Anda di halaman 1dari 43

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN

PEMENUHAN KEBUTUHAN PERSEPSI SENSORI KOGNITIF

Disusun untuk memenuhi tugas mata ajar Gerontik

Dosen Pembimbing:

Ns.Elis Hartati, S.Kep.,M.Kep

DISUSUN OLEH:

KELOMPOK VII/B.15

1. Elias Johan ( 22020115183007)


2. Dini Ratifi S ( 22020115183015)
3. Anis Wati ( 22020115183017)
4. Woro Susanti RH (22020115183019)

PROGRAM STUDI ILMU KEPERAWATAN

JURUSAN KEPERAWATAN FAKULTAS KEDOKTERAN

UNIVERSITAS DIPONEGORO SEMARANG

TAHUN 2016

1
BAB I

PENDAHULUAN

A. LATAR BELAKANG

Lansia adalah tahap akhir perkembangan pada daur kehidupan manusia dan
ditandai oleh gagalnya seorang untuk mempertahankan keseimbangan kesehatan
dan kondisi stres fisiologis nya. Lansia juga berkaitan dengan penurunan daya
kemampuan untuk hidup dan kepekaan secara individual. Selain pengertian lansia
secara umum diatas, terdapat juga beberapa pengertian lansia menurut para ahli.
Usia lanjut juga dapat dikatakan sebagai usia emas karena tidak semua orang
dapat mencapai usia lanjut tersebut, maka jika seseorang telah berusia lanjut akan
memerlukan tindakan keperawatan yang lebih, baik yang bersifat promotif
maupun preventif, agar ia dapat menikmati masa usia emas serta menjadi usia
lanjut yang berguna dan bahagia. Pengertian Lansia Menurut Smith (1999 ) :
Lansia terbagi menjadi tiga, yaitu:young old ( 65-74 tahun ); middle old ( 75-84
tahun ); dan old old ( lebih dari 85 tahun ). Pengertian Lansia Menurut
Setyonegoro: Lansia adalah orang yang berusia lebih dari 65 tahun. Selanjutnya
terbagi ke dalam 70-75 tahun ( young old ); 75-80 tahun ( old ); dan lebih dari 80
tahun ( very old ). Pengertian Lansia Menurut UU No. 13 Tahun 1998: Lansia
adalah seseorang yang mencapai usia 60 tahun ke atas. Pengertian Lansia Menurut
WHO: Lansia adalah pria dan wanita yang telah mencapai usia 60-74 tahun.
Pengertian Lansia Menurut Sumiati AM: Seseorang dikatakan masuk usia lansia
jika usianya telah mencapai 65 tahun ke atas.
Otak merupakan pusat pengaturan sistem tubuh dan juga sebagai pusat
kognitif. Otak merupakan organ tubuh yang rentan terhadap proses degeneratif.
Saat otak mulai menua akan terjadi penurunan fungsi otak yang beresiko terjadi
penurunan fungsi kognitif dan keseimbangan tubuh, akibatnya lansia akan
mengalami gangguan dalam melaksanakan kegiatan rutin sehari harinya dan
akhirnya lansia menjadi tergantung pada orang disekitarnya, serta menjadi beban
bagi keluarga dan masyarakat ( Meidiary,2012 ). Perubahan sistem neurologis
pada lansia mengakibatkan perubahan kognitif, penurunan waktu reaksi, masalah
keseimbangan dan kinetik serta gangguan tidur ( Mauk, 2010 ). Suatu penelitian

2
yang dilakukan di Negara Inggris dengan jumlah responden 10.255 orang lansia
diatas 75 tahun, menunjukkan bahwa ( 55% ) lansia mengalami gangguan fisik
berupa arthritis atau gangguan sendi 50% dari responden mengalami
keseimbangan berdiri, 45% dari responden mengalami gangguan fungsi kognitif
pada susunan saraf pusat, 35 % pada penglihatan , 35% pada pendengaran , 20 %
mengalami kelainan jantung, 20 % ditemukan sesak napas , serta gangguan miksi/
ngompol sebesar 10%, dari beberapa gangguan yang terjadi pada lansia dapat
mengakibatkan terganggunya atau menurunnya kualitas hidup pada lansia .
Kemunduran yang paling banyak ditemukan adalah menurunnya kemampuan
memori daya ingat (Foster, 2011). Dengan bertambahnya umur nampaknya faktor
resiko menderita demensia juga akan meningkat. Orang berumur 65 tahun ke atas
mempunyai resiko 11 % dan umur 85 tahun keatas resiko semakin besar yaitu
25%-47%. Penelitian yang dilakukan pada tahun 1998 menyatakan bahwa
Alzheimer menyerang mereka yang berusia diatas 50 tahun, sementara di
Indonesia usia termuda yang mengalami penyakit ini berusia 56 tahun.
Diperkirakan sebesar 5 % lansia yang berumur 65–70 tahun menderita dimensia
dan meningkat dua kali lipat setiap 5 tahunnya hingga mencapai lebih 45% pada
lansia usia diatas 85 tahun ( Wibowo, 2007 ). Prevalensi gangguan kognitif
meningkat sejalan dengan bertambahnya usia, kurang dari 3% terjadi pada
kelompok usia 65-70 tahun dan lebih dari 25% terjadi pada kelompok usia 85
tahun ke atas ( WHO, 1998 ).

B. TUJUAN UMUM

Mahasiswa memahami konsep asuuhan keperawatan pada lansia dengan


pemenuhan kebutuhan persepsi sensori kognitif.

C. TUJUAN KHUSUS

1. Mahasiswa mampu menjelaskan tentang lansia konsep menua dan


perubahannya
2. Mahasiswa dapat melakukan asuhan keperawatan pada lansia dengan
pemenuhan kebutuhan persepsi sensori kognitif.

3
BAB II
TINJAUAN TEORI

A. PENUAAN PADA LANSIA


1. Definisi
Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia.
Proses menua merupakan proses sepanjang hidup yang hanya di mulai dari
satu waktu tertentu, tetapi dimulai sejak permulaan kehidupan. Menua
merupakan proses alamiah, yang berarti seseorang telah melalui tiga tahap
kehidupannya, yaitu anak, dewasa, dan tua. Tiga tahap ini berbeda, baik
secara biologis, maupun psikologis. Memasuki usia tua berarti mengalami
kemunduran, misalnya kemunduran fisik yang ditandai dengan kulit
mengendur, rambut memutih, gigi mulai ompong, pendengaran kurang jelas,
penglihatan semakin memburuk, gerakan-gerakan lambat, dan postur tubuh
yang tidak proforsional (Nugroho, 2008).
Secara umum perubahan fisik pada masalanjut usia adalah menurunnya
fungsi pancaindra, minat dan fungsi organ seksual dan kemampuan motorik
(Pieter, 2010).
2. Perubahan yang Terjadi Akibat Proses Penuaan
Perubahan yang terjadi pada lansia diantaranya adalah perubahan
kondisi fisik. Perubahan kondisi fisik pada lansia meliputi perubahan dari
tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh, diantaranya sistem
pernapasan, pendengaran, pendengaran, penglihatan, kardiovaskuler, sistem
pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal, urogenital, endokrin,
dan integumen. Pada sistem pendengaran, membran timpani menjadi atrofi
menyebabkan otosklerosis, penumpukan serumen, sehingga mengeras
karena meningkatnya keratin, perubahan degeneratif osikel, bertambahnya
persepsi nada tinggi, berkurangnya ‘pitch’ diserimination, sehingga terjadi
gangguan pendengaran derta tulang-tulang pendengaran mengalami
kekakuan (Mubarak,et al 2011).
3. Teori Proses Menua
a. Teori Biologis
1) Teori Genetik

4
a) Teori genetik clock, teori ini merupakan teori intrinsik yang
menjelaskan bahwa didalam tubuh terdapat jam biologis yang
mengatur gen dan menentukan proses penuaan. Teori ini
menyatakan bahwa menua itu telah terprogram secara genetik
untuk spesies tertentu. Setiap spesies didalam inti selnya
memiliki suatu jam genetik/jam biologis sendiri dan setiap
spesies mempunyai batas usia yang berbeda-beda yang telah
diputar menurut replikasi tertentu sehingga bila jenis ini berhenti
berputar, dia akan mati.
Secara teoritis, memperpanjang umur mungkin terjadi,
meskipun hanya beberapa waktu dengan pengaruh dari luar,
misalnya peningkatan kesehatan dan pencegahan penyakit
dengan pemberian obat-obatan atau tindakan tertentu.
b) Teori mutasi somatik adalah penuaan terjadi karena adanya
mutasi somatik akibat pengaruh lingkungan yang buruk. Terjadi
kesalahan dalam proses transkripsi DNA atau RNA dan dalam
proses translasi RNA protein/enzim. Kesalahan ini terjadi
terusmenerus sehingga akhirnya akan terjadi penurunan fungsi
organ atau perubahan sel menjadi kanker atau sel menjadi
penyakit. Setiap sel pada saatnya akan mengalami mutasi,
sebagai contoh yang khas adalah mutasi sel kelamin sehingga
terjadi penurunan kemampuan fungsional sel (Suhana, 2000).

