Anda di halaman 1dari 8

Journal Reading

Single versus double-layer uterine closure at cesarean:


impact on lower uterine segment thickness at
next pregnancy

Pembimbing:
dr. Yuma Sukadarma, Sp.OG

Oleh:
Jessica Wulansari 2016-061-012
Theodora Kristoforus 2016-061-028
Bella Louisa 2016-061-042
Madelina Serenita 2016-061-081

KEPANITERAAN KLINIK
ILMU KEBIDANAN DAN PENYAKIT KANDUNGAN
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIKA ATMA JAYA
PERIODE 12 FEBRUARI 2018 – 21 APRIL 2018
Penjahitan rahim satu atau dua lapis pada persalinan dengan
operasi caesar: dampaknya terhadap ketebalan segmen bawah
rahim pada kehamilan berikutnya

ABSTRAK
Latar Belakang: Ruptur uteri merupakan komplikasi yang mengancam jiwa selama proses
kelahiran setelah persalinan dengan operasi caesar. Penjahitan rahim satu lapis pada persalinan
dengan operasi caesar berhubungan dengan meningkatnya ruptur uteri dibandingkan dengan
penjahitan rahim dua lapis. Pengukuran ketebalan segmen bawah rahim dengan menggunakan
ultrasonografi digunakan untuk mengevaluasi kualitas skar rahim setelah persalinan dengan
operasi caesar dan berhubungan dengan risiko ruptur uteri.
Tujuan: Mengestimasi dampak penjahitan rahim terhadap ketebalan segmen bawah rahim
Desain Penelitian: Wanita dengan persalinan dengan operasi caesar menggunakan teknik low
transverse di rekrut pada usia kehamilan 34-38 minggu. Digunakakn ultrasonografi
transabdominal dan transvaginal untuk mengevaluasi ketebalan segmen bawah rahim yang
dilakukan oleh seorang sonographer dibutakan terhadap data klinis. Laporan operasi di kaji
ulang untuk menentukan tipe penjahitan rahim. Kemudian hasil dibandingkan dengan
ketebalan segmen bawah rahim pada trimester III kehamilan berikutnya, yaitu jumlah lapisan
yang terjahit dan berdasarkan tipe benang untuk penjahitan rahim, menggunakan weighted
mean differences dan analisis regresi logistik multivariat.
Hasil: Diantara 1613 wanita yang di rekrut, dengan laporan operatif yang tersedia, 495 (31%)
diantaranya menggunakan penjahitan rahim satu lapis, dan sebanyak 1118 (69%)
menggunakan penjahitan rahim dua lapis. Nilai tengah pada ketebalan segmen bawah rahim di
trimester III aalah 3,3 ± 1,3 mm dan proporsi ketebalan segmen bawah rahim <2,0 mm adalah
sebesar 10,5%. Penjahitan dua lapis berhubungan dengna segmen bawah rahim yang lebih tebal
dibandingkan dengan penjahitan satu lapis (weighted mean difference: 0,11 mm; interval
kepercayaan 95% (CI), 0,02 hingga 0,21 mm). Pada analisis regresi logistic multivariat,
penjahitan dua lapis juga berhubungan dengan berkurangnya risiko ketebalan segmen bawah
rahim <2,0 mm (odd ratio [OR], 0,68; CI 95%, 0,51 hingga 0,90). Dibandingkan dengan
benang sintetis, penggunaan jenis catgut pada penjahitan rahim tidak memiliki dampak
signifikan terhadap ketebalan segmen bawah rahim kehamilan trimester III (WMD: -0,10 mm;
CI 95%, -0,22 hingga 0,02 mm) atau terhadap risiko ketebalan segmen bawah rahim <2,0 mm
(OR, 0,95; CI 95%, 0,67 hingga 1,33). Akhirnya, penjahitan rahim dua lapis berkaitan dengan
berkurangnya risiko defek skar pada rahim (RR, 0,32; CI 95%, 0,17 hingga 0,61) pada
kelahiran.
Kesimpulan: Dibandingkan dengan penjahitan rahim satu lapis, penjahitan rahim dua lapis
pada persalinan dengan operasi caesar sebelumnya berkaitan dengan ketebalan segmen bawah
rahim kehamilan trimester III dan mengurangi risiko ketebalan segmen bawah rahim <2,0 mm
pada kehamilan berikutnya. Jenis benang untuk penutupan rahim tidak memiliki dampak
signifikan terhadap ketebalan segmen bawah rahim.

