Anda di halaman 1dari 4

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang
Definisi Sehat menurut WHO terbebas dari segala jenis penyakit, baik fisik, psikis
(jiwa) atau emosional. Definisi Sakit menurut WHO suatu kondisi cacat atau kelainan
yang disebabkan oleh gangguan penyakit, emosional, intelektual, dan sosial.
Kesehatan jiwa dan gangguan jiwa sulit untuk didefinisikan dengan tepat. Orang-
orang yang dapat melaksanakan peran mereka dalam masyarakat dan yang perilakunya
sesuai dan adaptif dipandang sebagai sehat. Sebaliknya, mereka yang gagal untuk
memenuhi peran dan melaksanakan tanggung jawab atau yang perilakunya tidak pantas
dipandang sebagai sakit. Budaya setiap masyarakat sangat mempengaruhi nilai-nilai dan
keyakinan, dan ini pada gilirannya akan mempengaruhi bagaimana masyarakat
mendefinisikan sehat dan sakit (Videbeck, 2011).
Berdasarkan UU No.18 Tahun 2014 bahwa Kesehatan Jiwa adalah kondisi dimana
seorang individu dapat berkembang secara fisik, mental, spiritual, dan sosial sehingga
individu tersebut menyadari kemampuan sendiri, dapat mengatasi tekanan, dapat bekerja
secara produktif, dan mampu memberikan kontribusi untuk komunitasnya. Orang
Dengan Masalah Kejiwaan yang selanjutnya disingkat ODMK adalah orang yang
mempunyai masalah fisik, mental, sosial, pertumbuhan dan perkembangan, dan/atau
kualitas hidup sehingga memiliki risiko mengalami gangguan jiwa.Orang Dengan
Gangguan Jiwa yang selanjutnya disingkat ODGJ adalah orang yang mengalami
gangguan dalam pikiran, perilaku, dan perasaan yang termanifestasi dalam bentuk
sekumpulan gejala dan/atau perubahan perilaku yang bermakna, serta dapat
menimbulkan penderitaan dan hambatan dalam menjalankan fungsi orang sebagai
manusia.
Upaya Kesehatan Jiwa adalah setiap kegiatan untuk mewujudkan derajat kesehatan
jiwa yang optimal bagi setiap individu, keluarga, dan masyarakat dengan pendekatan
promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif yang diselenggarakan secara menyeluruh,
terpadu, dan berkesinambungan oleh Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan/atau
masyarakat.

1
Menurut World Health Organization (2015), masalah gangguan kesehatan jiwa di
seluruh dunia memang sudah menjadi masalah yang sangat serius, paling tidak ada satu
dari empat orang di dunia mengalami masalah mental. WHO memperkirakan ada sekitar
450 juta orang di dunia mengalami gangguan kesehatan jiwa.
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, terdapat 0,17 % penduduk Indonesia
yang mengalami Gangguan Mental Berat (Skizofrenia) atau secara absolute terdapat 400
ribu jiwa lebih penduduk Indonesia. Bila dilihat menurut provinsi, prevalensi gangguan
jiwa berat paling tinggi ternyata terjadi di Provinsi Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY).
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, sekitar 3 dari setiap 1.000 orang penduduk
DIY mengalami gangguan jiwa berat. Sedangkan di Provinsi Lampung terdapat 0,08 %
penduduk mengalami Gangguan Mental Berat (Skizofrenia).
Hasil Riskesdas tahun 2013 menunjukkan, prevalensi gangguan jiwa berat atau
dalam istilah medis disebut psikosis/skizofrenia di daerah pedesaan ternyata lebih tinggi
dibanding daerah perkotaan. Di daerah pedesaan, proporsi rumah tangga dengan minimal
salah satu anggota rumah tangga mengalami gangguan jiwa berat dan pernah dipasung
mencapai 18,2 persen. Sementara di daerah perkotaan, proporsinya hanya mencapai 10,7
persen.
Gangguan jiwa atau skizofrenia adalah penyakit otak neurobiologis yang serius dan
terus-menerus. Hasilnya respon yang sangat dapat mengganggu kehidupan individu,
keluarga, dan masyarakat (Stuart, 2013). Skizofrenia adalah salah satu dari sekelompok
gangguan psikotik.
Gangguan psikotik lainnya termasuk gangguan schizophreniform, gangguan
schizoaffective, gangguan delusi, gangguan psikotik singkat, gangguan psikotik bersama
(folie adap reseptor-reseptor deux), gangguan psikotik yang disebabkan oleh kondisi
medis umum, dan gangguan psikotik zat induksi (American Psychiatric Association,
2000). Psikosis kadang-kadang hadir dalam gangguan lain, seperti depresi dengan ciri
psikotik, episode manik dari gangguan bipolar, gangguan stres pasca trauma, delirium,
dan gangguan mental organik. Sekitar 50% dari pasien dengan skizofrenia memiliki
penggunaan zat paling sering alkohol atau ganja (Schmidt et al, 2011).
Penyebab skizofrenia masih belum pasti. Kemungkinan besar tidak ada faktor
tunggal. Penyakit ini mungkin hasil dari kombinasi termasuk faktor biologis, psikologis,
dan lingkungan (Townsend, 2014).