2) Teori Non Genetik


a) Teori penurunan sistem imun tubuh (auto-immune theory),
mutasi yang berulang dapat menyebabkan berkurangnya
kemampuan sistem imun tubuh mengenali dirinya sendiri (self
recognition). Mutasi yang merusak membran sel, akan
menyebabkan sistem imun tidak mengenalinya sehingga
merusaknya. Hal inilah yang mendasari peningkatan penyakit
auto-imun pada lanjut usia (Goldstein, 1989). Proses

5
metababolisme tubuh, memproduksi suatu zat khusus. Ada
jaringan tubuh tertentu yang tidak tahan terhadap zat tersebut
sehingga jaringan tubuh menjadi lemah dan sakit. Sebagai
contoh, tambahan kelenjar timus yang pada usia dewasa
berinvolusi dan sejak itu terjadi kelainan autoimun.
b) Teori kerusakan akibat radikal bebas (free radical theory),
teori radikal bebas dapat terbentuk di alam bebas dan di dalam
tubuh, karena adanya proses metabolisme atau proses pernapasan
di dalam mitokondria. Radikal bebas merupakan suatu atom atau
molekul yang tidak stabil karena mempunyai elektron yang tidak
berpasangan sehingga sangat reaktif mengikat atom atau molekul
lain yang menimbulkan berbagai kerusakan atau perubahan
dalam tubuh. Tidak stabilnya radikal bebas (kelompok atom)
mengakibatkan oksidasi oksigen bahan organik, misalnya
karbohidrat dan protein. Radikal bebas ini menyebabkan sel tidak
dapat bergenerasi (Halliwel, 1994).
Radikal bebas dianggap sebagai penyebab penting terjadinya
kerusakan fungsi sel. Radikal bebas yang terdapat dilingkungan
seperti:
 Asap kendaraan bermotor
 Asap rokok
 Zat pengawet makanan
 Radiasi
 Sinar ultraviolet yang mengakibatkan terjadinya
perubahan pigmen dan kolagen pada proses menua
c) Teori menua akibat metabolisme, telah dibuktikan dalam
berbagai percobaan hewan, bahwa pengurangan asupan kalori
ternyata bisa menghambat pertumbuhan dan memperpanjang
umur, sedangkan perubahan asupan kalori yang menyebabkan
kegemukan dapat memperpendek umur (Darmojo, 2000).
d) Teori rantai silang (cross link theory), teori ini menjelaskan
bahwa menua disebabkan oleh lemak, protein, karbohidrat, dan

6
asam nukleat (molekul kolagen) bereaksi dengan zat kimia dan
radiasi, mengubah fungsi jaringan yang menyebabkan perubahan
pada membran plasma, yang mengakibatkan terjadinya jaringan
yang kaku, kurang elastis, dan hilangnya fungsi pada proses
menua.
e) Teori fisiologis, teori ini merupakan teori intrinsik dan
ekstrinsik, terdiri atas teori oksidasi stres (wear and tear theory).
Di sini terjadi kelebihan usaha dan stres menyebabkan sel tubuh
lelah terpakai (regenerasi jaringan tidak dapat mempertahankan
kestabilan lingkungan internal).

4. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penuaan


Menurut Pudjiastuti dalam bukunya pada tahun 2002 bahwa faktor yang
mempengaruhi penuaan adalah faktor endogen dimana perubahan dimulai
dari sel–jaringan–organ–sistem pada tubuh dan faktor ekstrogen, yaitu
lingkungan, sosial budaya, gaya hidup. Menurut Bandiyah, 2009 faktornya
terdiri dari: hereditas atau keturunan, nutrisi atau makanan, status kesehatan,
pengalaman hidup, dan stress (Nugroho, 2000).

5. Upaya Kesehatan bagi Lanjut Usia


a. Upaya promotif
Kegiatan promotif dilakukan kepada lanjut usia, keluarga ataupun
masyarakat di sekitarnya, antara lain berupa penyuluhan tentang perilaku
hidup sehat, gizi untuk lanjut usia, proses degeneratif seperti katarak,
presbikusis dan lain-lain. Upaya peningkatan kebugaran jasmani,
pemeliharaan kemandirian serta produktivitas masyarakat lanjut usia.
1) Prilaku Hidup Sehat
Perilaku hidup sehat adalah sekumpulan perilaku yang
dipraktekkan atas dasar kesadaran sebagai hasil pembelajaran yang
menjadikan seseorang atau keluarga dapat menolong diri sendiri di
bidang kesehatan dan berperan aktif dalam mewujudkan kesehatan
masyarakatnya. Menurut Dachroni tahun 1998, PHBS erat kaitanya

7
dengan pemberdayaan masyarakat karena bidang garapannya
membantu masyarakat yang bermuara pada pemeliharaan, perubahan,
atau peningkatan perilaku positif dalam bidang kesehatan. Perilaku
hidup bersih dan sehat ini sesuai dengan visi promosi kesehatan dan
dapat di praktekan pada masing-masing tatanan. Gaya hidup sehat
untuk lansia yang terpenting seperti tidak merokok, melakukan
aktivitas 30 menit sehari, personal higiene, mengatur kesehatan
lingkungan seperti rumah sehat dan membuang kotoran pada
tempatnya.

2) Gizi Untuk Lanjut Usia


Konsumsi makan yang cukup dan seimbang akan bermanfaat bagi
lanjut usia untuk mencegah atau mengurangi kemungkinan penyakit
kekurangan gizi, yang seyogyanya telah dilakukan sejak muda
dengan tujuan agar tercapai kondisi kesehatan yang prima dan tetap
produktif di hari tua.
b. Upaya Preventif
Kegiatan ini bertujuan untuk mencegah sedini mungkin terjadinya
penyakit dan komplikasinya akibat proses degeneratif. Kegiatan berupa
deteksi dini dan pemantauan kesehatan lanjut usia yang dapat dilakukan
di kelompok lanjut usia (posyandu lansia) atau Puskesmas dengan
menggunakan Kartu Menuju Sehat ( KMS ) lanjut usia.
c. Upaya Kuratif
Kegiatan pengobatan ringan bagi lanjut usia yang sakit bila dimungkinan
dapat di lakukan di Posyandu lansia. Perawatan bagi lanjut usia yang
sakit dapat dilakukan di fasilitas pelayanan seperti Puskesmas Pembantu,
Puskesmas ataupun di Pos Kesehatan Desa. Apabila sakit yang diderita
lanjut usia membutuhkan penanganan dengan fasilitas lebih lengkap,
maka dilakukan rujukan ke Rumah Sakit setempat.
d. Upaya Rehabilitatif

8
Upaya rehabilitatif ini dapat berupa upaya medis, psikososial, edukatif
maupun upaya-upaya lain yang dapat semaksimal mungkin
mengembalikan kemampuan fungsional dan kepercayaan diri lanjut usia.

B. Perubahan yang Terjadi pada Lanjut Usia


1. Perubahan fisik
Sistim penglihatan: kornea lebih berbentuk sfevis (bola), lensa lebih
suram (kekeruhan pada lensa) menjadi katarak, jelas menyebabkan gangguan
penglihatan, meningkatnya ambang pengamatan sinar, daya adaptasi
terhadap kegelapan lebih lambat dan susah melihat dalam cahaya gelap.
Telinga: atrofi organ korti dan saraf auditorius, ketidakmampuan
membedakan konsonan bernada tinggi, perubahan struktural degeneratif
dalam keseluruhan sistem pendengaran.
2. Tanda dan Gejala
Tanda dan Gejala menurut Patricia Gonce Morton dkk, 2011 yaitu:
a. Perubahan Organik
1) Jumlah jaringan ikat dan kolagen meningkat.
2) Unsur seluler pada sistem saraf, otot, dan organ vital lainnya
menghilang.
3) Jumlah sel yang berfungsi normal menurun.
4) Jumlah lemak meningkat.
5) Penggunaan oksigen menurun.
6) Selama istirahat, jumlah darah yang dipompakan menurun.
7) Jumlah udara yang diekspirasi paru lebih sedikit.
8) Ekskresi hormon menurun.
9) Aktivitas sensorik dan persepsi menurun
10) Penyerapan lemak, protein, dan karbohidrat menurun.
11) Lumen arteri menebal
b. Sistem Persyarafan
Tanda :
1) Penurunan jumlah neuron dan peningkatan ukuran dan jumlah sel
neuroglial.

9
2) Penurunan syaraf dan serabut syaraf.
3) Atrofi otak dan peningkatan ruang mati dalam kranim
4) Penebalan leptomeninges di medulla spinalis.

