Anda di halaman 1dari 14

    1

BAB I.PENDAHULUAN

1.1. Latar Belakang


Keberhasilan pembangunan, salah satunya harus dilihat sejauh mana kegiatan
perekonomian rakyat mampu dikembangkan menjadi perekonomian nasional.Kelapa
merupakan salah satu komoditas perkebunan srategis untuk pengembangan
perekonomian rakyat. Namun potensi kelapa masih belum mampu menjadi
penopang strategis perekonomian rakyat. Menurut Pranadji dalam Prosiding
Simposium I Hasil Penelitian dan Pengembangan Tanaman Industri (1989), bahwa
beberapa faktor yang menjadi penyebabnya adalah:
1. Pasar kelapa yang cenderung monopsonis, sehingga menempatkan petani menjadi
penerima harga yang tidak menguntungkan.
2. Lemahnya informasi dan infrastruktur pemasaran, kurang menciptakan
kegairahan petani kelapa untuk melakukan perbaikan teknik budidaya/produksi
dan kegiatan pasca panennya.
3. Sistem industri pengolahan kelapa belum berkembang sehat, terutama berkaitan
dengan dukungan kegiatan produksi dan pasca panen petani kelapa.
4. Kebijakan pemerintah yang bias ekspor membawa akibat kurang menguntungkan
bagi pemasaran kelapa rakyat.
Bagi masyarakat Indonesia, kelapa merupakan bagian dari kehidupannya
karena semua bagian tanaman dapat dimanfaatkan untuk memenuhi kebutuhan
ekonomi, sosial, dan budaya. Disamping itu arti penting kelapa juga tercermin dari
luasnya areal perkebunan rakyat yang mencapai 98% dari 3,74 juta hektar dan
melibatkan lebih dari tiga juta rumahtangga petani. Pengusahaan kelapa juga
membuka kesempatan kerja dari kegiatan pengolahan produk turunan dan hasil
samping yang sangat beragam.
Pertanaman kelapa tersebar di seluruh kepulauan Indonesia. Pada tahun 2005
total areal meliputi 3,29 hektar yakni terdistribusi di pulau Sumatera (33,8%), Jawa
(22,4%), Bali, NTB, dan NTT (5,9%), Kalimantan (6,8%), Sulawesi (22,1%),
Maluku,dan Papua (9%). Produk utama yang dihasilkan di wilayah Sumatera adalah
kopra dan minyak; di Jawa kelapa butir; Bali, NTB, dan NTT kelapa butir dan
minyak; Kalimantan kopra; Sulawesi minyak; Maluku, dan Papua kopra(Anonim,
2007).
Menurut Warisno (2007), tinggi rendahnya hasil panen kelapa dipengaruhi
oleh beberapa faktor antara lain sebagai berikut :
a. Varietas atau jenis kelapa yang ditanam, karena masing-masing varietas atau jenis
kelapa menpunyai sifat yang berbeda.
b. Teknik budidaya yang dilakukan, semakin intensif budidaya yang dilakukan,
akan semakin banyak hasil yang diperoleh dan sebaliknya.
c. Keadaan tanah dan iklim setempat.
d. Keadaan air tanah.
e. Serangan hama dan penyakit
Menurut Setyamidjaja (2009), tiap-tiap pohon kelapa dapat memberi hasil
rata-rata 1,5-2 ton kopra per hektar. Menurut Warisno (2007), kelapa jenis genjah
entok dan jenis genjah unggul, dapat menghasilkan buah antara 9.000-1.000 butir per
hektar per tahun atau setara dengan 1,5-2 ton kopra. Kelapa jenis dalam dapat
menghasilkan buah sekitar 4.000-5.000 butir per hektar per tahun atau setara 1-1,25
ton per hektar per tahun. Kelapa jenis dalam yang dipelihara secara intensif dapat
menghasilkan buah sebanyak 5.000-6.000 butir per hektar per tahun atau setara 1,5
ton kopra.
Produktivitas kelapa baru mencapai 2.700 – 4.500 kelapa butir yang setara 0,8
– 1,2 kopra/hektar. Produktivitas ini masih dapat ditingkatkan menjadi 6.750 butir
atau setara 1,5 ton kopra. Selain itu potensi kayu kelapa yang dapat dihasilkan
sebesar 200 juta m3. Hal ini dikarenakan sekitar 394.156 hektar (10,1%). Kondisi
pertanaman kelapa rakyat saat ini sudah tua dan rusak, sehingga perlu dilakukan
peremajaan dan rehabilitasi. Adapun komposisi keadaan tanaman secara nasional