Kata Kunci: caesarean, kehamilan, teknik operasi, ultrasonografi, skar rahim

Introduksi
Laju persalinan dengan operasi caesar meningkat secara berkelanjutan dan telah
mencapai lebih dari 30% di beberapa negara. Tren ini telah ditingkatkan dengan menurunnya
laju percobaan kelahiran setelah persalinan caesarean (TOLAC) dan persalinan spontan per
vaginam.
Ruptur rahim selama TOLAC juga berhubungan dengan risiko kematian dan kesakitan
neonatus yang signifikan yang dapat memperngaruhi pilihan wanita dan tenaga kesehatan
dalam pengulangan persalinan dengan operasi caesar elektif (ERC). Kebalikannya,
pengulangan persalinan caesar menyebabkan kompikasi obsteri lain, termasuk plasenta previa
dan plasenta akreta, dibutuhkannya transfusi darah, histerektomi, dan juga cedera traktus
urinarius dan traktus digestif selama proses operasi. Setiap tahunnya, jutaan wanita hamil
dengan riwayat persalinan dengan operasi caesar mengalami kesulitan untuk memilih TOLAC
dan ERC.
Sejumlah faktor risiko terhadap ruptur rahim telah dilaporkan. Diantaranya, penjahitan
rahim pada persalinan dengan operasi caesar merupakan faktor yang dapat dimodifikasi.
Penjahitan satu lapis pada persalinan dengan operasi caesar berkaitan dengan 3 hingga 5 kali
peningkatan risiko ruptur rahim selama TOLAC berikutnya dibandingkan dengan penjahitan
satu lapis, terutama apabila satu lapis sudah terkunci.
Pada kebanyakan studi, bagaimanapun, retrospektif atau menggunakan sejumlah kecil kejadian
dan maka, hanya terdapat sedikit rekomendasi. Dua penelitian randomized trial
membandingkan dua tipe penjahitan terhadap risiko ruptur rahim pada kehamilan berikutnya:
Chapman er al tidak melaorkan adanya ruptur rahimndan terdapat satu kasus dehisensi skar
rahim setelah TOLAC diantara 70 wanita dengan penjahitan satu lapis dan tidak satupun ruptur
rahim dan tidak juga terdapat dehisensi luka setelah TOLAC pada 75 wanita, diacak dengan
penjahitan dua lapis; sebagai tambahan, grup kolaboratif CORONIS melaporkan satu (0,06%)
kasus terjadinya ruptur rahim dari 1610 kelahirna setelah penjahitan satu kapis dan dua (0,12%)
kasus dari 1624 kelahiran setelah penjahitan dua lapis dalam 3 tahun pemantauan dari pusat
percobaan acak. Kedua percobaan acak tidak memiliki kekuatan yang cukup untuk mendeteksi
perbedaan yang cukup dalam mengukur risiko ruptur rahim diantara kedua tipe penjahitan
rahim.
Pengukuran tebal segmen bawah rahim (TSBR) dengan ultrasonografi digunakan
untuk mengevaluasi kualitas skar rahim setelah persalinan dengan operasi caesar dan berkaitan
dengan risiko ruptur rahim: Pengukuran yang lebih tipis berkaitan dengan risiko yang lebih
besar untuk tebentuknya skar dehisensi ruptur rahim selama TOLAC. TSBR menurun seiring
usia kehamilan dari 5,1 ± 1,4 mm pada 20 minggu menjadi 3,6 ± 1,33 mm pada usia kehamilan
30 minggu dan 2,3 ± 0,6 mmpada usia kehamilan 40 minggu pada wanita dengan persalinan
dengan operasi caesar sebelumnya. Pada wanita dengan riwyat persalinan dengan operasi
caesar, nilai < 2,0 mm diukur antara 35 dan 38 minggu kehamilan berkaitan dengan
meningkatnya risiko ruptur rahim atau dehisensi skar dibandingkan dengan penugukuran >2,0
mm. Rozenberg et al mengamati bahwa introduksi pengukuran TSBR pada praktek klinis
mengarah pada penurunan defek skar rahim dimana kami baru ini melaporkan bahwa
penggunaan TSBR berkaitan dengan risiko rendah terjadinya ruptur rahim selama TOLAC.
Kami juga mengamati hubungan kuat antara TSBR tipis dan risiko defek skar rahim pada ERC
> TSBR pada trimester III kehamilan pada kehamilan berikutnya dapat diigunakan sebagai
tanda pengganti untuk penyembuhan skar rahim, dimana TSBR yang sngat tipis dapat menjadi
pengganti penanda untuk defek skar rahim. Kami menujukan untuk mengealusi penjahitan
persalinan dengan operasi caesar pada TSBR di trimester III kehamilan yang diukur pada
kehamilan berikutnya.

