Anda di halaman 1dari 26

KARYA TULIS ILMIAH

GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG

PENGGUNAAN OBAT ANTIREMATIK DI KOMPLEK BKN

DI KOTA MAKASSAR

ASYRIANTI RASYMI

NH0514006

PROGRAM STUDI DIPLOMA TIGA FARMASI

SEKOLAH TINGGI ILMU KESEHATAN

NANI HASANUDDIN

MAKASSAR

2017
USULAN PENELITIAN

I. JUDUL PENELITIAN

GAMBARAN PENGETAHUAN MASYARAKAT TENTANG

PENGGUNAAN OBAT ANTIREMATIK DI KOMPLEK BKN DI KOTA

MAKASSAR

II. RUANG LINGKUP

DESKRIFTIF

III. PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Penyakit rematik yang sering disebut arthritis (radang sendi) dan

dianggap sebagai satu keadaan sebenarnya terdiri atas lebih dari 100 tipe

kelainan yang berbeda. Penyakit ini terutama mengenai otot-otot skelet,

tulang, ligamentum, tendon dan persendian pada laki-laki maupun wanita

dengan skala usia (Restu Gloria.dkk, 2016).

Artritis atau biasa disebut rematik merupakan penyakit yang

menyerang persendian (Radyanto iwan, 2012). Pada umumnya

masyarakat menganggap penyakit rematik adalah penyakit yang sepele

sehingga sebagian masyarakat tidak begitu peduli dengan penyakit ini.

Padahal penyakit ini dapat mengakibatkan terjadinya kerusakan pada

bagian sendi dan jika terlambat dalam penanganan dapat mengakibatkan

kelumpuhan atau cacat seumur hidup.


Ada lebih dari 200 tope artritis, 2 tipe paling umum adalah

osteoartritis (OA) dan artritis rheumatoid (AR). Pada tipe osteoartritis

(OA), tidak ada penyebab tunggal tapi ada beberapa faktor yang dapat

meningkatkan risiko terkena OA. Degenerasi yang terkait usia, meski OA

kadang-kadang dapat menyerang orang muda tapi lebih umummenyerang

pada usia 40 tahun ke atas. Ini mungkin disebabkan oleh perubahan

tubuh yang disebabkan penuaan, seperti otot melemah, peningkatan berat

badan, dan kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri mulai

menurun. Sedangkan berdasarkan pada jenis kelamin yaitu sebelum usia

45 tahun, OA lebih umum menyerang pria. Namun, setelah usia di atas

55 tahun, wanita yangblebih rentan terserang OA. Hal ini

mengindikasikan adanya hubungan antara menopause dengan OA

:beberapa penelitian menyimpulkan kalau estrogen dapat melindungi

setelah menopause (Wendy Gleen, 2012).

Di seluruh dunia jumlah orang lanjut usia diperkirakan ada 500 juta

dengan usia rata-rata 60 tahun dan diperkirakan pada tahun 2025 akan

mencapai 1,2 milyar. Di negara maju seperti Amerika Serikat

pertambahan orang lanjut usia diperkirakan 1.000 orang/hari dan

diperkirakan 50% dari penduduk berusia diatas 50 tahun sehingga istilah

Baby Boom pada masa lalu berganti menjadi “ledakan penduduk lanjut

usia” (Padila, 2013).

Laporan Badan Pusat Statistik (BPS) terjadi peningkatan usia

harapan hidup (UHH). Pada tahun 2010 (dengan persentase populasi


lansia adalah 7,56%), pada tahun 2011 menjadi 69,65 tahun (dengan

persentase populasi lansia adalah 7,58%), sedangkan pada tahun

sedangkan pada tahun 2013 usia harapan hidup masyarakat Indonesia

rata-rata mencapai 72 tahun (Sofyan. Dkk. 2015)

rekapitulasi data Dinas Kesehatan Sulawesi Selatan (2014),

menunjukkan jumlah lansia perempuan lebih banyak dari lansia laki-laki.

Pertumbuhan penduduk lansia yang demikian cepat disertai kondisi

jaminan sosial yang masih terbatas tingkat pendidikan dan kesejahteraan

yang relatif rendah juga telah meningkatkan rasio ketergantungan yang

cukup tinggi. Presentase lansia yang berumur > 60 tahun sebesar 4,54 %

(Sofyan.dkk, 2015)

