Anda di halaman 1dari 22

IBU DENGAN

GANGGUAN PSIKOLOGIS POSTPARTUM : POST PARTUM BLUES

I. DEFINISI
Masa nifas adalah suatu masa dimana tubuh menyesuaikan baik fisik maupun
psikologis terhadap proses melahirkan yang lamanya kurang lebih 6 minggu. Selain
itu pengertian masa nifas adalah masa mulainya persalinan sampai pulihnya alat-
alat dan anggota badan yang berhubungan dengan kehamilan/persalinan (Ahmad
Ramli. 1989). Dari dua pengertian di atas kelompok meyimpulkan bahwa masa
nifas adalah masa sejak selesainya persalinan hingga pulihnya alat-alat kandungan
dan anggota badan serta psikososial yang berhubungan dengan
kehamilan/persalinan selama 6 minggu. Dalam proses adaptasi pada masa
postpartum terdapat tiga metode yang meliputi ”immediate puerperineum” yaitu 24
jam pertama setelah melahirkan, ”early puerperineum” yaitu setelah 24 jam hingga
1 minggu, dan ”late puerperineum” yaitu setelah satu minggu sampai 6 minggu
postpartum.
Perubahan psikologi pascapartum pada seorang ibu yang baru melahirkan
terbagi dalam tiga fase:
1. Taking in dimana pada fase ini ibu ingin merawat dirinya sendiri, banyak
bertanya dan bercerita tentang pengalamannya selama persalinan yang
berlangsung 1 sampai 2 hari.
2. Taking hold dimana pada fase ini ibu mulai fokus dengan bayinya yang
berlangsung 4 sampai 5 minggu.
3. Fase letting-go dimana ibu mempunyai persepsi bahwa bayinya adalah
perluasan dari dirinya, mulai fokus kembali pada pasangannya dan kembali
bekerja mengurus hal-hal lain.
Perubahan tersebut merupakan perubahan psikologi yang normal terjadi pada
seorang ibu yang baru melahirkan. Namun, kadang-kadang terjadi perubahan
psikologi yang abnormal. Gangguan psikologi pascapartum dibagi menjadi tiga
kategori yaitu postpartum blues atau kesedihan pascapartum, depresi pascapartum
nonpsikosis, dan psikosis pascapartum. Pada makalah ini kami akan membahas
secara khusus mengenai post partum blues. Beberapa penyesuaian dibutuhkan oleh
wanita dalam menghadapi aktivitas dan peran barunya sebagai ibu pada minggu-
minggu atau bulan-bulan pertama setelah melahirkan, baik dari segi fisik maupun
segi psikologis. Sebagian wanita berhasil menyesuaikan diri dengan baik, tetapi
sebagian lainnya tidak berhasil menyesuaikan diri dan mengalami gangguan-
gangguan psikologis dengan berbagai gejala atau sindroma yang oleh para peneliti
dan klinisi disebut post-partum blues.
Post-partum blues sendiri sudah dikenal sejak lama. Savage pada tahun 1875
telah menulis referensi di literature kedokteran mengenai suatu keadaan disforia
ringan pasca-salin yang disebut sebagai ‘milk fever ‘ karena gejala
disforia tersebut muncul bersamaan dengan laktasi. Dewasa ini, post-partum blues
(PPB) atau sering juga disebut maternity blues atau baby blues dimengerti sebagai
suatu sindroma gangguan afek ringan yang sering tampak dalam minggu pertama
setelah persalinan atau pada saat fase taking in, cenderung akan memburuk pada
hari ketiga sampai kelima dan berlangsung dalam rentang waktu 14 hari atau dua
minggu pasca persalinan. Post-partum blues ini dikategorikan sebagai sindroma
gangguan mental yang ringan oleh sebab itu sering tidak dipedulikan sehingga tidak
terdiagnosis dan tidak ditatalaksanai sebagaimana seharusnya, akhirnya dapat
menjadi masalah yang menyulitkan, tidak menyenangkan dan dapat membuat
perasaan-perasaan tidak nyaman bagi wanita yang mengalaminya, dan bahkan
kadang-kadang gangguan ini dapat berkembang menjadi keadaan yang lebih berat
yaitu depresi dan psikosis pasca-salin, yang mempunyai dampak lebih buruk,
terutama dalam masalah hubungan perkawinan dengan suami dan perkembangan
anak, karena stres dan sikap ibu yang tidak tulus terus-menerus bisa membuat bayi
tumbuh menjadi anak yang mudah menangis, cenderung rewel, pencemas,
pemurung dan mudah sakit. Keadaan ini sering disebut puerperium atau trimester
keempat kehamilan. Baby blues adalah keadaan di mana seorang ibu mengalami
perasaan tidak nyaman (kesedihan atau kemurungan)/gangguan suasana hati setelah
persalinan, yang berkaitan dengan hubungannya dengan si bayi, atau pun dengan
dirinya sendiri. Ketika plasenta dikeluarkan pada saat persalinan, terjadi perubahan
hormon yang melibatkan endorphin, progesteron, dan estrogen dalam tubuh Ibu,
yang dapat mempengaruhi kondisi fisik, mental dan emosional Ibu.
II. ETIOLOGI

