Anda di halaman 1dari 6

aku bukan tipe orang yang terbuka masalah hubungan dengan seseorang.

Memposting hal-hal
manis tentang orang special bertentangan dengan prinsipku. Bagiku tak penting semua itu, tak
perlu dunia harus tahu. Apa manfaatnya? Malah menghabiskan kuota. Aku tidak suka pamer.

Tapi kali ini berbeda. Entah kenapa ada “titik pamer” yang tumbuh. Aku melanggar prinsipku
sendiri. Bukan pamer kemesraan seperti orang kebanyakan, mungkin lebih tepat disebut
berbagi cerita? Kisahku tentang sabar menunggu dan ikhlas melepas seseorang.

Pertama kali bertemu dengannya 10 tahun yang lalu. Saat itu aku baru masuk universitas.
Masih baru dengan kota ini. Dia adalah saudara jauhku. Entahlah aku tak paham betul garis-
garis keturunan itu, yang pasti kami masih ada hubungan keluarga. Dari mana entahlah. Aku tak
paham. Rumit. Kalau ada istilah “fallin’ love at first sight” atau jatuh cinta pada pandangan
pertama, aku malah falllin’ love at second sight. Jatuh cinta pada pandangan kedua. Hahaha….
Aku serius.

Ceritanya karena aku masih baru di kota ini, sama sekali buta jalan , dia yang memang tinggal di
kota ini sejak kecil mengantarku kerumah seorang teman - saat itu ibunya yang menyuruhnya
mengantarku-. Itu pertama kalinya aku bertemu dengannya tapi debaran cinta itu belum ada.
Baru setelah aku mulai tinggal di rumahnya, getaran itu perlahan mulai tumbuh, menjalar.
Rumah kontrakanku saat itu memang hanya beberapa meter dari rumahnya, karena masih
kotor aku menerima tawaran ibunya untuk menumpang dirumahnya. Ahh… bahkan walau 10
tahunpun aku masih tetap ingat senyum itu. Kau bisa merasakan bahagianya tinggal serumah
dengan orang yang kau sukai. Hanya tiga hari aku dirumahnya tapi itu sudah cukup membuatku
semakin menyukainya. Aku banyak tahu tentang dia. Kebiasaan mandinya yang tak wajar.
Entahlah dia sangat suka mandi. Mungkin karena dia cepat sekali berkeringat. Bukan
berkeringat yang mengindikasikan bau badan. Bukan. Sama sekali bukan. Dia sangat bersih.
Tapi mungkin karena terlalu sering diruangan ber-AC dia jadi lebih peka pada cuaca panas.
Pernah suatu waktu dia menemaniku membeli keperluan rumah kontrakan, baru turun dari
mobil – oiya, selain keren, dia bisa bawa mobil, meski bukan mobilnya sendiri baru mobil
ibunya, dia juga bisa main keyboard—dia sudah kepanasan. Keringatnya langsung mengucur
sesaat setelah kami turun dari mobil padahal hari itu tidak panas-panas amat.

Oiya, belum sampai dimana second sight nya yah. Jadi karena saaat itu aku akan tinggal
sendirian tanpa mama dan tante---mereka juga ikut menginap dirumah dia sebelum menempati
rumah kontrakanku—tante menyarankan kami membeli televisi. Mama awalnya keberatan,
biasalah alasannya nanti aku tidak fokus belajar. Kami mengunjungi sebuah pusat
perbelanjaaan rumah tangga. Percaya atau tidak saat memilih televisi itulah aku mulai jatuh
cinta padanya. Disitulah second sight nya dan mungkin pandangan-pandangan “haram” lainnya.
Debaran itu telah menjalar. Cepat sekali. Dan awet. Ahh…. Aku masih ingat sekali tatapan itu.
Tatapan yang sebenarnya menanyakan apakah TV di depan kami yang sedang dia utak-atik itu
sesuai dengan keinginanku atau tidak tapi entah kenapa malah kuartikan berbeda. Seperti
adegan slow motion di film-film. Bunga sakura langsung bertebangan entah dari mana.
Menerpah wajah sejuknya. Indah sekalii…. kenapa bunga sakura? entahlah mungkin karena
warnanya merah muda. Semerah mudah perasaanku saat itu. Aku tak tahu saat itu dia
menyadari wajahku yang memerah atau tidak. Ah, bahkan walaupun saat itu aku tidak jadi
membeli TV aku tidak keberatan. Jatuh cinta memang hebat. Semuanya menjadi tidak penting.

