Anda di halaman 1dari 20

BAB III

DASAR TEORI

Penanganan air pada penelitian ini menitikberatkan pada K teknis terhadap


komponen-komponen sistem penyaliran tambang yang meliputi saluran terbuka,
sump, pemompaan dan kolam pengendapan (sediment pond). Komponen-
komponen tersebut ditentukan oleh besarnya debit air yang masuk ke daerah
penambangan, sehingga rancangan terhadap komponen-komponen tersebut harus
memadai dari segi teknis.

3.1 Siklus Hidrologi


Secara keseluruhan jumlah air di planet bumi relatif tetap dari masa ke masa.
Air di bumi mengalami suatu siklus melalui serangkaian peristiwa yang
berlangsung terus menerus, di mana kita tidak tahu kapan dan dari mana berawalnya
dan kapan pula akan berakhir. Serangkaian peristiwa tersebut dinamakan siklus
hidrologi (hydrologic cycle) lihat Gambar 3.1.
Air menguap dari permukaan samudera akibat energi panas matahari. Laju
dan jumlah penguapan bervariasi, terbesar terjadi di dekat equator (garis lintang 0◦),
di mana radiasi matahari lebih kuat. Uap air adalah murni, karena pada waktu
dibawa naik ke atmosfir kandungan garam ditinggalkan. Uap air yang dihasilkan
dibawa udara bergerak. Dalam kondisi yang memungkinkan, uap tersebut
mengalami kondensasi dan membentuk butir-butir air yang akan jatuh kembali
sebagai presipitasi berupa hujan dan atau salju. Presipitasi ada yang jatuh di
samudera, di darat dan sebagian langsung menguap kembali sebelum mencapai ke
permukaan bumi.
Presipitasi yang jatuh ke permukaan bumi menyebar ke berbagai arah dengan
beberapa cara. Sebagian akan tertahan sementara di permukaan bumi sebagai es
atau salju, genangan air, yang dikenal dengan simpanan depresi. Sebagian air hujan
atau lelehan salju akan mengalir ke saluran atau sungai. Hal ini disebut aliran /
limpasan permukaan. Jika permukaan tanah porous, maka

20
sebagian air akan meresap ke dalam tanah melalui peristiwa yang disebut infiltrasi.
Sebagian lagi akan kembali ke atmosfir melalui penguapan dan transpirasi oleh
tanaman (evapotranspirasi).
Di bawah permukaan tanah, pori-pori tanah berisi air dan udara. Daerah ini
dikenal sebagai zona kapiler (vadoze zone), atau zona aerasi. Air yang tersimpan di
zona ini disebut kelengasan tanah (i), atau air kapiler. Pada kondisi tertentu air dapat
mengalir secara lateral pada zona kapiler, proses ini disebut interflow. Uap air
dalam zona kapiler dapat juga kembali ke permukaan tanah kemudian menguap.
Kelebihan kelengasan tanah akan ditarik masuk oleh gravitasi dan proses ini
disebut drainase gravitasi. Pada kedalaman tertentu, pori-pori tanah atau batuan
akan jenuh air. Batas atas zona jenuh air disebut muka air tanah (watertable). Air
yang tersimpan dalam zona jenuh air disebut air tanah. Air tanah ini bergerak
sebagai air tanah melalui batuan atau lapisan tanah sampai akhirnya keluar ke
permukaan sebagai sumber air (spring) atau sebagai rembesan ke danau, waduk,
sungai atau laut (Suripin, 2004).

Gambar 3.1
Skema Siklus Hidrologi

3.2 Sistem Penyaliran Tambang


Pengertian dari sistem penyaliran tambang adalah suatu usaha yang
diterapkan pada daerah penambangan untuk mencegah, mengeringkan, atau
mengeluarkan air yang masuk ke daerah penambangan. Upaya ini dimaksudkan
untuk mencegah terganggunya aktivitas penambangan akibat adanya air dalam

21
jumlah yang berlebihan terutama pada musim hujan. Selain itu, sistem penyaliran
tambang dalam penelitian ini dimaksudkan untuk menjaga agar tidak ada genangan
air pada front penambangan dan stockpile batugamping sehingga tidak mengganggu
proses penambangan dan proses pengolahan selanjutnya.