Etiologi atau penyebab pasti terjadinya postpartum blues sampai saat ini belum
diketahui. Namun, banyak faktor yang diduga berperan terhadap terjadinya
postpartum blues, antara lain:
1. Faktor hormonal yang berhubungan dengan perubahan kadar estrogen,
progesteron, prolaktin dan estradiol. Penurunan kadar estrogen setelah
melahirkan sangat berpengaruh pada gangguan emosional pascapartum
karena estrogen memiliki efek supresi aktifitas enzim monoamine oksidase
yaitu suatu enzim otak yang bekerja menginaktifasi noradrenalin dan
serotonin yang berperan dalam perubahan mood dan kejadian depresi.
2. Faktor demografi yaitu umur dan paritas.
3. Pengalaman dalam proses kehamilan dan persalinan.
4. Latar belakang psikososial ibu, seperti; tingkat pendidikan, status
perkawinan, kehamilan yang tidak diinginkan, riwayat gangguan kejiwaan
sebelumnya, sosial ekonomi serta keadekuatan dukungan sosial dari
lingkungannya (suami, keluarga dan teman). Apakah suami menginginkan
juga kehamilan ini, apakah suami, keluarga, dan teman memberi dukungan
moril (misalnya dengan membantu pekerjaan rumah tangga, atau berperan
sebagai tempat ibu mengadu/berkeluh-kesah) selama ibu menjalani masa
kehamilannya atau timbul permasalahan, misalnya suami yang tidak
membantu, tidak mau mengerti perasaan istri maupun persoalan lainnya
dengan suami, problem dengan orang tua dan mertua, problem dengan si
sulung.
5. Takut kehilangan bayinya atau kecewa dengan bayinya.
Namun ada beberapa pendapat yang menyebutkan bahwa Post partum blues
tidak berhubungan dengan perubahan hormonal, biokimia atau kekurangan gizi.
Antara 8% sampai 12% wanita tidak dapat menyesuaikan peran sebagai orang
tua dan menjadi sangat tertekan sehingga mencari bantuan dokter. Dengan kata
lain para wanita lebih mungkin mengembangkan depresi post partum jika
mereka terisolasi secara sosial dan emosional serta baru saja mengalami
peristiwa kehidupan yang menakan.
Ada juga yang berpendapat bahwa kemunculan dari postpartum blues ini
disebabkan oleh beberapa factor dari dalam dan luar individu. Penelitian dari
Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985) menunjukkan bahwa depresi
tersebut membawa kondisi yang berbahaya bagi perkembangan anak di
kemudian hari. De Jonge Andriaansen juga meneliti beberapa teknologi medis
(penggunaan alat-alat obstetrical) dalam pertolongan melahirkan dapat memicu
depresi postpartum blues ini. Misalnya saja pada pembedahan caesar,
penggunaan tang, tusuk punggung, episiotomi dan sebagainya. Perubahan
hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap
pemicu.

III. PATOFISIOLOGI
Para wanita lebih mungkin mengembangkan depresi post partum jika mereka
terisolasi secara sosial dan emosional serta baru saja mengalami peristiwa
kehidupan yang menekan. Post partum blues tidak berhubungan dengan perubahan
hormonal, bikimia atau kekurangan gizi. Antara 8% sampai 12% wanita tidak dapat
menyesuaikan peran sebagai orang tua dan menjadi sangat tertekan sehingga
mencari bantuan dokter.
Beberapa dugaan kemunculan ini disebabkan oleh beberapa faktor dari dalam dan
luar individu. Penelitian dari Dirksen dan De Jonge Andriaansen (1985)
menunjukkan bahwa depresi tersebut membawa kondisi yang berbahaya bagi
perkembangan anak di kemudian hari. De Jonge Andriaansen juga meneliti
beberapa teknologi medis (penggunaan alat-alat obstetrical) dalam pertolongan
melahirkan dapat memicu depresi ini. Misalnya saja pada pembedahan caesar,
penggunaan tang, tusuk punggung, episiotomi dan sebagainya.
Perubahan hormon dan perubahan hidup ibu pasca melahirkan juga dapat dianggap
pemicu depresi ini. Diperikiran sekitar 50-70% ibu melahirkan menunjukkan
gejala-gejala awal kemunculan depresi post partum blues, walau demikian gejala
tersebut dapat hilang secara perlahan karena proses adaptasi dan dukungan keluarga
yang tepat.
Faktor biologis yang paling banyak terlibat adalah factor hormonal. Perubahan
kadar hormone pada wanita memegang peran penting ; perubahan suasana hati
biasa terjadi sesaaat sebelum menstruasi sesaat sebelum menstruasi (ketegangan
pramenstruasi) dan setelah persalinan (depresi post partum). Perubahan hormone
serupa biasa terjadi pada wanita pemakai pil KB yang mengalami depresi.
Kelainan fungsi tiroid yang sering terjadi pada wanita, juga merupakan factor factor
yang berperan dalam terjadinya depresi. Depresi juga bias terjadi karena atau
bersamaan dengan sejumlah penyakit atau kelainan fisik. Kelainan fisik bias
menyebabkan terjadinya depresi secara ; langsung, misalnya ketika penyakit tiroid
menyebabkan berubahnya kadar hormone. Yang bias menyebabkan terjadinya
depresi tidak langsung, misalnya ketika penyakit atritis rematoid menyebabkan
nyeri dan cacat, yang bias menyebabkan depresi.
Ada pula kelainan fisik menyebabkan depresi secara langsung dan tidak langsung.
Misalnya AIDS; secara langsung menyebabkan depresi jika virus penyebabnya
merusak otak; secara tidak langsung menyebabkan depresi jika menimbulkan
dampak negative terhadap kehidupan penderitanya
Secara umum sebagaian besar wanita mengalami gangguan emosional setelah
melahirkan. Clydde (Regina dkk, 2001), bentuk gangguan postpartum yang umum
adalah depresi, mudah marah dan terutama mudah frustasi serta emosional.
Gangguan mood selama periode postpartum merupakan salah satu gangguan yang
paling sering terjadi pada wanita baik primipara maupun multipara. Menurut DSM-
IV, gangguan pascasalin diklasifikasikan dalam gangguan mood dan onset gejala
adalah dalam 4 minggu pascapersalinan. ada 3 tipe gangguan mood pascasalin,
diantaranya adalah maternity blues, postpartum depression dan postpartum
psychosis (Ling dan Duff, 2001).
Depresi postpartum pertama kali ditemukan oleh Pitt pada tahun 1988. Pitt (Regina
dkk, 2001), depresi postpartum adalah depresi yang bervariasi dari hari ke hari
dengan menunjukkan kelelahan, mudah marah, gangguan nafsu makan, dan
kehilangan libido (kehilangan selera untuk berhubungan intim dengan suami).
Masih menurut Pitt (Regina dkk, 2001) tingkat keparahan depresi postpartum
bervariasi. Keadaan ekstrem yang paling ringan yaitu saat ibu mengalami
“kesedihan sementara” yang berlangsung sangat cepat pada masa awal postpartum,
ini disebut dengan the blues atau maternity blues. Gangguan postpartum yang
paling berat disebut psikosis postpartum atau melankolia. Diantara 2 keadaan
ekstrem tersebut terdapat kedaan yang relatif mempunyai tingkat keparahan sedang
yang disebut neurosa depresi atau depresi postpartum.
Menurut Duffet-Smith (1995), depresi pascasalin bisa berkaitan dengan terjadinya
akumulasi stres. Ada stres yang tidak dapat dihindari, seperti operasi. Depresi
adalah pengalaman yang negatif ketika semua persoalan tamapak tidak
terpecahkan. Persoalan juga tidak akan terpecahkan dengan berpikir lebih positif,
tetapi sikap itu akan membuat depresi lebih dapat dikendalikan.
Monks dkk (1988), menyatakan bahwa depresi postpartum merupakan problem
psikis sesudah melahirkan seperti labilitas afek, kecemasan dan depresi pada ibu
yang dapat berlangsung berbulan – bulan. Sloane dan Bennedict (1997) menyatakan
bahwa depresi postpartum biasanya terjadi pada 4 hari pertama masa setelah
melahirkan dan berlangsung terus 1 – 2 minggu.
Llewellyn–Jones (1994), menyatakan bahwa wanita yang didiagnosa secara klinis
pada masa postpartum mengalami depresi dalam 3 bulan pertama setelah
melahirkan. Wanita yang menderita depresi postpartum adalah mereka yang secara
sosial dan emosional merasa terasingkan atau mudah tegang dalam setiap kejadian
hidupnya. Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan bahwa depresi postpartum
adalah gangguan emosional pasca persalinan yang bervariasi, terjadi pada 10 hari
pertama masa setelah melahirkan dan berlangsung terus – menerus sampai 6 bulan
bahkan sampai satu tahun.