Dengan meningkatnya jumlah penduduk usia lanjut maka muncul

berbagai penyakit kronis pada lansia. Salah satu diantaranya adalah

rheumatoid artritis. Pada tahun 2012, Organisasi kesehatan dunia (WHO)

melaporkan bahwa 20%, penduduk dunia terserang penyakit arthritis

rheumatoid. Dimana 5-10% adalah mereka yang berusia 5-20 tahun dan

20% mereka yang berusia 55 tahun. Prevalensi penyakit muskuloskeletal

pada lansia dengan Rheumatoid Artritis mengalami peningkatan

mencapai 335 juta jiwa di dunia. Rheumatoid Arhtritis telah berkembang

dan menyerang 2,5 juta warga Eropa, sekitar 75 % diantaranya adalah

wanita dan kemungkinan dapat mengurangi harapan hidup mereka

hampir 10 tahun. Di Amerika Serikat pada pertengahan 2013, Penyakit

ini menempati urutan pertama dimana penduduk AS dengan Rheumatoid


Arhtritis 12.1 % yang berusia 27-75 tahun memiliki kecacatan pada lutut,

panggul, dan tangan, sedangkan di 3 Inggris sekitar 25 % populasi yang

berusia 55 tahun ke atas menderita Rheumatoid Arhtritis pada lutut

(Sofyan. Dkk, 2015)

Di Indonesia, data epidemiologi tentang penyakit Rheumatoid

Arhtritis masih sangat terbatas. Berdasarkan hasil penelitian Zeng QY et

al 2012, prevalensi nyeri rematik di Indonesia mencapai 23,6% hingga

31,3%. Hasil penelitian yang dilakukan Departemen Ilmu Penyakit

Dalam Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia (FKUI), Badan

Penelitian dan Pengembangan Kesehatan (Balitbangkes) Depkes 2013,

dan Dinas Kesehatan DKI Jakarta selama tahun 2013, dari 1.645

responden laki-laki dan perempuan yang diteliti, peneliti menjelaskan

sebanyak 66,9 % di antaranya pernah mengalami nyeri sendi.

Berdasarkan laporan Survei Kesehatan Rumah Tangga (SKRT) Tahun

2013, penduduk dengan keluhan nyeri sendi sebanyak 72,4 %. Angka ini

menunjukkan bahwa rasa nyeri akibat rematik sudah cukup mengganggu

aktivitas masyarakat Indonesia (Sofyan. Dkk, 2015).

Insidensi OA panggul dan lutut mendekati 200 per 100.000

orang per tahun. Insidensi OA panggul lebih banyak pada perempuan

dibandingkan laki-laki, sedangkan insidensi OA lutut antara

perempuan dan laki-laki sama. Pada laki-laki insidensi OA lutut

dan panggul meningkat sesuai dengan pertambahan umur, tetapi

pada perempuan tidak berubah. Berdasarkan data tersebut,


diramalkan tiap tahun di Amerika akan terjadi insidensi setengah juta

kasus gejala OA idiopatik pada populasi kulit putih.

Hasil wawancara yang dilakukan disekitar komplek BKN Kota

Makassar mengenai rematik, terdapat beberapa orang yang mengelu

rematik yakni rasa nyeri, kesemutan pada tangan dan kaki, dan kaku dan

kelemahan ssehingga mereka tidak dapat melakukan aktivitas sehari-hari

seperti menyapu, mencuci, berjalan terlalu jauh dan rasa keram pada saat

memegang benda.

Berdasarkan uraian diatas yang menyatakan bahwa banyaknya

masyarakat yang beranggapan bahwa penyakit rematik merupakan

penyakit yang sepele, hal ini bisa saja terjadi karena kurangnya

pengetahuan masyarakat tentang penyakit rematik dan pengobatannya.

Maka dari itu dilakukan penelitian ini untuk mengetahui sampai dimana

pengetahuan masyarakat tentang golongan obat antirematik serta

bagaimana hubungan antara berbagai karakteristik (jenis kelamin, umur,

pendidikan, status ekonomi, dan pekerjaan) dengan penyakit rematik.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang diatas maka rumusan masalah dalam

penelitian ini adalah bagaimana gambaran pengetahuan masyarakat

tentang penggunaan obat antirematik di komplek BKN di Kota Makassar.


C. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui mengenai gambaran

pengetahuan masyarakat tentang penggunaan obat antirematik di

komplek BKN di Kota Makassar.

D. Manfaat Penelitian

1. Manfaat untuk Masyarakat :

Bagi masyarakat, dapat memberikan informasi kepada

masyarakat tentang beberapa penggunaan obat antirematik khususnya

masyarakat komplek BKN kota Makassar.

2. Manfaat untuk Institusi Pendidikan

Bagi institusi pendidikan Stikes Nani Hasanuddin Makassar,

yakni sebagai referensi untuk menambah wawasan yang berkaitan

dengan mutu pelayanan kefarmasian, serta memberikan masukan data

untuk pengembangan ilmu, khususnya tentang penggunaan obat

antirematik

3. Manfaat untuk Bidang Farmasi

Bagi bidang farmasi, yaitu dapat dimanfaatkan sebagai referensi

bagi generasi peneliti selanjutnya khususnya yang berhubungan

dengan penggunaan obat antirematik.