3.3 Metode Penyaliran Tambang


Untuk melakukan pengendalian air tambang dengan optimal perlu diketahui
sumber dan perilaku air. Sumber air yang masuk ke lokasi penambangan dapat
berasal dari air hujan yang langsung masuk kedalam bukaan tambang, air
permukaan tanah, dan air bawah tanah. Air permukaan tanah berasal dari sebagian
air yang tidak meresap kedalam tanah berada dan mengalir diatas permukaan. Air
jenis ini diantaranya air limpasan, air sungai, rawa atau danau serta mata air.
Sedangkan air bawah tanah merupakan air yang berada dan mengalir di bawah
permukaan tanah. Air jenis ini terdiri dari air tanah dan air rembesan.
Penanganan masalah air dalam suatu tambang terbuka dapat dibedakan
menjadi dua, yaitu mine drainage dan mine dewatering. Mine drainage yang
merupakan upaya untuk mencegah masuk mengalirnya air ke tempat penggalian.
Hal ini umumnya dilakukan untuk penanganan air tanah dan air yang berasal dari
sumur air permukaan (sungai, danau, dan lainnya). Sedangkan mine dewatering
yang merupakan upaya untuk mengeluarkan air yang telah masuk ke tempat
penggalian (Rudy Sayoga, 1999).

3.4 Faktor yang mempengaruhi Sistem Penyaliran Tambang


Faktor-faktor yang berpengaruh terhadap sistem penyaliran tambang pada
tambang terbuka secara garis besar meliputi:
3.4.1 Desain Penambangan
Sistem penyaliran yang diterapkan harus disesuaikan dengan desain
penambangan, sehingga sistem penyaliran tersebut dapat menunjang kegiatan
penambangan yang akan dilakukan.
3.4.2 Curah Hujan
Curah Hujan adalah jumlah/volume air hujan yang jatuh pada satu satuan
luas, dinyatakan dalam satuan mm. Satu mm berarti pada luasan satu m2 jumlah air
hujan yang jatuh sebanyak 1 liter. Sumber utama air permukaan pada tambang

22
terbuka adalah air hujan. Curah hujan yang tinggi di wilayah indonesia sangat
mempengaruhi kegiatan tambang terbuka maka perlu dilakukan penanganan air
pada lokasi penambangan.
Pengolahan data curah hujan dimaksudkan untuk memperoleh data curah
hujan yang siap dipakai untuk membuat perencanaan sistem penyaliran tambang.
Pengolahan data curah hujan dapat ditempuh dengan beberapa metode, namun
dalam penelitian ini digunakan metode Gumbell, yaitu :
𝑋̅ = (∑𝑛𝑖=1 𝑥𝑖 )/𝑛 ..................................................................(3.1)
Keterangan :
𝑥̅ = rata-rata hujan maksimum
xi = Curah hujan maksimum data ke-i
n = Jumlah data
Xt = 𝑥̅ + k.Sd .......................................................................(3.2)
Keterangan :

Xt = Curah hujan rencana (mm/hari)

𝑥̅ = rata-rata curah hujan maksimum (mm/hari)


̅̅̅
𝑌𝑛 = Nilai rata-rata reduced mean
(nilai rata-rata dari reduksi variat, tergantung dari jumlah data)

Sn = Reduced standard deviation

(standar deviasi dari reduksi variat, tergantung dari jumlah data (n))
k = Reduced Variate Factor

k = (Yt – Yn ) / Sn /𝑛

Yt = Reduced Variate

(nilai reduksi variat dari variabel yang diharapkan terjadi pada PUH)

Sd = Standard deviation

3.4.3 Periode Ulang Hujan


Curah hujan biasanya terjadi menurut pola tertentu dimana curah hujan
biasanya akan berulang pada suatu periode tertentu, yang dikenal dengan periode
ulang hujan. Periode ulang hujan adalah periode (tahun) dimana suatu hujan dengan
tinggi intensitas yang sama kemungkinan bisa terjadi lagi. Kemungkinan terjadinya