IV. PATHWAY
Terlampir
V. MANIFESTASI KLINIS

Gejala-gejala postpartum blues ini bisa terlihat dari perubahan sikap seorang
ibu. Gejala tersebut biasanya muncul pada hari ke-3 atau 6 hari setelah melahirkan.
Beberapa perubahan sikap tersebut diantaranya sering tiba-tiba menangis karena
merasa tidak bahagia, penakut, tidak mau makan, tidak mau bicara, sakit kepala
sering berganti mood, mudah tersinggung (iritabilitas), merasa terlalu sensitif dan
cemas berlebihan, tidak bergairah, khususnya terhadap hal yang semula sangat
diminati, tidak mampu berkonsentrasi dan sangat sulit membuat keputusan, merasa
tidak mempunyai ikatan batin dengan si kecil yang baru saja Anda lahirkan ,
insomnia yang berlebihan. Gejala-gejala itu mulai muncul setelah persalinan dan
pada umumnya akan menghilang dalam waktu antara beberapa jam sampai
beberapa hari. Namun jika masih berlangsung beberapa minggu atau beberapa
bulan itu dapat disebut postpartum depression.

VI. PEMERIKSAAN PENUNJANG


Sampai saat ini belum ada alat test khusus yang dapat mendiagnosa secara
langsung post partum blues. Secara medis, dokter menyimpulkan beberapa simtom
yang tampak dapat disimpulkan sebagai gangguan depresi post partum blues bila
memenuhi kriteria gejala yang ada. Kekurangan hormon tyroid yang ditemukan
pada individu yang mengalami kelelahan luar biasa (fatigue) ditemukan juga pada
ibu yang mengalami post partum blues mempunyai jumlah kadar tyroid yang sangat
rendah.
Skrining untuk mendeteksi gangguan mood/depresi sudah merupakan acuan
pelayanan pasca salin yang rutin dilakukan. Untuk skrining ini dapat dipergunakan
beberapa kuesioner dengan sebagai alat bantu. Endinburgh Posnatal Depression
Scale (EPDS) merupakan kuesioner dengan validitas yang teruji yang dapat
mengukur intensitas perubahan perasaan depresi selama 7 hari pasca salin.
Pertanyaan-pertanyaannya berhubungan dengan labilitas perasaan, kecemasan,
perasaan bersalah serta mencakup hal-hal lain yang terdapat pada post-partum blues
. Kuesioner ini terdiri dari 10 (sepuluh) pertanyaan, di mana setiap pertanyaan
memiliki 4 (empat) pilihan jawaban yang mempunyai nilai skor dan harus dipilih
satu sesuai dengan gradasi perasaan yang dirasakan ibu pasca salin saat itu.
Pertanyaan harus dijawab sendiri oleh ibu dan rata-rata dapat diselesaikan dalam
waktu 5 menit. Cox et. Al., mendapati bahwa nilai skoring lebih besar dari 12 (dua
belas) memiliki sensitifitas 86% dan nilai prediksi positif 73% untuk mendiagnosis
kejadian post-partum blues . EPDS juga telah teruji validitasnya di beberapa negara
seperti Belanda, Swedia, Australia, Italia, dan Indonesia. EPDS dapat dipergunakan
dalam minggu pertama pasca salin dan bila hasilnya meragukan dapat diulangi
pengisiannya 2 (dua) minggu kemudian.

