Anda di halaman 1dari 38

REFERAT

PERITONITIS TB

Disusun oleh :
Gigin Sandria
406162042
Pembimbing
dr. Isfandiyar Fahmi, Sp.A

Kepanitraan Ilmu Kesehatan Anak


RSUD RAA Soewondo Pati
Periode 4 Desember – 10 Februari 2018
Fakultas Kedokteran Universitas Tarumanagara
Jakarta
2018

1
KATA PENGANTAR

Puji serta syukur penulis panjatkan kepada Allah SWT karena atas rahmat dan berkat–Nya
penulis dapat menyelesaikan referat yang berjudul “PERITONITIS TB”. Referat ini disusun
dalam rangka memenuhi tugas dalam Kepaniteraan Klinik Ilmu Kesehatan Anak di RSUD RAA
Soewondo Pati. Tujuan pembuatan referat ini juga untuk meningkatkan pengetahuan penulis serta
pembaca agar dapat bermanfaat bagi masyarakat.
Dalam penyusunan referat ini, tidak sedikit hambatan yang dihadapi. Namun, penulis menyadari
bahwa kelancaran dalam penyusunan referat ini tidak lain berkat bantuan, dorongan, dan
bimbingan semua pihak sehingga kendala-kendala yang penulis hadapi dapat teratasi. Oleh
karena itu, pada kesempatan ini penulis mengucapkan terima kasih sebesar-besarnya kepada dr.
Isfandiyar Fahmi, Sp.A sebagai dokter pembimbing dalam pembuatan referat ini.
Penulis menyadari bahwa dalam penulisan referat ini masih terdapat banyak kekurangan. Oleh
karena itu, penulis terbuka terhadap kritik dan saran yang membangun dari semua pihak. Semoga
referat ini dapat bermanfaat dan membantu teman sejawat serta para pembaca pada umumnya
dalam memahami penyakit peritonitis TB.

Pati, 3 Desember 2017

Penulis

2
DAFTAR ISI

HALAMAN JUDUL ................................................................................................................ 1


KATA PENGANTAR .............................................................................................................. 2
DAFTAR ISI ............................................................................................................................ 3

PENDAHULUAN ..................................................................................................................... 5
1.1 Latar Belakang ............................................................................................................ 5
1.2 Tujuan........................................................................................................................... 7
BAB II........................................................................................................................................ 8
TINJAUAN PUSTAKA ............................................................................................................ 8
2.1 Kelenjar Tiroid ............................................................................................................ 8
2.1.1 Anatomi Tiroid .......................................................................................................... 8
2.1.2 Fisiologi Tiroid ........................................................ Error! Bookmark not defined.
2.1.3 Regulasi Hormon Tiroid .......................................... Error! Bookmark not defined.
2.2 Hipertiroid ........................................................................................................................ 9
2.2.1 Epidemiologi Hipertiroid ........................................................................................... 9
2.2.2 Definisi Hipertiroid.................................................................................................. 10
2.2.3 Etiologi Hipertiroid.................................................................................................. 10
2.2.4 Patofisiologi Hipertiroid .......................................................................................... 11
2.2.5 Manifestasi Klinis .................................................................................................... 14
2.2.6 Pemeriksaan Penunjang ........................................... Error! Bookmark not defined.
2.2.6 Penatalaksanaan ....................................................................................................... 19
2.2.7 Komplikasi............................................................................................................... 23
2.2.8 Prognosis ................................................................................................................. 23
BAB III .................................................................................................................................... 24
REKAM MEDIK KASUS ....................................................................................................... 24
3.1 IDENTITAS ................................................................................................................... 24
3.2 DATA DASAR .............................................................................................................. 24
3.2.1 DATA SUBJEKTIF (ANAMNESIS): .................................................................... 24
3.2.2 PEMERIKSAAN FISIK ......................................................................................... 27
3.2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG ........................................................................... 29
3.3 DAFTAR MASALAH/DIAGNOSA ............................. Error! Bookmark not defined.

3
3.4 PENGKAJIAN ............................................................... Error! Bookmark not defined.
3.4.1 Clinical reasoning : .................................................. Error! Bookmark not defined.
3.4.2 Diagnosis Banding ............................................ Error! Bookmark not defined.
3.4.3 Rencana Diagnostik ........................................... Error! Bookmark not defined.
3.4.4 Rencana Terapi Farmakologis .......................... Error! Bookmark not defined.
3.4.5 Rencana Terapi Non-farmakologis .................... Error! Bookmark not defined.
3.4.6 Rencana Evaluasi ............................................... Error! Bookmark not defined.
3.4.7 Edukasi .............................................................. Error! Bookmark not defined.
3.4.8 Prognosis ........................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB IV ANALISIS KASUS ................................................... Error! Bookmark not defined.
BAB V PENUTUP .................................................................. Error! Bookmark not defined.
5.1 Kesimpulan................................................................ Error! Bookmark not defined.

4
BAB I
PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang

Tuberkulosis (TB) merupakan penyakit menular yang disebabkan oleh


Mycobacterium tuberculosis. Umumnya TB menyerang paru-paru, sehingga disebut dengan
TB paru. Tetapi kuman TB juga bisa menyebar ke bagian atau organ lain dalam tubuh, dan
TB jenis ini lebih berbahaya dari TB paru.1 Tuberkulosis anak mempunyai permasalahan
khusus yang berbeda dengan orang dewasa. Pada TB anak, permasalahan yang dihadapi
adalah masalah diagnosis, pengobatan, pencegahan serta TB dengan keadaan khusus.2
Akhir tahun 1990-an, World Health Organization memperkirakan bahwa sepertiga
penduduk dunia (2 miliar orang) telah terinfeksi oleh M. tuberculosis, dengan angka tertinggi
di Afrika, Asia dan Amerika Latin. Tuberkulosis, terutama TB paru, merupakan masalah
yang timbul tidak hanya di negara berkembang tetapi juga di negara maju. Tuberkulosis tetap
merupakan salah satu penyebab tingginya angka kesakitan dan kematian, baik di negara
berkembang maupun di negara maju. Menurut perkiraan WHO pada tahun 1999, jumlah
kasus TB baru di Indonesia adalah 583.000 orang per tahun dan menyebabkan kematian
sekitar 140.000 orang per tahun.3
Berbeda dengan TB dewasa, gejala TB anak sering kali tidak khas. Diagnosis pasti
ditegakkan dengan menemukan kuman TB. Pada anak, sulit didapatkan spesimen diagnostik
yang dapat dipercaya. Karena sulitnya mendiagnosis TB pada anak, sering terjadi
overdiagnosis yang diikuti overtreatment. Di lain pihak, ditemukan juga underdiagnosis dan
undertreatment. Hal tersebut terjadi karena sumber penyebaran TB umumnya adalah orang
dewasa dengan sputum basil tahan asam positif sehingga penanggulangan TB ditekankan
pada pengobatan pengobatan TB dewasa. Akibatnya penanganan TB anak kurang
diperhatikan.2

Tuberkulosis (TB) peritonitis merupakan suatu peradangan peritonium parietal atau


viseral yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium Tuberculosis, dan terlihat penyakit ini
juga sering mengenai seluruh peritoneum, sistem gastrointestinal, mesentrium dan organ
genetalia interna.2 Jenis penyakit ini biasanya jarang berdiri sendiri dan biasanya penyakit ini
merupakan kelanjutan proses penyakit tuberkulosa ditempat lain terutama TB paru, namun

5
pada saat diagnosa ditegakkan biasanya proses TB paru sudah tidak terlihat lagi. Hal ini bisa
saja terjadi karena proses TB paru sudah menyembuh terlebih dahulu, sedangkan penyebaran
di tempat atau organ lain masih berlangsung.2Berdasarkan penelitian yang dilakukan di
Meksiko pada tahun 2012 terhadap 24 kasus TB intestinal, sebanyak 60% kasus TB intestinal
merupakan sekunder dari penyakit TB paru.3
TB peritonitis biasanya lebih banyak dijumpai pada wanita dibandingkan pria,
dengan perbandingan 1,5:1. TB peritonitis dijumpai sebanyak 2% dari seluruh TB paru dan
59,8% dari tuberkulosis abdominal. Di Amerika Serikat penyakit ini berada diurutan ke enam
terbanyak diantara penyakit TB ekstra paru. Sedangkan penelitian lain menemukan hanya 5-
20% dari penderita TB peritonitial yang memiliki TB paru aktif.4Saat ini dilaporkan kasus TB
peritoneal dinegara maju semakin meningkat, peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya
insidensi AIDS di negara maju.4
TB peritonitis dapat dikenai oleh tuberkulosis melalui beberapa cara yaitu
penyebaran hematogen terutama dari paru, melalui dinding usus yang terinfeksi, dari kelenjar
limfe mesentrium, atau melalui tuba falopi yang terinfeksi.1
Gejala klinis yang biasa dialami pasien yang menderita TB intestinal jenis TB
peritonitis ini dapat terdiri dari beberapa gejala seperti sakit perut, pembengkakan perut,
keringat malam, demam, penurunan nafsu makan serta berat badan dan beberapa keluhan
simtomatik lainnya.4
Pada dasarnya penatalaksaan TB peritoneal ini sama dengan pengobatan TB paru,
obat-obat seperti streptomisin, INH, etambutol, rifampisin dan pirazinamid memberikan hasil
yang baik dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan, dan lamanya pengobatan
biasanya mencapai 9 bulan sampai 18 bulan atau lebih.5 Selain itu, beberapa ahli juga
berpendapat bahwa kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan
mengurangi terjadinya asites.1

6
1.2 Tujuan

Penulisan referat ini bertujuan untuk lebih memahami mengenai penyakit peritonitis TB anak,
cara menegakkan diagnosisnya, penatalaksanaan, dan komplikasinya serta untuk memberi
pengetahuan kepada penulis.