4. Manfaat untuk peneliti

Bagi peneliti, yakni dapat menambah wawasan pengetahuan

dan dapat memahami tentang penggunaan obat antirematik.


IV. TINJAUAN PUSTAKA

A. Uraian Umum Tentang Rematik

1. Definisi Rematik

Artritis adalah istilah yang digunakan untuk menggambarkan

inflamasi atau peradangan sendi. Kata ini berasal dari bahasa Yunani, arthros,

yang artinya sendi dan itis, yang artinya inflamasi (Wendy Gleen, 2012).

Rematik adalah penyakit yang menyerang persendian, tulang, otot, dan

jaringan sekitarnya. penyakit ini ditandai dengan rasa nyeri pada daerah yang

terkena, seperti nyeri pada lutut, siku, pergelangan tangan yang kemungkinan

ditandai dengan bengkak kemerahan. berdasarkan penelitian, penyebab

rematik ternyata banyak. sampai akhir tahun 2006 ditemukan lebih dari 150

macam rematik. Namun, untuk memudahkan diagnosa dan pengobatan secara

umum, rematik dibedakan menjadi 4 sebab yaitu pengapuran, pengeroposan

tulang, asam urat, dan gangguan autonium. untuk faktor penyebab yang lain,

seperti kegemukan atau gangguan sendi yang berlebihan dalam berolahraga

adalah faktor yang memperburuk 4 sebab umm di atas (Radyanto, 2012).

Adapun jenis umum rematik yaitu :

a. Osteoartritis (OA)

Osteoartritis atau penyakit sendi degeneratif menyerang 80% orang

di atras usia 70 tahun, meskipun gejala bisa saja mulai tampak pada usia 50-

60 tahun. Bentuk umum dari artritis ini lebih merupakan hasil dari deformasi

atau keausan permukaan sendi, ketimbang penyakit inflmasi. gejalah yang

timbul termasuk kekakuan sendi yang biasanya berlangsung hanya beberapa


menit setelah memulai gerakan dan mungkin nyeri pada persendian yang

menahan beban. Tahap awal dari penyakit ini dapat diobati hanya dengan

kompres panas di daerah yang sakit dan obat analgesik yang dujual bebas.

Apabila sudah mencapai tahap lanjut, mungkin memerlukan intervensi

ortopedi atau lainnya (Dr. Mary Kamienski dan James Kaogh, 2015).

1) Penyebab Osteoartritis (OA)

tidak ada penyebab tunggal untuk osteoartritis, tapi ada beberapa

faktor yang dapat meningkatkan resiko terkena OA. Meski OA kadang-

kadang dapat menyerang orang muda, tapi lebih umum menyerang pada usia

40 tahun ke atas. ini mungkin disebabkan oleh perubahan tubuh yang

disebabkan penuaan, seperti otot melemah, peningkatan berat badan, dan

kemampuan tubuh untuk menyembuhkan diri sendiri mulai menurun. walau

disebabkan penuaan, OA bukanlah tidak bisa dihindari, caranya : menurunkan

berat badan agar normal, tetap aktif dan menghindari kejang pada sendi.

semua itu bisa membantu mencegah OA muncul (Wendy Gleen, 2012)

a) Jenis Kelamin

Sebelum usia 45 tahun, OA lebih umum menyerang pria. Namun,

setelah usia di atas 55 tahun, wanita yang lebih rentan terserang OA. Hasil ini

mengindikasikan adanya hubungan antara menopause dengan OA ; beberapa

penelitian menyimpulkan kalau estrogen dapat melindungi tulang rawan dari

inflamasi dan efek ini akan menghilang setelah menopause. Faktor penyebab

lain yang telah diteliti adalah tendon wanita yang lebih elastis dari pada pria

supaya bisa melahirkan bayi. Ini artinya sendi wanita kurang stabil dan lebih
rentan terkena luka. Beberapa ahli mengaitkannya dengan anatomi wanita :

panggul wanita lebih lebar dibanding pria agar bisa hamil dan melahirkan

lebih mudah. Yang artinya lutut wanita tidak begitu lurus dengan panggul

mereka, dan hal ini memberikan lebih banyak beban pada sendi lutut. Itu juga

mungkin disebabkan wanita memiliki tulang yang lebih kecil dan lemah

dibandingkan pria, sehingga menyebabkan sendinya kurang bisa tahan

terhadap pemakaian terus-menerus (Wendy Gleen, 2012)

Menurut Riset Artritis Inggrs, wanita terkena artritis di tangan dua

kali lebih banyak dari pria, dan empat kali lebih banyak wanita terkena OA di

lutut dibandingkan pria. Sedangkan jumlahnya setara antara wanita dan pria

yang terkena OA di panggul (Wendy Gleen, 2012).