Sejak saat itu entah mengapa aku langsung melupakan mantanku. Aku sebelumnya memang
baru saja mengakhiri hubunganku. Dia mengkhianatiku. Meski harusnya aku sudah bisa
menebak ending hubungan kami. Dia seorang playboy. Tiba-tiba hubunganku itu menjadi tidak
penting. Aku lupa pernah sakit. Aku jatuh cinta lagi. Sangat dalam. Dan tumbuh semakin dalam
saat aku mulai bersih-bersih rumah kontrakan. Dia ikut membantu. Aku sangat suka caranya
menawarkan bantuan. Sangat suka melihatnya merapikan perabotan, sangat suka melihatnya
sampai keringatan – dirumah kontrakanku kan tidak ada AC seperti dirumahnya. Ah, aku saja
yang menyukai apapun tentang dia.

Nah, tiba di bagian yang ingin aku bagikan pada kalian. Setelah kegiatan perkuliahanku mulai
aktif, dia juga sudah mulai masuk kuliah lagi, aku dan dia jarang sekali bertemu. Terakhir waktu
dia mengantarku ke rektorat kampus untuk menghadiri pertemuan beasiswa. Kenangan
terakhir yang sangat indah. Aku digonceng dengan sepeda motor. Bukan hal yang istimewa
memang tapi itu adalah 10 menit terindah selama pengalamanku naik motor (hahaha). Yang
tak pernah aku lupakan—meski tak pernah ada sepotong kenangan tentangnya yang
kulupakan—adalah saat aku turun dari motor, dia memandangiku dari bawah sampai ke atas
lalu mengatakan “Jeans mu terlalu ketat, lain kali jangan pakai baju terlalu pendek”. Kau tau?
Harusnya saat itu aku malu tapi entah mengapa aku malah bahagiaaa…. Astaga, jatuh cinta
memang berbahaya. Tapi dia memperhatikanku.

Itu terakhir kali aku bertemu dengannya. 10 tahun yang lalu. Kegiatan kampus menyitah
waktuku. Aku bisa saja sering-sering kerumahnya, beralasan ingin ketemu adiknya yang juga
satu jurusan denganku tapi ada hal yang mengisi pikiranku. Aku tak benar-benar menyukai
jurusanku. Obsesiku pada jurusan lain. Meski begitu tak pernah sekalipun aku melupakannya.
Bahkan saat dua tahun kemudian aku pindah jurusan dan pindah kampus. Aku tidak lagi tinggal
di dekat rumahnya. Aku semakin jauh. Membawa serta perasaanku. Lalu tahun-tahun cepat
sekali berganti. 4 tahun aku menyelesaikan pendidikanku di jurusan yang baru. Melanjutkan
hidup tanpa tahu bagaimana kabarnya. Mengejar obsesiku. Selama 4 tahun itu banyak orang
yang mengisi hidupku. Bahkan pernah sekali aku menjalin hubungan dengan seseorang, hampir
berhasil. Aku menyukainya. Sama baiknya dengannya, kami bahagia. Aku mulai percaya aku
bisa melepaskan dia. Mulai percaya aku bisa hidup dengan orang lain. Tidak lagi terkungkung
cinta sepihakku. Aku mulai bermimpi membangun masa depanku dengan orang baru itu. Tapi
aku salah. Dia berkhianat. Bahkan dengan orang yang aku kenal. Aku mulai marah. Tak pernah
sekalipun aku berhasil menjalin hubungan dengan seseorang. Aku selalu dikhianati. Ketika aku
marah, aku mulai menyalahkan siapapun. Menyalahkan Tuhan yang selalu mempertemukanku
dengan orang-orang yang menyakiti. Lalu dipuncak kemarahaku aku mulai menangis lalu
perlahan menerima. Aku sudah sejauh ini dengan hidupku, banyak hal yang lebih berat yang
pernah kualami. Aku tidak mau pengkhianat itu merusak rencana hidupku. Lalu aku mulai
berdiri lagi. Aku harus melupakannya. Aku kembali pada obesesiku, belajar seperti orang
kesetanan. Mengejar puluhan beasiswa. Hingga akhirnya aku diterima di salah satu universitas
di negara impianku. Aku melupakan pengkhianat itu. Melupakan dia.