VII. PENATALAKSANAAN

Post-partum blues atau gangguan mental pasca-salin seringkali terabaikan dan


tidak ditangani dengan baik. Banyak ibu yang ‘berjuang’ sendiri dalam beberapa
saat setelah melahirkan. Mereka merasakan ada suatu hal yang salah namun mereka
sendiri tidak benar-benar mengetahui apa yang sedang terjadi. Apabila mereka
pergi mengunjungi dokter atau sumber-sumber lainnya Untuk minta pertolongan,
seringkali hanya mendapatkan saran untuk beristirahat atau tidur lebih banyak,
tidak gelisah, minum obat atau berhenti mengasihani diri sendiri dan mulai merasa
gembira menyambut kedatangan bayi yang mereka cintai.
Penanganan gangguan mental pasca-salin pada prinsipnya tidak berbeda
dengan penanganan gangguan mental pada momen-momen lainya. Para ibu yang
mengalami post-partum blues membutuhkan pertolongan yang sesungguhnya. Para
ibu ini membutuhkan dukungan pertolongan yang sesungguhnya. Para ibu ini
membutuhkan dukungan psikologis seperti juga kebutuhan fisik lainnya yang harus
juga dipenuhi. Mereka membutuhkan kesempatan untuk mengekspresikan pikiran
dan perasaan mereka dari situasi yang menakutkan. Mungkin juga mereka
membutuhkan pengobatan dan/atau istirahat, dan seringkali akan merasa gembira
mendapat pertolongan yang praktis. Dengan bantuan dari teman dan keluarga,
mereka mungkin perlu untuk mengatur atau menata kembali kegiatan rutin sehari-
hari, atau mungkin menghilangkan beberapa kegiatan, disesuaikan dengan konsep
mereka tentang keibuan dan perawatan bayi. Bila memang diperlukan, dapat
diberikan pertolongan dari para ahli, misalnya dari seorang psikolog atau konselor
yang berpengalaman dalam bidang tersebut.
Para ahli obstetri memegang peranan penting untuk mempersiapkan para
wanita untuk kemungkinan terjadinya gangguan mental pasca-salin dan segera
memberikan penanganan yang tepat bila terjadi gangguan tersebut, bahkan merujuk
para ahli psikologi/konseling bila memang diperlukan. Dukungan yang memadai
dari para petugas obstetri, yaitu: dokter dan bidan/perawat sangat diperlukan,
misalnya dengan cara memberikan informasi yang memadai/adekuat tentang proses
kehamilan dan persalinan, termasuk penyulit-penyulit yang mungkin timbul dalam
masa-masa tersebut serta penanganannya.
Post-partum blues juga dapat dikurangi dengan cara belajar tenang dengan menarik
nafas panjang dan meditasi, tidur ketika bayi tidur, berolahraga ringan, ikhlas dan
tulus dengan peran baru sebagai ibu, tidak perfeksionis dalam hal mengurusi bayi,
membicarakan rasa cemas dan mengkomunikasikannya, bersikap fleksibel,
bergabung dengan kelompok ibu-ibu baru. Dalam penanganan para ibu yang
mengalami post-partum blues dibutuhkan pendekatan menyeluruh/holistik.
Pengobatan medis, konseling emosional, bantuan-bantuan praktis dan pemahaman
secara intelektual tentang pengalaman dan harapan-harapan mereka mungkin pada
saat-saat tertentu. Secara garis besar dapat dikatakan bahwa dibutuhkan
penanganan di tingkat perilaku, emosional, intelektual, sosial dan psikologis secara
bersama-sama, dengan melibatkan lingkungannya, yaitu: suami, keluarga dan juga
teman dekatnya.