7
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Paru
2.1.1 Anatomi dan Fisiologi Paru6,7

Paru-paru manusia merupakan dua buah organ yang lunak dan berongga. Di dalam
mediastinum, paru dipisahkan oleh jantung, pembuluh darah, dan struktur lain mediastinum.
Masing-masing paru berbentuk konus, memiliki apeks yang tumpul dan menjorok keatas
serta dilapisi oleh pleura yang terikat dengan paru pada bagian hilusnya. Pada hilus
pulmonalis yang terletak di bagian medialnya terdapat suatu lekukan tempat masuknya
bronkus, pembuluh darah dan saraf ke paru-paru untuk membentuk radiks pulmonalis.

(Gambar 1: Lung anatomy, Sumber: http://www.newsperuvian.com/anatomy/lung-anatomy-2/ )

Paru-paru kanan sedikit lebih besar dari paru-paru kiri dan dibagi oleh fisura oblikua
dan fisura horisontalis menjadi 3 lobus, yaitu lobus superior, medius dan inferior. Sedangkan
paru-paru kiri dibagi oleh fisura oblikua menjadi 2 lobus, yaitu lobus superior dan inferior.

8
Bronkus merupakan bagian dari traktus respiratorius yang memasuki hilus paru.
Setiap bronkus lobaris akan bercabang menjadi beberapa bronkus segmentalis. Bronkus
segmentalis yang masuk ke lobus paru-paru secara struktural dan fungsional adalah
independen, dan dinamakan segmen bronkopulmonalis. Segmen ini berbentuk piramid,
mempunyai apeks yang mengarah ke radiks pulmonalis dan basisnya mengarah ke
permukaan paru-paru. Tiap segmen dikelilingi oleh jaringan ikat, dan selain bronkus juga
diisi oleh arteri, vena, pembuluh limfe dan saraf otonom.

Traktus respiratorius berakhir pada alveolus. Alveolus adalah kantong udara terminal
yang berhubungan erat dengan jejaring kaya pembuluh darah. Sirkulasi pulmonal memiliki
aliran udara tinggi dengan tekanan yang rendah, kurang lebih 50 mmHg. Paru-paru dapat
menampung sampai 20% volume darah total, dan hanya 10% dari volume tersebut yang
tertampung dalam kapiler. Yang terpenting dari sistem ventilasi paru-paru adalah upaya terus
menerus untuk memperbarui udara dalam area pertukaran gas paru-paru. Pertukaran gas
secara difusi terjadi antara alveoli dan pembuluh kapiler paru-paru. Difusi terjadi berdasarkan
prinsip perbedaan tekanan parsial gas yang bersangkutan.

2.2 Peritonitis TB
2.2.1 Epidemiologi

Tuberkulosis peritoneal lebih sering dijumpai pada wanita dibanding pria dengan
perbandingan 1,5:1 dan lebih sering dekade ke 3 dan 4.(4,5) Tuberkulosis peritoneal dijumpai
2 % dari seluruh Tuberkulosis paru dan 59,8% dari tuberculosis Abdominal.5 Di Amerika
Serikat penyakit ini adalah keenam terbanyak diantara penyakit extra paru sedangkan peneliti
lain menemukan hanya 5-20% dari penderita tuberkulosis peritoneal yang mempunyai TB
paru yang aktif 6,7

Pada saat ini dilaporkan bahwa kasus tuberculosis peritoneal di negara maju semakin
meningkat dan peningkatan ini sesuai dengan meningkatnya insiden AIDS di negara maju 1.
Dia Asia dan Afrika dimana tuberculosis masih banyak dijumpai, tuberculosis peritoneal
masih merupakan masalah yang penting. Manohar dkk melaporkan di Rumah Sakit King
Edward III Durban Afrika selatan menemukan 145 kasus tuberculosis peritoneal
selamaperiode 5 tahun (1984-1988) sedangkan dengan cara peritonoskopi.5 Daldiono
menemukan sebanyak 15 kasus di Rumah Sakit Cipto Mangunkusumo Jakarta selama
periode 1968-1972 dan Sulaiman di rumah sakit yang sama periode 1975-1979 menemukan

9
sebanyak 30 kasus tuberkulosa peritoneal begitu juga Sibuea dkk melaporkan ada 11 kasus
Tuberkulosis peritoneal di Rumah sakit Tjikini Jakarta untuk periode 1975-1977.5

2.2.2 Definisi

TB abdomen adalah penyakit yang disebabkan kuman mycobacterium tuberculosis mencakup


lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di peritoneum (TB peritonitis), usus, omentum,
mesenterium, dan hepar. M tuberculosis sampai ke organ tersebut secara hematogen ataupun
penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak yang jarang dijumpai, yaitu
sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada dewasa dengan perbandingan
perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1). Pada peritonium terbentuk tuberkel dengan massa
perkijuan yang dapat membentuk satu kesatuan (konfluen). Pada perkembangan selanjutnya,
omentum dapat menggumpal di daerah epigastrium dan melekat pada organ-organ abdomen,
sehingga pada akhirnya dapat menyebabkan obstruksi usus. Di lain pihak, kelenjar limfe yang
terinfeksi dapat membesar, menyebabkan penekanan pada vena porta dengan akibat
pelebaran vena dinding abdomen dan asites. Umumnya, selain gejala khusus peritonitis TB,
dapat timbul gejala klinis umum TB anak. Tanda yang dapat terlihat adalah ditemukannya
massa intraabdomen dan adanya asites. Kadang-kadang ditemukan fenomena papan catur,
yaitu pada perabaan abdomen didapatkan adanya massa yang diselingi perabaan lunak,
kadang-kadang didapatkan obstruksi usus dan ascites.8

2.2.3 Etiologi

Terdapat 60 lebih spesies Mycobacterium, tetapi hanya separuhnya yang merupakan patogen
terhadap manusia. Hanya terdapat 5 spesies dari Mycobacterium yang paling umum
menyebabkan infeksi, yaitu: M. Tuberculosis, M. Bovis, M. Africanum, M. Microti dan M.
Canetti. Dari kelima jenis ini M. Tuberkulosis merupakan penyebab paling penting dari
penyakit tuberkulosis pada manusia. Ada 3 varian M. Tuberkulosis yaitu varian humanus,
bovinum dan avium. Yang paling banyak ditemukan menginfeksi manusia M. Tuberkulosis
varian humanus.5
M. Tuberkulosis berbentuk batang, tidak membentuk spora, tidak berkapsul,
nonmotil, pleomorfik, dan termasuk bakteri gram positif lemah, serta memiliki ukuran
panjang 1-10 mikrometer dan lebarnya 0,2-0,6 mikrometer. M. Tuberkulosis tumbuh optimal
pada suhu 37-410C dan merupakan bakteri aerob obligat yang berkembang biak secara

10
optimal pada jaringan yang mengandung banyak udara seperti jaringan paru. Dinding sel
yang kaya akan lipid menjadikan basil ini resisten terhadap aksi bakterisid dari antibodi dan
komplemen. Sebagian besar dari dinding selnya terdiri atas lipid (80%), peptidoglikan, dan
arabinomannan. Lipid membuat kuman tahan terhadap asam sehingga disebut BTA dan
kuman ini tahan terhadap gangguan kimia dan fisika. Oleh karena ketahanannya terhadap
asam, M. Tuberkulosis dapat membentuk kompleks yang stabil antara asam mikolat pada
dinding selnya dengan berbagai zat pewarnaan golongan aryl methan seperti carbolfuchsin,
auramine dan rhodamin. Kuman ini dapat bertahan hidup di udara yang kering atau basah
karena kuman dalam keadaan dorman. Dan dari keadaan dorman ini kuman dapat reaktivasi
kembali.1
Di dalam jaringan, kuman hidup sebagai parasit intraseluler yaitu di dalam sitoplasma
makrofag karena pada sitoplasma makrofag banyak mengandung lipid. Kuman ini bersifat
aerob, sifat ini menunjukan bahwa kuman ini menyenangi jaringan yang tinggi mengandung
oksigen sehingga tempat predileksi penyakit ini adalah bagian apikal paru karena tekanan O2
pada apikal lebih tinggi dari pada tempat lainnya.4
M. Tuberkulosis dapat tumbuh pada medium klasik yang terdiri kuning telur dan
glyserin (medium Lowenstein-Jensen). Bakteri ini tumbuh secara lambat, dengan waktu
generasi 12- 24 jam. Pengisolasian dari spesimen klinis dari media sintetik yang solid
membutuhkan waktu 3-6 minggu dan untuk uji sensitivitas terhadap obat membutuhkan
tambahan waktu 4 minggu. Sementara itu, pertumbuhan bakteri ini dapat dideteksi dalam 1- 3
minggu dengan menggunakan medium cair yang selektif seperti BACTEC dan uji sensitivitas
terhadap obat hanya membutuhkan waktu tambahan 3-5 hari.5