Gejala ;

1) Peningkatan risiko masalah neurologis; cedera serebrovaskuler,


parkinsonisme
2) Konduksi serabut saraf melintasi sinaps makin lambat
3) Penurunan ingatan jangka-pendek derajad sedang
4) Gangguan pola gaya berjalan; kaki dilebarkan, langkah pendek, dan
menekukke depan
5) Peningkatan risiko hemoragi sebelum muncul gejala

c. Sistem Pendengaran
Tanda
1) Hilangnya neuron auditorius
2) Kehilangan pendengaran dari frekuensi tinggi ke frekuensi rendah
3) Peningkatan serumen
4) Angiosklerosis telinga
Gejala
1) Penurunan ketajaman pendengaran dan isolasi social (khususnya,
penurunan kemampuan untuk mendengar konsonan)
2) Sulit mendengar, khususnya bila ada suara latar belakang yang
mengganggu, atau bila percakapan cepat.
3) Impaksi serumen dapat menyebabkan kehilangan pendengaran

d. Sistem Penglihatan
Tanda
1) Penurunan fungsi sel batang dan sel kerucut
2) Penumpukan pigmen.
3) Penurunan kecepatan gerakan mata.
4) Atrofi otot silier.
5) Peningkatan ukuran lensa dan penguningan lensa

10
6) Penurunan sekresi air mata.
Gejala
1) Penurunan ketajaman penglihatan, lapang penglihatan, dan adaptasi
terhadap terang/gelap
2) Peningkatan kepekaan terhadap cahaya yang menyilaukan
3) Peningkatan insiden glaucoma
4) Gangguan persepsi kedalaman dengan peningkatan kejadian jatuh
5) Kurang dapat membedakan warna biru, hijau,dan violet
6) Peningkatan kekeringandan iritasi mata.

3. Proses Fisiologis Penuaan Pada Lansia


Penuaan pada lansia, memungkinkan terjadinya penurunan anatomis
dan fungsional yang sangat besar. Andrea dan Tobin (peneliti),
memperkenalkan “Hukum 1%”, yang menyatakan bahwa fungsi organ akan
mengalami penurunan sebanyak 1% setiap tahunnya setelah usia 30 tahun
(Martono, 2004).
Pada lansia sering dijumpai permasalahan yang berkaitan dengan
kemampuan gerak dan fungsi. Menurut Kamso yang dikutip oleh Zuhdi
(2000), pada lansia terjadi penurunan kekuatan sebesar 88%, fungsi
pendengaran 67%, pengelihatan 72%, daya ingat 61%, serta kelenturan
tubuh yang menurun sebesar 64%. Permasalahan yang muncul pada
lansia dapat disebabkan karena adanya perubahan fisiologis yang terjadi
pada tubuh. Beberapa perubahan fisiologis yang terjadi akibat proses
penuaan antara lain:
Sistem panca-indera
Lansia yang mengalami penurunan persepsi sensoris akan
terdapat kesenggangan untuk bersosialisasi karena kemunduran dari
fungsi-fungsi sensoris yang dimiliki. Indera yang dimiliki seperti
penglihatan, pendengaran, pengecapan, penciuman dan perabaan
merupakan kesatuan integrasi dari persepsi sensoris.
a. Penglihatan

11
Semakin bertambahnya usia, lemak akan berakumulasi disekitar
kornea dan membentuk lingkaran berwarna putih atau kekuningan
diantara iris dan sclera. Kejadian ini disebut arkus sinilis, biasanya
ditemukan pada lansia. Perubahan penglihatan dan fungsi mata yang
dianggap normal dalam proses penuaan termasuk penurunan
kemampuan dalam melakukan akomodasi, konstriksi pupil akibat
penuaan dan perubahan warna serta kekeruhan lensa mata, yaitu
katarak (Suhartin, 2010).
Hal ini akan berdampak pada penurunan kemampuan sistem
visual dari indera penglihatan yang berfungsi sebagai pemberi
informasi ke susunan saraf pusat tentang posisi dan letak tubuh
terhadap lingkungan di sekitar dan antar bagian tubuh sehingga tubuh
dapat mempertahankan posisinya agar tetap tegak dan tidak jatuh.
b. Pendengaran
Penurunan pendengaran merupakan kondisi secara dramatis
dapat mempengaruhi kualitas hidup seseorang. Kehalangan
pendengaran pada lansia disebut dengan presbikusis. Presbikusis
merupakan perubahan yang terjadi pada pendengaran akibat proses
penuaan yaitu telinga bagian dalam terdapat penurunan fungsi
sensorineural, hal ini terjadi karena telinga bagian dalam dan
komponen saraf tidak berfungsi dengan baik sehingga terjadi
perubahan konduksi. Implikasi dari hal ini adalah kehilangan
pendengaran secara bertahap. Ketidakmampuan untuk mendeteksi
suara dengan frekuensi tinggi (Chaccione, 2005).
Telinga bagian tengah terjadi pengecilan daya tangkap membran
timfani, pengapuran dari tulang pendengaran, lemah dan kakunya
otot dan ligamen. Implikasi dari hal ini adalah gangguan konduksi
pada suara. Pada telinga bagian luar terjadi perpanjangan dan
penebalan rambut, kulit menjadi lebih tipis dan kering serta terjadi
peningkatan keratin. Implikasi dari hal ini adalah potensial terbentuk
serumen sehingga berdampak pada gangguan konduksi suara (Miller,
2009).

12
Penuruan kemampuan telinga seperti diatas dapat berdampak
pula terhadap komponen vestibular yang terletak di telinga bagian
dalam. Komponen vestibular ini berperan sangat penting terhadap
keseimbangan tubuh. Saat posisi kepala berubah maka komponen
vestibular akan merespon perubahan tesebut dan mempertahakan
posisi tubuh agar tetap tegak.
c. Perabaan
Pada lansia terjadi penurunan kemampuan dalam mempersepsikan
rasa pada kulit, ini terjadi karena penurunan korpus free nerve ending
pada kulit. Rasa tersebut berbeda untuk setiap bagian tubuh sehingga
terjadi penurunan dalam merasakan tekanan, raba panas dan dingin.
Gangguan pada indera peraba tentunya berpengaruh pada sistem
somatosensoris. Somatosensoris adalah reseptor pada kulit, subkutan
telapak kaki dan propioceptor pada otot, tendon dan sendi yang
memberikan informasi tentang kekuatan otot, ketegangan otot,
kontraksi otot dan juga nyeri, suhu, tekanan dan posisi sendi. Pada
lansia dengan semakin menurunnya kemampuan akibat faktor
degenerasi maka informasi yang digunakan dalam menjaga posisi
tubuh yang didapat dari tungkai, panggul, punggung dan leher akan
menurun (Chaitow, 2005). Hal ini berdampak pada keseimbangan
yang akan terganggu akibat dari penurunan implus somatosensoris ke
susunan saraf pusat.

4. Penuaan Pada Sistem Neurologis


Lansia mengalami penurunan koordinasi dan kemampuan dalam
melakukan aktivitas sehari-hari. Penuaan menyebabkan penurunan persepsi
sensorik dan respon motorik pada susunan saraf pusat dan penurunan
reseptor proprioseptif. Hal ini terjadi karena susunan saraf pusat pada lansia
mengalami perubahan morfologis dan biokimia. (Sri Surini Pudjiastuti: Budi
Utomo, 2003)
Struktur dan fungsi system saraf berubah dengan bertambahnya usia.
Berkurangnya massa otak progresif akibat berkurangnya sel saraf yang tidak

13
bisa diganti. (Smeltzer, 2001). Perubahan fungsional termasuk penurunan
diskriminasi rangsang taktil dan peningkatan ambang batas nyeri. Hal ini
khususnya dapat secara nyata pada perubahan baroreseptor. Namun,
perubahan pada otot dan tendon mungkin merupakan factor yang memiliki
konstribusi lebih besar dibanding dengan perubahan yang nyata ini dalam
arkus reflex.
Fungsi system saraf otonom dan simpatis mungkin mengalami
penurunan secara keseluruhan. Plak senilis dan kekusutan neurofibril
berkembang pada lansia dengan dan tanpa dimensia. Akumulasi pigmen
lipofusin neuron menurunkan kendali system saraf pusat terhadap sirkulasi.
kongesti system saraf diperkirakan dapat menurunkan aktivitas sel dan sel
kehilangan kemampuannya untuk mempertahankan dirinya sendiri. Semakin
aktif sel tersebut, semakin sedikit lipofusin yang disimpan.
5. Patofisiologi Defisit Neurologis
Kerusakan tertentu tampak ketika fokal dan system neural didalam otak
rusak karena masalah vascular. Manifestasi spesifik pada setiap kategori
sangat bermanfaaat dalam mengkaji dan mengembangkan suatu rencana
perawatan untuk klien lansia yang mengalami gangguan neurologis.
Manifestasi klinis yang berhubungan dengan deficit neurologis pada klien
lansia berdasarkan pemenuhan kebutuhan dasar persepsi sensori kognitif
adalah:
a. Kognisi-Komunikasi
Perubahan kognisi-komunikasi mungkin bervariasi dan berat. Gaya
komunikasi premorbit, kemampuan intelektual, dan gaya belajar
merupakan data yang penting untuk menyiapkan suatu rencana
keperawatan yang realistis untuk klien lansia. Indera kita merupakan hal
yang penting dalam komunikasi. Sejumlah hambatan komunikasi
mungkin terjadi sebagai akibat dari stroke atau penyakit Parkinson.
Perubahan sensasi dan persepsi dapat mengganggu penerimaan
pengungkapan informasi dan perasaan. Gangguan pengecapan,
penciuman, nyeri, sentuhan, temperature, dan merasakan posisi-posisi
sendi dapat mengubah komunikasi yang kita alami. Dengan disorientasi

