawaban sementara

terhadap rumusan masalah penelitian, diman rumusan

masalah telah dinyatakan dalam bentuk kalimat

pertanyaan, (Sugiono, 2009).

Ha : Ada pengaruh relaksasi otot progresif terhadap

penurunan tekanan darah pada penderita hipertensi

di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika Provinsi

NTB.

Ho : Tidak ada pengaruh relaksasi otot progresif

terhadap penurunan tekanan darah pada penderita

hipertensi di Balai Sosial Lanjut Usia Mandalika

Provinsi NTB.
BAB III

METODE PENELITIAN

A. SUBJEK PENELITIAN

Subjek penelitian dalam penelitian ini adalah lansia

yang mengalami Hipertensi di Dusun Barat Kubur.

B. POPULASI, SAMPEL, SAMPLING

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan subjek penelitian

(Arikunto,2011). Populasi dalam penelitian ini adalah

semua lansia yang menderita Hipertensi di Dusun Barat

Kubur sebanyak 15 orang.

2. Sampel

Sampel adalah sebagian yang diambil dari

keseluruhan objek yang diteliti dan dianggap mewakili

seluruh populasi. Sampel dalam penelitian ini berjumlah

15 orang (sugiyono, 2008).

3. Tehnik pengambilan sampel (sampling)

Teknik sampling adalah adalah suatu proses seleksi

sampel yang digunakan dalam penelitian dari populasi

yang ada, sehingga jumlah sampel akan mewakili

keseluruhan populasi yang ada (Hidayat,2014). Dalam

penelitian ini, tekniksamplingyang digunakan adalahtotal


sampling. Total sampling adalah teknik pengambilan

sampel dimana jumlah sampel sama dengan populasi

(Sugiyono, 2011).

C. RANCANGAN PENELITIAN

Rancangan penelitian adalah suatu strategi penelitian

dalam mengidentifikasi permasalahan sebelum perencanaan

akhir pengumpulan data dan digunakan untuk mendeskripsikan

struktur penelitian yang akan dilaksanakan (Nursalam,2011).

Rancangan penelitian yang digunakan dalam penelitian

ini adalah pre-experimental dengan pendekatan pre test post

test one group design.

Penelitian pre-experiment merupakan penelitian yang

dimaksudkan untuk mengetahui ada tidaknya akibat dari

sesuatu yang dikenakan pada subjek selidik (Sugiyono,

2011).

Jenis design dalam penelitian ini berbentuk pre test

post test one group design. Rancangan ini juga tidak ada

kelompok pembanding (kontrol), tetapi paling tidak sudah

dilakukan observasi pertama (pretest) yang memungkinkan

menguji perubahan-perubahan yang terjadi setelah adanya

eksperimen (program).

Table 3.1 desain pre test post test one group

Pretest perlakuan Post test


Kelompok 01 X 02

perlakuan

Keterangan

Kelompok perlakuan : Dengan relaksasi otot progresif

X : Pemberian relaksasi otot progresif

01 : Tekanan darah pre test pada kelompok

perlakuan

02 : Tekanan darah post test pada kelompok

perlakuan

Kelemahan dari rancangan ini antara lain tidak ada

jaminan bahwa perubahan yang terjadi pada variabel dependen

karena intervensi atau perlakuan. Tetapi perlu dicatat

bahwa rancangan ini tidak terhindar dari berbagai macam

(kelemahan) terhadap validitas, misalnya sejarah, testing,

maturasi, instrumen.

D. TEHNIK PENGUMPULAN DATA

1. Alat pengumpulan data

Menurut Sugiyono (2008), instrumen penelitian

adalah alat-alat yang digunakan untuk pengumpulan data.