VIII. PENGKAJIAN KEPERAWATAN

Pengenalan gejala mood merupakan hal yang penting untuk dilakukan oleh
perawat perinatal. Rencana keperawatan harus merefleksikan respons perilaku yang
diharapkan dari gangguan tertentu. Rencan individu didasarkan pada karakteristik
wanita dan keadaannya yang spesifik. Suami atau pasangan wanita tersebut juga
dapat mengalami gangguan emosional akibat perilaku wanita tersebut.
Pengkajian pada pasien post partum blues menurut Bobak ( 2004 ) dapat
dilakukan pada pasien dalam beradaptasi menjadi orang tua baru. Pengkajiannya
meliputi ;
1. Identitas klien
2. Data diri klien meliputi : nama, umur, pekerjaan, pendidikan, alamat, medical
record dan lain-lain
3. Dampak pengalaman melahirkan
a. Banyak ibu memperlihatkan suatu kebutuhan untuk memeriksa proses
kelahiran itu sendiri dan melihat kembali perilaku mereka saat hamil
dalam upaya retrospeksi diri (Konrad, 1987). Selama hamil, ibu dan
pasangannya mungkin telah membuat suatu rencana tertentu tentang
kelahiran anak mereka, hal-hal yang mencakup kelahiran pervagina dan
beberapa intervensi medis. Apabila pengalaman mereka dalam persalinan
sangat berbeda dari yang diharapkan (misalnya ; induksi, anestesi
epidural, kelahiran sesar), orang tua bisa merasa kecewa karena tidak bisa
mencapai yang telah direncanakan sebelumnya. Apa yang dirasakan
orang tua tentang pengalaman melahirkan sudah pasti akan
mempengaruhi adaptasi mereka untuk menjadi orang tua.
4. Citra diri ibu
a. Suatu pengkajian penting mengenai konsep diri, citra tubuh, dan
seksualitas ibu. Bagaimana perasaan ibu baru tentang diri dan tubuhnya
selama masa nifas dapat mempengaruhi perilaku dan adaptasinya dalam
menjadi orang tua. Konsep diri dan citra tubuh ibu juga dapat
mempengaruhi seksualitasnya. Perasaan-perasaan yang berkaitan dengan
penyesuaian perilaku seksual setelah melahirkan seringkali menimbulkan
kekhawatiran pada orang tua baru. Ibu yang baru melahirkan bisa merasa
enggan untuk memulai hubungan seksual karena takut merasa nyeri atau
takut bahwa hubungan seksual akan mengganggu penyembuhan jaringan
perineum.
5. Interaksi Orang tua – Bayi
a. Suatu pengkajian pada masa nifas yang menyeluruh meliputi evaluasi
interaksi orang tua dengan bayi baru. Respon orang tua terhadap kelahiran
anak meliputi perilaku adaptif dan perilaku maladatif. Baik ibu maupun
ayah menunjukkan kedua jenis perilaku maupun saat ini kebanyakan riset
hanya berfokus pada ibu. Banyak orang tua baru mengalami kesulitan
untuk menjadi orang tua sampai akhirnya keterampilan mereka membaik.
Kualitas keibuan atau kebapaan pada perilaku orang tua membantu
perawatan dan perlindungan anak. Tanda-tanda yang menunjukkan ada
atau tidaknya kualitas ini, terlihat segera setelah ibu melahirkan, saat
orang tua bereaksi terhadap bayi baru lahir dan melanjutkan proses untuk
menegakkan hubungan mereka.
6. Perilaku Adaptif dan Perilaku Maladaptif
a. Perilaku adaptif berasal dari penerimaan dan persepsi realistis orang tua
terhadap kebutuhan bayinya yang baru lahir dan keterbatasan kemampuan
mereka, respon social yang tidak matur, dan ketidakberdayaannya. Orang
tua menunjukkan perilaku yang adaptif ketika mereka merasakan suka
cita karena kehadiran bayinya dan karena tugas-tugas yang diselesaikan
untuk dan bersama anaknya, saat mereka memahami yang dikatakan
bayinya melalui ekspresi emosi yang diperlihatkan bayi dan yang
kemudian menenangkan bayinya, dan ketika mereka dapat membaca
gerakan bayi dan dapat merasa tingkat kelelahan bayi. Perilaku maladaptif
terlihat ketika respon orang tua tidak sesuai dengan kebutuhan bayinya.
Mereka tidak dapat merasakan kesenangan dari kontak fisik dengan anak
mereka. Bayi – bayi ini cenderung akan dapat diperlakukan kasar. Orang
tua tidak merasa tertarik untuk melihat anaknya. Tugas merawat anak
seperti memandikan atau mengganti pakaian, dipandang sebagai sesuatu
yang menyebalkan. Orang tua tidak mampu membedakan cara berespon
terhadap tanda yang disampaikan oleh bayi, seperti rasa lapar, lelah
keinginan untuk berbicara dan kebutuhan untuk dipeluk dan melakukan
kontak mata. Tampaknya sukar bagi mereka untuk menerima anaknya
sebagai anak yang sehat dan gembira.
7. Struktur dan fungsi keluarga
a. Komponen penting lain dalam pengkajian pada pasien post partum blues
ialah melihat komposisi dan fungsi keluarga. Penyesuaian seorang wanita
terhadap perannya sebagai ibu sangat dipengaruhi oleh hubungannya
dengan pasangannya, ibunya dengan keluarga lain, dan anak-anak lain.
Perawat dapat membantu meringankan tugas ibu baru yang akan pulang
dengan mengkaji kemungkinan konflik yang bisa terjadi diantara anggota
keluarga dan membantu ibu merencanakan strategi untuk mengatasi
masalah tersebut sebelum keluar dari rumah sakit.
Sedangkan Pengkajian Dasar data klien menurut Marilynn E. Doenges ( 2001
) Adalah :
a. Aktivitas / istirahat Insomnia mungkin teramati.
b. Sirkulasi
Episode diaforetik lebih sering terjadi pada malam hari.
c. Integritas Ego
d. Peka rangsang, takut/menangis (" Post partum blues " sering terlihat kira-
kira 3 hari setelah kelahiran).
e. Eliminasi
f. Diuresis diantara hari ke-2 dan ke-5.
g. Makanan/cairan
h. Kehilangan nafsu makan mungkin dikeluhkan mungkin hari – hari ke-3.
i. Nyeri/ketidaknyamanan
j. Nyeri tekan payudara/pembesaran dapat terjadi diantara hari ke-3 sampai
ke-5 pascapartum.
k. Seksualitas
l. Uterus 1 cm diatas umbilikus pada 12 jam setelah kelahiran, menurun kira-
kira 1 lebar jari setiap harinya. Lokhia rubra berlanjut sampai hari ke-2- 3,
berlanjut menjadi lokhia serosa dengan aliran tergantung pada posisi
(misalnya ; rekumben versus ambulasi berdiri) dan aktivitas (misalnya ;
menyusui). Payudara : Produksi kolostrum 48 jam pertama, berlanjut pada
susu matur, biasanya pada hari ke-3; mungkin lebih dini, tergantung kapan
menyusui dimulai.