2.2.4 Patofisiologi

Ketika kuman dibatukkan atau dibersinkan keluar menjadi droplet nuclei didalam udara yang
dapat menetap dalam udara bebas selama 1-2 jam, tergantung ada tidaknya sinar ultraviolet,
ventilasi yang baik dan kelembaban. Bila partikel terinfeksi ini terhisap oleh orang sehat ia
akan menempel pada jalan napas atau paru. Kebanyakan partikel ini akan mati atau
dibersihkan oleh makrofag keluar dari cabang trachea-bronkial beserta gerakan silia dan
sekretnya. Bila kuman tetap menempel pada alveoli maka basil akan berkembang. Reaksi
permukaan yang dihasilkan oleh basil tersebut adalah reaksi inflamasi, leukosit
polimorfonuklear berusaha memfagositosi bakteri tersebut, tetapi organisme tersebut tidak

11
dapat dimatikan.Sesuah hari pertama, terjadi perubahan yaitu leukosit diganti oleh makrofag,
ia tumbuh dan berkembang biak dalam sitoplasma makrofag.9
Kuman yang bersarang di jaringan paru-paru akan membentuk sarang TB pneumonia
kecil yang disebut dengan sarang primer atau afek primer. Sarang primer ini dapat terjadi di
bagian jaringan paru mana saja. Dari sarang primer timbul peradangan saluran getah bening
menjadi hilus, dan juga diikuti peradangan getah bening (KGB) hilus hingga menjadi
kompleks primer,k o m p l e k s p r i m e r i n i d a p a t l a n g s u n g b e r k o m p l i k a s i d a n
m e n ye b a r s e c a r a l i m f o g e n d a n h e m a t o g e n k e o r g a n t u b u h l a i n n ya , a t a u
b e r s i f a t d o r m a n t . Kuman yang dormant dapat muncul bertahun-tahun kemudian sebagai
infeksiendogen menjadi tuberculosis dewasa. Tuberculosis ini dapat dimulai dengansarang
dini di region atas paru-paru (bagian apical posterior lobus superior atau
inferior).10
Invasi pada daerah parenkim paru-paru sarang dini mula-mula berbentuk sarang
pneumonia kecil.Dalam waktu 3-10 minggu sarang inimenjadi tuberkel, yaitu suatu
granuloma yang terdiri dari sel-sel histiosit dansel Datia-langerhans (sel besar dengan banyak
luti) yang dikelilingi oleh sel-sellimfosit dan bermacam-macam jaringan ikat. Sarang dini ini
kemudian meluasdimana granuloma berkembang menghancurkan jaringan di
sekitarnya dan bagian tengahnya mengalami nekrosis dan lembek membentuk jaringan
keju, bila jaringan keju dibatukkan akan terjadi kavitas yang berdinding tipis, lama-lama
dindingnya menebal karena infiltrasi jaringan fibroblast dalam jumlah besar,
sehingga menjadi kavitas sklerotik.Kavitas ini meluas kembali danmenimbulkan sarang
pneumonia.Karena timbulnya peradangan saluran getah bening dan limfadenitis (pembesaran
kelenjar getah bening).Organisme yang lolos dari kelenjar getah bening akan mencapai aliran
darah yang disebut dengan limphohematogen. Karena pada peritoneum banyak mengandung
pembuluh-pembuluh darah maka tuberculosis dapat berkembang didaerah ini.11
Tuberkel pada daerah peritoneum sering ditemukan, kecil-
k e c i l berwarna putih kekuning-kuningan tampak menyebar di peritoneum atau padaalat-
alat tubuh yang berada di dalam rongga peritoneum.Selain tuberkel yangkecil terdapat
juga tuberkel yang besar.Di sekitar tuberkel terdapat reaksi jaringan peritoneum
berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapatt e r b e n t u k banyak, menutupi
t u b e r k e l d a n p e r i t o n e u m s e h i n g g a m e r u b a h dinding perut menjadi tegang.12
Peritoneum dapat diinfeksi oleh bakteri tuberculosis melalui beberapa cara yaitu:2
1. Melalui penyebaran hematogen terutama dari paru-paru
2. Melalui dinding usus yang terinfeksi
12
3. Dari kelenjar limfe mesentrium
4. Melalui tuba falopi yang terinfeksi
Pada kebanyakan kasus tuberkulosis peritoneal terjadi bukan sebagai akibat
penyebaran perkontinuitatum tapi sering karena reaktifasi proses laten yang terjadi pada
peritoneum yang diperoleh melalui penyebaran hematogen proses primer terdahulu (infeksi
laten “Dorman infection”) Seperti diketahui lesi tuberkulosa bisa mengalami supresi dan
menyembuh. Infeksi masih dalam fase laten dimana ia bisa menetap laten selama hidup
namun infeksi tadi bisa berkembang menjadi tuberkulosa pada setiap saat. Jika organisme
intrasseluler tadi mulai bermutiplikasi secara cepat.
Terdapat 3 bentuk peritonitis tuberkulosa, yaitu:2,11,12
1. Bentuk Eksudatif
Bentuk ini dikenal juga sebagai bentuk yang basah atau bentuk asites yang
banyak, gejala menonjol ialah perut membesar dan berisi cairan (asites).Pada
bentuk ini perlengketan tidak banyak dijumpai.Tuberkel sering dijumpai
kecil-kecil berwarna putih kekuning-kuningan milier, nampak tersebar di
peritoneum atau pada alat-alat tubuh yang berada di rongga
peritoneum.Disamping partikel yang kecil-kecil yang dijumpai tuberkel
yang lebih besar sampai sebesar kacang tanah.Disekitar tuberkel terdapat
reaksi jaringan peritoneum berupa kongesti pembuluh darah. Eksudat dapat
terbentuk cukup banyak, menutupi tuberkel dan peritoneum sehingga
merubah dinding perut menjadi tegang, Cairan asites kadang-kadang
bercampur darah dan terlihat kemerahan sehingga mencurigakan
kemungkinan adanya keganasan.Omentum dapat terkena sehingga terjadi
penebalan dan teraba seperti benjolan tumor.
2. Bentuk Adhesif
Disebut juga sebagai bentuk kering atau plastik dimana cairan tidak banyak
dibentuk.Pada jenis ini lebih banyak terjadi perlengketan.Perlengketan yang
luas antara usus dan peritoneum sering memberikan gambaran seperti tumor,
kadang kadang terbentuk fistel. Hal ini disebabkan karena adanya
perlengketan perlengketan. Kadang-kadang terbentuk fistel, hal ini
disebabkan karena perlengketan dinding usus dan peritoneum parietel
kemudian timbul proses necrosis. Bentuk ini sering menimbulkan keadaan
ileus obstruksi .Tuberkel-tuberkel biasanya lebih besar.

13
3. Bentuk Campuran
Bentuk ini kadang-kadang disebut juga kista, pembengkakan kista terjadi
melalui proses eksudasi bersama-sama dengan adhesi sehingga terbentuk
cairan dalam kantong-kantong perlengketan tersebut. Beberapa ahli
menganggap bahwa pembagian ini lebih bersifat untuk melihat tingkat
penyakit, dimana pada mulanya terjadi bentuk eksudatif dan kemudian
bentuk adhesif. Pemberian hispatologi jaringan biopsy peritoneum akan
memperlihatkan jaringan granulasi tuberkulosa yang terdiri dari sel-sel epitel
dan sel datia langerhans, dan pengkejutan umumnya ditemukan.