Instrumen penelitian ini menggunakan sphygmomanometer

Aneroiddan stetoskop untuk mengukur tekanan darah,

peneliti lebih memilih menggunakan Spygmomanometer


aneroid karena lebih aman, lebih praktis, mudah dibawa

dan hasil pemeriksaannya cukup akurat dan tidak

terkontaminasi logam berat. Peneliti juga menggunakan

lembar observasi yang di isi oleh peneliti untuk

mendapatkan hasil apakah relaksasi otot progresif

dilakukan atau tidak. Perlakuan dilakukan empat kali

dalam empat hari berturut-turut. Dimana dalam sehari di

lakukan dua kali yaitu pada waktu sore jam 16.00 dan jam

19.50 Malam.

Prosedur pengumpulan data

1) Prosedur pelaksanaan

a) Menentukan penderita Hipertensi yang akan

dijadikan kelompok perlakuan.

b) Melakukan sosialisasi dengan kelompok perlakuan

selanjutnya memberi penjelasan mengenai tujuan,

manfaat penelitian yang akan dilakukan dan

menanyakan kesediaannya untuk membantu proses

penelitian.

c) Penderita Hipertensi yang bersedia selanjutnya

menandatangani surat pernyataan persetujuan dan

apabila tidak bersedia maka tidak ada paksaan

untuk menandatangani. Lembar persetujuan di

tandatangani saat penderita Hipertensi dalam


keadaan tenang dengan waktu yang cukup dan tanpa

ada paksaan.

d) Penelitian ini di laksanakan pada tanggal

sampai 25 Januari 2018. Hari selasa dilakukan

pre-test, pada penelitian ini pada satu harinya

di berikan tindakan 2 kali terapi otot progresif

pada jam 16.00 sore dan 19.50 malam. lalu di

post-testnya dilaksanakan pada hari minggu 25

janwari jam 17.30 setelah di lakukan terapi otot

progresif yang ke 4.

2. Identifikasi Variabel dan Definisi Operasional

a. Identifikasi variabel

1) Variabel indenpenden

Variabel independen adalah variabel yang di

manipulasi oleh peneliti untuk mencipatakan suatu

dampak pada dependen variabel. Variabel ini

biasanya diamati, diukur untuk diketahui

hubungannya dengan variabel lain (Setiadi, 2007).

Variabel independen dalam penelitian ini adalah

relaksasi otot progresif

2) Variabel dependen

Variabel dependen adalah variabel respon atau

output. Sebagian variabelrespon berarti ini akan

muncul sebagai akibat dari manipulasi suatu


variabel independen (Setiadi, 2007). Variabel

dependen dalam penelitian ini adalah tekanan darah

penderita Hipertensi.

3. Analisa Data

Analisa data merupakan cara mengolah data agar

dapat disimpulkan atau diinterpretasikan menjadi

informasi. Sebelum dilakukan analisa data terlebih dulu

dilakukan proses pengolahan data yang meliputi editing,

clanning, coding dan Entry data. Dalam penelitian ini

hasil wawancara dan observasi akan ditabulasi kemudian

dianalisis untuk dibuktikan apakah adanya Pengaruh

pemberian terapi daun sirsak terhadap penurunan tekanan

darah pada lansia penderita Hipertensi di Balai Sosial

Lanjut Usia Mandalika Provinsi NTB menggunakan uji

wilcoxon signed rank test dengan taraf kesalahan 5%.

Prinsipnya adalah ingin menguji apakah ada perbedaan

dampak dari dua perlakuan (Hidayat, 2017). Pengolahan

data dalam penelitian ini dilakukan dengan bantuan

komputer melalui program SPSS Versi 21.

Kerangka Kerja Penelitian

Populasi semua lansia yang


menderita hipertensi yang ada
Di Dusun Barat Kubur Desa
Sesela .
Total sampling

Sampel Lansia yang


menderita hipertensi
sebanyak 15 orang
Informed consent

Pree-test

Kelompok perlakuan yang


berjumlah 15

Post-test

tabulating

Analisa data
Hasil (Wicoxon)

BAB IV
HASIL DAN PEMBAHASAN

Pada BAB ini diuraikan

tentang hasil penelitian yang

telah dilakukan terhadap

responden di Dusu Barat kubur

Desa sesela Gunung sari yang

telah dilaksanakan selama 5 hari

dari tanggal 21-25 januari 2018.