14
dan konfusi, kesadaran kita terhadap kenyataan menurun secara nyata.
Penurunan ini mungkin progresif, permanen, atau temporer, bergantung
pada sifat dan tingkat kerusakan cerebral.
Memori mungkin berubah dalam proses penuaan. Pada umumnya,
memori untuk kejadian masa lalu lebih banyak diretensi dan lebih
banyak diingat dari pada informasi yang masih baru. Deprivasi sensori
dapat diakibatkan oleh kerusakan pada pusat cerebral yang bertnggung
jawab umtuk memproses stimulus. Halusinasi, disorientasi, dan konfusi
mungkin menyebabkan deprivasi sensori, bukan gangguan kemampuan
mental. Sensasi dan persepsi dapat berkurang lebih jauh lagi ketika obat
depresan SSP digunakan dalam terapi farmakologis. Agnosia, afasia, dan
apraksia mungkin terlihat pada klien dengan stroke atau demensia
progresif. Agnosia adalah ketidakmampuan untuk mengenali objek yang
umum (sisir, sikat gigi, cermin) dengan menggunakan salah satu indra,
walaupun indra tersebut masih utuh. Agnosia penglihatan, pendengaran,
dan taktil terjadi ketika ada kerusakan pada lobus parietal dan oksipital,
girus presental, daerah perieto-oxipital dan korpus kolosum.
Afasia adalah ketidakmampuan untuk menggunakan kata-kata yang
memiliki arti dan kehilangan kemampuan mengerti bahasa lisan.
Terdapat disintegrasi fonetik, semantic, atau sintaksis yang diketahui
pada tingkat produksi atau tingkat pemahaman dalam berkomunikasi.
Afasia mungkin dicerminkan dalam kata-kata klien yang samar-samar,
bicara ngelantur, kesukaran dalam berbicara dan kesulitan dalam
menemukan kata-kata yang benar untuk menyatakan suatu gagasan.
Apraksia adalah suatu ketidakmampuan untuk menunjukkan suatu
aktivitas yang dipelajari yang memiliki fungsi motorik yang diperlukan.
Misalnya kesalahan pengguanaan kata-kata dalam menyebutkan hal-hal
tertentu dan ketidakmampuan untuk mengenali dan menyebutkan objek
umum dan orang-orang yang dikenal. Gangguan citra tubuh, ruang, jarak
dan persepsi pergerakan sering terjadi pada orang dengan stroke. klien
mungkin mengalami distorsi dalam memandang diri-sendiri dan
mungkin mengalami kekurangan kesadaran dalam menggunakan

15
komponen-komponen tubuh tertentu. Karena distorsi cara memandang
diri-sendiri dan anggota tubuh yang tidak digunakan ini, lansia mungkin
mengalami cedera, kelemahan, kurang perhatian, dan kurangnya
perawatan pada ekstremitas.

b. Persepsi Sensoris
Panca indera mungkin menjadi kurang efisien dengan proses penuaan,
bahaya bagi keselamatan, aktivitas, kehidupan sehari-hari (AKS) yang
normal dan harga diri secara keseluruhan (Mickey Stanley, 2006).
Meskipun semua lansia mengalami kehilangan sensorik dan sebagai
akibatnya berisiko mengalami deprivasi sensorik, namun tidak semua
akan mengalami deprivasi sensorik. Salah satu indra dapat mengganti
indera dalam mengobservasi dan menerjemahkan ransangan (Smeltzer,
2001)
1) Perubahan indera penglihatan
Deficit sensori (misalnya, perubahan penglihatan) dapat merupakan
bagian dari penyesuaian yang berkesinambungan yang datang pada
usia lanjut, perubahan penglihatan dapat mempengaruhi pemenuhan
AKS pada lansia. Perubahan indra penglihatan pada awalnya dimulai
dengan terjadinya awitan presbiopi, kehilangan kemampuan
akomodatif. Ini karena sel-sel baru terbentuk dipermukaan luar lensa
mata, maka sel tengah yang tua akan menumpuk dan menjadi kuning,
kaku, padat dan berkabu. Jadi, hanya bagian luar lensa yang masih
elastic untuk berubah bentuk (akomodasi) dan berfokus pada jarak
jauh dan dekat. Karena lensa menjadi kurang fleksibel, maka titik
dekat fokus berpindah lebih jauh. Kondisi ini disebut presbiopi,biasa
bermula pada usia 40-an (Smeltzer, 2001).
Kerusakan kemampuan akomodasi terjadi karena otot-otot siliaris
menjadi lebih lemah dan lebih kendur dan lensa kristalin mengalami
sklerosis, dengan kehilangan elastisitas dan kemampuan untuk
memusatkan pada (penglihatan jarak dekat). Kondisi ini dapat

16
dikoreksi dengan lensa seperti kacamata jauh dekat (bifokal). Ukuran
pupil menurun (miosis pupil) dengan penuaan karena sfinkter pupil
mengalami sklerosis. Miosis pupil ini dapat mempersempit lapangan
pandang seseorang dan memengaruhi penglihatan perifer pada
tingkat tertentu, tetapi tampaknya tidak benar-benar mengganggu
kehidupan sehari-hari.Perubahan warna (misalnya; menguning) dan
meningkatnya kekruhan lensa Kristal yang terjadi dari waktu ke
waktu dapat menyebabkan katarak. Katarak menimbulkan bebagai
tanda dan gejala penuaan yang mengganggu penglihatan dan
aktivitas setiap hari. Penglihatan yang kabur dan seperti terdapat
suatu selaput diatas mata dalah suatu gejala umum, yang
mengakibatkan kesukaran dalam memfokuskan penglihatan dan
membaca. Kesukaran ini dapat dikoreksi untuk sementara dengan
penggunaan lensa. Selain itu lansia harus didorong untuk memakai
lampu yang terang dan tidak menyilaukan.katarak juga dapat
mengakibatkan gangguan dalam persepsikedalaman atau stereopsis,
yang menyebabkan masalah dalam menilai ketinggian, sedangkan
perubahan terhadap persepsi warna terjadi seiring dengan
pembentukan katarak dan mengakibatkan warna yang muncul tumpul
dan tidak jelas,terutama warna-warna yang muda misalnya biru,
hijau, dan ungu. Penggunaan warna-warna terang seperti kuning,
oranye dan merah direkomendasikan untuk memudahkan dalam
membedakan warna. (Mickey Stanley, 2006)
2) Perubahan indera pendengaran
Perubahan indra pendengaran pada lansia disebut presbikusis. Lansia
sering tidak mampu mengikuti percakapan karena nada konsonan
frekuansi tinggi ( huruf f, s, th, ch, sh, b, t, p ) semua terdengar sama
(Smeltzer, 2001). Penyebabnya tidak diketahui, tetapi berbagai factor
yang telah diteliti adalah ; nutrisi, factor genetika, suara gaduh,
hipertensi, stress emosional, dan arteriosklerosis. Penurunan
pendngaran terutama berupa komponen konduksi yang berkaitan
dengan presbikusis.

17
Penurunan pendengaran sensorineural terjadi saat telinga bagian
dalam dan komponen saraf tidak berfungsi dengan baik (saraf
pendengaran, batang otak atau jalur kortikal pendengaran) penyebab
dari perubahan konduksi tidak diketahui, tetapi masih mungkin
berkaitan dengan perubahan pada tulang telinga tengah, dalam bagian
koklear atau didalam tulang mastoid (Mickey Stanley, 2006)
Kehilangan pendengaran menyebabkan lansia berespon tidak sesuai
dengan yang diharapkan, tidak memahami percakapan, dan
menghindari interaksi social. Perilaku ini sering disalahkaprahkan
sebagai kebingungan atau senile (Smeltzer, 2001).

6. Perubahan Normal Pada Sistem Sensoris Akibat Penuaan


a. Penglihatan
1) Penurunan kemampuan akomodasi
2) Konstruksi pupil senilis
3) Peningkatan kekeruhan lensa dengan perubahan warna menjadi
menguning

b. Pendengaran
1) Penurunan fungsi sensorineural secara lambat
2) Kesukaran dalam membaca huruf-huruf yang kecil
3) Penyempitan lapangan pandang
4) Penglihatan yang kabur
5) Sensitifitas terhadap cahaya
6) Penurunan penglihatan pada malam hari
7) Kesukaran persepsi kedalaman
8) Kehilangan pendengaran secara bertahap

c. Perabaan
Indera peraba memberikan pesan yang paling intim dan yang paling
mudah untuk diterjemahkan. Bila indera lain hilang, rabaan dapat
mengurangi perasaan terasing dan memberi perasaan sejahtera (Smeltzer,
2001). Kebutuhan untuk sentuhan efektif terus berlanjut sepanjang