2.2.5 Manifestasi Klinis

Gejala klinis bervariasi.Pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-


lahan, sering penderita tidak menyadari keadaan ini. Pada lebih 70% kasus ditemukan
keluhan yang berlangsung lebih dari empat bulan. Keluhan yang paling sering adalah
adanya nyeri pada perut, pembengkakan perut, tidak nafsu makan, batuk, demam,
kelemahan, berat badan menurun dan distensi abdomen.11 Sedangkan dari hasil
penelitian terhadap 30 kasus penderita peritonitis t u b e r c u l o s i s y a n g d i r a w a t d i r u m a h
sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,antara tahun 1975 sampai dengan tahun
1 9 7 9 d i t e m u k a n k e l u h a n s e b a g a i berikut : sakit perut 57 %, pembengkakan perut 50 %,
batuk 40 %, demam 30% , a n o r e k s i a 3 0 % k e r i n g a t m a l a m 2 6 % , k e l e l a h a n
2 3 % , b e r a t b a d a n menurun 23 %, diare 20 %.11
Keluhan yang berasal dari saluran cerna seperti sakit perut, mencret dan
lain-lain berhubungan dengan ada tidaknya proses dalam usus atau adanya perlengketan
antara usus dengan peritoneum atau usus dengan usus. Jika perlengketan begitu hebat dapat
terjadi penggumpalan sehingga jalanmakanan terganggu dan terjadi gejala illeus obstruktif.12

2.2.6 Diagnosis

Gejala klinis bervariasi.Pada umumnya keluhan dan gejala timbul perlahan-


lahan, sering penderita tidak menyadari keadaan ini.Pada lebih 70%kasus ditemukan
keluhan yang berlangsung lebih dari empat bulan. Keluhan yang paling sering adalah
adanya nyeri pada perut, pembengkakan perut, tidak nafsu makan, batuk, demam,
kelemahan, berat badan menurun dan distensi abdomen.11 Sedangkan dari hasil

14
penelitian terhadap 30 kasus penderita peritonitis t u b e r c u l o s i s y a n g d i r a w a t d i r u m a h
sakit Cipto Mangunkusumo, Jakarta,antara tahun 1975 sampai dengan tahun
1 9 7 9 d i t e m u k a n k e l u h a n s e b a g a i berikut: sakit perut 57 %, pembengkakan perut 50 %,
batuk 40 %, demam 30% , a n o r e k s i a 3 0 % k e r i n g a t m a l a m 2 6 % , k e l e l a h a n
2 3 % , b e r a t b a d a n menurun 23 %, diare 20 %.11
Keluhan yang berasal dari saluran cerna seperti sakit perut, mencret dan
lain-lain berhubungan dengan ada tidaknya proses dalam usus atau adanya perlengketan
antara usus dengan peritoneum atau usus dengan usus. Jika perlengketan begitu hebat dapat
terjadi penggumpalan sehingga jalanmakanan terganggu dan terjadi gejala illeus obstruktif.12
Untuk menegakkan diagnosa peritonitis TB dilakukan beberapa pemeriksaan yaitu
dimulai dari anamnesa, pemeriksaan serta pemeriksaan penunjang.12
A. Anamnesa
Pemeriksaan dilakukan dengan menggali berbagai informasi yang
dikeluhkan oleh pasien.Biasanya pada saat anamnesa dilakuka pasien sering
mengeluhkan nyeri perut diseluruh lapangan abdomen, nyeri dirasa tidak terlalu
khas.Nyeri perut biasanya terkadang juga disertai dengan mual, muntah. Tidak
jarang pasien dengan Peritonitis TB mengeluhkan gejala-gejala TB seperti keringat
pada malam hari, demam yang tidak terlalu tinggi, anoreksia, penurunan berat
badan serta diare.11
B. Pemeriksaan Fisik
Pada pemeriksaan fisik gejala yang sering dijumpai adalah asites, demam,
pembengkakan perut, nyeri perut, pucat dan kelelahan, tergantung lamanya
keluhan. Keadaan umum pasien bisa masih cukup baik sampai keadaan kurus dan
kahexia, pada wanita sering dijumpai tuberkulosa peritoneum disertai oleh proses
tuberculosis pada ovarium atau tuba, sehingga pada alat genital bisa ditemukan
tanda-tanda peradangan yang sering sukar dibedakan dengan kista ovarium.13
C. Pemeriksaan Penunjang
1. Laboratorium12,13,14
Pemeriksaan darah tepi sering dijumpai adanya anemia penyakit
kronis,leukositosis ringan ataupun leukopenia , trombositosis, gangguan faal
hati dan sering dijumpai laju endap darah (LED) yang meningkat, sedangkan
pada pemeriksaan tes tuberculin hasilnya sering negatif. Pada pemeriksaan
analisa cairan asites umumnya memperlihatkan exudat dengan protein > 3 gr/dl
jumlah sel diatas 100-3000sel/ml. Biasanya lebih dari 90% adalah limfosit

15
LDH biasanya meningkat.Cairan asites yang perulen dapat ditemukan begitu
juga cairan asites yang bercampur darah (serosanguinous). Pemeriksaan basil
tahan asam (BTA) didapati hasilnya kurang dari 5 % yang positif dan
dengankultur cairan ditemukan kurang dari 20% hasilnya positif.
Ada beberapa peneliti yang mendapatkan hampir 66% kultur BTAnya
yang positif dan akan lebih meningkat lagi sampai 83% bila menggunakan
kultur cairan asites yang telah disetrifuge dengan jumlah cairan lebih dari 1
liter. Dan hasil kultur cairan asites ini dapat diperoleh dalam waktu 4-8
minggu. Perbandingan serum asites albumin (SAAG) pada tuberculosis
peritoneal ditemukan rasionya < 1,1 gr/dl namun hal ini juga bisa dijumpai
pada keadaankeganasan, sindroma neprotik, penyakit pancreas , kandung
empedu atau jaringan ikat sedangkan bila ditemukan >1,1 gr/dl ini merupakan
cairan asites akibat portal hipertensi. Perbandingan glukosa cairan asites
dengan darah pada tuberculosis peritoneal <0,96 sedangkan pada asites dengan
penyebab lain rationya >0,96. Penurunan PH cairan asites dan peningkatan
kadar laktat dapat dijumpai pada tuberculosis peritoneal dan dijumpai
signifikan berbeda dengan cairan asites padasirosis hati yang steril, namun
pemeriksaan PH dan kadar laktat cairan asites ini kurang spesifik dan belum
merupakan suatu kepastian karena hal ini juga dijumpai pada kasus asites oleh
karena keganasan atau spontaneous bacterial peritonitis.
2. Foto Rontgen
Pemeriksaan sinar tembus pada system pencernaan mungkin dapat
membantu jika didapat kelainan usus kecil atau usus besar.12

Foto polos radiologi abdomen yang menunjukkan difus kalsifikasi mesenteric


limfadenopati pada pasien TB

16
3. Ultrasonografi
Pada pemeriksaan ultrasonografi (USG) dapat dilihat adanya cairan dalam
rongga peritoneum yang bebas atau terfiksasi (dalam bentuk kantong-kantong)
menurut Rama & Walter B, gambaran sonografi tuberculosis yang sering
dijumpai antara lain cairan yang bebas atau terlokalisasi dalam rongga
abdomen, abses dalam rongga abdomen, masa didaerah ileosaecal dan
pembesaran kelenjar limfe retroperitoneal, adanya penebalan mesenterium,
perlengketan lumen usus dan penebalan omentum, mungkin bisa dilihat dan
harus diperiksa dengan seksama. Mizzunoe dkk berhasil menggunakan USG
sebagai alat Bantu biopsy secara tertutup dalam menegakkan diagnosa
peritonitis tuberkulosa.13

4. CT SCAN
Pemeriksaan CT Scan untuk peritoneal tuberculosis tidak ada ditemui
suatu gambaran yang khas, namun secara umum ditemui adanya gambaran
peritoneum yang berpasir dan untuk pembuktiannya perlu dijumpai bersamaan
dengan adanya gejala klinik dari tuberculosis peritoneal. Rodriguez E dkk yang
melakukan suatu penelitian yang membandingkan tuberculosisperitoneal
dengankarsinoma peritoneal dan karsinoma peritoneal dengan melihat
gambaran CT Scan terhadap peritoneum parietalis. Adanya peritoneum yang
licin dengan penebalan yang minimal dan pembesaran yang jelas menunjukkan
suatu peritoneum tuberculosis sedangkan adanya nodul yang tertanam dan
penebalan peritoneum yang teratur menunjukkan suatu perintoneal
karsinoma.14