23
adalah satu kali dalam batas periode ulang tahun yang ditetapkan.
Penentuan periode ulang hujan dilakukan dengan menyesuaikan data dan
keperluan pemakaian saluran yang berkaitan dengan umur tambang serta tetap
memperhitungkan resiko hidrologi (Hidrology Risk).
Pemilihan periode ulang hujan lebih ditekankan pada masalah kebijakan dan
resiko yang perlu diambil sesuai kegiatan yang akan direncanakan. Menurut Kite,
G.W. ( 1977 ), pedoman untuk menentukan PUH dapat dilihat pada tabel 3.1.
Tabel 3.1
Periode Ulang Hujan Recana
Keterangan Periode ulang hujan (tahun)

Daerah Terbuka 0,5


Sarana Tambang 2–5
Lereng–Lereng Tambang Dan Penimbunan 5 – 10
Sump Utama 10 – 25
Penyaliran Keliling Tambang 25
Pemindahan Aliran Sungai 100
Sumber : Rudy Sayoga, 1999
Penentuan periode ulang dan resiko hidrologi dihitung dengan menggunakan
rumus :
1
Pr = 1 − (1 − {𝑇𝑟})𝑇𝐿 ...........................................................(3.3)

Keterangan :
Pr = Resiko hidrologi (kemungkinan suatu kejadian akan terjadi minimal satu kali
pada periode ulang tertentu).
Tr = Periode ulang
TL = Umur Tambang (tahun)

3.4.4 Intensitas Curah Hujan


Intensitas curah hujan adalah jumlah hujan per satuan waktu yang relatif
singkat, dinyatakan dalam mm/jam, mm/menit dan mm/detik. Semakin singkat
durasi hujan, semakin besar intensitas yang dihasilkan. Selama durasi hujan, hujan
dapat berhenti atau melemah. Maka semakin lama durasi hujan semakin kecil
intensitasnya. Pada umumnya dalam perhitungan, intensitas curah hujan

24
dinotasikan dengan huruf ’’I’’. Kondisi yang menggambarkan hubungan derajad
curah hujan dan intensitas curah hujan dapat dilihat pada tabel 3.2.
Tabel 3.2
Keadaan Curah Hujan dan Intensitas Curah Hujan
Derajad curah Intensitas curah
Kondisi
hujan hujan (mm/jam)
Hujan
sangat < 1,20 Tanah agak basah atau dibasahi sedikit
lemah
Hujan lemah 1,20 – 3,00 Tanah menjadi basah semuanya
Hujan
3,00 – 18,0 Bunyi hujan terdengar
normal
Air tergenang di seluruh permukaan tanah dan
Hujan deras 18,0 – 60,0 bunyi keras hujan terdengar berasal dari
genangan
Hujan Hujan seperti ditumpahkan, sehingga saluran dan
> 60
sangat deras drainase meluap.
Sumber : Suripin, 2004
Untuk menentukan intensitas hujan dihitung dengan menggunakan rumus
Mononobe, yaitu :
2/3
R  24 
I  24   ….………………………………………………(3.4)
24  t 
Keterangan:
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
R24 = Curah hujan maksimum dalam 24 jam (mm)
t = Durasi hujan (jam)

3.4.5 Air Limpasan (Run off)


Air limpasan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir diatas permukaan
tanah menuju badan-badan air seperti sungai, rawa, danau dan laut. Aliran tersebut
terjadi karena air tidak terinfiltrasi ke dalam tanah. Faktor-faktor yang
mempengaruhi dalam penentuan air limpasan yaitu :
1. Curah hujan (distribusi curah hujan, intensitas curah hujan dan frekuensi
hujan)
2. Tanah (jenis dan bentuk topografi)
3. Tutupan (kepadatan, jenis dan macam vegetasi)
4. Luas daerah aliran.