IX. DIAGNOSA KEPERAWATAN


Diagnosa keperawatan pada pasien postpartum blues diantaranya Adalah :
a. Nyeri akut/ketidaknyamanan berhubungan dengan trauma mekanis,
edema/pembesaran jaringan atau distensi, efek-efek hormonal.
b. Menyusui berhubungan dengan tingkat pengetahuan, pengalaman
sebelumnya, usia gestasi bayi, tingkat dukungan, struktur/karakteristik fisik
payudara ibu.
c. Risiko tinggi terhadap perubahan peran menjadi orang tua berhubungan dengan
pengaruh komplikasi fisik dan emosional
d. Resiko tinggi ketidakefektifan koping individu berkaitan perubahan emosional
yang tidak stabil pada ibu
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan Respon hormonal dan
psikologis (sangat gembira, ansietas, kegirangan), nyeri/ketidaknyamanan,
proses persalinan dan kelahiran melelahkan.
f. Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan perawatan bayi
berhubungan dengan kurang pemajanan / mengingat, kesalahan interpretasi,
tidak mengenal sumber – sumber.
g. Potensial terhadap pertumbuhan koping keluarga berhubungan dengan
kecukupan pemenuhan kebutuhan – kebutuhan individu dan tugas – tugas
adaptif, memungkinkan tujuan aktualisasi diri muncul ke permukaan.

X. RENCANA KEPERAWATAN
a. Nyeri akut/ketidaknyamanan berhubungan dengan trauma mekanis,
edema/pembesaran jaringan atau distensi, efek-efek hormonal.
Tujuan : Mengidentifikasi dan menggunakan intervensi untuk mengatasi
ketidaknyamanan.
Intervensi Keperawatan :
1) Tentukan adanya, lokasi, dan sifat ketidaknyamanan.
Rasional : Mengidentifikasi kebutuhan – kebutuhan khusus dan intervensi
yang tepat.
2) Inspeksi perbaikan perineum dan epiostomi.
Rasional : Dapat menunjukkan trauma berlebihan pada jaringan perineal dan
terjadinya komplikasi yang memerlukan evaluasi / intervensi lanjut.
3) Berikan kompres es pada perineum, khususnya selama 24 jam pertama
setelah kelahiran.
Rasional : Memberi anestesia lokal, meningkatkan vasokonstriksi, dan
mengurangi edema dan vasodilatasi.
4) Berikan kompres panas lembab (misalnya ; rendam duduk / bak mandi)
Rasional : Meningkatkan sirkulasi pada perineum, meningkatkan oksigenasi
dan nutrisi pada jaringan, menurunkan edema dan meningkatkan
penyembuhan.
5) Anjurkan duduk dengan otot gluteal terkontraksi diatas perbaikan
episiotomy.
Rasional : Penggunaan pengencangan gluteal saat duduk menurunkan stres
dan tekanan langsung pada perineum.
6) Kolaborasi dalam pemberian obat analgesik 30-60 menit sebelum menyusui.
Rasional : Memberikan kenyamanan, khususnya selama laktasi, bila
afterpain paling hebat karena pelepasan oksitosin.

b. Menyusui berhubungan dengan tingkat pengetahuan, pengalaman


sebelumnya, usia gestasi bayi, tingkat dukungan, struktur/karakteristik fisik
payudara ibu.
Tujuan : Mengungkapkan pemahaman tentang proses/situasi menyusui,
mendemonstrasikan teknik efektif dari menyusui, menunjukkan kepuasan
regimen menyusui satu sama lain.
Intervensi Keperawatan :
1) Kaji pengetahuan dan pengalaman klien tentang menyusui sebelumnya
Rasional : Membantu dalam mengidentifikasi kebutuhan saat ini dan
mengembangkan rencana perawatan.
2) Tentukan sistem pendukung yang tersedia pada klien, dan sikap pasangan /
keluarga.
Rasional : Mempunyai dukungan yang cukup meningkatkan kesempatan
untuk pengalaman menyusui dengan berhasil.
3) Berikan informasi, verbal dan tertulis, mengenai fisiologi dan keuntungan
menyusui, perawatan putting dan payudara, kebutuhan diet khusus, dan
faktor–faktor yang memudahkan atau mengganggu keberhasilan menyusui.
Rasional : Membantu menjamin supli susu adekuat, mencegah putting pecah
dan luka, memberikan kenyamanan, dan membuat peran ibu menyusui.
4) Demonstrasikan dan tinjau ulang teknik – teknik menyusui
Rasional : Posisi yang tepat biasanya mencegah luka putting, tanpa
memperhatikan lamanya menyusu.
5) Identifikasi sumber-sumber yang tersedia di masyarakat sesuai indikasi ;
misalnya ; progam Kesehatan Ibu dan Anak ( KIA ).
Rasional : Pelayanan ini mendukung pemberian ASI melalui pendidikan
klien dan nutrisional.
c. Risiko tinggi terhadap perubahan peran menjadi orang tua berhubungan
dengan pengaruh komplikasi fisik dan emosional
Tujuan : Mengungkapkan masalah dan pertanyaan tentang menjadi orang tua,
mendiskusikan peran menjadi orang tua secara realistis, secara aktif mulai
melakukan tugas perawatan bayi baru lahir dengan tepat, mengidentifikasi
sumber-sumber.