2 tahun aku kuliah di luar negeri, tenggelam dalam rutinitas kampus. Mengenal banyak sekali
orang hebat. Aku mulai bekerja disana. Aku menyukai pekerjaanku. Impianku sejak dulu tapi
aku rindu kotaku. Aku rindu mama. Rindu dia.

Setahun kemudian aku memutuskan kembali. Bekerja di kota ini meninggalkan pekerjaanku
sebelumnya. Pekerjaanku luar biasa tapi rasa rindu padanya menguasaiku. Semuanya mulai
terasa hambar. Aku mendapat kabar dari mama, dia juga bekerja di kota ini. Di sebuah
perusahaan komunikasi. Jurusannya dulu. Aku bahagia dia menyukai pekerjaannya. Aku ingin
bertemu, sangat ingin. Tapi tak pernah ada keberanian menemuinya atau mengunjungi
rumahnya. Mungkin dia tidak mengenaliku lagi. Aku hanya saudara jauhnya. Entah seberapa
jauh. Lagi pula sudah hampir 10 tahun. Dia mungkin sudah melupakanku. Aku kembali larut
pada pekerjaanku. Orang-orang mulai mempertanyakan hubunganku dengan seseorang.
Teman-temanku bahkan banyak yang sudah menikah, beberapa bahkan sudah punya anak. Aku
masih menunggu. Entahlah menunggu apa. Dia toh bahkan tak pernah tahu perasaanku. Dan
tak pernah ada isyarat dia punya perasaan yang sama. Lagi pula sudah lama sekali, dia mungkin
sudah punya seseorang. Meski sulit sekali meyakinkan hatiku untuk berdamai, perlahan aku
mulai melepasnya. Menerima bahwa cinta tak mesti memiliki. Bahwa cinta sepihak pun itu
tetap namanya cinta. Terbalas ataupun tidak. Diungkapkan atau tidak.

Kau tahu Tuhan selalu punya skenario terbaiknya. Meski tak pernah sama seperti keinginan
kita. Meski kadang menyakitkan. Satu minggu setelah itu dia menghubungiku. Entah dapat dari
mana nomor telponku. Mungkin dari mama. Ibunya dan mamaku memang kadang masih
berhubungan. Aku bahagia sekali menerima telponnya, meski pertanyaannya hanya seputar
pekerjaanku. Sangat bahagia. Bahagia yang kupaksakan ketika dia mengatakan dia akan
menikah bulan depan. Aku harap saat itu aku hanya salah dengar atau sekalian saja ternyata dia
bukan dia yang kurindukan selama ini, hanya salah sambung dan harapan-harapan sia-sia
lainnya. Karena telpon itu memang darinya. Dari seseorang yang selama 10 tahun selalu ada
dalam hatiku, menyitah pikiranku, yang telah kubuatkan tempat khusus dihatiku. Aku tidak
salah dengar, dia juga tidak salah sambung. Dia memang akan menikah. Bulan depan. Di bulan
kelahiranku. Dia menelponku ternyata untuk menyampaikan berita gembira itu. Gembira
untuknya tidak bagiku. Apa yang aku harapkan? Kuucapkan selamat padanya. Itu ucapan paling
munafik yang pernah kuucapkan. Aku tak pernah mau mengucapkannya. Hatiku melawan. Di
ujung percakapan, dia memintaku bertemu dengannya. Memintaku berkunjung kerumahnya.
Katanya ibu dan adiknya juga ingin bertemu. Aku tak peduli. Ya Tuhan, kau sungguh kejam. Tak
pernah sekalipun kau mendengarkan doaku. Aku tak pernah meminta mendapatkan dirinya.
Tak pernah memaksa agar Engkau mengizinkan aku memilikinya. Aku benar-benar sakit. Kali ini
sangat sakit. 10 tahun aku menyimpan perasaan itu dan kini semuanya harus hancur. Pecah.
Ternyata aku tak pernah bisa berdamai, aku bohong soal menerima, soal melepaskan. Aku ingin
memilikinya. Aku menginginkannya.