 
meliputi : tanaman menghasilkan (TM) 73,6%, atau 2,87 juta hektar. Dan tanaman
belum menghasilkan (TBM) 16.2% atau 0,63 juta ha (Anonim, 2007).
Setyamidjaja (2000), menyatakan bahwa kemunduran produksi kelapa dalam
negeri adalah:
a. Rata-rata tanaman telah melewati umur produktif (60 tahun ke atas), bahkan
sebagian telah mencapai tingkat senil.
b. Perlakuan budidaya sangat minim, baik pemeliharaan, pemupukan, maupun
pencegahan dan pemberantasan hama dan penyakit.
c. Adanya serangan hama/penyakit yang tidak berkesudahan, walaupun usaha
pemberantasannya telah dilaksanakan cukup intensif, dengan bantuan dari
pemerintah.
Secara tradisional, penggunaan produk kelapa adalah untuk konsumsi segar,
dibuat kopra, atau minyak kelapa. Seiring perkembangan pasar dan dukungan
teknologi, permintaan berbagai produk turunan kelapa semakin meningkat seperti
dalam bentuk tepung kelpa (desiccated coconut), serat sabut, arang tempurung dan
arang aktif (Anonim, 2007). Perkembangan konsumsi rata-rata kelapa, dan minyak
kelapa domestik dapat dilihat pada tabel 1.1.
Tabel 1.1. Rata-rata Konsumsi Kelapa, Minyak Kelapa dan Minyak Goreng Lainnya
2009 – 2013
Konsumsi/kapita/tahun
Tahun Kelapa Minyak kelapa Minyak Goreng Lainnya
(butir) (liter) (liter)
2009 8,656 1,564 8,186
2010 8,291 2,034 8,030
2011 7,456 1,877 8,239
2012 6,935 1,304 9,334
2013 6,101 1,356 8,916
Rata-rata
pertumbuhan
2009-2013 -8,33 -1.06 2,38
Sumber : Badan Pusat Statistik (Susenas 2009 - 2013)

 
Dalam lima tahun terakhir, penggunaan domestik kelapa butiran dan minyak
kelapa cenderung mengalami penurunan. Penggunaan minyak kelapa di dalam negeri
yang semakin berkurang diduga terkait dengan perubahan preferensi konsumen yang
lebih menyukai penggunaan minyak kelapa sawit karena harganya lebih murah.
Pada tingkat rumah tangga usahatani kelapa dapat memberikan penghasilan
kotor sekitar Rp. 1,7 juta/ha/tahun atau Rp. 142 ribu/ha/bulan. Mengingat pada
umumnya usahatani kelapa merupakanusahatani sampingan maka besaran
pendapatan tersebut memberikankontribusi yang berarti terhadap total pendapatan
rumah tangga.Dalam konteks ketahanan pangan, kontribusi kelapa tercermin
daribesarnya prosentase konsumsi domestik yang mencapai 50-60% dariproduksi
dalam bentuk konsumsi kelapa segar dan minyak goreng.Selain itu, di tingkat rumah
tangga usahatani kelapa berperanmeningkatkan daya beli terhadap pangan dengan
adanya tambahanpendapatan sebagaimana disebutkan di atas (Anonim, 2007)
  Sebagai sumber pendapatan, tanaman kelapa berperan sangat besar karena
tanaman kelapa mempunyai kemampuan berproduksi sepanjang tahun terus-menerus
dan dapat dijual untuk memenuhi kebutuhan keluarga. Petani dalam mengelola
usahataninya adalah untuk memperoleh pendapatan dan kesejahteraan
rumahtangganya. Produksi dan produktivitas tanaman kelapa akan berdampak pada
aktivitas ekonomi rumahtangga petani.
Asumsi dasar efisiensi adalah untuk mencapai keuntungan maksimum dengan
biaya minimum. Tujuan tersebut merupakan faktor penentu bagi petani dalam
mengelola usahataninya. Dalam mengelola usahatani kelapa, seorang petani yang
rasional akan bersedia menggunakan input selama nilai tambah yang dihasilkan oleh
tambahan input tersebut lebih besar dari tambahan biaya yang diakibatkan oleh
tambahan input tersebut.
Tanaman kelapa merupakan tumbuhan asli daerah tropis, yang banyak
tumbuh dan dibudidayakan oleh sebagian besar petani di Indonesia. Tanaman kelapa
hampir selalu diusahakan di dataran rendah, misalnya di daerah pantai (pesisir).