18
kehidupan dan meningkat dengan usia. Banyak lansia lebih tertarik
dalam sentuhan dan sensasi taktil karena:
Sentuhan dapat merupakan suatu alat untuk memberikan stimulus
sensoris atau menghilangkan rasa nyeri fisik dan psikologi.
Kulit adalah seperti suatu pakaian pelindung yang pas dan menutupi
seseorang berusia 70 tahun atau 80 tahun, kulit juga tidak akan sesuai
dengan tubuh orang tersebut. Kulit tersebut mungkin akan menjadi
kendur dan terlihat lebih longgar pada berbagai bagian tubuh. Namun,
selama kehidupan, sentuhan memberikan pengetahuan emosional dan
sensual tentang orang lain (Mickey Stanley, 2006)
d. Perubahan Indra Pengecapan
Ketika seseorang telah bertambah tua, “jumlah total kuncup-kuncup
perasa pada lidah mengalami penurunan dan kuncup pada lidah juga
mengalami kerusakan, ini dapat menurunkan sensitivitas pada terhadap
rasa. Kuncup-kuncup perasa mengalami regenerasi sepanjang kehidupan
manusia, tetapi lansia mengalami suatu penurunan sensitivitas terhadap
rasa manis, asam, asin, dan pahit. Perubahan tersebut lebih dapat disadari
oleh beberapa orang dibanding yang lainnya.
e. Perubahan Indera Penciuman
Penurunan yang paling tajam dalam sensasi penciuman terjadi
selama usia pertengahan, dan untuk sebagian orang, hal tersebut akan
terus berkurang. Kecepatan penurunan sensasi penciuman pada lansia
bervariasi. Orang bereaksi terhadap bau dengan cara berbeda, dan respon
seseorang mungkin dipengaruhi oleh usia, jenis kelamin, etnik, dan
pengalaman sebelumnya tentang bau tersebut. Sensasi penciuman tidak
secara serius dipengaruhi oleh penuaan saja tetapi bisa terjadi oleh factor
lain yang berhubungan dengan usia. Penyebab lainnya juga dianggap
sebagai pendukung untuk terjadinya kehilangan kemampuan sensasi
penciuman termasuk pilek, influenza, merokok, obstruksi hidung, secret
dari hidung, sinusitis kronis, kebiasaan tertentu dengan bau/ aroma,
epitaksis, alergi, penuaan serta factor lingkungan.

19
f. Persepsi Sensasi
Persepsi terganggu baik pada hemiplegia bagian kanan maupun kiri.
Deficit penglihatan atau kebutaan lapangan pandang pada satu sisi, yaitu
sisi yang terpengaruh, yang dikenal dengan hemianopsia dan umumnya
mengacu pada defek penglihatan bilateral. Kelainan yang terjadi pada
bagian kanan dan kiri dapat terjadi dengan atau tanpa defek lapangan
pandang.
Distorsi persepsi ini membuat klien sulit untuk menilai kedalaman
dan orientasi vertical dan horizontal dilingkungannya. Karena dampak
negatifnya pada keseimbangan duduk, persepsi visual, mobilitas kursi
roda, kesadaran terhadap keamanan, perlindungan kulit dan sendi, dan
resiko jatuh, kelalaian hemispasial (sindrom kelalaian) turut berperan
kearah kecacatan setelah stroke.

7. Jenis Pemeriksaan Fisik Sensori


Pemeriksaan sistem sensori dilakukan dengan memeriksa kondisi kelima
sistem indra yaitu penglihatan, pendengaran, pembau, pengecap, dan peraba.
a. Pemeriksaan Fisik Indra Penglihatan
1) Pemeriksaan ketajaman penglihatan (pemeriksaaan visus)
Mata merupakan organ tubuh yang berfungsi sebagai indera
penglihatan sehingga pemeriksaan ketajaman mata sangat penting
untuk bisa mengetahui fungsi mata. Pemeriksaan ketajaman mata
dilakukan paling awal sebelum melakukan pemeriksaan mata lebih
lanjut. Ketajaman penglihatan dituliskan dalam rasio perbandingan
jarak penglihatan normal seseorang dengan jarak penglihatan yang
dapat dilihat oleh orang seseorang. Misalnya ketajaman penglihatan
20/30 yang berarti seseorang dapat melihat dengan jarak 20 kaki
sedangkan pada penglihatan normal dapat dilihat dengan jarak 30
kaki. Orang dengan mata normal memiliki nilai ketajaman mata
20/20.

20
2) Pemeriksaan lapangan pandangan
Pemeriksaan buta warna (tes isihara)
Salah satu gangguan mata yang bersifat herediter, yaitu buta warna.
Buta warna merupakan penglihatan warna-warna yang tidak
sempurna, seringkali disebut sebagai cacat penglihatan warna. Cacat
penglihatan warna bersifat didapat, terkadang merupakan gejala dini
kerusakan mata. Untuk mengetahui adanya cacat penglihatan mata
perlu dilakukan tes isihara. Tes isihara merupakan gambar-gambar
pseudoisokromatik yang disusun oleh titik dan kepadatan warna yang
berbeda, berasal dari warna primer yang didasarkan warna yang
hamper sama. Titik-titik warna tersebut disusun dengan bentuk dan
pola tertentu tanpa adanya kelainan persepsi warna.

b. Pemeriksaan Fisik Indra Pendengaran


1) Tes ketajaman auditorius
Tes ini akan dapat mengetahui kemampuan pasien dalam
mendengarkan bisikan kata (voice test) atau detakan jam tangan.
2) Uji garputala
a) Uji weber
Hasil: pada pasien sensorineural, suara terdengar pada telinga yang
tidak terganggu. Sedangkan pada tuli konduktif, suara terdengar lebih
jelas pada telinga yang terganggu.
b) Uji rinne
Letakkan batang garputala ke tulang mastoideus pasien.
Ketika pasien menunjukkan bahwa suara tidak terdengar lagi,
dekatkan gigi garputala ke meatus eksternus salah satu telinga.
3) Uji Scwabach
a) Normal: anak akan mendengar suara garputala di meatus
eksternus setelah tidak terdengar di prosesus mastoideus dan
suara dapat terdengar sama baiknya.
b) Abnormal: pada kehilangan pendengaran sensorineural
memungkinkansuara yang dihantarkan lewat udara lebih baik dari

21
pada lewat tulang dan segala suara diterima seperti sangat jauh
dan lemah.

c. Pemeriksaan Fisik Pengecap


Pada hakekatnya, lidah mempunyai hubungan erat dengan indera khusus
pengecap. Zat yang memberikan impuls pengecap mencapai sel reseptor
lewat pori pengecapan. Ada empat kelompok pengecap atau rasa yaitu
manis, asin, asam, dan pahit.
Gangguan indera pengecap biasanya disebabkan oleh keadaan yang
mengganggu tastants atau zat yang memberikan impuls pengecap pada
sel reseptor dalam taste bud (gangguan transportasi) yang menimbulkan
cedera sel reseptor (gangguan sensorik) atau yang merusak serabut saraf
aferen gustatorius serta lintasan saraf sentral gustatorius (gangguan
neuron).
Pasien dengan keluhan hilangnya rasa bisa dievaluasi secara psikofisis
untuk fungsi gustatorik selain menilai fungsi olfaktorius. Langkah
pertama melakukan tes rasa seluruh mulut untuk kualitas, intensitas, dan
persepsi kenyamanan dengan sukrosa, asam sitrat, kafein, dan natrium
klorida. Tes rasa listrik (elektrogustometri) digunakan secara klinis untuk
mengidentifikasi defisit rasa pada kuadran spesifik dari lidah. Biopsi
papilla foliate atau fungiformis untuk pemeriksaan histopatologik dari
kuncup rasa masih eksperimental akan tetapi cukup menjanjikan
mengetahui adanya gangguan rasa.
d. Pemeriksaan Fisik Peraba
Pemeriksaan fisik indra perabaan didasarkan pada sensibilitas.
Pemeriksaan fisik sensori indra perabaan (taktil) terbagi atas 2 jenis,
yaitu basic sensory modalities dan testing higher integrative functions.
Basic sensory modalities (pemeriksaan sensori primer) berupa uji sensasi
nyeri dan sentuhan, uji sensasi suhu, uji sensasi taktil, uji propiosepsi
(sensasi letak), uji sensasi getar (pallestesia), dan uji sensasi tekanan.
Sedangkan testing higher integrative functions (uji fungsi integratif
tertinggi) berupa stereognosis, diskriminasi 2 titik, persepsi figure kulit
(grafitesia), ekstinksi, dan lokalisasi titik.