b) Kegemukan

menjadi gemuk memberikan beban ekstra pada sendi yang

menahan berat badan, terutama pada panggul, tulang belakang dan lutut, dan

tidak hanya memperbesar kemungkinan terkena OA, tapi juga membuatnya

makin parah saat OA sudah berkembang (Wendy Gleen, 2012)

c) Penggunaan sendi berlebihan atau tegang

jika sendi aus atau mengalami ketegangan sebagai contoh akibat

postur buruk, penggunaan sendi jari berulang atau repetitif saat menggunakan

keyboard ketika bekerja, atau disebabkan terlibat dalam aktivitas olahraga,

lebih kemungkinan terkena OA pada sendi-sendi tertentu (Wendy Gleen,

2012)

d) Cedera Sendi
jika anda mengalami cedera sendi, sebagai contoh saat bermain

olahraga atau akibat kecelakaan, OA bisa berkembang pada daerah yang

terkena cedera di kemudian hari.

e) Artritis tipe lain

Menderita artritis tipe lain, sebagai contoh AR atau Gout dapat

meringankan risiko terkena OA.

f) Kondisi Saraf

Kondisi saraf seperti neuropati periferal (peripheral neuropathyl,

yang mempengaruhi saraf-saraf dalam anggota tubuh bisa meningkatkan

risiko terkena OA. Neuropati periferal bisa disebabkan oleh masalah

kesehatan lain, seperti tes atau pecandu alkohol.

g) Genetika

Beberapa tipe OA yang jarang berkembang pada orang muda dan

memengaruhi produksi koagen (komponen utama tulang rawan) telah

dikaitkan dengan gen-gen tertentu. Tipe artritis yang dikenal sebagai nodal

asteoartritis cenderung menyerang tangan pada wanita usia paruh baya,

memiliki hubungan genetik yang kuat. Namun secara umum, keturunan

memainkan peran kecil (minor) dibandingkan faktor-faktor lain yang sudah

disebutkan sebelumnya.

(Wendy Gleen, 2012)

2) Diagnosis Artritis

Dokter anda kemungkinan dapat menfiagnosa OA jika Anda datang dengan

gejala-gejala yang sudah dipaparkan sebelumnya. Dokter akan memeriksa


sendi Anda untuk mengecek memar, bengkak, dan pertumbuhan tulang serta

kemungkinan ingin melihat apakah gerakan Anda menjadi terbatas. Dokter

Anda mungkin juga akan menanyakan apakah sendi anda 'berbunyi k(er)iat-

k(er)iat' atau 'menimbulkan bunyi derak' ketika Anda menggerakkannya.

Dokter juga bisa menyarankan Anda untuk melakukan tes darah untuk

mendeteksi tipe artritis inflamasi lain seperti AR. Foto rontgen (sinar x)

mungkin diminta untuk memastikan OA, karena dapat menunjukkan

perubahan bentuk tulang yang disebabkan tulang rawan yang menipis,

pengapuran dan pertumbuhan tulang yang berlebihan pada sendi. Namun,

hasil rontgen tidak dapat memprediksi tingkat nyeri yang diderita dan

kelumpuhan yang Anda alami. Kadang-kadang pemindahan dengan MRI

digunakan juga ini untuk menunjukkan jaringan lunak seperti tulang rawan,

otot, dan tendon yang tidak terlihat dengan sinar X (Wendy Gleen, 2012).

b. Artritis Reumatoid (AR)

Rheumatoid arthritis (RA) adalah gangguan kronis, inflamsi

sistemik yang dapat mempengaruhi banyak jaringan dan organ, tetapi

terutama menyerang fleksibel (sinovial) sendi. proses ini melibatkan suatu

respon inflamasi dari kapsul sekitar sendi (sinovium) sekunder

pembengkakan (hiperplasia) sel sinovial, cairan sinovial berlebih, dan

pengembangan jaringan fibrosa (pannus) di sinovium. patologi dari proses

penyakit sering menyebabkan penghancuran tulang rawan dan ankilosis

(fusi) dari sendi (Suiraoka, 2012).


Rheumatoid arthritis juga dapat menghasilkan peradangan difus di

paru-paru, membran di sekitar jantung , selaput paru-paru, dan putih mata,

dan juga lesi nodular, yang paling umum dalam jaringan subkutan (Suiraoka,

2012).

Artritis Reumatoid biasanya terjadi antara 30-70 tahun dan lebih

sering menyerang wanita dari pada pria. Gejala awal mungkin berupa rasa

lelah dan kelemahan, nyeri sendi dan kekakuan, dan pembengkakan sendi

beberapa minggu kemudian. sendi kemudian meradang (panas, merah,

bengkak) dan rentang geraknya terbatas. penyakit ini adalah penyakit

progresif yang mengarah ke kelainan bentuk sendi, Aspirin, NSAID, maupun

obat-obat antirematik yang memodifikasi penyakit atau disease modiyying

anti-rheumatic drug (DMARD) biasanya diperlukan untuk mengurangi

inflamasi dan sekitar sendi dan menghambat perkembangan penyakit. Terapi

panas, kontrol berat badan, dan olahraga juga dapat membantu menghambat

perkembangan penyakit ((Dr. Mary Kamienski dan James Kaogh, 2015).