Penyajian data terdiri atas

gambaran umum lokasi penelitian,

karakteristik umum responden

serta data khusus yang mengacu

pada tujuan penelitian dan

landasan teori.

A. HASIL PENELITIAN

1. Gambaran Umum Lokasi Penelitian

Dusun Barat Kubur merupakan salah satu dusun yang

ada didesa sesela. Dusun barat kubur terdiri dari 5 RT

Dengan batas wilayah :

1. Sebelah utara :Dusun Kapek

2. Sebelah selatan : Dusun Kebun Bawah

3. Sebelah barat : Dusun kebun Lauk

4. Sebelah Timur : Dusun Bile Tepung


2. Data Umum

Responden dalam penelitian ini berjumlah 15

responden lansia, berikut akan diuraikan tentang

karakteristik umum responden yang meliputi umur dan

jenis kelamin dari responden tersebut.

a. Karakteristik responden berdasarkan umur dan jenis


kelamin
Tabel 4.1 distribusi responden berdasarkan umur dan

jenis kelamin

No Variable (n) (%)

Umur

a 60-76 10 66,7

b 75-90 5 33,3

c >90 0 5

Jenis kelamin

a Laki-laki 4 26,7

b Perempuan 11 73,3

Sumber : Data Primer 2018

Pada Tabel 4.1 disajikan data distribusi

berdasarkan umur. Terlihat bahwa sebagian besar

responden pada kelompok umur 60-74 tahun (66,7%).


Sedangkan data distribusi berdasarkan jenis kelamin.

Terlihat bahwa sebagian besar responden pada jenis

kelamin perempuan yaitu berjumlah 11 (73,3%).


3. Data Khusus

Data khusus akan menyajikan hasil observasi dengan

lembar observasi untuk mengetahui tingkat Hipertensi

sebelum (pre test) dan setelah (post test) Relaksasi

otot progresif hasil uji wilcoxon signed ranks test.

a. Tingkat Hipertensi sebelum (pre test)pemberian


relaksasi otot progresif

b. Tabel 4.2 Tingkat Hipertensi sebelum (pre test)


pemberian relaksasi otot progresif
Frekuensi Persentase
No Kategori Hipertensi
(Orang) (%)

1 12 80
Hipertensi ringan

2 3 20
Hipertensi sedang

3 - -
Hipertensi berat

Jumlah 15 100

Sumber : Data Primer

2018

Pada Tabel 4.2 disajikan data distribusi sebelum (pre

test). Terlihat bahwa sebagian besar responden pada

kelompok hipertensi sedang 3 responden (20).


c. Tingkat Hipertensi setelah (post test) pemberian

relaksasi otot progresif

Tabel 4.3 Tingkat Hipertensi setelah (post test)

pemberian relaksasi otot progresif

Frekuensi Persentase
No Kategori Hipertensi (%)
(n)
1 Normal 3 20

1 Hipertensi ringan 11 73,3

2 Hipertensi sedang 1 6,7

Jumlah 15 100
Sumber : Data Primer 2018

Pada Tabel 4.3 disajikan data distribusi setelah (post

test) diberikan tehnik relaksasi otot progresif.

Terlihat bahwa sebagian besar responden pada kelompok

kategori hipertensi ringan yaitu 11 responden (73,3%).

d. Analisis Pengaruh Relaksasi Progresif Terhadap


penurunan Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di
Dusun barat kubur Desa sesela Gunugsari

Berdasarkan hasil Uji Wilcoxon Signed Ranks Test

didapatkan bahwa N atau jumlah data penelitian

sebanyak 15 responden, nilai rata-rata pre test untuk

sistole yaitu 150 kemudian post test 130 dan nilai

rata-rata pre test untuk diastole yaitu 1.5933 kemudian

post test 130 didapatkan nilai p value<α (0,000<0,05)

maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ha diterima dan H0

ditolak dengan kesimpulan bahwa ada Pengaruh relaksasi


otot progresif Terhadap penurunan Tekanan Darah Pada

Penderita Hipertensi diDusun Barat kubur Desa sesela

Gunungsari.