 
Daerah yang ideal bagi penanaman kelapa adalah di ketinggian 200-600 meter dari
permukaan laut. Namun, ternyata tanaman kelapa di dataran rendah (dengan
ketinggian kurang dari 200 meter dari permukaan laut) dapat berbuah lebih cepat dan
berproduksi lebih tinggi dengan kadar minyak yang tinggi (Warisno, 2007).
Sebagai wilayah kepulauan Kabupaten Natuna memiliki pulau-pulau
sebanyak 154 pulau, dimana sejumlah 27 pulau (17,53%) berpenghuni dan sebanyak
127 pulau (82,47%) tidak berpenghuni. Jumlah pulau yang besar berarti memiliki
garis pantai yang panjang. Hal ini merupakan potensi pengembangan tanaman kelapa
karena sesuai dengan persyaratan tumbuh yang diinginkannya..
  Sejak dahulu komoditas kelapa masih merupakan komoditas perkebunan yang
paling luasdibudidayakan dibandingkan dengan komoditas perkebunan lainnya. Tabel
di bawah ini memperlihatkan perbandingan luas areal perkebunan kelapa dengan
tanaman perkebunan lainnya.
Tabel 1.2. Perbandingan Luas Areal Kelapa dan Tanaman Perkebunan Lainnya di
Kabupaten Natuna
Luas Areal Persentase
Komodti
(ha) (%)
Karet 3,983 13.12
Kelapa dalam 14,006 46.12
Kopi 45 0.15
Cengkeh 12,189 40.14
Lada 143 0.47
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Natuna, 2013

Perkembangan luas areal kelapa dari tahun ke tahun menunjukkan tidak ada
pertambahan. Pada tahun 2009 terjadi penurunan luas areal kelapa dari 24.856 hektar
menjadi 14.006 hektar yang disebabkan sebagian areal penanaman kelapa termasuk
ke dalam wilayah Kabupaten Kepulauan Anambas yang baru terbentuk sehingga
terjadi sinkronisasi data. Data perkembangan luas areal, produksi dan rerata produksi
dapat dilihat pada tabel 1.3.

 
Tabel 1.3. Perkembangan Luas Areal, Produksi dan Rerata Produksi Kelapa di
Kabupaten Natuna
Luas Lahan Produksi Rerata Produksi
Tahun
(Ha) (Ton) (Kg/Ha)
2006 24.856 3.381 242
2007 24.856 4.025 288
2008 24.856 4.942 340
2009 14.006 3.765 425
2010 14.006 3.772 426
2011 14.006 6.012 678
2012 14.006 609 679
Sumber : Dinas Kehutanan dan Perkebunan Kabupaten Natuna, 2013
Komoditi pertanian pada umumnya dihasilkan sebagai bahan mentah dan
mudah rusak, sehingga perlu langsung dikonsumsi atau diolah terlebih dahulu. Proses
pengolahan ini dapat meningkatkan guna bentuk komoditas-komoditas pertanian.
Kesediaan konsumen membayar harga output agroindustri pada harga yang relatif
tinggi merupakan intensif bagi perusahaan –perusahaan pengolahan untuk
menghasilkan output agroindustri (Sudiyono, 2001).
Menurut Darmawan dan Masroh (2004), ada tiga tahapan dalam
perkembangan industri pangan. Pertama adalah tahap primer, yaitu output utama
yang dihasilkan dalam proses produksi langsung dinikmati oleh konsumen, tanpa
adanya pengolahan lebih lanjut. Pada perkembangan tahap kedua (atau yang disebut
juga dengan tahap sekunder), produk yang dihasilkan mengalami proses pengolahan
tertentu secara tradisional. Pengolahan secara tradisional ini perlahan menjadi maju,
output dari hasil pengolahan itu baru kemudian dikonsumsi. Sampai dengan batas
tertentu tahap sekunder berkembang ke tahap ketiga, yaitu ketika output yang
dihasilkan oleh tahap kedua diolah dengan proses yang lebih canggih sehingga
menghasilkan bahan pangan yang diolah lagi menjadi berbagai macam makanan
turunan dari produk tersebut.