22
Sensasi raba dihantarkan oleh traktus spinotalamikus ventralis.
Sedangkan sensasi nyeri dan suhu dihantarkan oleh serabut saraf menuju
ganglia radiks dorsalis dan kemudian serabut saraf akan menyilang garis
tengah dan akan masuk menuju traktus spinotalamikus lateralis
kontralateral yang akan berakhir di talamus sebelum dihantarkan ke
korteks sensorik dan diinterpretasi. Adanya lesi pada traktus-traktus
tersebutlah yang dapat menyebabkan gangguan sensorik tubuh.
1) Basic sensory modalities(pemeriksaan sensori primer)
a) Uji sensasi nyeri dan sentuhan
Uji sensasi nyeri dan sentuhan terbagi menjadi 2 macam, yaitu
nyeri superficial (tajam-tumpul) dan nyeri tekan.
(1) Nyeri superficial
Merupakan metode uji sensasi dengan menggunakan benda
yang memiliki 2 ujung, yaitu tajam dan tumpul. Benda
tersebut dapat berupa peniti terbuka maupun jarum pada
reflek hammer.
(2) Nyeri tekan
Merupakan metode uji sensori dengan mengkaji nyeri melalui
penekanan pada tendon dan titik saraf. Metode ini sering
digunakan dalam uji sensori protopatik (nyeri superficial,
suhu, dan raba) dan uji propioseptik (tekanan, getar, posisi,
nyeri tekan). Misalnya, berdasarkan Abadie sign pada daerah
dorsalis, tekanan ringan yang diberikan pada tendon Achilles
normalnya adalah ‘hilang’. Dengan kata lain tidak dapat
dirasakan sensasi nyeri bila diberikan tekanan ringan pada
tendon Achilles.
b) Uji Sensasi Suhu
Uji sensasi suhu pada dasarnya lebih direkomendasikan apabila
pasien terindikasi gangguan sensasi nyeri. Hal ini dikarenakan
pathways dari indra nyeri dan suhu saling berbuhungan. Metode
ini menggunakan gelas tabung yang berisi air panas dan dingin.
Pasien diminta untuk membedakan sensasi suhu yang dirasakan

23
tersebut. Apabila pasien tidak dapat membedakan sensasi,maka
pasien dapat diindikasikan mengalami kehilangan “slove and
stocking” (termasuk dalam gangguan neuropati perifer).
c) Uji sensasi taktil
Uji sensasi taktil dilakukan dengan menggunakan sehelai dawai
(senar) steril atau dapat juga dengan menggunakan bola kapas.
Pasien yang dalam keadaan mata terpejam akan diminta
menentukan area tubuh yang diberi rangsangan dengan
memberikan hapusan bola kapas pada permukaan tubuh bagian
proksimal dan distal. Perbandingan sensitivitas dari tubuh
proksimal dan distal akan menjadi tolak ukur dalam menentukan
adanya gangguan sensori. Indikasi dari gangguan sensori pada uji
sensasi taktil ini berupa hyperestetis, anastetis, dan hipestetik.
d) Uji propiosepsi (sensasi letak)
Uji ini dilakukan dengan menggenggam sisi jari pada kedua
tungkai yang disejajarkan dan menggerakkannya ke arah gerakan
jari. Namun yang perlu diperhatikan adalah menghindari
menggenggam ujung dan pangkal jari atau menyentuh jari yang
berdekatan karena lokasi sensasinya mudah ditebak (memberikan
isyarat sentuh). Pasien yang dalam keadaan mata terpejam
diminta untuk menentukan lokasi jari yang digerakkan.
e) Uji sensasi tekanan
Uji sensasi tekanan menerapkan kemampuan pasien dalam
membedakan tekanan dari sebuah objek pada ujung jari. Uji ini
dilakukan dengan cara menekan aspek tulang sendi dan subkutan
untuk mempersepsikan tekanan. Rekomendasi untuk uji tekanan
ini diutamakan pada penderita diabetes dan dilakukan minimal
sekali setahun.
f) Testing higher integrative functions(uji fungsi integratif tertinggi)
(1) Stereognosis
Stereognosis merupakan kemampuan untuk mengenali objek
dengan perasaan. Uji ini merupakan identifikasi benda yang

24
dikenal dan diletakkan di atas tangan pasien sehingga pasien
dapat mengidentifikasi benda yang berada di tangannya.
Adanya kesulitan identifikasi benda (gangguan stereognosis)
mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior atau
korteks sensori.
(2) Diskriminasi 2 titik
Diskriminasi 2 titik merupakan metode identifikasi sensasi 2
titk dari penekanan 2 titik pin yang berada pada permukaan
kulit. Uji ini terus dilakukan berulang hingga pasien tidak
dapat mengidentifikasi sensasi 2 titik yang terpisah. Lokasi
yang sering digunakan untuk uji ini adalah ujung jari, lengan
atas, paha, dan punggung. Adanya gangguan identifikasi 2
titik mengindikasikan adanya lesi pada kolumna posterior
atau korteks sensori.
(3) Identifikasi angka (grafitesia)
Grafitesia merupakan metode penggambaran angka di mana
nantinya pasien diminta untuk mengidentifikasi angka yang
tergambar pada telapak tangan. Metode grafitesia dapat
menggunakan ujung tumpul pulpen sebagai media stimuli.
Kesulitan pada identifikasi angka menunjukkan adanya glesi
pada kolumna posterior atau korteks sensori.
(4) Ekstinksi
Ekstinksi merupakan salah satu uji sensori yang
menggunakan metode sentuhan pada kedua sisi tubuh. Uji ini
dilakukan pada saat yang sama dan lokasi yang sama pada
kedua sisi tubuh, misalnya lengan bawah pada kanan dan kiri
lengan. Apabila pasien tidak bisa menggambarkan jumlah
titik lokasi sentuhan (biasanya psien hanya merasakan satu
sensasi), maka dapat dipastikan pasien teridentifikasi adanya
lesi sensoris.

25
(5) Lokalisasi titik
Lokalisasi titik merupakan metode didentifikasi letak lokasi
sensasi stimulus. Metode ini dilakukan dengan cara
memberikan sensasi sentuhan ringan pada permukaan kulit
dan meminta pasien untuk menyebutkan atau menunjukkan
letak sensasi yang dirasakan. Adanya penurunan sensasi
sensori dibuktikan dengan adanya ketidak-akuratan
identifikasi lokalisasi. Hal ini disebabkan adanya lesi pada
korteks sensori sehingga terjadi penurunan maupun hilangnya
sensasi sentuhan pada sisi tersebut.

e. pemeriksaan Fisik Indra Penciuman


Penurunan serabut bulbus olfaktorius sebesar 1% per tahun akibat
penurunan sel-sel sensorik pada mukosa olfaktorius dan penurunan
fungsi kognitif di susunan saraf pusat.
Proses degenerative pada sistem saraf pusat berupa penyakit Parkinson,
Alzheimer, dan proses penuaan normal dapat mengakibatkan hiposmia.
Pada Alzheimer, hilangnya fungsi pembauan merupakan gejala pertama
proses penyakitnya. Sedangkan proses penuaan, terjadi penurunan
penciuman yang lebih pesat daripada pengecapan dan penurunan paling
pesat terjadi pada usia 70an.
Untuk mengidentifikasi adanya gangguan penciuman diperlukan
pemeriksaan fisik untuk menentukan sensasi kualitatif dan ambang batas
deteksi. Pemeriksaan fisik untuk menentukan sensasi kualitatif yang
paling sederhana dapat menggunakan bahan-bahan odoran berbeda.
Contohnya kopi, vanilla, selai kacang, jeruk, limun, coklat, dan lemon.
Pasien diminta untuk mengidentifikasi bau dengan mata tertutup dan
kemudian mencium aroma dari bahan-bahan odoran tersebut.

26
Sedangkan saat ini terdapat beberapa metode yang tersedia untuk
pemeriksaan penciuman, yaitu:
1) Tes odor stix
Uji ini menggunakan pena penghasil bau-bauan. Penba ini dipegang
dalam jarak sekitar 3-6 inci dari hidung pasien untuk mengkaji
persepsi bau pasien secara kasar.
2) Tes alkhohol 12 inci
Merupakan metode pemeriksaan persepsi bau secara kasar dengan
menggunakan paket alkhohol isopropil yang dipegang pada jarak 12
inci.
3) Scratch and sniff card
Meode ini menggunakan kartu yang memiliki 3 bau untuk menguji
penciuman secara kasar.
4) The University of Pennsylvania Smell Identification Test (UPSIT)
Merupakan metode paling baik untuk menguji penciuman dan paling
direkomendasikan. Uji ini menggunakan 40 item pilihan ganda berisi
bau-bauan berbentuk kapsul mikro. Orang yang kehilangan seluruh
fungsi penciumannya memiliki skor kisaran 1-7 dari skor maksimal
40. Untuk anosmia total, skor yang dihasilkan lebih tinggi karena
terdapat adanya sejumlah bau-bauan yang bereaksi terhadap
rangsangan terminal.
5) Pemeriksaan fisik untuk emenentukan ambang batas
Penentuan ambang deteksi bau menggunakan alkhohol feniletil yang
ditetapkan dengan menggunakan rangsangan bertingkat. Masing-
masing lubang hidung harus diuji sensitivitasnya melalui ambang
deteksi untuk fenil-etil metil etil karbinol.

8. Pencegahan Yang Dapat Dilakukan


a. Pencegahan Primer
Penggunaan model promosi, strategi dan intervensi kesehatan dapat
diidentifikasi dari sudut pandang fisik, fungsional, kognisi-komunikasi,
persepsi-sensori, dan psikologi.