Tabel 4.4 Tabulasi Silang Tingkat Hipertensi sebelum


(pre test) dan setelah (post test) pemberian Relaksasi
Otot Progresif

NO KATEGORI HIPERTENSI PRE-TEST POST-TEST


N % N %

1 SEDANG 11 73,3% 3 20%

2 RINGAN 4 26,7% 10 66,7%

3 NORMAL 0 0 2 13,3%

TOTAL 15 100 15 100

Sumber : Data Primer 2018


B. PEMBAHASAN

1. Data Umum

a. Berdasarkan Umur dan jenis kelamin

Pada tabel 4.1 disajikan data distribusi

berdasarkan umur. Terlihat bahwa sebagian besar

responden pada kelompok umur 60-74 tahun (66,7%).

Menurut Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) lanjut

usia meliputi usia pertengahan (middle age) yaitu

kelompok usia 45-59 tahun, lanjut usia (Erdery)

yaitu antara 60-74 tahun, lanjut usia tua (old)

yaitu antara 75-90 tahun, usia sangat tua (very

old), yaitu di atas 90 tahun.

Gandari (2013) menjelaskan bahwa semakin

bertambahnya umur, resiko terkena Hipertensi

menjadi lebih besar. Pada umumnya tekanan darah

akan meningkat dengan bertambahnya umur terutama

setelah 40 tahun. Prevalensi Hipertensi di

indonesia pada golongan umur di bawah umur 40 tahun

masih berada di bawah 10%, tetapi di atas 50 tahun

angka tersebut terus meningkat mencapai 20-30%.

Semakin betambahnya usia tekanan darah cenderung

meningkat, hal ini disebabkan karena hilangnya

elastisitas jaringan dan arteriklerosis pada orang

tua serta pelebaran pembuluh darah.

Selain itu, hal ini juga sesuai dengan

pernyataan Copstead and Jacgyelyn (2005) yang

69
menyatakan kejadian Hipertensi berbanding lurus

dengan peningkatan usia. Arteri kehilangan

elastisitas atau kelenturan seiring bertambahnya

usia, kebanyakan orang Hipertensinya meningkat

ketika berusia 50-60 tahun. Hipertensi bisa terjadi

pada segala usia, namun paling sering dijumpai pada

usia 35 tahun atau lebih. Hal ini disebabkan oleh

perubahan alami pada jantung, pembuluh darah dan

hormon.

Berdasarkan teori diatas yang dikaitkan dengan

hasil penelitian menunjukan bahwa pada usia lebih

dari 60 tahun tekanan darah seseorang akan semakin

meningkat karna hilangnya elastisitas jaringan,

arteriklerosis dan pelebaran pembuluh darah.

Sedangkan data distribusi berdasarkan jenis

kelamin. Terlihat bahwa sebagian besar responden

pada jenis kelamin perempuan yaitu berjumlah 11

(73,3%). Hal ini sesuai dengan pendapat Gandari

(2013) yang menjelaskan bahwa penyakit Hipertensi

cenderung lebih tinggi pada jenis kelamin perempuan

di bandingkan dengan laki-laki. Hal ini di

karenakan pada perempuan meningkat seiring dengan

bertambahnya usia yang mana pada perempuan massa

menopause cenderung memiliki tekanan darah lebih

tinggi daripada laki-laki, penyebabnya sebelum


menopause wanita relatif terlindungi dari penyakit

kardiovaskuler oleh hormon estrogen.

Berdasarkan teori diatas yang dikaitkan dengan

hasil penelitian menunjukan bahwa responden yang

berjenis kelamin perempuan lebih banyak mengalami

tingkat Hipertensi disebabkan karena bertambahnya

usia, aktifitas kerja dan adanya faktor hormonal

yaitu hormon estrogen.

2. Data Khusus

a. Tingkat Hipertensi sebelum (pre test) pemberian

tehnik relaksasi otot progresif.