Namun setelah kemarahan akan selalu ada penerimaan. Meski juga selalu butuh waktu. Aku tak
menemuinya seperti permintaannya. Aku menghindar. Aku mungkin tak akan pernah bisa
melihatnya lagi. Tak ada lagi yang bisa kulakukan selain ikhlas. Ikhlas bahwa Tuhan selalu punya
skenario terbaiknya. Aku tahu apa? Dialah yang Mahatahu. Ya Tuhan susah sekali ikhlas itu.
Setiap hari harus kuyakinkan hatiku bahwa aku bisa melaluinya. Bahwa tak masalah dia akan
menikah. Bukankah level tertinggi mencintai itu adalah dengan bahagia melihatnya bahagia?
Level yang juga menyakitkan. Sangat menyakitkan.

Sudah lewat beberapa hari bulan yang ditunggu-tunggunya. Awal bulan. Aku tidak tahu kapan
tepatnya dia menikah. Aku tak menanyakannya pada mama, dia pasti tahu. Aku berhenti
mencari tahu kabarnya. Untuk apa? Dengan mencari tahu aku malah tambah sakit. Aku
memeluk sakitku. Berdamai. Kali ini benar-benar berdamai. Dan cara terbaik mengetahui aku
benar-benar telah berdamai adalah dengan menemuinya. Hari itu aku menemuinya. Juga
menemui takdirku.

Tanganku bergetar melihatnya duduk didepanku. Hari itu kami bertemu didekat tempat
kerjanya. Senyumnya masih sama seperti pertama kali aku melihatnya. 10 tahun yang lalu.
Badannya sekarang lebih berisi juga lebih putih. Dulu dia agak kecoklatan. Dia tak berbicara.
Aku yang memulai meski dengan suara bergetar. Kutanyakan kabarnya, lalu meminta maaf
karena tidak kerumahnya sesuai permintaannya saat itu. 10 menit dia tetap tidak berkata apa-
apa. Hampir saja ketegaranku runtuh melihatnya hanya diam seperti itu. Namun detik
selanjutnya dia membuka mulutnya. Suara yang membuatku entah senang atau harus ikut
bersedih, “ Pernikahanku batal.” Kutanya kenapa setelah aku berhasil menguasai emosiku.

“Kenapa kau menghindariku? Kenapa waktu itu kau tidak datang?”

Aku diam. Tak mampu membuka mulutku. Apa yang harus kukatakan? Mengatakan alasannya
adalah aku sakit mengetahui dia akan menikah? Atau aku sudah menyukainya sejak 10 tahun
yang lalu bahkan ketika sekarang duduk didepannya?
“Hari itu aku ingin melamarmu. Didepan ibu. Tapi kau tidak datang. Kau malah menghindariku.
Aku benar-benar batal menikah.”dia tertawa.

Ya Tuhan, apa ini? Apa yang dia katakan? Melamarku? Pertemuan itu? itu sebabnya dia
memintaku kerumahnya? Melamarku didepan ibunya? Ya Tuhan sekali lagi Kau sungguh kejam.
Kenapa Kau suka sekali membuatku menderita? Apa ini skenario terbaikmu? Ini kisah yang
telah kau siapkan untukku?

Dia menjelaskan semuanya. Tentang ide melamarku di depan ibunya. Tentang keinginannya
memberikan lamaran romantis seperti film korea kesukaanku. Ya Tuhan, aku tak pernah tahu
dia memiliki perasaan itu. tidak pernah tahu dia selalu memperhatikanku. Selalu mencintaiku.
Sama seperti aku padanya.