 
Menurut Soekartawi (2010), komponen pengolahan hasil pertanian menjadi
penting karena pertimbangan diantaranya ;
a. Meningkatkan nilai tambah;
b. Meningkatkan kwalitas hasil;
c. Meningkatkan penyerapan tenaga kerja;
d. Meningkatkan ketrampilan produsen;
e. Meningkatkan pendapatan produsen.
Istilah nilai tambah (value-added) itu sendiri sebenarnya dapat diartikan
sebagai nilai yang ditambahkan pada suatu produk karena masuknya unsur
pengolahan yang menghasilkan produk yang lebih baik dan mempunyai daya simpan
lebih lama.
Pengolahan hasil yang baik yang dilakukan produsen dapat meningkatkan
nilai tambah dari hasil pertanian yang diproses. Bagi petani, kegiatan pengolahan
hasil telah dilakukan khususnya bagi petani yang mempunyai fasilitas pengolahan
hasil. Sering ditemukan bahwa hanya petani yang mempunyai fasilitas pengolahan
hasil dan mereka yang mempunyai sense of business (kemampuan memanfaatkan
business bidang pertanian) yang melaksanakan kegiatan pengolahan hasil pertanian.
Bagi pengusaha yang berskala besar kegiatan pengolahan hasil dijadikan kegiatan
utama dalam mata rantai businessnya. Hal ini disebabkan karena dengan pengolahan
yang baik maka nilai tambah barang pertanian menjadi meningkat karena barang
tersebut mampu menerobos pasar, baik pasar domestik maupun pasar luar negeri
(Soekartawi, 2010).
Pengusahaan kelapa juga membuka tambahan kesempatan kerja dari kegiatan
pengolahan produk turunan dan hasil samping yang sangat beragam. Berangkat dari
besarnya potensi pengembangan produk serta peluang ekonomi perkelapaan di
tingkat makro dan mikro, pengembangan industri kelapa mempunyai prospek yang
sangat baik. Untuk itu, investasi merupakan syarat mutlak karena nilai tambah dari

 
pengolahan kelapa ke depan ditentukan oleh kreatifitas dalam pengembangan produk
turunannya.
Menurut Soekartawi (2000), agroindustri merupakan industri yang berbahan
baku utama dari produk pertanian. Dalam konteks ini agroindustri dipandang sebagai
food processing management dalam suatu perusahaan produk olahan yang bahan
baku utamanya adalah prooduk pertanian.
Menurut Balina, et.al. dalam Prosiding Simposium I Hasil Penelitian dan
Pengembangan Tanaman Industri (1989), bahwa peningkatan nilai tambah hasil
kelapa penanganannya dapat diarahkan dalam bentuk skala industri. Hal ini dapat
dicapai melalui diversifikasi produk kelapa dan modifikasi alat
pengolahannya.Teknologi mempunyai peranan yang sangat menentukan dalam
meningkatkan pendapatan ekonomi, karena dengan penerapan teknologi yang sesuai,
maka peningkatan nilai tambah dalam proses produksi dapat dilaksanakan secara
berganda.
Teknologi terutama diarahkan pada usaha-usaha di sektor primer, dilanjutkan
dengan penerapan teknologi yang cukup maju ditahap pasca panen, dan ditahap
pengolahan sektor sekunder, seluruhnya dalam suatu rangkaian yang berkelanjutan
dan berkaitan.Rangkaian paket teknologi merupakan syarat mutlak dalam
pengembangan agroindustri. Namun masalah utama dalam penerapan teknologi
adalah pemilihan metode penanganan yang sesuai, yang dalam operasinya selalu
menghendaki hasil yang maksimal. Sehubungan dengan itu maka seyogyanya paket
teknologi yang diterapkan harus mudah diterapkan di tingkat petani/masyarakat luas,
sederhana, praktis dan efisien.
Home industri merupakan suatu bentuk usaha yang dikelola oleh rumah
tangga dengan skala usaha yang relatif kecil. Karena proses berdiri dan
pengusahaanya dalam skala rumah tangga sehingga seringkali jenis usahanya terkait
dengan potensi yang sudah dimiliki oleh pengelola. Jika home industri berbasis
pertanian maka bisa dipastikan produk yang diolah adalah produk pertanian yang