5. Peritonoskopi (Laparoskopi)
Peritonoskopi / laparoskopi merupakan cara yang relatif aman, mudah
dan terbaik untuk mendiagnosa tuberculosis peritoneal terutama bila ada cairan
asites dan sangat berguna untuk mendapat diagnosa pasien-pasien muda dengan
simtom sakit perut yang tak jelas penyebabnya (27,28) dan cara ini dapat
mendiagnosa tuberculosis peritoneal 85% sampai 95% dan dengan biopsy yang
terarah dapat dilakukukan pemeriksaan histology dan bisa menemukan adanya
gambaran granuloma sebesar 85% hingga 90% dari seluruh kasus dan bila
dilakukan kultur bisa ditemui BTA hampir 75%. Hasil histology yang lebih
17
penting lagi adalah bila didapat granuloma yang lebih spesifik yaitu jika
didapati granuloma dengan pengkejuan.15
Gambaran yang dapat dilihat pada tuberculosis peritoneal :14,15
1. Tuberkel kecil ataupun besar dengan ukuran yang bervariasi yang dijumpai
tersebar luas pada dinding peritoneum dan usus dan dapat pula dijumpai
permukaan hati atau alat lain tuberkel dapat bergabung dan merupakan
sebagainodul.
2. Perlengketan yang dapat berpariasi dari ahanya sederhana sampai hebat(luas)
diantara alat-alat didalam rongga peritoneum. Sering keadaan ini merubah letak
anatomi yang normal.Permukaan hati dapat melengket pada dinding
peritoneum dan sulit untuk dikenali.Perlengketan diantara usus mesenterium
dan peritoneum dapat sangat ekstensif.
3. Peritoneum sering mengalami perubahan dengan permukaan yang sangat
kasaryang kadang-kadang berubah gambarannya menyerupai nodul.
4. Cairan asites sering dijumpai berwarna kuning jernih, kadang-kadang cairan
tidak jernih lagi tetapi menjadi keruh, cairan yang hemoragis juga dapat
dijumpai.
Biopsi dapat ditujukan pada tuberkel-tuberkel secara terarah atau pada
jaringan lain yang tersangka mengalami kelainan dengan menggunakanalat
biopsy khusus sekaligus cairan dapat dikeluarkan. Walupun pada umumnya
gambaran peritonoskopi peritonitis tuberculosis dapat dikenal dengan mudah,
namun gambaran gambarannya bisa menyerupai penyakit lain seperti
peritonitis karsinomatosis, karena itu biopsy harus selalu diusahakan dan
pengobatan sebaiknya diberikan jika hasil pemeriksaan patologi anatomi
menyokong suatu peritonitis tuberkulosa. Peritonoskopi tidak selalu mudah
dikerjakan dan dari 30 kasus, 4 kasus tidak dilakukan peritonoskopi karena
secara tekhnis dianggap mengandung bahaya dan sukar dikerjakan.15
Adanya jaringan perlengketan yang luas akan merupakan hambatan
dankesulitan dalam memasukkan trokar dan lebih lanjut ruangan yang sempit di
dalam rongga abdomen juga menyulitkan pemeriksaan dan tidak jarang alat
peritonoskopi terperangkap didalam suatu rongga yang penuh dengan
perlengketan, sehingga sulit untuk mengenal gambaran anatomi alat-alat yang
normal dan dalam keadaan demikian maka sebaiknya dilakukan laparotomi
diagnostik.14
18
2.2.7 Penatalaksanaan

Pada dasarnya pebngobatan sama dengan pengobatan tuberculosis paru, obat-obat

seperti Streptomisin, INH, Etambutol, Rifamficin dan Pirazinamid memberikan hasil yang

baik, dan perbaikan akan terlihat setelah 2 bulan pengobatan dan lamanya pengobatan

biasanya mencapai sembilan bulan sampai 18 bulan atau lebih. Beberapa penulis berpendapat

bahwa kortikosteroid dapat mengurangi perlengketan peradangan dan mengurangi terjadinya

asites. Dan juga terbukti bahwa kortikosteroid dapat mengurangi angka kesakitan dan

kematian,namun pemberian kortikosteroid ini harus dicegah pada daerah endemis dimana

terjadi resistensi terhadap Mycobacterium tuberculosis . Alrajhi dkk yang mengadakan

penelitian secara retrospektif terhadap 35 pasien dengan tuberculosis peritoneal mendapatkan

bahwa pemberian kortikosteroid sebagai obat tambahan terbukti dapat mengurangi insidensi

sakit perut dan sumbatan pada usus. Pada kasus-kasus yang dilakukan peritonoskopi sesudah

pengobatan terlihat bahwa partikel menghilang namun di beberapa tempat masih dilihat

adanya perlengketan.1

Obat TB utama (first line, lini utama) saat ini adalah rifampisin (R), isoniazid (H),
pirazinamid (Z), etambutol (E), dan Streptomisin (S). Rifampisin dan isoniazid merupakan
obat pilihan utama dan ditambah dengan pirazinamid, etambutol, dan streptomisin. Obat lain
(second line, lini kedua) adalah para-aminosalicylic acid (PAS), cycloserin terizidone,
ethionamide, prothionamide, ofloxacin, levofloxacin, mixiflokxacin, gatifloxacin,
ciprofloxacin, kanamycin, amikacin, dan capreomycin, yang digunakan jika terjadi MDR.5

Isoniazid

Isoniazid (isokotinik hidrazil) adalah obat antituberkulosis (OAT) yang sangat efektif
saat ini, bersifat bakterisid dan sangat efektif terhadap kuman dalam keadaan metabolik aktif
(kuman yang sedang berkembang), bakteriostatik terhadap kuman yang diam. Obat ini efektif
pada intrasel dan ekstrasel kuman, dapat berdifusi ke dalam seluruh jaringan dan cairan tubuh
termasuk CSS, cairan pleura, cairan asites, jaringan kaseosa, dan memiliki angka reaksi
simpang (adverse reaction) yang sangat rendah.2,5

19
Isoniazid diberikan secara oral. Dosis harian yang biasa diberikan adalah 5-15
mg/kgBB/hari, maksimal 300mg/hari, dan diberikan dalam satu kali pemberian. Isoniazid
yang tersedia umumnya dalam bentuk tablet 100 mg dan 300 mg, dan dalam bentuk sirup 100
mg/5cc. sedian dalam bentuk sirup biasanya tidak stabi, sehingga tidak dianjurkan
penggunaannya. Konsentrasi puncak di dalam darah, sputum, dan CSS dapat dicapai dalam
1-2 jam dan menetap selama paling sedikit 6-8 jam. Isoniazid dimetabolisme melalui asetilasi
di hati. Anak-anak mengeliminasi isoniazid lebih cepat daripada orang dewasa, sehingga
memerlukan dosis mg/KgBB yang lebih tinggi dari pada dewasa. Isoniazid pada air susu ibu
(ASI) yang mendapat isoniazid dan dapat menembus sawar darah plasenta, tetapi kadar obat
yang mmencapai janin/bayi tidak membahayakan.2,3

Isoniazid mempunyai dua efek toksik utama, yaitu hepatotoksik dan neuritis perifer.
Keduanya jarang terjadi pada anak, biasanya terjadi pada pasien dewasa dengan frekuensi
yang meningkat dengan bertambahnya usia. Sebagian besar pasien anak yang menggunakan
isoniazid mengalami peningkatan kadar transaminase darah yang tidak terlalu tinggi dalam 2
bulan pertama, tetapi akan menurun sendiri tanpa penghentian obat. Idealnya, perlu
pemantauan kadar transaminase pada 2 bulan pertama, tetapi karena jarang menimbulkan
hepatotoksisitas maka pemantauan laboratorium tidak rutin dilakukan, kecuali bila ada gejala
dan tanda klinis.2

Rifampisin

Rifampisin bersifat bakterisid pada intrasel dan ekstrasel, dapat memasuki semua
jaringan dan dapat membunuh kuman semidorman yang tidak dapat dibunuh oleh isoniazid.
Rifampisin diabsorbsi dengan baik melalui sistem gastrointestinal pada saat perut kosong (1
jam sebelum makan), dan kadar serum puncak tercapai dalam 2 jam. Saat ini, rifampisin
diberikan dalam bentuk oral dengan dosis 10-20 mg/kgBB/hari, dosis maksimal 600 mg/hari,
dengan satu kali pemberian per hari. Jika diberikan bersamaan dengan isoniazid , dosis
rifampisin tidak melebihi 15 mg/kgBB/hari dan dosis isoniazid 10 mg/kgBB/hari.
Distribusinya sama dengan isoniazid.3

Efek samping rifampisin lebih sering terjadi dari isoniazid. Efek yang kurang
menyenangkan bagi pasien adalah perubahan warna urin, ludah, sputum, dan air mata,
menjadi warna oranye kemerahan. Selain itu, efek samping rifampisin adalah gangguan
gastrointestinal (mual dan muntah), dan hepatotoksisitas (ikterus/hepatitis) yang biasanya
ditandai dengan peningkatan kadar transaminase serum yang asimtomatik. Jika rifampisin

20
diberikan bersamaan isoniazid, terjadi peningkatan risiko hepatotosisitas, dapat diperkecil
dengan cara menurunkan dosis harian isoniazid menjadi maksimal 10mg/kgBB/hari.
Rifampisin juga dapat menyebabkan trombositopenia, dan dapat menyebabkan kontrasepsi
oral menjadi tidak efektif dan dapat berinteraksi dengan beberapa obat, termasuk kuinidin,
siklosporin, digoksin, teofiin, kloramfenikol, kortokosteroid dan sodium warfarin. Rifampisin
umumnya tersedia dalam sedian kapsul 150 mg, 300 mg dan 450 mg, sehingga kurang sesuai
digunakan untuk anak-anak dengan berbagai kisaran BB. Suspensi dapat dibuat dengan
menggunakan berbagai jenis zat pembawa, tetapi sebaiknya tidak diminum bersamaan
dengan pemberian makanan karena dapat menimbulkan malabsorpsi.2,5