Material dan Metode


Kami melakukan analisis sekunder dari studi kohor prospektif pada beberapa tempat
yang dilakukan antara April 2009 dan Juni 2013 di 4 Rumah sakit yaitu Centre Hospitalier de
l’Université Laval di Québec, Canada, Centre Hospitalier Sainte-Justine di Montréal,Canada;
Centre Hospitalier Universitaire Fleurimont di Sherbrooke, Canada, Hôpitaux Universitaires
de Genève di Geneva, Switzerland. Sampel yang dipilih adalah wanita yang hamil tunggal
dengan riwayat operasi caesar lokasi insisi melintang rendah yang sedang mempertimbangkan
persalinan pervaginam pada usia kehamilan 34 minggu 0 hari dan 38 minggu 6 hari. Pada setiap
wanita dilakukan ultrasonografi (USG) transabdominal dan transvaginal untuk mengukur
TSBR oleh sonografer yang terlatih atau bidan yang tidak tahu mengenai data klinis sampel
dan dibawah supervisi dari spesialis maternal fetal.
Pengukuran dilakukan minimal 6 kali , dengan minimum pengukuran 3 transabdominal dan 3
transvaginal dan dipilih nilai segmen bawah rahim yang paling tipis.
Informasi demografik, riwayat medis dan reproduksi serta hal-hal pada persalinan caesar
sebelumnya dikumpulkan setelah mendapatkan persetujuan dari para partisipan.
Partisipan dengan data teknik penjahitan rahim pada operasi caesar sebelumnya diinklusikan.
Teknik penjahitan rahim dibagi menjadi satu atau dua lapis dan jenis benang dibagi menjadi
sintetik atau kromik catgut. Jika jahitan pada lapisan pertama dan kedua berbeda , yang diambil
adalah data penjahitan lapisan pertama.
Kami melakukan analisa nonparametrik pada karakteristik dari kedua grup dan
membandingkan perbedaan rata-rata dengan interval kepercayaan 95% pada trimester ketiga
dan rasio TSBR < 2 mm menggunakan tes t dan x2. Kemudian dilakukan analisis regresi linear
multivariat dan analisa multivariat regresi logistik untuk mengevaluasi dampak dari teknik
penjahitan rahim pada TSBR dan TSBR < 2 mm setelah penyesuaian faktor pengacau yang
diantaranya adalah interval interdelivery ( waktu antara persalinan caesar dan taksiran
persalinan) < 18 bulan , operasi caesar sebelumnya yang dilakukan sebelum inpartu, operasi
caesar sebelum 37 minggu (preterm caesarean); usia maternal (± 35 tahun), obesitas (BMI ≥
30 kg/m2) dan lokasi.
Analisa statistik dilakukan menggunakan program SPSS. P < 0.05 dianggap bermakna secara
statistik.