Meskipun penyebab rheumatoid arthritis tidak diketahui,

autoimunitas memainkan peran penting baik dalam kronisitas dan kemajuan,

dan RA dianggap sebagai penyakit autoimun sistemik.

1) Gejala

Gejala awal rheumatoid arthritis meliputi kelelahan, nyeri sendi

dan kekakuan. Gejala lainnya yang mungkin dirasakan seperti flu, dengan

persaan sakit, nyeri otot dan kehilangan nafsu makan.


Gejala rheumatoid artritis bervariasi pada setiap orang. Rheumatoid

arthritis umumnya ditandai dengan adanya beberapa gejala yang berlangsung

selama minimal 6 minggu, yaitu :

a) Kekakuan pada dan sekitar sendi yang berlangsung sekitar 30-60 menit di

pagi hari.

b) Bengkak pada 3 atau lebih sendi pada saat yang bersamaan.

c) Bengkak dan nyeri umumnya terjadi pada sendi-sendi tangan. sendi yang

mengalami pembengkakan dan nyeri biasanya terasa hangat dan lembek bila

disentuh. Rasa sakit biasanya terjadi pada kedua sendi di sisi kanan dan kiri

(smetris) tetapi mungkin tngkat keparaannya berbeda, bergantung sisi mana

yang lebih sering digunakan (Majalah Kesehatan, 2010)

d) Bengkak dan nyeri umumnya terjadi dengan pola yang simetris (nyeri pada

sendi yang sama di kedua sisi tubuh) dan umumnya menyerang sendi

pergelangan tangan.

e) Penumpukan cairan. Cairan dapat terakumulasi terutama di pergelangan kaki.

pada beberapa kasu, kantung sendi belakang lutut mengakumulasi cairan dan

membentuk apa yang dikenal sebagai kista Baker. Kista ini terasa seperti

tumor dan kadang-kadang memanjang ke bawah ke bagian belakang betis dan

menyebabkan rasa sakit. Namun, kista Baker juga dapat berkembang pada

orang yang tidak memiliki rematik (Majalah Kesehatan, 2010).

Pada tahap yang lanjut, Rhematoid artritis dapat dikarakterisasi

juga dengan adanya nodul-nodul rheumatoid (benjolan pada kulit penderita

rheumatoid artritis). Nodul ini biasanya di titik-titik tekanan dari tubuh,


paling sering pada siku. Konsentrasi rheumatoid faktor (RF) yang abnormal

dan perubahan radiografi yang meliputi erosi tulang.

(Suiraoka, 2012).

2) Faktor Resiko

Faktor risiko yang meningkatkan risiko terkena penyakit artritis

reumatoid adalah :

a) Jenis Kelamin

perempuan lebih mudah terkena rheumatoid arthritis dari pada laki-laki.

perbandingan adalah 2-3 : 1.

b) umur

artritis reumatoid biasanya timbul antara umur 40 sampai 60 tahun. namun

penyakit ini juga dapat terjadi pada dewasa tua dan anak-anak (artritis

reumatoid juvenil).

c) Riwatar Keluarga

apabila anggota keluarga anda ada yang menderita penyakit artritis reumatoid

maka anda kemungkinan besar akan terkena juga.

d) d) Merokok

merokok dapat meningkatkan risiko terkena artritis reumatoid.

(Suiraoka, 2012).

3) Pencegahan

Upaya pencegahan yang dapat dilakukan antara lain dengan

mengurangi faktor resiko seperti mengatasi obesitas, melakukan aktivitas


fisik, mengontrol faktor metabolik seperti asam urat, lemak dan gula darah

(Suiraoka, 2012).

2. Pengobatan Rematik

Artritis merupakan penyakit penyebab radang sendi. Dua jenis

astritis utama adalah yang disebut osteoartritis dan artritis reumatoid.

Osteoartritis atau artritis degeneratif bertambah parah dengan pertambahan

usia karena kartilago tulang berkurang. Nyeri dan radang makin parah jika

terjadi perubahan cuaca dan kegiatan. Melemahnya pasien artritis reumatoid

dapat terjadi pada segala usia, dan ini menyebabkan sendi nyeri dan bengkak

dan kadang-kadang terjadi perubahan bentuk sendi (Prijo Sidipratomo, 2012).