Dia tertawa, tertawa lepas. Tawa yang membuatku hampir menangis. Dia sangat kejam. Kenapa
tega sekali membiarkanku menanggung perasaan ini sendirian? Menanggung beban? 10 tahun
bukan waktu yang singkat. Sama sekali bukan. Kenapa dia tega? Aku hampir menyerah. Aku
hampir benar-benar melepasnya.

“Aku juga perlu menyakinkan diriku sendiri. Menyakinkan bahwa ini hanya perasaan sayang
seorang kakak. Tapi aku salah. Semakin aku menyakinkan diriku kau hanya adik untukku,
semakin aku yakin aku harus bersamamu. Aku hampir kehilanganmu. Maafkan kepengecutanku
tidak mengizinkan hatiku jujur. Terima kasih telah kembali.” dia mengambil sesuatu dari
kantong celananya. Sebuah kotak. Sebuah cincin.

“Aku ingin melamarmu dengan cara berbeda, ingin kau terkesan tapi aku gagal total. Ini akan
jadi lamaran terpayah yang pernah ada.”dia kembali tertawa. Aku benci melihatnya.

Aku menangis. Susah payah aku berjanji aku tidak akan menangisi “pria jahat” ini. Aku gagal.
Aku menangis. “Kau memang pengecut. Benar-benar pengecut”

“Kau boleh mengumpat sesukamu. Aku tak peduli. Sungguh, maafkan kepengecutanku. Kali ini
aku akan tegas pada hatiku.” Dia meraih jemari kiriku. “ Semoga hatimu tidak berubah.
Menikahlah denganku…”

Cincin itu melingkari jari manisku. Agak kebesaran. Aku masih menangis bahkan sekarang air
mataku semakin deras. Tapi aku tertawa. Menimpuknya dengan bunga hiasan meja. Aku
mengangguk. “ Terima kasih karena memiliki perasaan yang sama.”

“Terima kasih karena mau menungguku. Menungguku berani. Menunggu selama itu.”

Harus bagaimana aku membalas hadiah terindahMu, Tuhan. Kau sungguh pandai membuatnya
begitu sempurna. Aku salah, kau selalu menjawab doaku. Bahkan lebih indah, lebih baik dari
yang kuinginkan. Aku sungguh malu baru menyadari kebesaranMu. Malu selama ini hanya
selalu menyalahkanMu. Sungguh hambaMu ini tidak tahu apa-apa. Engkaulah sebaik-baik
pembuat rencana. Sungguh terima kasihku tak akan pernah cukup.

Banyak orang yang tak letih menunggu, menunggu seseorang itu peka. Mungkin kau salah
satunya. Tapi tahukah kau? Aku tidak sepenuhnya menunggu. Aku berusaha memantaskan diri.
Bukan hanya meratap membayangkan, berkhayal seseorang itu tiba-tiba mengerti. Meski
dikatakan atau tidak itu tetap cinta, tapi penyesalan terbesarku adalah tidak mengungkapkan
perasaan itu sejak awal. Tak masalah jika saat itu dia belum menyadari perasaannya, tak
masalah jika pada akhirnya dia hanya menganggapku sebagai seorang adik – seperti
keraguannya – aku hanya ingin mengatakan aku menyukainya. Aku mencintainya. Ungkapkan
lalu setelah itu bukan urusanku lagi. Tuhanlah yang mengambil alih. Tapi percayalah, tak akan
ada yang bisa memisahkan jika Dia memang ingin kalian bersama. Dia tahu skenario yang lebih
indah.

Kau tak harus mengikuti kisahku. Tak harus menunggu seekstrim aku. Tapi kau harus percaya
kekuatan ikhlas itu sungguh luar biasa. Tak ada obat hati lebih mujarab dibanding ikhlas. Sabar
dan ikhlas adalah kombinasi super, aku menyebutnya begitu. Sulit sekali, sungguh sulit
melakukannya apalagi keduanya. Perlahan saja. Tidak usah buru-buru. Karena memang luka tak
langsung sembuh, ada fase-fasenya. Setelah sembuh pun masih tetap ada bekasnya maka
ikhlaslah, bersabarlah.

Jika terluka, bersabarlah.

End.

Terima kasih

AKR

Anda mungkin juga menyukai