2
Halusinasi merupakan salah satu gejala positif dari Skizofrenia. Halusinasi adalah
suatu bentuk persepsi atau pengalaman indera dimana tidak terdapat stimulasi terhadap
reseptor-reseptornya, halusinasi merupakan persepsi sensori yang salah yang mungkin
meliputi salah satu dari kelima panca indera. Hal ini menunjukkan bahwa halusinasi
dapat bermacam-macam yang meliputi halusinasi pendengaran, penglihatan, penciuman,
perabaan dan pengecapan (Townsend, 2009). Data yang biasa didapatkan pada pasien
halusinasi adalah klien mengatakan mendengar suara-suara atau kegaduhan, mendengar
suara yang mengajak bercakap-cakap, melihat bayangan, sinar, bentuk geometris, bentuk
kartun, melihat hantu atau monster, mencium bau-bauan seperti bau darah, urin, feses,
merasakan rasa seperti darah, urin atau feses. Klien bicara sendiri, tertawa sendiri,
mengarahkan telinga ke arah tertentu, ketakutan pada sesuatu yang tidak jelas dan
menunjuk-nunjuk ke arah tertentu.
Menurut Stuart dan Laraia (2005; Stuart, 2009) menjelaskan bahwa 70% klien
Skizofrenia mengalami halusinasi dengar. Dari data yang didapatkan di Klinik Yayasan
Aulia Rahman ditemukan 60% klien mengatakan mendengar suara-suara yang mengajak
bercakap-cakap.
Berdasarkan latar belakang tersebut maka penulis tertarik untuk mengangkat
masalah ini dengan judul “ Asuhan Keperawatan Pada Tn T dengan Halusinasi
Pendengaran di Klinik Yayasan Aulia Rahman Rumah Bandar Lampung”.

B. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu memaparkan konsep dan teori halusinasi dalam memberikan
asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi.
2. Tujuan Khusus
a. Mampu memaparkan konsep dan teori terkait halusinasi.
b. Mampu melakukan pengkajian pada klien dengan halusinasi.
c. Mampu menentukan masalah keperawatan pada klien dengan halusinasi.
d. Mampu membuat diagnosa keperawatan pada klien dengan halusinasi
e. Mampu membuat rencana keperawatan pada klien dengan halusinasi.
f. Mampu membuat implementasi keperawatan pada klien dengan halusinasi
g. Mampu mengevaluasi asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi.
h. Mampu memaparkan hasil penelitian yang terkait dengan asuhan keperawatan
klien dengan halusinasi.

3
C. Manfaat
1. Bagi Penulis
a. Dapat mengerti dan menerapkan asuhan keperawatan jiwa pada klien dengan
halusinasi.
b. Menambah pengetahuan dan pengalaman dalam penerapan asuhan keperawatan
pada klien dengan halusinasi.
c. Meningkatkan keterampilan dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien
dengan halusinasi.

2. Bagi Profesi
Sebagai bahan masukan bagi perawat ruangan dalam memberikan panduan
pelaksanaan asuhan keperawatan pada klien dengan halusinasi sehingga klien
mendapatkan penanganan tepat dan optimal.

3. Bagi Klinik Yayasan Aulia Rahman


Sebagai masukan yang diperlukan dalam pelaksanaan praktek pelayanan
keperawatan khususnya pada pasien halusinasi.

Anda mungkin juga menyukai