Pada Tabel 4.2 disajikan data distribusi

sebelum ( pre test). Terlihat bahwa sebagian besar

responden pada kelompok hipertensi sedang 3

responden (20%).

Menurut Smelzer & Bare (2001) menjelaskan bahwa

tekanan darah cenderung meningkat seiring

bertambahnya usia karna dengan bertambahnya usia

struktur jantung dan pembuluh darah mengalami

perubahan yang kontribusi aterosklorosis, hilangnya

jaringan ikat dan penurunan relaksasi otot polos

pembuluh darah yang berakibat pada berkurangnya

kemampuan aorta dan arteri dalam mengakomodasi

darah yang dipompa oleh jantung, mengakibatkan

penurunan curah jantung dan peningkatan tekanan


perifer. Jika melihat rentang usia rentang usia

dengan responden yakni berada pada 70-100 tahun

beresiko terkena Hipertensi.

Menurut hadi (2004) penurunan elastisitas

pembuluh darah perifer akibat proses menua akan

meningkatkan resitensi pembuluh darah perifer yang

pada akhirnya akan Hipertensi sistolik saja. Hal

ini juga terdapat pada penderita diatas 70 tahun

terutama pada pria. Setelah manopouse perempuan

mengalami peningkatan tekanan darah lebih tinggi

dari laki-laki terutama wanita, insidennya

meningkat dengan bertambahnya umur. Seperti yang di

kemukakan hadi, 2004 bahwa faktor yang berperan

pada usia lanjut adalah penurunan elastisitas

pembuluh darah perifer akibat proses menua akan

meningkatkan resitensi pembuluh darah yang pada

akhirnya akan mengakibatkan Hipertensi sistolik

saja.

Menurut penelitian yang dilakukan oleh

valentine, dkk.(2014), didaptkan hasil bahwa dengan

relaksasi otot progresif terbukti tekanan darah

pada penderita hipertensi dapat menurun.

Peneleitian lain yang dilakukan oleh Patel,

dkk(2012) juga menunjukkan adanya penurunan tekanan

darah pada penderita hipertensi esensial dengan

dilakukannya relaksasi otot progresif. Sedangkan


menururt Kumutha, dkk.(2014) relaksasi otot

progresif dapat menurunkan stress dan tekanan darah

pada lansia yang menderita hipertensi.

Berdasarkan teori, hasil penelitian sebelumnya

dan dikaitkan dengan hasil penelitian menunjukan

bahwa responden yang berusia 75-90 tahun lebih

banyak mengalami tingkat Hipertensi, hal ini

disebabkan karena semakin bertambahnya usia maka

semakin beresiko mengalami tingkat Hipertensi.

Secara fisiologis kondisi tubuh pada umur 75-90

tahun rentang mengalami berbagai macam penyakit

salah satunya Hipertensi.

b. Tingkat Hipertensi setelah (post test) pemberian


tehnik relaksasi otot progresif.

Berdasarkan tabel 4.2 menunjukan bahwa setelah

diberikan tehnik relaksasi otot progresif responden

dengan tekanan darah normal berjumlah 2 responden

(13,3%), responden yang mengalami Hipertensi ringan

berjumlah 10 responden (66,7%) dan responden

dengan Hipertensi sedang berjumlah 3 responden

(20%). Berdasarkan tabel tersebut dapat dilihat

bahwa setelah diberikan tehnik relaksasi progresif

selama 5 hari dan dalam 1 hari diberikan 3 kali

perlakuan, rata-rata responden mengalami perubahan

tekanan darah.
Hal ini dikarenakan relaksasi otot progresif

adalah meneganggkan otot seluruh tubuh lalu menahan

dan merasakan ketegangan tersebut kemudian

melemaskannya, dan dikarenakan mamfaat dari

relaksasi otot progresif ini adalah mengurangi

ketegangan otot stress dan meneurunkan tekanan

darah (Smeltzer dan Bare, 2002).