HASIL
Sebanyak 1856 wanita yang direkrut memiliki rata-rata kehamilan trimester ketiga
dengan tebal segmen bawah rahim (TSBR) 3,3 ± 1,3 mm. Dari pasien-pasien ini, kami
mendapatkan rincian teknik penutupan rahim pada operasi sesar sebelumnya pada 1613 (87%)
wanita dengan trimester ketiga yang serupa dengan TSBR 3,3 ± 1,3 mm dan dengan TSBR
<2,0 mm sebanyak 10,5%. Teknik penjahitan 1 lapis dilakukan pada 495 pasien (31%),
sedangkan 1118 (69%) pasien dilakukan penjahitan lapisan ganda. Tabel 1 menjelaskan
karakteristik populasi menurut penutupan rahim. Kami mengamati bahwa wanita dengan
penjahitan penutupan rahim secara 1 lapis sebelumnya cenderung memiliki penutupan yang
menggunakan jahitan sintetis dan memiliki interval persalinan yang lebih lama. Frekuensi
penjahitan penutupan rahim 1 dan 2 lapis (Tabel 1) dan penggunaan benang catgut (dari 0%
sampai 43,1%) bervariasi secara signifikan (keduanya dengan P < 0,001).
Penjahitan 2 lapis pada operasi caesar sebelumnya dikaitkan dengan SBR yang lebih tebal
daripada penjahitan 1 lapis (dari 0,1 sampai 1,0 mm) dengan weighted mean difference (WMD)
sebesar 0,11 mm (95% CI 0,02 sampai 0,21 mm, P = 0.02). Setelah penyesuaian dari faktor
pembaur dengan analisis regresi linier multivariat, kami mengamati bahwa penjahitan 2 lapis
tetap dikaitkan dengan SBR trimester ketiga yang lebih tebal pada kehamilan berikutnya (+0,14
mm; 95% CI, 0,04 sampai 0,24 mm; P = 0.005). Selain itu, jumlah TSBR trimester ketiga <2,0
mm lebih kecil pada penjahitan 2 lapis dibandingkan dengan 1 lapis (8,5% banding 11,0%, P
= 0,03) dan asosiasi tetap signifikan setelah penyesuaian faktor pembaur pada analisis regresi
multivariat (Tabel 2).
Kami mengamati bahwa operasi caesar pada persalinan sebelumnya bersifat protektif
untuk TSBR <2,0 mm. Kami mengulangi analisis sesuai dengan ada tidaknya operasi caesar
pada persalinan sebelumnya. Pada wanita dengan operasi caesar persalinan sebelumnya, kami
mengamati bahwa penjahitan rahim 2 lapis berkaitan dengan SBR trimester ketiga yang lebih
tebal (WMD = 0,21 mm; 95% CI = 0,06 sampai 0,36 mm; P = < 0.001) dan menurunkan risiko
TSBR <2,0 mm (odd ratio = 0,57; 95% CI = 0,38 sampai 0,85) setelah penyesuaian faktor
pembaur. Pada wanita dengan operasi caesar sebelumnya yang dilakukan selama persalinan,
penjahitan rahim 2 lapis dikaitkan dengan SBR trimester ketiga yang lebih tebal (WMD = 0.13
mm; 95% CI = 0,003 sampai 0,25 mm; P = 0,045) namun tidak ada hubungan dengan TSBR
<2,0 mm (odd ratio = 0,72; 95% CI = 0,48 sampai 1,07). Dibandingkan dengan benang sintetis,
penggunaan catgut untuk penutupan rahim tidak memiliki dampak signifikan pada TSBR
trimester ketiga (WMD = 0,10 mm; 95% CI = 0,2 sampai 0,02 mm) atau TSBR <2,0 mm
setelah disesuaikan untuk faktor pembaur (Tabel 2).
Kami mengamati interval persalinan <18 bulan; indeks massa tubuh> 30 kg / m2; dan
persalinan sesar yang dilakukan sebelumnya adalah faktor-faktor yang terkait dengan
peningkatan risiko TSBR <2,0 setelah penyesuaian dengan faktor pembaur.
Hasil obstetrik tersedia untuk 1607 peserta (Tabel 3). Kami mengamati bahwa wanita dengan
penjahitan 2 lapis sedikit lebih mungkin mengalami TOLAC dan kecil kemungkinannya
mengalami perembesan luka rahim pada operasi caesar ulangan, baik yang dilakukan setelah
TOLAC atau secara elektrik. Penjahitan 2 lapis dikaitkan dengan penurunan risiko kerusakan
bekas luka rahim (RR = 0,32; 95% CI = 0,17-0,61) saat lahir.
Komentar