Pirazinamid

Pirazinamid adalah derivat nikotinamid, berpenetrasi baik pada jaringan dan cairan
tubuh termasuk CSS, bakterisid hanya pada intrasel suasana asam, dan diabsorbsi baik pada
saluran cerna. Pemberian pirazinamid secara oral sesuai dosis 15-30 mg/kgBB/hari dengan
dosis maksimal 2 gram/hari. Kadar serum puncak 45 µg/ml dalam waktu 2 jam. Pirazinamid
diberikan pada fase intensif karena pirazinamid sangat baik diberikan pada saat suasana
asam., yang timbul akibat jumlah kuman yang masih sangat banyak. Penggunaan pirazinamid
aman pada anak. Kira-kira 10 % orang dewasa yang diberikan pirazinamid mengalami efek
samping berupa atralgia, artritis, atau gout akibat hiperurisemia, tetapi pada anak manifestasi
klinis hiperurisemia sangat jarang terjadi. Efek samping lainnya adalah hepatotoksisitas,
anoreksia, dan iritasi saluran cerna. Reaksi hipersensitivitas jarang timbul pada anak.
Pirazinamid tersedia dalam bentuk tablet 500 mg, tetapi seperti isoniazid, dapat digerus dan
diberikan bersamaan makanan.2,3

Etambutol

Etambutol jarang diberikan pada anak karena potensi toksisitasnya pada mata. Obat
ini memiliki aktivitas bakteriostatik, tetapi dapat bersifat bakterisid jika diberikan dengan
dosis tinggi dengan terapi intermiten. Selain itu, berdasarkan pengalaman, obat ini dapat
mencegah timbulnya resistensi terhadap obat-obat lain. Dosis etambutol adalah 15-20
mg/kgBB/hari, maksimal 1,25 gr/hari dengan dosis tunggal. Kadar serum puncak 5 µg dalam
waktu 24 jam. Etambutol tersedia dalam bentuk tablet 250 mg dan 500 mg. etambutol
ditoleransi dengan baik oleh dewasa dan anak-anak pada pemberian oral dengan dosis satu
tau dua kali sehari , tetapi tidak berpenetrasi baik pada SSP, demikian juga pada keadaan
meningitis.5

21
Eksresi utama melalui ginjal dan saluran cerna. Interaksi obat dengan etambutol tidak
dikenal. Kemungkinan toksisitas utam adalah neuritis optok dan buta warna merah-hijau
sehingga seringkali penggunaannya dihindari pada anak yang belum dapat diperiksa tajam
penglihatannya. Rekomendasi WHO yang terakhir mengenai penatalaksanaan TB anak,
etambutol dianjurkan penggunaanya pada anak dengan dosis 15-25 mg/kgBB/hari. Etambutol
dapat diberikan pada anak dengan TB berat dan kecurigaan TB resisten-obat jika obat-obat
lainnya tidak tersedia atau tidak dapat digunakan.2,3

Streptomisin
Streptomisin bersifat bakterisid dan bakteriostatik terhadap kuman ekstraseluler pada
keadaan basal atau netral, sehingga tidak efektif untuk membunuh kuman intraseluler. Saat
ini streptomisin jarang digunakan dalam pengobatan TB tetapi penggunaannya penting
penting pada pengobatan fase intensif meningitis TB dan MDR-TB. Streptomisin diberikan
secara intramuskular dengan dosis 15-40 mg/kgBB/hari, maksimal 1 gr/hari dan kadar
puncak 40-50 µg/ml dalam waktu 1-2 jam.5
Streptomisin sangat baik melewati selaput otak yang meradang, tetapi tidak dapat
melewati selaput otak yang tidak meradang.streptomisin berdifusi baik pada jaringan dan
cairan pleura dan di eksresikan melalui ginjal. Penggunaan utamanya saat ini adalah jika
terdapat kecurigaan resistensi awal terhadap isoniazid atau jika anak menderita TB berat.
Toksisitas utama streptomisin terjadi pada nervus kranialis VIII yang mengganggu
keseimbangan dan pendengaran dengan gejala berupa telinga berdegung (tinismus) dan
pusing. Toksisitas ginjal jarang terjadi. Streptomisin dapat menembus plasenta, sehingga
perlu berhati-hati dalam menentukan dosis pada wanita hamil karena dapat merusak saraf
pendengaran janin yaitu 30% bayi akan menderita tuli berat.2,5

Nama Obat Dosis harian Dosis maksimal Efek Samping


(mg/kgBB/hari) (mg/hari)

Isoniazid 5-15* 300 Hepatitis, neuritis perifer, hipersensitivitas

Rifampisin 10-20 600 Gastrointestinal, reaksi kulit, hepatitis,


trombositopenia, peningkatan enzim hati, cairan
tubuh berwarna oranye kemerahan

Pirazinamid 15-30 2000 Toksisitas hati, atralgia, gastrointestinal

22
Etambutol 15-20 1250 Neuritis optik, ketajaman penglihatan berkurang,
buta warna merah-hijau, penyempitan lapang
pandang, hipersensitivitas, gastrointestinal

Streptomisin 15-40 1000 Ototoksis, nefrotoksik

* Bila isoniazid dikombinasikan dengan rifampisin, dosisnya tidak boleh melebihi 10


mg/kgBB/hari.

** Rifampisin tidak boleh diracik dalam satu puyer dengan OAT lain karena dapat
mengganggu bioavailabilitas rifampisin. Rifampisin diabsorpsi dengan baik melalui
sistemgastrointestinal pada saat perut kosong (satu jam sebelum makan.

Obat antituberkulosis yang biasa dipakai dan dosisnya2,5

2.2.8 Komplikasi4

Limfadenitis, meningitis, osteomielitis, arthtritis, enteritis, peritonitis, penyebaran ke


ginjal, mata, telinga tengah dan kulit dapat terjadi. Bayi yang dilahirkan dari orang tua yang
menderita tuberkulosis mempunyai risiko yang besar untuk menderita tuberkulosis.
Kemungkinan terjadinya gangguan jalan nafas yang mengancam jiwa harus dipikirkan pada
pasien dengan pelebaran mediastinum atau adanya lesi pada daerah hilus.

2.2.9 Prognosis4
Peritonitis tuberkulosa jika dapat segera ditegakkan dan mendapat pengobatan yang

tepat akan memberikan hasil cukup baik.

1. Ad vitam : bonam

2. Ad functionam : bonam

3. Ad sanationam : bonam

23
BAB III
REKAM MEDIK KASUS

3.1 IDENTITAS
Nama : An.MAR
Usia : 14 tahun 5 bulan
No CM : 181571
Jenis kelamin : Laki-Laki
Pendidikan Terakhir: Sekolah Menengah Pertama
Pekerjaan :-
Status Perkawinan : Belum Menikah
Agama : Islam
Suku : Jawa
Alamat : Pelemgede 1/1 Pucakwangi

3.2 DATA DASAR


3.2.1 DATA SUBJEKTIF (ANAMNESIS):

Alloanamnesa dan autoanamnesa dengan ibu pasien dan pasien dilakukan di bangsal
cempaka , yaitu pada tanggal 18 Desember 2017 pukul 11.00.
Keluhan Utama : Batuk > 1 bulan SMRS dan nyeri perut kanan atas
Riwayat Penyakit Sekarang :
Pasien datang ke poli Anak RSUD RAA Soewondo Pati pada hari Rabu, 13 Desember 2017
pada pagi hari (pukul 10.00) karena mengeluhkan batuk > 1 bulan dan nyeri perut kanan atas
2 bulan SMRS. Nyeri perut dirasakan hilang timbul dan nyeri juga dirasakan dibagian perut
kanan bawah. Nyeri dirasakan seperti tertusuk-tusuk. Pasien juga mengeluhkan mual disertai
muntah sejak +/- 2 bulan terakhir, bersamaan dengan keluhan nyeri perut. Muntah terkadang
berwarna kehijauan dengan konsistensi encer, volume +/- 2 sdm per-kali muntah. Pasien juga
mengeluhkan mengalami penurunan berat badan sejak +/- 2 bulan terakhir sebanyak 6 kg.
Pasien juga mengalami penurunan nafsu makan sehari-harinya. Selain itu, pasien juga
mengeluhkan keluarnya keringat dingin pada malam hari. Pasien memiliki riwayat TB paru 3
bulan yang lalu dan sedang mendapatkan terapi.

24
Riwayat Penyakit Dahulu :
 Riwayat TB Paru (+)
 Riwayat hipertensi disangkal
 Riwayat kencing manis disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit paru disangkal

Riwayat Penyakit Keluarga :


 Riwayat TB Paru disangkal
 Riwayat hipertensi pada keluarga disangkal
 Riwayat diabetes mellitus pada keluarga disangkal
 Riwayat penyakit jantung disangkal
 Riwayat penyakit paru disangkal

Riwayat Perinatal :
Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara. Pasien dilahirkan dengan persalinan
normal di Rumah Sakit dengan BBL 3000 gram dan PBL 49 cm dengan usia kandungan
kurang lebih 9 bulan. Pasien langsung menangis saat dilahirkan. Saat mengandung, ibu
pasien rutin memeriksakan kandungannya puskesmas. Selama mengandung, ibu pasien
mengaku tidak pernah menderita penyakit tekanan darah tinggi, kencing manis, penyakit
jantung, paru dan infeksi serta tidak merasa adanya masalah kesehatan. Ibu pasien juga tidak
mengonsumsi jamu-jamuan tertentu.