c. Analisis Pengaruh Relaksasi Otot Progresif Terhadap

Tekanan Darah Pada Penderita Hipertensi di Dusun

Barat Kubur Desa sesela

Berdasarkan hasil Uji Wilcoxon Signed Ranks

Test didapatkan bahwa N atau jumlah data penelitian

sebanyak 15 responden, nilai rata-rata pre test

sistole yaitu 150 kemudian post test 1.5933 dan nilai

rata-rata pre test untuk diastole 1.4467kemudian

post test yaitu 130 didapatkan nilai p value<α

(0,000<0,05) maka dapat diambil kesimpulan bahwa Ha

diterima dan H0 ditolak, yang berati ada Pengaruh

Relaksasi Otot Progresif Terhadap Tekanan Darah

Pada Penderita Hipertensi di Dusun Barat Kubur. Hal

ini dikarenakan Relaksasi Otot Progrsif akan

membuat individu lebih relaks dan tenang sehingga

mampu menghindari adanya stress, mengatasi masalah-

masalah yang berhubungan dengan stress seperti

hipertensi, sakit kepala, insomnia, mengurangi


tingkat kecemasan, mengurangi kemampuan yang

berhubungan dengan stress dan mengontrol

anticipatory anxiety sebelum situasi yang

menimbulkan kecemasan, nyeri punggung bawah TMJ

(Temporomandibular Joint Syndrome).

3. Keterbatasan Penelitian

Dalam penelitian ini ada keterbatasan yang dialami

oleh peneliti, adapun keterbatasan dalam penelitian

ini adalah :

a. Peneliti tidak mampu melakukan pengawasan secara

intensif terhadap faktor-faktor yang mempengaruhi

mamfaat dari Relaksasi Otot Progresif.


BAB V

KESIMPULAN DAN SARAN

A. Kesimpulan

Dari hasil penelitian dan pembahasan pada bab

sebelumnya, dapat diambil kesimpulan sebagai berikut:

1. Mengidentifikasi Sebelum dilakukan relaksasi otot

progresif teterhadap tekanan darah responden baik

responden lebih didominasi pada kategori hipertensi

ringan dan sedang.

2. Mengidentifikasi setelah relaksasi otot progresif

teterhadap, tekanan darah responden berada pada

kategori normal dan hipertensi ringan.

3. Berdasarkan hasil Uji Wilcoxon Signed Ranks Test

didapatkan bahwa N atau jumlah data penelitian

sebanyak 15 responden, nilai rata-rata pre test untuk

sistole yaitu 150 kemudian post test 130 dan nilai rata-

rata pre test untuk diastole yaitu 1.5933 kemudian post

test 130 didapatkan nilai p value <α (0,000<0,05)

relaksasi otot progresif untuk menurunkan tekanan

darah pada lansia dengan hipertensi.


B. Saran

1. Bagi Puskesmas

Hasil penelitian ini dapat digunakan sebagai

bahan masukan dalam penatalaksanaan dan perawatan.

2. Bagi lanjut usia dan keluarga

Bagi lanjut usia yang menderita hipertensi dapat

melakukan relaksasi otot progresif secara teratur,

sebagai salah satu alternatif untuk menurunkan tekanan

darahnya. Sedangkan untuk keluarga pasien atau orang-

orang yang terdekat dengan pasien dapat memberikan

dukungan pada lansia atau saling bertukar informasi.

3. Bagi institusi pendidikan.

Hasil penelitian ini dapat digunakan untuk

mengembangkan ilmu keperawatan terutama yang terkait

dengan penatalaksanaan hipertensi.

4. Bagi peneliti

Sebagai suatu pengalaman penelitian dan

pengembangan wawasan terhadap bidang keperawatan serta

melengkapi tugas akhir pembelajaran.

5. Bagi Peneliti selanjutnya

Sebagai referensi dalam penyusunan penelitian

dikemudian hari.
DAFTAR PUSTAKA

Asmadi. 2008. Teknik Prosedural Keperawatan : Konsep Dan

Keperawatan Dan Aplikasi Kebutuhan Dasar Klien.