25
Untuk memperkirakan debit air limpasan maksimal digunakan rumus
rasional, yaitu :
Q = C.I.A
Q = C.I(mm/jam).A(km2)
Q = C.I(10-3 m/jam).A(106 m2)
Q = C.I.A (103 m3/3600 detik)
Q = 0,278. C. I. A ...........................................................................(3.5)
Keterangan:
Q = Debit air limpasan (m3/detik)
C = Koefisien limpasan
I = Intensitas curah hujan (mm/jam)
A = Luas daerah limpasan (km2)
Koefisien limpasan dipengaruhi oleh faktor-faktor tutupan tanah, kemiringan,
serta intensitas dan lamanya hujan. Koefisien ini merupakan suatu konstanta yang
menggambarkan dampak proses infiltrasi, penguapan, kondisi penggunan lahan,
dan kemiringan lahan. Jadi yang harus diperhatikan dalam penentuan koefisien
limpasan adalah :
1) Kerapatan Vegetasi
Daerah dengan vegetasi yang rapat akan memberikan nilai Koefisien
limpasan yang kecil, karena air hujan yang jatuh tidak langsung mengenai tanah,
tetapi akan tertahan oleh tumbuh-tumbuhan dan akan memperbesar infiltrasinya.
Sebaliknya bila hujan jatuh ditanah yang gundul, akan memberikan nilai Koefisien
limpasan yang besar.
2) Tata Guna Lahan
Lahan persawahan atau rawa-rawa akan memberikan nilai koefisien limpasan
yang kecil daripada daerah hutan atau perkebunan, karena air hujan yang jatuh
didaerah persawahan akan tertahan oleh petak-petak sebelum akhirnya menjadi
limpasan permukaan.
3) Kemiringan Tanah
Daerah dengan kemiringan yang kecil (<1%) menghasilkan nilai koefisien
limpasan yang kecil, karena infiltrasi yang terjadi akan lebih besar dari pada daerah
dengan kemiringan tanah yang sedang atau curam.

26
Menurut Suripin (lihat tabel 3.3) setiap permukaan tanah mempunyai
koefisien yang berbeda-beda berdasarkan faktor topografi, tanah, dan vegetasi.
Tabel 3.3
Nilai Koefisien Limpasan (Rudy Sayoga, 1999)

Kemiringan Lahan Kegunaan Lahan Koefisien Limpasan


0,2
Datar - - Persawahan rawa-rawa
- Hutan, perkebunan 0,3
Kemiringan < 3%
- - Permukiman 0,4
0,4
- Hutan, perkebunan
Agak miring 0,5
- - Pemukiman
(3-15%) - - Vegetasi ringan 0,6
- -Tanah gundul 0,7
0,6
- - Hutan
Curam 0,7
- - Pemukiman
Kemiringan > 15%- - Vegetasi ringan 0,8
- - Tanah gundul, penambangan 0,9

3.4.6 Penentuan Luas Daerah Tangkapan Hujan


Daerah tangkapan hujan adalah luasnya permukaan yang apabila terjadi
hujan, maka air hujan tersebut akan mengalir ke daerah yang lebih rendah menuju
ke titik pengaliran.
Air yang jatuh ke permukaan, sebagian meresap ke dalam tanah, sebagian
ditahan oleh tumbuhan dan sebagian lagi akan mengisi liku-liku permukaan bumi,
kemudian mengalir ke tempat yang lebih rendah.
Semua air yang mengalir dipermukaan belum tentu menjadi sumber air dari
suatu sistem penyaliran. Kondisi ini tergantung dari daerah tangkapan hujan dan
dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kondisi topografi, kerapatan vegetasi
serta keadaan geologi.
Daerah tangkapan hujan merupakan suatu daerah yang dapat mengakibatkan
air limpasan permukaan mengalir ke suatu tempat yang lebih rendah. Penentuan
luas daerah tangkapan hujan berdasarkan peta topografi daerah yang akan diteliti.
Daerah tangkapan hujan ini biasanya dibatasi oleh pegunungan dan bukit-bukit
yang diperkirakan akan mengumpulkan air hujan sementara.