 
dihasilkan di desa setempat. Oleh karena itu banyak diantara home industri tumbuh di
daerah pedesaan dan menjadi sumber pendapatan di sana. Keterkaitan home industri
dengan produk pertanian bisa dalam bentuk backward linkage maupun Forward
Linkage (Hastuti, 1997).
Menurut Tambunan (1994), ada beberapa karakteristik home industri sebagai
berikut :
a. Biasanyanya skala usahanya kecil, baik ditinjau dari modal, penggunaan tenaga
kerja maupun orientasi pasar.
b. Satu usaha dimiliki pribadi atau keluarg.
c. Sumber tenaga kerja dari lingkungan setempat.
d. Kemampuan mengadopsi teknologi, manajemen dan administrasi sangat
sederhana
e. Struktur permodalan sangat bergantung pada modal pribadi dan keluarga.

1.2. Rumusan Masalah


Dengan memanfaatkan faktor produksi asli seperti tanah, dan tenaga kerja
dalam melakukan usahataninya, petani masih belum mampu mencukupi kebutuhan
hidup rumah tangganya. Penerimaan yang diperoleh dari usahatani masih lebih kecil
bila dibandingkan dengan biaya yang harus dikeluarkan untuk dapat memenuhi
keperluan hidupnya. Pendapatan usahatani yang dinilai belum dapat mencukupi
kebutuhan hidup rumahtangga petani menyebabkan petani mencari strategi
penghidupan lain. Diversifikasi mata pencaharian merupakan strategi penghidupan
yang dilakukan oleh petani nuntuk mencukupi kebutuhan keluarga. Selain
memanfaatkan potensi lahan untuk penanaman tanaman pangan, hortikultura,
perkebunan dan peternakan, asset alam lainnya yang dapat dimanfaatkan adalah
lautan. Potensi kelautan di Kabupaten Natuna masih terbuka lebar, hal ini
dikarenakan letaknya yang berbatasan langsung dengan Laut Cina Selatan, sehingga
masih banyak kekayaan biota laut yang belum dimanfaatkan secara maksimal.

 
Strategi kehidupan yang dijalani oleh rumah tangga petani erat kaitannya
dengan kondisi alam dan cuaca. Pada bulan Februari sampai dengan September,
ketika gelombang laut tenang mereka berkerja sebagai nelayan dan pada bulan
Oktober sampai dengan Desember ketika musim utara dimana gelombang laut tinggi,
maka mereka mengandalkan pendapatan rumahtangga dari sektor selain nelayan
misalnya pertanian, peternakan, perdagangan dan sektor lainnya. Sehingga selain
sebagai nelayan mereka juga memiliki kebun kelapa, karet, cengkeh, ternak sapi,
kambing, dan lain-lain disamping memiliki jongkong dan kapal motor untuk mencari
ikan di laut. Salah satu aspek untuk menumbuhkembangkan agribisnis di pedesaan
adalah ketersedian sumberdaya atau bahan baku bagi industri . Kabupaten Natuna
memiliki kondisi iklim dan tanah yang sesuai untuk pertumbuhan kelapa, sehingga
tanaman tersebut dapat dijumpai hampir disetiap pulau. Produksi kelapa yang
melimpah masih belum dimanfaatkan secara maksimal. Pemanfaatan produk kelapa
di Kabupaten Natuna masih sebatas dalam bentuk kelapa butiran dan kopra. Hal ini
menyebabkan harga jual produk kelapa fluktuatif dan rendah karena belum memiliki
nilai tambah.
Pertanaman kelapa tersebar hampir disepanjang pesisir pantai. Areal
penanaman yang luas dan terpencar membutuhkan biaya transportasi yang besar
dalam mengumpulkan kelapa yang merupakan bahan baku industri pengolahan
minyak kelapa dan produk turunan kelapa lainnya. Luasnya areal kelapa tersebut
semestinya menjadi potensi bagi pengembangan ekonomi masyarakat, baik dalam
bentuk peningkatan pendapatan maupun dalam hal penyerapan tenaga kerja, sehingga
dapat terwujudnya kehidupan yang layak bagi keluarga petani kelapa. Hal ini diduga
karena berbagai alasan, antara lain pengusahaan kelapa di Kabupaten Natuna masih
berbentuk perkebunan rakyat yang dikelola secara tradisional, yang dicirikan : (1)
hasil usahatani berbentuk bahan mentah seperti kelapa butiran dan kopra; (2)
produktivitas rendah; (3) lemahnya permodalan; (4) penggunaan teknologi yang
masih rendah. Berbagai hal di atas menyebabkan pendapatan petani relatif berada