Riwayat Imunisasi :
Ibu pasien mengaku anaknya telah diimunisasi lengkap:
- Saat lahir : HepB 0
- 1 bulan : BCG, polio 1
- 2 bulan : DPT/HepB 1, polio 2
- 3 bulan : DPT/HepB 2, polio 3
- 4 bulan : DPT/HepB 3, polio 4
- 9 bulan : Campak
- 7 tahun : MR
-

25
Riwayat Pertumbuhan dan Perkembangan :
Pertumbuhan
BB : 50 kg
TB : 158 cm
IMT : 20.02 kg/m2
Growchart CDC
BB/U : 96.29% (Gizi baik)
TB/U : 96.93% (baik/normal)
BB/TB : 113.04% (Gizi lebih)
Kesan : status gizi lebih, perawakan normal
Perkembangan
 Persona sosial : Pasien aktif berorganisasi di sekolahnya dan memiliki banyak teman
baik di sekolah maupun di lingkungan perumahannya.
 Motorik kasar : Pasien dapat melakukan semua aktivitas sesuai dengan perkembangan
umurnya, seperti bermain badminton, berenang, dan bermain voli.
 Motorik halus : Pasien dapat melakukan semua aktivitas sesuai dengan perkembangan
umurnya, seperti menulis, menjahit, dan melukis pemandangan.
 Bahasa : Pasien dapat berbicara menggunakan bahasa Indonesia dan bahasa Jawa
secara fasih.
Kesan : Pekembangan sesuai dengan usia pasien saat ini

Riwayat asupan nutrisi :


 Usia 0-6 bulan : Pasien diberikan ASI eksklusif
 Usia 6-9 bulan : ASI + MP-ASI berupa bubur bayi 3x sehari
 Usia 9-11 bulan : ASI + MP-ASI berupa makanan lunak 3x sehari dan selingan berupa
biscuit bayi 1x sehari
 Usia 1-2 tahun : ASI + Susu formula + makanan keluarga yang dicincang kasar (nasi,
sayur, telur, ayam, daging), buah-buahan, dan selingan berupa biskuit.
 Usia 2 tahun- sekarang : makanan keluarga 3x sehari, nasi putih + lauk pauk seperti telur,
ayam, daging, ikan, sayur, buah-buahan, 1 gelas susu.
Kesan : Kuantitas dan kualitas asupan nutrisi tercukupi

26
Riwayat Menstruasi :
Menstruasi tidak teratur, sering telat hingga paling lama 4 bulan. Saat mens berlangsung 5
hari, biasa kurang dan darah yang keluar sedikit.

3.2.2 PEMERIKSAAN FISIK


(Dilakukan tanggal 18 Desember 2017 pukul 11.00)

Pemeriksaan Umum
Keadaan umum : Baik
Kesadaran : Kompos Mentis
Tanda vital
Tekanan darah : 120/70 mmHg
Frekuensi nadi : 96 x/menit, regular, isi cukup
Frekuensi napas : 20 x/menit
Suhu tubuh : 36,8o C
Saturasi oksigen : 98%

Status Generalisata

Kepala : Mesocephal, tidak teraba adanya benjolan, rambut warna hitam dan
terdistribusi merata, tidak mudah dicabut

Mata : Pupil bulat, isokor D/S (+/+), diameter 2-3 mm, refleks cahaya langsung dan
tidak langsung D/S (+/+), Konjungtiva Anemis -/- , Sklera Ikterik -/-, mata cekung (-),
eksoftalmus (-), retraksi kelopak mata (-)
Telinga : Normotia, liang telinga terlihat lapang, tidak ada sekret, serumen (+)
Hidung : bentuk normal, deviasi septum (-) Rinore -/-, Epistaksis -/-, nafas cuping
hidung (-), sekret (-)
Mulut : mukosa merah muda, lembab, sianosis perioral (-)
Leher : trakea di tengah, pembesaran KGB (+) Submandibula & Aksilla

Thoraks-Paru :
Inspeksi : Dinding thoraks bentuk normal, simetris kanan dan kiri saat inspirasi dan
ekspirasi, retraksi dinding dada (-)
Palpasi : Stem fremitus kanan dan kiri sama kuat

27
Perkusi : Sonor di seluruh lapang paru
Auskultasi : Suara dasar vesikular +/+, rhonki (+), wheezing (-)
Kesan : Terdapat rhonki pada paru kanan dan kiri.
Jantung :
Inspeksi : Pulsasi ictus cordis tidak tampak
Palpasi : Pulsasi ictus cordis teraba di ICS V MCL sinistra
Perkusi : Redup, batas jantung tidak melebar
Auskultasi :Bunyi jantung I dan II normal, reguler, murmur(-),gallop(-)
Kesan : Jantung dalam batas normal
Abdomen
Inspeksi : dinding abdomen tampak datar
Auskultasi : Bising usus (+)
Perkusi : timpani di seluruh lapang abdomen, nyeri ketok CVA -/-
Palpasi : Supel, distensi (-), nyeri tekan (+) perut kuadaran kanan atas, Hepatomegali (+) 2
jari dibawah arcus costae.
Kesan : Nyeri tekan dan terdapat hepatomegali.

Anus dan Genitalia: bentuk normal tak tampak adanya kelainan, fimosis (-)
Ekstremitas : akral hangat++/++, oedem ekstremitas --/--, CRT < 2s
Tulang Belakang : inspeksi saat istirahat dan bergerak normal, tidak tampak
adanya kelainan.
Kulit : sianosis (-), turgor kulit baik, berkeringat (-)
Kelenjar Getah Bening : Pembesaran (+) submandibula & aksila, tidak ada nyeri tekan.

PEMERIKSAAN NEUROLOGIS :
Motorik Refleks Fisiologis (Normorefleks D/S)
Inspeksi : postur baik, normotrofi D/S -Biceps ++/++, Triceps ++/++
Palpasi : Normotoni D/S -Patella ++/++, Achilles ++/++
Rangsang meningeal Refleks Patologis
-Kaku kuduk (-) -Babinski (-/-), Chaddock (-/-)
-Burdzinsky 1-IV (-) -Gordon (-/-), Schaffer (-/-)
-Laseque (-), Kerniq (-) -Oppenheim (-/-), Klonus kaki (-/-)
Kesan : pemeriksaan neurologis dalam batas normal

28
3.2.3 PEMERIKSAAN PENUNJANG
 Pemeriksaan Rontgen Thorax
Kesan :
 TB Paru duplex (aktif)
 Metastase pada hepar

3.3 DAFTAR MASALAH/DIAGNOSA


Diagnosa Kerja : Peritonitis TB

3.4 PENGKAJIAN

3.4.1 Clinical reasoning :


Tanda dan gejala :

 Batuk lama > 3 minggu


 Keringat dingin malam hari
 Nyeri perut kanan atas 2 bulan
 Mual dan muntah 2 bulan terakhir
 Penurunan BB 6 kg 2 bulan
 Penurunan nafsu makan
 Badan terasa lemas/kurang aktif

Pemeriksaan fisik :
 Pembesaran KGB (+) Submandibula dan Aksilla
 Rhonki (+) paru kanan dan kiri.
3.4.2 Diagnosis Banding :

Appendisitis, Pankreatitis, Gastroenteritis, Kolesistitis.

3.4.3 Rencana Diagnostik :


 Darah rutin
 USG Hepar
 Sputum BTA
 Tuberculin test

29
3.4.4 Rencana Terapi Farmakologis :

- INH 300 mg 1x1


- Rifampisin 600 mg 1x1

3.4.5 Rencana Terapi Non-farmakologis


- Istirahat yang cukup
- Asupan nutrisi dan cairan yang adekuat
- Edukasi cara batuk yang benar
- Memakai masker
- Ruangan dengan ventilasi dan sirkulasi udara yang baik
- Jangan membuang dahak sembarangan
3.4.6 Rencana Evaluasi :
 Evaluasi KU, TTV, kesadaran
 Evaluasi perbaikan gejala, respon terapi dan kepatuhan konsumsi obat
 Evaluasi efek samping yang timbul dari pengobatan

3.4.7 Edukasi :
- Jelaskan pada orang tua dan pasien tentang diagnosis, dasar diagnosis,
komplikasi serta prognosis.
- Jelaskan pada orang tua dan pasien tentang pentingnya pengobatan jangka
panjang
- Jelaskan pada orang tua dan pasien tentang pentingnya kepatuhan minum obat
anti tuberculosi sesuai dosis dan anjuran dokter setiap hari nya.
- Jelaskan pada orang tua dan pasien tentang pentingnya kontrol rutin.
- Jelaskan pada orang tua dan pasien tentang efek samping obat yang mungkin
dapat timbul.
- Motivasi pasien dan orang tua tetap dan terus optimis dalam menjalani
pengobatan jangka panjang.
1. PROGNOSIS
 Ad vitam : bonam
 Ad sanationam : bonam
 Ad functionam : bonam

30
BAB IV

ANALISIS KASUS

TEORI KASUS
Definisi
TB abdomen adalah penyakit yang disebabkan kuman mycobacterium tuberculosis
mencakup lesi granulomatosa yang bisa ditemukan di peritoneum (TB peritonitis), usus,
omentum, mesenterium, dan hepar. M tuberculosis sampai ke organ tersebut secara
hematogen ataupun penjalaran langsung. Peritonitis TB merupakan bentuk TB anak
yang jarang dijumpai, yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak. Umumnya terjadi pada
dewasa dengan perbandingan perempuan lebih sering dari laki-laki (2:1).
Epidemiologi
Teori Kasus
 Tuberkulosis peritoneal dijumpai 2  Pasien berjenis kelamin laki-laki
% dari seluruh Tuberkulosis paru dan berusia 14 tahun
dan 59,8% dari tuberculosis  Terdapat riwayat TB sebelumnya
Abdominal. Di Amerika Serikat pada pasien.
penyakit ini adalah keenam
terbanyak diantara penyakit extra
paru sedangkan peneliti lain
menemukan hanya 5-20% dari
penderita tuberkulosis peritoneal
yang mempunyai TB paru yang
aktif.
 Peritonitis TB pada wanita > laki-
laki
 TB peritonitis dapat terjadi oleh
karena tuberkulosis melalui
beberapa cara yaitu penyebaran
hematogen terutama dari paru,
melalui dinding usus yang
terinfeksi, dari kelenjar limfe
mesentrium.