27
Setelah arah aliran air dibuat, maka dapat dilakukan perhitungan luas daerah
tangkapan hujan dengan menggunakan software autoCAD 2007. Perhitungan
dilakukan dengan membuat poligon tertutup 2D.

3.5 Rancangan Teknis Sistem Penyaliran Tambang


Rancangan teknis sistem penyaliran yang umum digunakan dalam kegiatan
penambangan adalah sebagai berikut

3.5.1 Saluran Terbuka


Saluran terbuka berfungsi untuk menampung dan mengalirkan air ke tempat
penampungan (saluran atau kolam pengendapan). Bentuk penampungan saluran,
umumnya dipilih berdasarkan debit air, tipe material serta kemudahan dalam
pembuatannya. Dalam merancang bentuk saluran penyaliran, beberapa hal yang
perlu diperhatikan antara lain, dapat mengalirkan debit air yang direncanakan dan
mudah dalam penggalian saluran serta tidak lepas dari penyesuaian dengan bentuk
topografi dan jenis tanah.
Dalam sistem penyaliran ada beberapa macam bentuk penampang saluran
terbuka yang dapat digunakan. Bentuk penampang penyaliran diantaranya bentuk
persegi, bentuk segitiga dan bentuk trapesium (Gambar 3.2).

Sumber : Suripin, 2004


Gambar 3.2
Bentuk - Bentuk Penampang Saluran
Bentuk penampang saluran yang paling sering digunakan dan umum dipakai
adalah bentuk trapesium, sebab keuntungan dari saluran bentuk trapesium yaitu
kemudahan dalam membuat dan perawatannya serta kemiringan dinding dapat
disesuaikan dengan keadaan daerah.

28
Dalam menentukan dimensi saluran bentuk trapesium yang memiliki
penampang hidrolik optimum digunakan persamaan sebagai berikut :
A = h2 √3 P = 2 h √3

R = 0,5 . h a =
sin 𝜃
2
B = h √3
3
b =B+2xmxh
1
= B + 2. .h
√3

Keterangan :
A = Luas penampang basah saluran (m2)
P = Keliling basah (m)
R = Jari-jari hidrolik (m)
b = Lebar permukaan aliran (m)
B = Lebar dasar saluran (m)
a = Penampang sisi saluran dari dasar ke permukaan air (m)
d = Kedalaman penampang saluran (m)
h = Kedalaman aliran air (m)
penambahan tinggi jagaan adalah 15% dari d.
Kemiringan dinding saluran tergantung pada macam material atau bahan
yang membentuk saluran terbuka. Dimensi penyaliran bentuk trapesium dengan
luas penampang optimum dan mempunyai sudut kemiringan 600 , maka :
m = Cotg 𝛼
= Cotg 600
= 0,58
Sehingga harga b/d adalah :
B/h = 2 {(1+m2)0,5 – m}
B = 1,15 . h
Perhitungan kapasitas saluran terbuka dapat dihitung menggunakan rumus
Manning, yaitu :
Q = 1⁄𝑛. A . S1/2 . R2/3 …...……………………………………...(3.7)
Keterangan :
Q = Debit pengaliran maksimum (m3/detik)

29
A = Luas penampang (m2)
S = Kemiringan dasar saluran (%)
R = Jari-jari hidrolis (m)
n = Koefisien kekerasan dinding saluran menurut Manning (Tabel 3.4.)
Tabel 3.4
Koefisien Kekerasan Dinding Saluran Menurut Manning (n)

Tipe Dinding Saluran (n)