10

 
pada posisi yang belum mampu mendukung kehidupan dan kesejahteraan
keluarganya secara layak.
Salah satu solusi untuk meningkatkan pendapatan petani kelapa adalah
dengan pengembangan agroindustri kecil skala rumahtangga. Agroindustri ini
disyaratkan memiliki teknologi yang sederhana dengan biaya yang relatif murah
sehingga dapat diterapkan oleh petani kelapa dalam peningkatan nilai tambah.
Pengolahan minyak kelapa secara tradisional menggunakan melalui proses
pemasakan menghasilkan minyak kelapa yang disebut minyak klentik. Minyak
klentik ini tidak memenuhi Standart Industri Indonesia, karena kadar air di dalam
minyak masih 1,35%. Sementara yang ditetapkan oleh aturan adalah 0,3%. Selain itu
kadar asam bebasnya masih 0,52%, padahal yang ditetapkan adalah 0,3% (Soekardi,
2012). Selain itu minyak klentik kurang disukai karena warnanya yang kurang jernih,
baunya yang tengik dan kandungan lemak bebas serta rusaknya kandungan gizi
karena proses pemasakan.
Beberapa tahun terakhir ditemukan suatu metode baru pengolahan minyak
kelapa tanpa proses pemasakan dengan menggunakan fermentasi ataupun minyak
pancingan menghasilkan produk akhir yang disebut Virgin Coconut Oil (VCO), atau
minyak kelapa murni. Pembuatan VCO tidak melalui proses pemasakan, tidak
menggunakan zat kimia organik dan pelarut sama sekali. Metode fermentasi
menggunakan bantuan mikroba tertentu yang terdapat dalam ragi tempe/roti untuk
menghasilkan minyak kelapa dan metode pancingan dengan menambahkan minyak
VCO kedalam santan kelapa membuat minyak yang dihasilkan menjadi lebih baik .
Minyak kelapa yang dihasilkan dengan menggunakan kedua metode ini tidak perlu
melewati tahap pemurnian dan pemucatan. Hal ini karena minyak yang dihasilkan
baik mutunya ditandai dengan warna minyak yang bening, baunya yang harum,
rasanya yang gurih, dan khas kelapa serta daya simpan yang bisa mecapai dua tahun.
Disamping itu VCO juga mempunyai sejumlah sifat fisik yang menguntungkan,
antara lain : mempunyai kestabilan secara kimia, bisa disimpan dalam waktu lama,