Bursitis (nyeri dan radang yang biasanya terdapat di daerah

pundak) dan kerusakan jaringan lunak akibat olahraga seperti salah satu urat

dan keseleo juga temasuk dalam pembahsan di sini karena dapat diobati

dengan obat yang sama. obat yang digunakan di sini mengurangi bengkak,

radang, dan nyeri akibat penyebab artritis. Dua kelompok obat yang dipakai

adalah kortikosteroid dan non-kostikosteroida (juga disebut antiflogistika

non-steroida) (Prijo Sidipratomo, 2012).

kortikosteroid menimbulkan berbagai efek yang berarti dalam

tubuh. karena kemampuan yang tinggi untuk menimbulkan efek samping

merugikan, biasanya dokter memberikan obat ini untuk jangka waktu singkat

dalam mengobati artritis, seperti misalnya pada serangan akut. Obat non-

kostikosteroid digunakan untuk mengobati penyakit artritis, baik untuk

penanganan singkat maupun jangka panjang. kekecualian adalah fenibutazon


(Azolid, Butazolidin) dan oksifenbutazon (Tanderil) yang hanya digunakan

untuk jangka singkat karena dapat menimbulkan efek samping merugikan.

semua obat ini mengurangi pembengkakan sendi, serta nyeri dan kakunya

otot pada pagi hari. obat yang paling banyak digunakan dari kelompok ini

adalah aspirin, yang tetap merupakan obat pilihan utama (Prijo Sidipratomo,

2012).

untuk mengatasi nyeri inflamasi seperti pada penyakit rematik

tersedia banyak pilihan obat anti-inflamasi nonsteroid. Secara klinis,

sebenarnya tidak bnayak perbedaan di antara obat AINS sehubungan dengan

efektivitasnya. Pertimbangan lamanya waktu paruh, bentuk lepas lambat dan

perbedaan jenis efek samping menentukan pilihan AINS untuk pasien

tertentu. Ternyata variasi respons antar pasien terhadap AINS tidak begitu

saja dapat dikaitkan berdasrkan klasifikasi kimiawi, dosis, atau beratnya

penyakit rematik. Untuk mengatasi ini dianjurkan agar seorang Dokter paling

tidak mengenal secara baik 4 obat AINS yang berbeda sehingga dapat

melakukan pemilihan sesuai dengan kondisi pasien. dalam empat obat AINS

tersebut harus termasuk satu obat AINS dengan waktu paruh panjang. satu

dengan waktu paruh singkat dan minimal ditambah dua jenis obat AINS dari

kelas kimiawi yang lain (Sulisita Gan Gunawan, 2012).

Obat antireumatik pemodifikasi penyakit (disease-modifying anti

rheumatic drugs/ DMARD) diguanakan pada terapi RA dan telah

menunjukkan perlambatan perjalanan penyakit, menginduksi remisi, dan

mencegah destruksi lebih lanjut pada sendi dan jaringan yang terlibat. Bila
seorang pasien didiagnosa RA, American College of Rheumatology

menganjurkan inisiasi terapi dengan DMARD dalam 3 bulan diagnosa

(beserta OAINS, kortikosterois dosis rendah, terapi fisik, dan terapi

okupasional). Terapi menggunakan DMARD dilakukan sejak awal secara

cepat untuk membantu menghentikan perjalanan penyakit pada stadium awal

(Richard A. Harvey dan Pamela C. Champe, 2013).

Tidak satu DMARD pun yang manjur dan aman untuk setiap

pasien, dan mungkin diperlukan percobaan menggunakan beberapa obat yang

berbeda. Sebagian besar ahli memualai terapi DMARD dengan salah satu

obat tradisional, seperti methotrexate atau hydroxychloroquine. Agen ini

manjur dan umumnya ditoleransi secara baik, dengan profil efek sampping

yang telah diketahui dengan baik. Respons tidak adekuat terhadap agen

tradisional dapat diikuti oleh penggunaan DMARD yang lebih baru, seperti

leflunomide dan penghambat TNF (adalimumab, etanercept, dan infliximab).

Terapi kombinasi bersifat aman dan manjur. Oada sebagian kasus ,

methotrexate dikombinasikan dengan salah satu DMARD lainnya. Pada

pasien yang tidak berespons terhadap terapi kombinasi methotrexate

ditambah penghambat TNF, atau kombinasi lainnya, terapi dengan rituximab

atau abatacept dapat dicoba. Sebagian besar agen ini dikombinasikan untuk

penggunaan pada wanita hamil (Richard A. Harvey dan Pamela C. Champe,

2013). Beberapa contoh obat antirematik :

a. Imunosupresan
Imunisupresan merupakan obat yang menekan proses penyakit

reumatik/ Disease Modifying Anti Rheumatic Drugs (dmards)

1) Indikasi : Rematoid artritis, psoriasis artritis, juvenile idiopathic arthritis.

2) Peringatan : jika tidak memberikan respon dalam waktu 6 bulan atau 3 bulan

untuk tumor nacrosis faktor, diberikan dmards lain. Dapat mengurangi laju

endap darah, protein C reaktif, dan titer faktor reumatoid. Dapat mengurangi

kebutuhan kortikosteroid. Diperlukan pemeriksaan darah, tes fungsi hati dan

ginjal.