Semen 0,010 – 0,014

Beton 0,011 – 0,016

Bata 0,012 – 0.020

Besi 0,013 – 0,017

Tanah 0,020 – 0,030

Gravel/Kerikil 0,022 – 0,035

Tanah yang ditanam 0,025 – 0,040


Sumber : Rudy Sayoga, 1999
3.5.2 Sump
Sump tambang berfungsi sebagai tempat penampungan sementara air dan
lumpur sebelum di pompa ke luar tambang. Sump tambang dapat dibedakan
menjadi dua macam berdasarkan kegunaannya yaitu sump permanen dan sump
sementara (temporary sump). Sump permanen adalah sump yang berfungsi selama
penambangan berlangsung, dan umumnya tidak berpindah tempat. Sedangkan
sump sementara berfungsi dalam rentang waktu tertentu dan sering berpindah
tempat.
Dimensi sump tambang tergantung pada debit air limpasan, kapasitas pompa,
volume, waktu pemompaan, kondisi lapangan seperti kondisi penggalian terutama
pada lantai tambang (floor). Penentuan volume sump maksimum diperoleh dari
selisih volume grafik simulasi kinerja debit pemompaan versus debit air limpasan
yang masuk ke bukaan tambang (lihat gambar 3.3).
Setelah ukuran sump diketahui tahap berikutnya adalah menentukan lokasi
sump di bukaan tambang (pit). Pada prinsipnya sump diletakkan pada lantai

30
tambang (floor) yang paling rendah, jauh dari aktifitas penggalian material yang
ditambang, jenjang disekitarnya tidak mudah longsor, dekat dengan kolam
pengendapan, mudah untuk dibersihkan.

Gambar 3.3
Grafik Penentuan Volume Sump Air Tambang
3.5.3 Pompa
Pompa dan pipa digunakan dalam kegiatan penanganan air apabila air yang
masuk ke bukaan tambang tidak dapat dialirkan menurut hukum gravitasi. Air yang
keluar dari sump dianggap sebagai kapasitas pompa, karena penguapan dianggap
tidak berpengaruh.
Dalam perencanaan kebutuhan pompa, perlu diketahui debit yang diinginkan,
head yang dihasilkan berdasarkan rencana konstruksinya, kecepatan putaran mesin
(RPM), efisiensi, dan daya mesin. Kemudian dari faktor-faktor tersebut
dihubungkan dalam grafik spesifikasi pompa.
Head (julang) adalah energi yang diperlukan pompa untuk mengalirkan
sejumlah air menuju tempat yang ditentukan.
Perhitungan Head total pompa dapat ditulis sebagai berikut:
𝑉2
H = hs + hp + hf + (2.𝑔).....………………………………………..(3.8)

Keterangan:
H = Head Total Pompa (m)
hs = Head Statis (m)

31
hp = perbedaan Head tekanan pada kedua permukaan air (m)
hf = Head untuk mengatasi berbagai hambatan pada pompa dan pipa (m), meliputi
head gesekan pipa, head belokan dan lain-lain.
𝑉2
(2.𝑔) = Head kecepatan (m)

Head merupakan energi yang dibutuhkan untuk mengalirkan sejumlah air


seperti yang direncanakan, head total meliputi :
1. Head Statis Pompa
Merupakan head pompa yang diakibatkan oleh perbedaan tinggi antara muka
air di sisi keluar dan di sisi isap, secara matematis didapat dengan menggunakan
rumus:
hs= t2– t1…………………………..………………..……...(3.9)
Keterangan :
hs = head statis (m)
t2 = elevasi air pada sisi keluar (m)
t1 = elevasi air pada sisi isap (m)

2. Head tekanan (hp)


hp = hp2 – hp1.......................................................................(3.10)
𝜌𝑥𝑔𝑥ℎ
hp1,2 = ......................................................................(3.11)
𝛾

Keterangan :
hp1 = Julang tekanan pada sisi isap
hp2 = Julang tekanan pada sisi keluaran
hp = Julang tekanan (m)
𝜌 = Massa jenis (Kg/m3)
𝑔 = Percepatan gravitasi (m/detik2)
𝑘𝑔 𝑚
𝛾 = Berat Jenis [𝜌. 𝑔] (𝑚3 𝑥 𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘 2)

h = Tinggi dari permukaan air (m)

3. Head kecepatan (hv)


Head kecepatan merupakan head yang dibutuhkan pompa untuk mengatasi
kecepatan aliran air/fluida di dalam pipa.