11

 
dan tidak cepat menjadi tengik, serta tahan terhadap panas. Untuk mendapatkan
berbagai macam manfaat tersebut, proses pembuatannya pun harus melalui aturan
yang baku dan benar. VCO juga baik untuk kesehatan kulit, karena minyak ini mudah
diserap kulit dan mengandung vitamin E.
Minyak yang diolah tanpa proses pemanasan ini mulai digemari masyarakat.
VCO merupakan salah satu alternatif pilihan bagi mereka yang memilih gaya hidup
sehat, hal ini dikarenakan nilai kandungan gizi VCO yang tidak mengalami
kerusakan serta harganya yang masih lebih rendah jika dibandingkan dengan minyak
zaitun, minyak biji bunga matahari, minyak jagung maupun minyak kedelai.
Pengolahan kelapa dengan metode pancingan ini telah dilakukan oleh
beberapa kelompok usaha bersama. Pengolahan minyak kelapa ini dapat diterapkan
dalam skala rumah tangga karena menggunakan teknologi dan peralatan/mesin yang
sederhana. Industri pengolahan ini belum mampu secara maksimal memanfaatkan
potensi produksi kelapa yang tersedia. Walaupun permintaan minyak goreng kelapa
cukup tinggi. Namun permintaan tersebut masih belum bisa dipenuhi karena
produksinya yang masih rendah.
Selain itu itu kelapa juga merupakan bahan baku pembuatan biosolar atau
disebut juga cocodiesel. Sebuah inovasi yang berhasil dikembangkan untuk
mengubah kekentalan minyak kelapa agar sama dengan solar . Untuk itu diperlukan
beberapa modifikasi pada knalpot mesin diesel menjadi converter minyak kelapa.
Sehingga minyak kelapa dapat digunakan sebagai subsitusi bahan bakar nabati.
Inovasi ini merupakan suatu alternatif solusi bila bahan bakar solar yang tidak
terbaharukan harganya semakin tidak terjangkau dan ketersediaannya sulit didapat.
Dalam rangka keberlanjutan dan pengembangan komoditas kelapa perlu
diketahui berapa besar kontribusi komoditas kelapa bagi pendapatan petani baik
dalam bentuk kelapa butir, kopra, maupun VCO, dan berapa nilai tambah yang
diperoleh petani dari proses pengolahan kelapa menjasdi kopra, dan VCO. Perlu juga
diketahui apakah pengolahan tersebut mampu memberikan profitabilitas kepada

12

 
petani. Untuk itu perlu dilakukan analisis rumusan masalah yang dipaparkan sebagai
berikut :
1. Apakah kontribusi usahatani kelapa, kopra, dan VCO mampu memberikan
kontribusi yang besar bagi pendapatan rumah tangga petani ?
2. Berapa besar nilai tambah yang diperoleh petani dengan melakukan pengolahan
kelapa menjadi kopra maupun VCO ?
3. Bagaimanakah profitabilitas yang diperoleh dari usahatani kelapa, kopra, dan
VCO ?

1.3. Tujuan Penelitian


1. Mengetahui kontribusi usahatani kelapa, kopra, dan, VCO, terhadap
pendapatan rumahtangga petani.
2. Mengetahui nilai tambah yang diperoleh petani dalam pengolahan kopra dan
VCO .
3. Mengetahui profitabilitas usahatani kelapa, kopra, dan VCO.

1.4. Manfaat Penelitian


1. Memberikan masukan kepada petani dalam mengelola usahatani kelapa untuk
dapat memaksimumkan pendapatannya.
2. Memberikan informasi, masukan bagi institusi terkait dalam menentukan
kebijakan pengembangan komoditas kelapa.
3. Merupakan bahan bacaan dan panduan bagi penelitian selanjutnya.

1.5. Ruang lingkup Penelitian


Lingkup penelitian ini adalah untuk mengetahui kontribusi usahatani kelapa,
kopra, dan VCO terhadap pendapatan rumahtangga petani dan besarnya nilai tambah
yang diperoleh dari pengolahan kopra, dan VCO.Nilai tambah dalam penelitian ini
adalah peningkatan nilai sebagai akibat pengolahan kelapa menjadi kopra, dan Virgin

13

 
Coconut Oil (VCO). Disamping itu juga untuk membandingkan pendapatan dan
profitabilitas diantara usahatani kelapa, kopra, VCO.
Data yang diambil dalam penelitian ini meliputi data umum mengenai luas
areal budidaya, produksi, dan produktivitas kelapa serta data-data keuangan yang
terdiri dari biaya investasi, biaya produksi , harga jual, pendapatan, dan nilai tambah
yang diperoleh dari pengolahan kopra, dan VCO.

14

Anda mungkin juga menyukai