3) Efek samping : gangguan saluran cerna dan mukosa, gangguan darah, risiko

infeksi dan keganasan.

4) Metotreksat , oral : Dosis awal 7,5 mg, seminggu sekali, bila perlu, dapat

dinaikkan hingga 15 mg/ minggu.

5) Azatioprin, oral : 1,5-2,5 mg/ kg BB/ hari dalam dosis terbagi.

6) Siklofostamid, oral : 1-1,5 mg/ kg BB/ hari. Injeksi IV, dosis awal 0,5 - 1 g

pemberian ulang dilakukan selang 2 minggu, kemudian selang bulan.

b. Penghambat sitokin

1) Adalimumab

a) indikasi : Reumatoid artritis dan ankilosing spondilitas yang tidak berespon

baik dengan pemberian DMARDs psoriasis artritis.


b) Kontraindikasi : Kehamilan, menyusui, infeksi berat, infeksi aktif yang belum

teratsi.

c) peringatan : Gangguan hati/ ginjal, bila gejala memburuk, hentikan

pengobatan.

d) Efek samping : Gangguan saluran cerna, gangguan ginjal, hipertensi,

vasodilator, nyeri dada, batuk, sakit, insomnia, mengantuk, skit krpala,

agitasi, tremor, parestesia, neuralgia, kejang, menoragia, diuresis, hematuria,

proteinuria, atralgia, gangguan penglihatan, ruam, alopesia, hiperlipidemia,

hipokalemia, hiperurisemia.

e) Dosis : Subkutan 40 mg, 2 minggu sekali, jika perlu, tingkatkan menjadi 40

mg setiap minggu pada pasien yang tidak menggunakan metotreksat.

Hentikan pengobatan jika tidak memberikan respon dalam 12 minggu. Dapat

digunakan tanpa/ dalam kombinasi dengan metotreksat atau DMARDs lain.

2) Azatioprin

a) Indikasi : Reaksi penolakan terhadap organ transplantasi, lupus nefritis,

glumerulonefritis akut, artritis reumatoid, multipel selerosis, penyakit crohn.

b) Dosis : oral : dosis awal 3 mg/ kg BB / hari, kurangi sesuai respon. Dosis

penunjang 1-3 mg/ kg BB/ hari. Hentikan pengobatan jika tidak memberikan

respon dalam 3 bulan.

3) Infliksimab

a) Indikasi : Reumatoid artritis yang tidak berespon baik dengan (DMARDs).

Penyakit crohn yang tidak berespon baik dengan pengobatan konvensional,


mengurangi draining enterokutan dan rektovaginal fistula, ankilosing,

spondilitis.

b) Kontraindikasi : Kehamilan, menyusui, infeksi beart.

c) peringatan : Gangguan hati/ ganjil. Hentikan pengobatan bila gejala

memburuk atau tidak ada respon setelah 3 bulan. Monitor adanya infeksi

sebelum, selama, dan 6 bulan sesudah terapi.

d) efek samping : Gangguan saluran cerna, reaksi kulit, gangguan hati, gangguan

jantung, gangguan pada SSP mialgia, atralgia.

e) Dosis : infus IV dianjurkan selama 2 jam. amati pasien 1-2 jam sesudah

pemberian infus. reumatoid artritis : 3 mg/ kg BB. Infus dituang pada minggu

ke-2, 6 dan 8. jika respon tidak memadai, dosis dapat dinaikkan menjadi 10

mg/ kg BB atau pemberian diulang tiap 4 minggu. penyakit crohn : dosis awal

5 mg/ kg BB, terapi pemeliharaan 5 mg/ kg BB diberikan pada minggu ke-2

dan 6, dilanjutkan tiap 8 minggu. ankilosing spondiliting : dosis awal 5 mg/

mg BB, terapi penunjang 5 mg/ kg BB diberikan pada minggu ke-2 dan 6,

hentikan pengobatan jika tidak terlihat respon. dilanjutkan 5 mg/ kg BB setiap

6 minggu.

4) Metotreksat

a) indikasi : Reumatoid atritis yang tidak memberikan respon dengan

pengobatan konversional, keganasan, psoriasis.

b) Kontaindikasi : Kehamilan, menyusui.

c) Efek samping : Toksisitas pulmoner, hepatotoksik.


d) Dosis : oral, 7,5 mg, 1x seminggu, dosis tunggal atau terbagi dalam 3 dosis,

dosis maksimal 20 mg per minggu.