32
Head kecepatan dinyatakan dengan persamaan :
𝑣2
hv= ( )…………..………………….....……………(3.12)
2. 𝑔
Keterangan :
hv = velocity head (m)
v2 = Kecepatan aliran fluida (air) dalam pipa (m/detik)
g = percepatan gravitasi bumi (m/detik2)

4. Head Loss (hf)


Head Loss (hf) energi untuk mengatasi kehilangan-kehilangan yang timbul
akibat aliran fluida yang terdiri dari kehilangan head gesek didalam pipa,
kehilangan head pada belokan, katup dan perubahan diameter pipa.
a. Head gesekan :
𝐿.𝑣 2
hf1 = λ( )……...…..............................................……(3.13)
2.𝐷.𝑔

Keterangan :
λ = Koefisien kerugian gesek (0,020 + 0,0005/D)
L = Panjang pipa (m)
v = Kecepatan aliran air dalam pipa (m)
g = Percepatan gravitasi (m/detik2)
D = Diameter dalam pipa (m)

b. Head Curve
Head Curve merupakan kerugian dalam pipa yang terjadi akibat adanya
belokan dan sambungan, head ini dapat ditentukan dengan mengggunakan
persamaan:
v2
hf2 = k ……………….………..……............................(3.14)
2g

Keterangan :
k = Koefisien tahanan, yang besarnya tergantung dari jenis sambungan
dan sudut belokan.
v = Kecepatan aliran air dalam pipa (m/detik)
g = Percepatan gravitasi (m/detik2)

33
𝐷 𝜃
k = [0,131 + 1,847 (2𝑅)3,5 ] x (90)0,5 ................................(3.15)
𝐷
R= 1 .........................................................................(3.16)
tan2 𝜃

Keterangan :
R = Jari-jari lengkung belokan pipa (m)
𝜃 = Sudut belokan pipa (°)
D = Diameter dalam pipa (m)

c. Head pada katup hisap


Perlu dilakukan pemasangan katup pada ujung pipa hisap agar kerikil yang
tidak memenuhi syarat tidak ikut terhisap.
𝑉2
hf3 = f [2.𝑔]...........................................................................(3.17)

Keterangan :
f = Koefisien kerugian pada katup isap (lihat tabel 3.5)
v = Kecepatan aliran dalam pipa (m/detik)
g = Percepatan gravitasi (m/detik2)

3.6 Kolam Pengendapan


Kolam pengendapan berfungsi sebagai tempat menampung air tambang
sekaligus untuk mengendapkan partikel-partikel padatan yang ikut bersama air dari
lokasi penambangan. Kolam pengendapan dibuat pada daerah terendah dari suatu
daerah penambangan, sehingga air akan masuk ke kolam pengendapan secara alami
dan selanjutnya dialirkan ke sungai melalui saluran pembuangan.
Kolam pengendapan akan berfungsi dengan baik apabila rancangan kolam
pengendapan yang akan dibuat sesuai dengan debit air limpasan yang akan
ditampung untuk pengendapan lumpur. Rancangan kolam pengendapan dari segi
geometri harus mampu untuk menampung debit air dari lokasi penambangan,
sedangkan dari segi operasional dapat menjamin partikel-partikel padatan
mempunyai waktu yang cukup untuk mengendap serta mudah dibersihkan dari
lumpur yang mengendap.
Dengan adanya kolam pengendapan, diharapkan air yang keluar dari daerah
penambangan sudah bersih dari partikel padatan sehingga tidak menimbulkan