Kami menemukan bahwa penjahitan dua lapis dari rahim pada operasi caesar
sebelumnya berhubungan dengan SBR yang lebih tebal pada trimester ketiga serta risiko yang
lebih rendah untuk memiliki TSBR <2,0 mm pada kehamilan berikutnya dibandingkan dengan
penjahitan satu lapis. Lebih jauh lagi, kami juga mendapatkan tidak ada dampak signifikan dari
tipe benang operasi (chromic catgut dibandingkan dengan yang sintetis) terhadap TSBR pada
trimester ketiga. Kedua penemuan tersebut menunjukkan bahwa penjahitan dua lapis dapat
memperbaiki penyembuhan luka rahim dan menurunkan risiko kecacatan luka rahim pada
kehamilan selanjutnya.
Penemuan kami sejalan dengan meta-analisis sebelumnya yang melaporkan risiko
ruptur rahim yang lebih rendah selama TOLAC pada wanita dengan penjahitan dua lapis dan
uji acak terbaru yang menunjukkan bahwa pada penjahitan dua lapis, miometrium yang tersisa
setelah 6 bulan pasca persalinan lebih tebal dibandingkan pada penjahitan satu lapis. Sebuah
meta-analisis dari uji acak mengevaluasi peran dari penjahitan rahim dalam penyembuhan luka
rahim yang dinilai beberapa minggu atau bulan setelah operasi caesar dan melaporkan bahwa
penjahitan satu lapis (2,6 mm; 95% interval kepercayaan, 3,1 sampai 2,1; P< 0,001)
berhubungan dengan sisa lapisan miometrium yang lebih tipis dibandingkan dengan penjahitan
dua lapis. Dua penelitian lain menilai peran dari penjahitan rahim dalam TSBR trimester
ketiga. Pada kedua kasus tersebut, peneliti menemukan tidak ada perbedaan TSBR yang
signifikan antara kedua tipe penjahitan rahim, tetapi kedua studi tersebut memiliki jumlah
partisipan yang terbatas (233 dan 377) serta tidak menyesuaikan faktor-faktor pembaur
(confounding factors).
Penelitian ini, seperti yang beberapa peneliti yang berbeda, menunjukkan bahwa
persalinan dengan operasi caesar sebelumnya yang dilakukan sebelum pasien in partu
berhubungan dengan SBR trimester ketiga yang lebih tipis dibandingkan dengan operasi caesar
yang dilakukan saat pasien in partu. Penemuan ini sejalan dengan penelitian Algert et al., yang
menunjukkan risiko ruptur rahim yang lebih besar pada operasi caesar sebelumnya yang
dilakukan saat pasien belum in partu. Lebih jauh lagi, pada kasus operasi caesar yang dilakukan
sebelum pasien in partu, penjahitan dua lapis dapat membawa dampak yang lebih baik dengan
mengurangi gangguan pada penyembuhan luka dibandingkan dengan penjahitan satu lapis.
Informasi baru ini dapat membantu dalam memahami heterogenitas relatif dalam hasil
penelitian sebelumnya yang menilai dampak penjahitan rahim terhadap risiko gangguan
penyembuhan luka ataupun kecacatan luka rahim. Selain itu, informasi ini dapat memfasilitasi
dokter spesialis obstetri yang melakukan operasi: saat operasi caesar dilakukan sebelum pasien
in partu, SBR lebih tebal daripada saat pasien in partu, dan biasanya lebih mudah untuk
melakukan penjahitan lapisan pertama yang menghindari desidua yang diikuti dengan
penjahitan lapisan kedua untuk mendekatkan miometrium. Di sisi lain, kadang kedua lapis SBR
sulit dibedakan ketika SBR menjadi tipis akibat kontraksi rahim berulang saat pasien in partu.
Oleh karena itu, penjahitan dua lapis menjadi tidak begitu berarti pada persalinan yang telah
lebih maju. Penelitian kami mengonfirmasi penelitian sebelumnya yang melaporkan risiko
ruptur rahim yang lebih tinggi pada kasus interval antar persalinan yang singkat, terlebih lagi
bila interval kurang dari 18 bulan.
Penelitian ini memiliki beberapa keterbatasan. Pemilihan dari penjahitan rahim dapat
dipengaruhi faktor-faktor yang tidak dapat disesuaikan dalam analisis kami. Terlebih lagi,
terdapat kemungkinan bahwa tidak hanya jumlah lapisan penjahitan saja yang memengaruhi
penyembuhan luka rahim, tetapi juga teknik lain yang berhubungan dengan jumlah lapis.
Sebagi contoh, ada peneliti yang menyarankan bahwa penjahitan yang melibatkan desidua
dapat menjadi faktor risiko untuk gangguan penyembuhan luka, kecacatan luka rahim, dan
sebagai akibatnya, dapat terjadi placenta accreta dan ruptur rahim. Di Amerika Utara,
penjahitan satu lapis yang mengombinasi inklusi desidua dan penguncian jahitan biasa
dilakukan. Rincian dari operasi tidak dikumpulkan sehingga kami tidak dapat berspekulasi
mengenai karakteristik spesifik mana yang berperan dalam gangguan penyembuhan. Kami
juga tidak dapat menduga pengaruh dari penambahan lapisan kedua pada lapisan pertama yang
tidak dikunci dan tidak memasukkan desidua. Kami juga tidak dapat mengumpulkan tipe dari
penjahitan dua lapis (matras vertikal atau penjahitan Lambert) karena heterogenitas antara
laporan operasi.
Penelitian ini memiliki beberapa nilai positif, seperti jumlah sampel yang besar
sehingga memungkinkan penyesuaian beberapa faktor, pengukuran TSBR yang dilakukan oleh
teknisi yang tidak diberitahu mengenai teknik operasi, dan hasil yang sesuai, baik pelaporan
TSBR sebagai variabel kontinu maupun dikotomus. Pengamatan kami bahwa kecacatan luka
rahim lebih sering pada ultrasonografi sesuai dengan pengamatan kami waktu persalinan.
Sebagai kesimpulan, penelitian ini mendukung penggunaan penjahitan rahim dua lapis
pada operasi caesar, khususnya bila operasi caesar dilakukan sebelum pasien in partu, untuk
mengoptimalkan penyembuhan luka rahim. Teknik ini dapat mengurangi kecacatan luka rahim
saat TOLAC.

Anda mungkin juga menyukai