5) siklosporin

a) indikasi : reumatoid atritis yang tidak memberikan respon dengan pengobatan,

konvensional, penyakit graft versus host, dermatitis atopi, psoriasis.

b) kontaindikasi : gagal ginjal, hipertensi tidak terkendali, infeksi tidak

terkendali, kegunaan, anak < 18 tahun.

c) peringatan : ukur kreatinin serum, minimal 2x sebelum pengobatan. pantau

setiap 2 minggu dalam 3 bulan pertama, dilanjutkan setiap 4 minggu atau

lebih sering jika diberikan bersama ains, menitoring tekanan darah.

d) dosis : oral, dosis awal 2,5 mg/ kg BB / ari, dalam 2 dosis terbagi, jika perlu

naikkan bertahap setelah 6 minggu, hingga mg/kg BB/ hari. hentikan

pengobatan jika tidak terlihat respon setelah 3 bulan. dosis pemeliharaan

disesuaikan menurut respon. Kaji ulan pegobatan setelah bulan.

(Prijo Sidipratomo, 2012).

B. Uraian Umum Tentang Pengetahuan

1. Definisi Pengetahuan

2. Tingkat pengetahuan

3. faktor-faktor yang mempengaruhi pengetahuan

4. cara memperoleh pengetahuan

5. cara pengukura pengetahuan


V. KERANGKA PIKIR

A. Dasar Pemikiran Variabel

Artritis atau rematik merupakan penyakit yang sering terjadi di

masyarakat, terutama pada sebagian masyarakat yang melakukan aktivitas-

aktivitas yang berat. dalam pegobatan masyarakat sering sekali mengabaikan

penyakit ini padahal penyakit ini cukup berbahaya jika tidak ditindak lanjuti

atau tidak adanya penanganan, itu semua disebakan karena kurangnya

pemahaman masyarakat terhadap penyakit ini yatu enyakit rematik.

B. Hubungan antar variabel

Gambaran Pengetahuan Penggunaan Obat


Masyarakat Antirematik

Keterangan :

: Variabel dependen

: Penghubung variabel
: Variabel independen

C. Kerangka Teori

Pengetahuan Penggunaan Obat


Masyarakat Antirematik

D. Kerangka Penelitian

Pengetahuan
Penggunaan Obat
Masyarakat
Antirematik

Faktor-faktor yang
mempengaruhi
pengetahuan ()
E. Identifikasi Variabel

1. Variabel Independen (Bebas)

Variabel yang mempengaruhi atau nilainya menentukan variabel

lain suatu kegiatan stimulus yang dimanipulasi oleh peneliti menciptakan

suatu dampak pada variabel dependen.

2. Variabel Dependen (Tergantung)

Variabel yang dipengaruhi nilainya ditentukan oleh variabel

lain. Variabel respon akan muncul sebagai akibat dari manipulasi variabel-

variabel lain. Dari diagram hubungan antar variabel diketahui bahwa

variabel paparan (Independen) adalah pengetahuam masayarakat tentang

penggunaan obat antirematik di Komplek BKN di Kota Makassar.

F. Definsi Operasional

1. Pengetahuan

pengetahuan yang dimaksud disinih yaitu pengetahuan masyarakat tentang

penggunaan obat antirematik, dengan cara membagikan kuesioner yang

berisi 10 pertanyaan yang berisi soal-soal mengenai penggunaan obat

antirematik dimasyarakat.

VI. METODE PENELITIUAN

A. Jenis Penelitian

penelitian yang akan dilakukan adalah penelitian deskriptif yang bertujuan untuk

menggambarkan berbagai pengetahuan masyarakat tentang golongan obat


antirematik. Dan penelitian ini akan menggunakan data primer berupa data yang

diperoleh langsung dari masyarakat dengan bantuan kuesioner.

B. Lokasi Penelitian dan Waktu Penelitian

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

2. Sampel

DAFTAR PUSTAKA

Bulawan, Yosita. 2015. Gambaran Tingkat Pengetahuan Masyarakat Terhadap

Penggunaan Obat Chlopeniramine Maleat (CTM) di Desa Minanga Kecamatan

Nosu Kab. Mamasa. Stikes Nani Hasanuddin. Makassar

Gleen, Wendy. 2012. 50 hal yang bisa Anda lakukan hari ini untuk mengatasi

ARTRITIS. PT Elex Media Komputindo. Jakarta

Harvey, Richard A. dan Champe, Pamela C. 2013. Farmakologi Ulasan

Bergambar Edisi 4. EGC. Jakarta

Putri Tedampa, Restu Gloria dkk. 2016. Hubungan Indeks Massa Tubuh (Imt)

Dengan Artritis Reumatoid Di Puskesmas Kampung Baru Kecamatan Luwuk

Kabupaten Banggai.

Soediman, dan Mustofa, RMK. 1997. 50 th BAKN. Drs. H. Soenarko. MM.

Jakarta

Tjay, Tan Hoan dan Rahardja, Kirana. 2013. Obat-obat Penting Edisi Keenam

Cetakan Ke 3. PT. Elex Media Komputindo. Jakarta

Anda mungkin juga menyukai