27
b. Pencegahan Sekunder
Pencegahan sekunder berhubungan dengan pengkajia, diagnose,
penentuan tujuan, dan intervensiketika deficit neurologis terjadi. Tujuan
secara keseluruhan adalah untuk mencegah terjadinya kehilangan
kesehatan tambahan dan untuk mengembalikan klien pada tingkat
kemampuan berfungsi meraka secara maksimum.
c. Pencegahan Tersier
Pencegahan tersier bertujuan untuk menurunkan efek dari penyakit dan
cedera. Tahap perlindungan kesehatan ini dimulai pada periode awal
penyembuhan. Pengawasan kesehatan selama rehabilitasi untuk
meningkatkan fungsi, mobilitas, dan penyesuaian psikososail adalah
hasil yang diharapkan dari pencegahan tersier. Hidup secara produktif
dengan keterbatasan dan deficit, dan meminimalkan residu kecacatan
adalah hasil tambahan yang diharapkan. Pencegahan tersier mempunyai
banyak hal untuk ditambahkan pada kualitas hidup dan keseluruhan arti
kehidupan yang diyakini oleh klien.

28
BAB III

ASUHAN KEPERAWATAN PADA LANSIA DENGAN PENURUNAN FUNGSI


PERSEPSI SENSORI

1. Pengkajian
Pengkajian dilakukan sesuai dengan pengkajian pada lansia meliputi:
a. Data umum
Data umum berisi nama pasien, umur, agama, suku bangsa, jenis
kelamin, pendidikan, riwayat pekerjaan, status perkawainan.
b. Dimensi biofisik
Deminsi biofisik yang perlu dikaji diantaranya:
1) Riwayat penyakit
Adalah riwayat penyakit yang dirasakan sekarang.
2) Riwayat penyakit keluarga
Adalah riwayat penyakit yang pernah diderita oleh silsilah
keluarga lansia misalnya hiprtensi, diabetes mellitus.
3) Riwayat pencegahan penyakit
Adalah usaha yang pernah dilakukan oleh lansia dalam mencegah
suatu penyakit.
4) Riwayat monitoring tekanan darah
Yang perlu ditanyakan dalam pengkajian ini adalah tekanan
darah terakhir, jika pasien ingat berarti lansia melakukan
monitoring tekanan darah. Tekanan darah lansia perlu dipantau
karena dapat berubah sewaktu-waktu.
5) Riwayat vaksinasi
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui riwayat vaksinsi yang
pernah dilakukan leh lansia.
6) Skrining kesehatan yang dilakukan
Pengkajian ini bertujuan untuk mengetahui status kesehatan
lansia.

29
7) Status gizi
Dilakukan pemeriksaan BB dan TB lalu dilakukan penguuran
dengan grafik indeks tubuh
8) Masalah kesehatan yang terkait gizi
Yang pelu dikaji adalah adakah masalah dalam mulut misalnya
gigi lansia yang mulai tanggal digantikan gigi palsu, perubahan
berat badan, masalah nutrisi.
9) Masalah kesehatan yang dialami lansia saat ini
Kaji masalah kesehatan lansia saat ini.
10) Obat-obatan yang dikonsumsi
Tanyakan obat-obatan apa saja yang diminum lansia saat ini
untuk mengetahui adakah pengaruh obat dengan masalah
kesehatan sekarang.
11) Tindakan spesifik yang dilakukan
Tanyakan pada lansia tindakan apa yang dilakukan untuk
mengtasi masalah kesehatan saat ini.
12) Pemenuhan kebutuhan sehari-hari
Pemenuhan kebutuhan sehari-hari meliputi : mobilisasi,
barpakaian, makan dan minum, toileting, personal hygiene,
mandi. Enam item pertanyaan tersebut ditanyakan apakah
kegiatan tersebut dilakukan mandiri atau dibantu oleh orang lain
13) Satus fungsional
Dinilai denga indeks KATZ

30
INDEKS KATZ

SKORE KRITERIA

A Kemandirian dalam hal makan, kontinen, berpindah, ke kamar kecil,


berpakaian dan mandi

B Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali satu


dari fungsi tersebut

C Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali mandi


dan satu fungsi tambahan

D Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,


berpakaian dan satu fungsi tambahan

E Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,


berpakaian,ke kamar kecil dan satu fungsi tambahan

F Kemandirian dalam semua aktifitas hidup sehari-hari, kecuali mandi,


berpakaian, berpindah, dan satu fungsi tambahan

G Ketergantungan pada enam fungsi tersebut

Lain- Ketergantungan pada sedikitnya dua fungsi, tetapi, tidak dapat


lain diklasifikasikan sebagai C, D, E, F dan G

31
c. Dimensi psikologi
Yang perlu ditanyakan dalam pengkajian ini meliputi:
1) Status kognitif
Kaji dengan menggunakan Short Portable Mental State
Quesionare. Biasanya yang dikaji pertama adalah status mental
lansia meliputi tingkat kesadaran dan atensi lansia pada
pengkajian tersebut. Bahasa yang digunakan apakah mudah
dimengerti, memori jangka panjang (tanyakan kapan lansia lahir,
siapakah presiden pertama Indonesia) dan pendek (menghitung ).
2) Perubahan yang ditimbulkan terkait status kognitif
3) Status depresi
Kaji status depresi lansia menggunakan tools yang ada.
4) Perubahan yang timbul terkait status depresi
5) Keadaan emosi
Kaji keadaan emosi lansia apakah pemarah, mudah tersinggung,
ramah, cemas.
d. Dimensi fisik
Pengkajian yang berhubungan dengan lingkungan fisik disekitar
lansia misalnnya penerangan rumah, lantai rumahnya licin apa tidak,
adakah pegangan untuk membantu berjalan.
e. Dimensi sosial
Hubungan dengan keluarga, anak, cucu, tetangga, sesame lansia,
organisasi social.
f. Dimensi tingkah laku
1) Pola makan
Meliputi frekuensi makan, kesulitan ketika makan, pola diit,
kualitas dan kuantitas makanan yang dimakan.
2) Pola tidur
Jam tidur, berapa lama, adakah kesulitan dalam tidur, kualitas
dan kuatitas tidur.
3) Pola eliminasi (BAB dan BAK)

32
Yang perlu dikaji adalah frekuensi BAB dan BAK, warna,
konsistensi, jernih atau keruh urinnya.
4) Kebiasaan buruk lansia
Adakah lansia mempunyai kebiasaan merokok, minum obat-
obatan yang tidak dianjurkan, mnum minuman berakohol.
5) Kegiatan olah raga
Pengakajian dlakukan dengan menanyakan apakah lansia
mempunyai kebiasaan berolahraga.
6) Rekreasi
Pengkajian dilakukan dengan menyakan apakah lansia tetap
melakukan rekreasi bersama keluarga atau komunitasnya.
7) Pengambilan keputusan
Pengambilan keputusan untuk suatu masalah siapa.
g. Pengkajian fisik
1) Kepala
Adakah alopesia, warna rambut, kualitas rambut mudah
dicabut atau tidak, adakah memar, nyeri tekan.
2) Mata
Ukur lapang pandang lansia, bentuk mata, keluar secret atau
tidak, memakai alat bantu llihat atau tidak, ukur visus lansia
adakah terjadi ganngguan.
3) Hidung
Lihat bentuk simetris atau tidak, terdapat massa atau tidak,
keluar secret atau tidak, diuji juga daya ciium lansia dengan
beberapa macam bau.
4) Telinga
Kaji funsi pendengaran dengan tes Weber, Rinne, Swabach,
te bisik, lihat adanya secret atau tidak, ada lesi atau tidak.
5) Mulut
Bentuk gusi dan gigi, karies ada atau tidak, memakai gigi
palsu atau tidak, adakah lesi pada mukosa mulut. Pada lidah

33
diperiksa juga daya pengecapnya masih berfungsi atau tidak
dengan memberikan garam atau gula.

2. DIAGNOSA KEPERAWATAN

a. Gangguan persepsi sensori visual b/d perubahan penerimaan, transmisi dan


intregrasi.

b. Gangguan persepsi sensori dengar b/d perubahan penerimaan, trasnmisi dan


integrasi

c. Konfusi akut b/d dementia dan usia lebih dari 60 tahun.

d. Resiko jatuh b/d penurunan fungsi persepsi sensori.

3. ANALISA DATA

No Data Masalah Etiologi

1 DS: pasien mengatakan Gangguan persepsi Perubahan penerimaa,


pandangan kabur sensori visual transmisi, integrasi

DO:

- Visus pasien

- Lapang pandang
menyempit

- Lensa terlihat
keruh

2 DS: pasien mengatakan Gangguan prsepsi Perubahan transmisi,


bahwa daya dengarnya dengar penerimaan dan
berkurang. integrasi

34
DO:

- pasien saat diajak


bicara jawabannya
tidak nyambung

- hasil pemeriksaan
telinga (weber,
rhine, swabah)
menujukkandaya
hantar suara
berkurang

- pasien terlihat
bingung saat dia
tidak bisa
mendengar

3 DS: pasien mengatakan Konfusi akut Usia lebih 65 tahun dan


bahwa dia sering lupa (00128) dimensia
menaruh barang atau
sudah melakukan suatu
kegiatan.

DO:

- pasien lupa tanggal


lahirnya

- sering melamun

- salah
mempersepsikan
masukan perawat

- hasil SPMSQ
pasien mengalami

35
ganggun ingatan
jangka pendek dan
panjang.

4. DO: pasien mengatakan Resiko cedera Peurunan persepsi


pandangan kabur dan (00035) sensori
pendengarannya kurang
jelas.

DS:

- pasien berjalan
sambil
berpegangan
tembok di
dekatnya.