Intervensi Keperawatan :
1) Kaji kekuatan, kelemahan, usia, status perkawinan, ketersediaan sumber
pendukung dan latar belakang budaya.
Rasional : Mengidentifikasi faktor – faktor risiko potensial dan sumber-
sumber pendukung, yang mempengaruhi kemampuan klien/pasangan untuk
menerima tantangan peran menjadi orang tua.
2) Perhatikan respons klien/pasangan terhadap kelahiran dan peran menjadi
orang tua.
Rasional : Kemampuan klien untuk beradaptasi secara positif untuk menjadi
orang tua mungkin dipengaruhi oleh reaksi ayah dengan kuat.
3) Evaluasi sifat dari menjadi orangtua secara emosi dan fisik yang pernah
dialami klien/pengalaman selama kanak-kanak.
Rasional : Peran menjadi orang tua dipelajari, dan individu memakai peran
orang tua mereka sendiri menjadi model peran.
4) Tinjau ulang catatan intrapartum terhadap lamanya persalinan, adanya
komplikasi, dan peran pasangan pada persalinan.
Rasional : Persalinan lama dan sulit, dapat secara sementara menurunkan
energi fisik dan emosional yang perlu untuk mempelajari peran menjadi ibu
dan dapat secara negatif mempengaruhi menyusui.
5) Evaluasi status fisik masa lalu dan saat ini dan kejadian komplikasi pranatal,
intranatal, atau pascapartal.
Rasional : Kejadian seperti persalinan praterm, hemoragi, infeksi, atau
adanya komplikasi ibu dapat mempengaruhi kondisi psikologis klien.
6) Evaluasi kondisi bayi ; komunikasikan dengan staf perawatan sesuai
indikasi.
Rasional : Ibu sering mengalami kesedihan karena mendapati bayinya tidak
seperti bayi yang diharapkan.
7) Pantau dan dokumentasikan interaksi klien/pasangan dengan bayi.
Rasional : Beberapa ibu atau ayah mengalami kasih sayang bermakna pada
pertama kali ; selanjutnya, mereka dikenalkan pada bayi secara bertahap.
8) Anjurkan pasangan/sibling untuk mengunjungi dan menggendong bayi dan
berpartisipasi terhadap aktifitas perawatan bayi sesuai izin.
Rasional : Membantu meningkatkan ikatan dan mencegah perasaan putus
asa.
9) Kolaborasi dalam merujuk untuk konseling bila keluarga beresiko tinggi
terhadap masalah menjadi orang tua atau bila ikatan positif diantara
klien/pasangan dan bayi tidak terjadi.
Rasional : Perilaku menjadi orang tua yang negatif dan ketidakefektifan
koping memerlukan perbaikan melalui konseling, pemeliharaan atau bahkan
psikoterapi yang lama.
d. Risiko tidak efektif koping individual berhubungan dengan krisis
maturasional dari kehamilan/mengasuh anak dan melakukan peran ibu dan
menjadi orang tua (atau melepaskan untuk adopsi), kerentanan personal,
ketidakadekuatan sistem pendukung, persepsi tidak realistis
Tujuan : Mengungkapkan ansietas dan respon emosional, mengidentifikasi
kekuatan individu dan kemampuan koping pribadi, mencari sumber-sumber
yang tepat sesuai kebuuhan.
Intervensi Keperawatan :
1) Kaji respon emosional klien selama pranatal dan dan periode intrapartum dan
persepsi klien tentang penampilannya selama persalinan.
Rasional : Terhadap hubungan langsung antara penerimaan yang positif akan
peran feminin dan keunikan fungsi feminin serta adaptasi yang positif
terhadap kelahiran anak, menjadi ibu, dan menyusui.
2) Anjurkan diskusi oleh klien / pasangan tentang persepsi pengalaman
kelahiran.
Rasional : Membantu klien / pasangan bekerja melalui proses dan
memperjelas realitas dari pengalaman fantasi.
3) Kaji terhadap gejala depresi yang fana (" perasaan sedih " pascapartum) pada
hari ke-2 sampai ke-3 pascapartum (misalnya ; ansietas, menangis,
kesedihan, konsentrasi yang buruk, dan depresi ringan atau berat).
Rasional : Sebanyak 80 % ibu – ibu mengalami depresi sementara atau
perasaan emosi kecewa setelah melahirkan.
4) Evaluasi kemampuan koping masa lalu klien, latar belakang budaya, sistem
pendukung, dan rencana untuk bantuan domestik pada saat pulang.
Rasional : Membantu dalam mengkaji kemampuan klien untuk mengatasi stres.
5) Berikan dukungan emosional dan bimbingan antisipasi untuk membantu
klien mempelajari peran baru dan strategi untuk koping terhadap bayi baru
lahir.
Rasional : Keterampilan menjadi ibu / orang tua bukan secara insting tetapi
harus dipelajari.
6) Anjurkan pengungkapan rasa bersalah, kegagalan pribadi, atau keragu –
raguan tentang kemampuan menjadi orang tua
Rasional : Membantu pasangan mengevaluasi kekuatan dan area masalah
secara realistis dan mengenali kebutuhan terhadap bantuan profesional yang
tepat.
7) Kolaborasi dalam merujuk klien/pasangan pada kelompok pendukungan
menjadi orang tua, pelayanan sosial, kelompok komunitas, atau pelayanan
perawat berkunjung.
Rasional : Kira – kira 40 % wanita dengan depresi pascapartum ringan
mempunyai gejala – gejala yang menetap sampai 1 tahun dan dapat
memerlukan evaluasi lanjut.
e. Gangguan pola tidur berhubungan dengan Respon hormonal dan
psikologis (sangat gembira, ansietas, kegirangan), nyeri/ketidaknyamanan,
proses persalinan dan kelahiran melelahkan.
Tujuan : Mengidentifikasi penilaian untuk mengakomodasi perubahan yang
diperlukan dengan kebutuhan terhadap anggota keluarga baru, melaporkan
peningkatan rasa sejahtera dan istirahat.
Intervensi Keperawatan :
1) Kaji tingkat kelelahan dan kebutuhan untuk istirahat.
Rasional : Persalinan atau kelahiran yang lam dan sulit, khususnya bila ini
terjadi malam, meningkatkan tingkat kelelahan.
2) Kaji factor-faktor, bila ada yang mempengaruhi istirahat.
Rasional : Membantu meningkatkan istirahat, tidur dan relaksasi dan
menurunkan rangsang.
3) Berikan informasi tentang kebutuhan untuk tidur/istirahat setelah kembali
ke rumah.
Rasional : Rencana yang kreatif yang membolehkan untuk tidur dengan bayi
lebih awal serta tidur siang membantu untuk memenuhi kebutuhan tubuh.
4) Berikan informasi tentang efek-efek kelelahan dan ansietas pada suplai ASI.
Rasional : Kelelahan dapat mempengaruhi penilaian psikologis, suplai ASI,
dan penurunan refleks secara psikologis.
5) Kaji lingkungan rumah, bantuan dirumah, dan adanya sibling dan anggota
keluarga lain.
Rasional : Multipara dengan anak di rumah memerlukan tidur lebih banyak
dirumah sakit untuk mengatasi kekurangan tidur dan memenuhi
kebutuhannya.
f. Kurang pengetahuan mengenai perawatan diri dan perawatan bayi
berhubungan dengan kurang pemajanan/mengingat, kesalahan interpretasi,
tidak mengenal sumber – sumber.
Tujuan : Mengungkapkan berhubungan dengan pemahaman perubahan
fisiologis, kebutuhan individu, hasil yang diharapkan, melakukan aktivitas /
prosedur yang perlu dan menjelaskan alasan-alasan untuk tindakan.
Intervensi Keperawatan :
1) Pastikan persepsi klien tentang persalinan dan kelahiran, lama persalinan,
dan tingkat kelelahan klien.
Rasional : Terhadap hubungan antara lama persalinan dan kemampuan
untuk melakukan tanggung jawab tugas dan aktifitas-aktifitas perawatan
diri/perawatan bayi.
2) Kaji kesiapan klien dan motivasi untuk belajar.
Rasional : Periode pascanatal dapat merupakan pengalaman positif bila
penyuluhan yang tepat untuk membantu pertumbuhan ibu, maturasi, dan
kompetensi.
3) Berikan informasi tentang perawatan diri, termasuk perawatan perineal dan
higiene, perubahan fisiologis.
Rasional : Membantu mencegah infeksi, mempercepat pemulihan dan
penyembuhan, dan berperan pada adaptasi yang positif dari perubahan fisik
dan emosional.
4) Diskusikan kebutuhan seksualitas dan rencana untuk kontrasepsi.
Rasional : Pasangan mungkin memerlukan kejelasan mengenai ketersediaan
metoda kontrasepsi dan kenyataan bahwa kehamilan dapat terjadi bahkan
sebelum kunjungan sebelum kunjungan minggu ke-6.
g. Potensial terhadap pertumbuhan koping keluarga berhubungan dengan
kecukupan pemenuhan kebutuhan-kebutuhan individu dan tugas-tugas adaptif,
memungkinkan tujuan aktualisasi diri muncul ke permukaan.
Tujuan : Mengungkapkan keinginan untuk melaksanakan tugas-tugas yang
mengarah pada kerja sama dari anggota keluarga baru, mengekspresikan
perasaan percaya diri dan kepuasan dengan terbentuknya kemajuan dan
adaptasi.
Intervensi Keperawatan :
a. Kaji hubungan anggota keluarga satu sama lain.
Rasional : Perawat dapat membantu memberikan pengalaman positif di
rumah sakit dan menyiapkan keluarga terhadap pertumbuhan melalui tahap
– tahap perkembangan.
b. Anjurkan partisipasi seimbang dari orang tua pada perawatan bayi.
Rasional : Fleksibilitas dan sensitifitasi terhadap kebutuhan keluarga
membantu mengembangkan harga diri dan rasa kompeten dalam perawatan
bayi baru lahir setelah pulang.
c. Berikan bimbingan antisipasi mengenai perubahan emosi normal berkenaan
dengan periode pascapartum.
Rasional : Membantu menyiapkan pasangan untuk kemungkinan perubahan
yang mereka alami, menurunkan stres dan meningkatkan koping positif.
a. Berikan informasi tertulis mengenai buku-buku yang dianjurkan untuk
anak-anak (sibling) tetang bayi baru.
Rasional : Membantu anak mengidentifikasi dan mengatasi perasaan
akan kemungkinan penggantian atau penolakan.
b. Kolaborasi dalam merujuk klien/pasangan pada kelompok orang tua
pascapartum di komunitas.
Rasional : Meningkatkan pengetahuan orang tua tentang membesarkan
anak dan perkembangan anak.