Jakarta: Salemba Medika.

Aspiani Yuli. 2008. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Gerontik.

NTB

Audah, Faiza. 2011. Dahsyatnya Teknik Pernapasan.

Yogyakarta: Interprebook

Biro Pusat Statistik (BPS). 2005. Jumlah Penduduk Lanjut

Usia Di Indonesia

Brunner & Suddarth. 2002. Buku Ajar Medikal Bedah, Edisi 8,

Vol 2. Jakarta: EGC.

Darmojo, B. 2006. Buku Ajar Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia

Lanjut) Edisi ke-3. Balai Pustaka Fkui. Jakarta

Dep.Kes. RI. 2005. Pedoman Manajement Upaya Kesehatan Usia

Lanjut Di Puskesmas. Jakarta

Erik, tapan. 2004. Kesehatan Keluarga Penyakit Ginjal Dan

Hipertensi. Jakarta: PT Elek Media Kompotindo

Kelompok Gramedia.

Hadi, M. 2004. Buku Ajar Geriatrik: Penatalaksanaan

Hipertensi Pada Usia Lanjut. Jakarta: Balai

Penerbit Fk Undip.
Handoyo. 2004. Meditasi Dan Mutiara Hati. Jakarta: P.T

Jakarta.

Hidayat, A.Aziz Alimul. 2006. Pengantar Kebutuhan Dasar

Manusia: Aplikasi Konsep Dan Proses Keperawatan.

Jakarta: Salemba Medika.

Kompas 2011, Hipertensi, Jangan Biarkan Ganggu Jantung

http://www.kompas.com diperoleh, 15. Maret.2016.

Maryam, s. 2010. Buku Panduan Bagi Kader Posbindu Lansia.

Jakarta: Trans Info Medika.

Mubarak, Wahid Iqbal. 2010. Ilmu Keperawatan Komunitas 2.

Jakarta: Salemba Medika

Nugroho. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik, Edisi 3.

Jakarta: egc.

Nursalam. 2003. Konsep & Penerapan Metodologi Penelitian

Ilmu Keperawatan: Pedoman, Skripsi, Tesis, Dan

Instrumen Penelitian Keprawatan. Jakarta : Salemba

Medika.

Perry & Potter. 2005. Buku Ajar Fundamental Keperawatan:

Konsep, Proses, dan Praktik. Volume 2. Alih Bahasa:

Renata Komalasari, dkk. Jakarta: EGC

Prawitasari, E Johana. 2002. Psikoterapi Pendekatan

Konvensional Kontemporer. Yogyakarta: Pustaka

Pelajar.
Puskesmas Meninting (2016).

Sidabutar, R.P & Wiguno P. 1998. Hipertensi Ensensial : Ilmu

Penyakit Dalam. Jakarta: Balai Penerbit Fkui.

Setiabudhi Dan Hardywinoto. 2005. Panduan Gerontologi:

Tinjauan Dan Berbagai Aspek. Jakarta: PT:gramedia

Pustaka Utama.

Setyoadi dan kushariyadi 2011. Terapi Modalitas keperawatan

pada klien psikogeraitrik. Jakarta selemba Medika

alim 2009.” Langkah-langkah relaksasi otot

rogresif.

Sugiyono. 2010. Metode Penelitian Kuantitatif Dan R & D.

Bandung: Alfabeta

Sukmono, Rizki Joko. 2011. Mendongkrak Kecerdasan Otak

Dengan Meditasi. Jakarta: Visi Media

Susilo, Yekti. 2011. Cara Jitu Mengatasi Hipertensi.

Yogyakarta: C.V Andi

Sustrany, L. 2004. Hipertensi. Jakarta: Gramedia Pustaka

Utama

Vitathealth. 2009. Waspadaonline. Http//www. Waspada.co.id.

Hipertensi.15. Maret.2016.16.45

Widianto. 2011. Meditasi Tanpa Guru. Yogyakarta: Media

Pressindo.

Anda mungkin juga menyukai