- Pasien kadang
tersandung barang-
barang di dekatnya

4. Rencana keperawatan

No Diagnose NOC NIC

1. Gangguan Out come:2404 Peningkatan komunikasi: kurang


persepsi sensori penglihatan (4978)
- Dapat
visual
berkomunikasi  Tentukan ketajaman
dengan baik penglihatan, catat
apakah satu atau
- Ketajaman
keduanya terlibat.
pandangan
perifer(kanan dan  Orientasikan pasien
terhadap lingkungan,

36
kiri) staf, orang lain
diareanya.
- Lapang panadang
berpusat pada  Observasi tanda-tanda
kanan atau kiri dan gejala –gajala
disorientasi.
- Pandangan kabur
berkurang  Perhatikan tentang
suram atau penglihatan
- Tekanan bola
kabur dan iritasi mata,
mata berkurang
dimana dapat terjadi bila
menggunakan tetes
mata.

 Ingatkan pasien bila


menggunakan kacamata
katarak yang tujuannya
memperbesar kurang
lebih 25%, penglihatan
perifer hilang , dan buta
titik mungkin ada.

 Letakkan barang yang


dibutuhkan /posisi bel
pemanggil dalam
jangkauan.

2. Gangguan Out come: 2401 Peningkatan komunikasi kurang


persepsi sensori pendengaran (4974)
- Ketajaman
pendengaran
pendengaran - Atur pengkajian atau
skrining utin terkait
- Dapat mendengar
dengan fungsi

37
bisikan suara pendengaran.

- Berbalik kea rah - Gunakan komunikasi


suara yang halus bukan
berteriak.
- Merespon
stimulus suara - Bersihkan serumen yang
berlebihan.

- Hindari berkomunikasi
lebih 2-3 kaki jarak dari
pasien.

- Hindari lingkungan yang


berisik saat
berkomunikasi.

3. Konfusi akut Out come: 0900 Manajemen dementia (6460)

- Mampu - Identifikasi pola-pola


berkomunikasi perilaku biasa untuk
baik kegiatan seperti tidur,
penggunaan obat,
- Dapat
eliminasi, makan.
memperhatikan
pembicaraan - Tentukan jenis dan
tingkat deficit kognitif
- Dapat mengingat
dengan tools yang tepat.
memori lama
- Monitor fungsi kognitif
- Dapat mengingat
memori baru - Sediakan lingkungan
yang tenang dan nyaman
untuk pasien

- Siapkan berinteraksi
dengan kontak mata dan

38
sentuhan

- Sediakan lingkungan
fisik dan rutinitas sehari-
hari yang konsisten.

- Berikan arahan
sederhana pada satu
waktu

- Berikan stimulus dengan


isyarat misalnya ini
musim, lokasi, peristiwa,
nama-nama untuk
mengingat sesuatu.

- Jangan membuat frustasi


pasien dengan
pertanyaan yang tidak
bisa dijawab

4. Resiko cedera Out come: 1913 Pencegahan jatuh (6490)

- Kejadian luka - Identifikasi kekurangan


lecet dan gores baik kognitif atau fisik
tidak terjadi yang meningkatkan
resiko jatuh
- Terhindar dari
gangguan - Identifikasi lingkungan
mobilitas pasien yang
menyebabkan jatuh
- Kerusakan
kognisi dapat - Letakkan benda-benda
dihindari yang dapat
membahayakan pasien

- Sediakan pencahayaan

39
yang cukup

- Lakukan latihan
mobilisasi sesuai jadwal

40
BAB IV
PENUTUP

1. KESIMPULAN
Menua adalah suatu keadaan yang terjadi di dalam kehidupan manusia
yang merupakan proses ilmiah yang di mulai sejak permulaan kehidupan dengan
3 tahapan yaitu anak, dewasa dan tua baik secara biologis maupun psikologis.
Hal ini di tandai dengan menurunya fungsi pancaindra, minat dan fungsi organ
seksual dan kemampuan motorik. Pada lansia akan terjadi Perubahan kondisi
fisik meliputi perubahan dari tingkat sel sampai ke semua sistem organ tubuh,
diantaranya sistem pernapasan, pendengaran, pendengaran, penglihatan,
kardiovaskuler, sistem pengaturan tubuh, muskuloskeletal, gastrointestinal,
urogenital, endokrin, dan integumen. Pada sistem pendengaran, membran
timpani menjadi atrofi menyebabkan otosklerosis, penumpukan serumen,
sehingga mengeras karena meningkatnya keratin, perubahan degeneratif osikel,
bertambahnya persepsi nada tinggi, berkurangnya ‘pitch’ diserimination,
sehingga terjadi gangguan pendengaran derta tulang-tulang pendengaran
mengalami kekakuan.
2. SARAN
Adapun saran yang dapat digunakan untuk peningkatan kualitas asuhan
keperawatan dalam pemenuhan kebutuhan dasar khususnya neurologi pada
lansia adalah:
a. Perawat
Diharapkan lebih mengerti dan memahami tentang asuhan keperawatan pada
lansia dengan gangguan neurologi untuk meningkatkan mutu kesehatan
lansia yang ada di masyarakat maupun instansi pelayanan kesehatan.
b. Mahasiswa
Diharapkan mampu memahami tentang bagaimana asuhan keperawatan pada
lansia dengan gangguan neurologi sehingga dapat meningkatkan kesehatan
lansia yang ada di masyarakat.
c. Keluarga Lansia
Diharapkan dapat meningkatkan kemandirian dalam memenuhi kebutuhan
lansia di rumah.

41
DAFTAR PUSTAKA

Maryam RS,ekasari,MF,dkk .2008.mengenal usia lanjut dan


perawatannya.Jakarta:salemba medika

Tamher,s,noorkasiani.2009.kesehatanusia lanjut dengan pendekatanasuhan


keperawatan.Jakarta:salemba medika

Pranaka, Kris. 2010. Buku Ajar Boedhi Darmojo Geriatri (Ilmu Kesehatan Usia
Lanjut). Edisi 4. Jakarta: Balai Penerbit Fakultas Kedokteran Universitas Indonesi

Cacchione, P.Z. 2005.Sensory Changes. New York: University College of Nursing.

Chaitow, L. 2005. Maintaining Body Balance, Flexibility and Stability: a Practical


Guide to The Prevention and Treatment of Musculoskeletal Pain and Dysfunction.
London: Churchill Livingstone.

Darmojo, Boedhi,et al.2000.Beberapa masalah penyakit pada Usia Lanjut. Jakarta:


Balai Penerbit FKUI.

Darmojo & Martono.(2004). Beberapa aspek gerontologi dan pengantar geriatric buku
ajar geriatri FKUI. Jakarta:EGC.

Goldstein, et al. 1989.Biologic Theories of Aging, Fam Physician, 40 (3):195.

Halliwell B, Gutteridge JMC. 1994. Free radicals, antioxidants, and human


disease. Curiosity, cause, or cosequence?. Neurogenerative disease research Group,
King College, London .Vol. 344.721-725.

Miller, C.A. (2004). Nursing for Wellness in Older Adult: theory and
practice.Philadelphia : Lippincott Williams and Wilkin.

Mubarak, I.W. 2006. Ilmu Keperawatan Komunitas. Jakarta: CV Sagung Seto.

Nugroho, W (2000). Keperawatan Gerontik, Edisi-2. Jakarta:EGC

Nugroho, Wahjudi. 2008. Keperawatan Gerontik & Geriatrik.Edisi 3. Jakarta: EGC.

42
Pieter, H.Z. & Lubis, N.L. 2010. Pengantar Psikologi Dalam Keperawatan.
Jakarta: Kencana.

Pudjiastuti, Sri Surini dan Budi Utomo.(2003). Fisisoterapi pada Lansia. Jakarta: EGC.

Stanley, Mickey. 2006. Buku Ajar Keperawatan Gerontik Edisi 2. Jakarta: EGC.

Smeltzer, Suzanne C. & Bare, Brenda G. 2001. Buku Ajar Keperawatan Medikal Bedah
Brunner & Suddarth.Edisi 8.Volume 3. Jakarta: EGC.

Suhartin, P. 2010. Teori Penuaan, Perubahan Pada Sistem Tubuh dan


Implikasinya pada Lansia. Diakses dari
http://pratiwisp.files.wordpress.com/2010/II/teori-penuanaan-danperubahan-fisiologi -
lansia. pdf pada tannggal 16 September 2016.

Bulechek, G. M., Butcher, H. K., & Dochterman, J. M. 2008.Nursing Intervention


Classification (NIC).5th Edition. St. Louis : Mosby Inc., an affiliate of Elsevier Inc

Herdman, T. H. 2012. NANDA International Nursing Diagnoses : Definitions &


Classification, 2012-2014. Oxford : Wiley-Blackwell.

Moorhead, S., Johnson, M., Maas, M. L., & Swanson, E. 2008.Nursing Outcomes
Classification (NOC).5th Edition. St. Louis : Mosby Inc., an affiliate of Elsevier Inc.

Dewi Sofia. 2014. Buku Ajar Keperawatan Gerontik. Yogyakarta : Deepublish.

43

Anda mungkin juga menyukai