XI. IMPLEMENTASI

Menurut Doenges (2000) implementasi adalah perawat


mengimplementasikan intervensi-intervensi yang terdapat dalam rencana
perawatan. Menurut Allen (1998) komponen dalam tahap implementasi meliputi
tindakan keperawatann mandiri, kolaboratif, dokumentasi, dan respon pasien
terhadap asuhan keperawatan.
DAFTAR PUSTAKA

Bobak, Lowdermilk, Jensen. (2004). Buku Ajar: Keperawatan Maternitas edisi-4. Jakarta:
EGC.

Diposting oleh Agus Sutiono dalam Postpartum Blues. 2008. Tags: Konsep Dasar dan
Askep Postpartum Blues. http://agussutionopathy.blogspot.com/2008/05/bab-i-
tinjauan-pustaka-konsep-dasar.html. diakses tanggal 09 januari 2011

Diposting Oleh zietraelmart dalam Postpartum Blues. 2008. Tags: Ilmu Jiwa
Kebidanan.http://zietraelmart.multiply.com/journal/item/8/POST_PARTUM_BL
UES. diakses tanggal 09 januari 2011

Marilyn E. Doenges, 1999, Rencana Asuhan Keperawatan, Penerjemah Kariasa I


Made, Jakarta : EGC.

Anda mungkin juga menyukai