31
 Gejala klinis yang biasa dialami
pasien yang menderita TB
intestinal jenis TB peritonitis ini
dapat terdiri dari beberapa gejala
seperti sakit perut, pembengkakan
perut, keringat malam, demam,
penurunan nafsu makan serta berat
badan dan beberapa keluhan
simtomatik lainnya.

Etiologi
Teori Kasus
TB abdomen adalah penyakit yang
disebabkan kuman mycobacterium
tuberculosis mencakup lesi
granulomatosa yang bisa ditemukan di
peritoneum (TB peritonitis), usus,
omentum, mesenterium, dan hepar. M
tuberculosis sampai ke organ tersebut
secara hematogen ataupun penjalaran
langsung. Peritonitis TB merupakan
bentuk TB anak yang jarang dijumpai,
yaitu sekitar 1—5% dari kasus TB anak.
Umumnya terjadi pada dewasa dengan
perbandingan perempuan lebih sering dari
laki-laki (2:1).
Diagnosis (Anamnesis)
Teori Kasus
Manifestasi Peritonitis TB : Pada pasien ditemukan tanda dan gejala
Gejala sebagai berikut :
 Batuk lama > 3 minggu  Batuk lama >3 minggu
 Berat badan menurun tanpa sebab  Berat badan turun 6 kg dalam 2
yang jelas bulan

32
 Demam lama > 2 minggu  Nafsu makan menurun
 Nafsu makan menurun disertai  Keringat dingin malam hari
gagal tumbuh  Anak menjadi kurang aktif
 Anak menjadi kurang aktif  Nyeri Perut
 Diare persisten/menetap (>2
minggu)
 Nyeri perut
 Keringat dingin malam hari
Tanda
 Pembesaran Kelenjar Getah
Bening Submandibula, Aksila,
Inguinal
 Pembengkakan tulang/sendi
panggul, lutut, falang
Pemeriksaan fisik
Teori Kasus

Pemeriksaan Fisik : Pada pemeriksaan fisik terhadap pasien


didapatkan :
 Pemeriksaan Kelenjar Getah Bening
 terdapat pembesaran kelenjar KU  Baik
submandibula, aksilla, inguinal Kesadaran  Compos Mentis (E4M6V5)
Tanda Vital 
 Auskultasi pada paru  rhonki (+)
 Tekanan darah :120/70 mmHg
 Frekuensi nadi : 96 x/menit, reguler,
isi cukup
 Frekuensi napas : 20 x/menit, reguler
 Suhu tubuh : 36,8 °C
 Saturasi oksigen : 98%

BB 2 bulan yang lalu = 56 kg, BB sesudah 2


bulan = 50 kg
TB = 158 cm
IMT sebelum muncul keluhan = 22.48 kg/m2

33
IMT sesudah muncul keluhan = 20.02 kg/m2
BB/U : 96.29% (Gizi baik)
TB/U : 96.93% (baik/normal)
BB/TB : 113.04% (Gizi lebih)
Kesan  status gizi lebih, perawakan
normal

Pemeriksaan KGB dan Paru:

 Terdapat pembesaran KGB


submandibula dan inguinal, nyeri
tekan (-)

 Rhonki (+) kedua lapang paru

Pemeriksaan penunjang
Teori Kasus
Pemeriksaan laboratorium : Pada pasien hasil pemeriksaan
 Sputum BTA laboratorium Sputum BTA (+)
 Tuberculin test Pemeriksaan Radiologi :
 Foto Rontgen Thorax PA : TB Paru
Pemeriksaan Radiologi : duplex (aktif), Metastase pada hepar.
 Foto Rontgen (Thorax)
Tatalaksana
Teori Kasus
Terapi medikamentosa : Terapi medikamentosa :
 Prinsip dasar pengobatan TB  INH 300 mg 1x1
adalah 3 macam obat pada fase  Rifampisin 600 mg 1x1
awal/intensif (2 bulan pertama)  Prednisone 10mg 3x1
dan dilanjutkan 2 macam obat
pada fase lanjutan (4 bulan,
kecuali pada TB berat)
 Pada TB berat, baik pulmonal
maupun ekstrapulmonal seperti
TB milier, Meningitis TB,

34
Peritonitis TB, dan lain-lain, maka
pada tahap intensif diberikan
minimal 4 macam obat (INH,
Rifampisin, Pirazinamid,
Etambutol, atau Streptomisin).
Pada tahap lanjutan diberikan INH
dan Rifampisin selama 10 bulan.

Pemantauan
 Kontrol rutin selam pengobatan
TB dan di lihat respon dari
pengobatannya
 Jika gejala klinis membaik
dilakukan evaluasi dengan
pemeriksaan penunjang seperti
foto thorax
 Pemeriksaan ulang sputum BTA
 Efek samping obat yang mungkin
terjadi selama pengobatan

35
BAB V
PENUTUP

5.1 Kesimpulan

1. Tuberkulosis peritoneal biasanya merupakan proses kelanjutan tuberkulosa yang

sudah komplikasi ke ekstraparu.

2. Oleh karena itu gejala klinis yang bervariasi dan timbulnya perlahan-lahan sering

diagnosa terlambat baru diketahui.

3. Dengan pemeriksaan diagnostik, laboratorium dan pemeriksaan penunjang lainnya

dapat membantu menegakkan diagnosa

4. Dengan pemberian obat anti tuberkulosa yang adekuat biasanya pasien akan

sembuh.

36
DAFTAR PUSTAKA

1. Tuberculosis: http://www.emedicine.com/ped/topic2321.htm
2. Pediatrics in Review Vol. 18, 1997, No. 2, hal. 50 –58.
3. Nelson Ilmu Kesehatan Anak, Edisi 15, 1996 hal.1028 – 1043
4. Zain LH. Tuberkulosis peritoneal. Dalam : Noer S ed. Buku ajar ilmu penyakit dalam
Jakarta Balai penerbit FKUI, 1996: 403-6
5. Sulaiman A. Peritonitis tuberkulosa. Dalam : Sulaiman A, Daldiyono, Akbar N, Rani
A Buku ajar gartroenterologi hepatologi Jakarta : Infomedika 1990: 456-61
6. Ahmad M. Tuberkulosis peritonitis : fatality associated with delayed diagnosis. South
Med J 1999:92:406-408.
7. Sandikci MU,Colacoglus,ergun Y.Presentation and role of peritonoscopy and
diagnosis of tuberculous peritonitis. J Gastroenterol hepato 1992;7:298-301
8. Manohar A,SimjeeAE,Haffejee AA,Pettengell E.Symtoms and investigative findings
in year period.Gut,1990;31:1130-2
9. Marshall JB.Tuberculosis of the gastrointestinal tract and peritoneum,AMJ
Gastroenterol 1993;88:989-99
10. Sibuea WH,Noer S,Saragih JB,NapitupuluJB.Peritonitis tuberculosa di RS DGI
Tjikini (abstrak) KOPAPDI IV Medan; 1978:131
11. Zain LH.Peran analisa cairan asites dan serum Ca 125 dalam mendiagnosa TBC
peritoneum Dalam : Acang N, Nelwan RHH,Syamsuru W ed.Padang : KOPAPDI
X,1996:95
12. Spiro HM. Peritoneal tuberculosis : clinical gastroenterologi 4th ed New York ; Mc
Graw hill INC 1993 : 551-2
13. Sulaiman A. Peritonisis tuberculosa dalam : Hadi S, Thahir G, Daldiyono,Rani
A,Akbar N. Endoskopi dalam bidang Gastroentero Hepatologi Jakarta : PEGI
1980:265-70
14. Small Pm,Seller UM. Abdominal tuberculosis in : Strickland GT ed Hunters tropical
medicine and emerging infection disease. 8th Philadelpia : WB Sounders Company
2000 : 503-4
15. Mc Quid KR,Tuiberculous peritonitis in : Tierny LM,Mc Phee SJ,Papadakis MA.
Current medical diagnosis & treatment 38th London Prentice hall Internastional1999 :
561-62

37
38

Anda mungkin juga menyukai