34
kekeruhan pada sungai atau laut sebagai pembuangan akhir. Selain itu juga tidak
menimbulkan pendangkalan sungai akibat dari partikel padatan yang terbawa
bersama air.
Bentuk kolam pengendapan biasanya hanya digambarkan secara sederhana,
yaitu berupa kolam berbentuk empat persegi panjang, tetapi sebenarnya bentuk
tersebut dapat bermacam-macam, disesuaikan dengan keperluan dan keadaan
lapangannya. Walaupun bentuk kolam pengendapan dapat bermacam-macam,
menurut Huisman L (1977) terdapat empat zona sebagai akibat adanya proses
pengendapan partikel di dalam kolam pengendapan (lihat Gambar 3.4).
Empat zona tersebut adalah sebagai berikut :
a. Zona masukan, tempat dimana air lumpur masuk ke dalam pengendapan
dengan asumsi campuran air dan padatan terdistribusi secara seragam. Zona
ini panjangnya 0,5-1 kali kedalaman kolam (1).
b. Zona pengendapan, tempat dimana partikel padatan (solid) akan mengendap.
Panjang zona pengendapan adalah panjang kolam pengendapan dikurangi
panjang zona masuk dan keluaran (2).
c. Zona endapan lumpur, tempat dimana partikel padatan dalam cairan (lumpur)
mengalami pengendapan (terpisah dari cairan) dan terkumpul di dasar kolam
pengendapan (3).
d. Zona keluaran, tempat keluarnya buangan cairan yang jernih. Panjang zona
ini kira-kira sama dengan kedalaman kolam pengendapan, diukur dari ujung
lubang pengeluaran (4).
1. Ukuran Kolam Pengendapan
Luas kolam pengendapan secara analitis dapat dihitung berdasarkan
parameter dan asumsi sebagai berikut :
a. Hukum Stokes berlaku bila persen padatan kurang dari 40%, sedangkan untuk
persen padatan lebih besar dari 40% maka berlaku hukum Newton.
b. Diameter partikel padatan tidak lebih dari 9 x 10-6 m, karena jika lebih besar
akan diperoleh ukuran luas kolam yang tidak memadai.
c. Kekentalan air 1,31 x 10-6 kg/m.detik (Rijn,L.C.Van, 1985).
Luas kolam pengendapan dapat dihitung dengan menggunakan rumus :
𝑄𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙
A= 𝑉𝑡
..............................................................................(3.18)

35
Tabel 3.5
Koefisien kerugian dari berbagai katup
Jenis Diameter (mm)
Katup 100 150 200 250 300 400 500 600 700 800 900 1000 1200 1350 1500 1650 1800 2000
Katup 0,14 0,12 0,10 0,09 0,07 =0
Sorong
Katup kupu- 0,6-0,16 (bervariasi menurut konstruksi dan diameternya)
kupu
Katup putar 0,09-0,026 (bervariasi menurut diameternya)
Katup cegah 1,2 1,15 1,1 1,0 0,98 0,96 0,94 0,92 0,9 0,88
jenis ayun
Ketup cegah
tutup-cepat 1,2 1,15 1,1 1,0 0,9 0,8 0,7 0,6 0,5 0,4
jenis tekanan
Katup cegah
jenis angkat 1,44 1,39 1,34 1,3 12
bebas
Katup cegah
tutup-cepat 7,3 6,6 5,9 5,3 4,6
jenis pegas
0,9-0,5 (bervariasi menurut
Katup kepak - - - - - - - - -
diameternya)
Katup isap
dengan 1,97 1,91 1,84 1,78 1,72
saringan
Sumber : Sularso dan Haruo Tahara, 1987

36
Keterangan :
A = Luas kolam pengendapan (m2)
Q total = Debit air yang masuk kolam pengendapan (m3/detik)
𝑉𝑡 = Kecepatan pengendapan partikel padat (m/detik)
Adapun rumus dari hukum Stokes apabila persen padatan dalam aliran <40%
:
𝑔 𝑥 𝐷2 𝑥 (𝜌𝑠− 𝜌𝑎)
𝑉𝑡 = ..........................................................(3.19)
18 𝑥 𝜇

Keterangan :
v = Kecepatan pengendapan partikel (m/detik)
g = Percepatan gravitasi (m/detik2)
s = Massa jenis partikel padatan (kg/m3)

a = Massa jenis air (kg/m3)


 = Kekentalan dinamik air (kg/m.detik)
D = Diameter partikel padatan (m)

2. Persentase Pengendapan
Perhitungan persentase pengendapan ini bertujuan untuk mengetahui berapa
banyak padatan yang mampu terendapkan di dalam kolam pengendapan. Data-data
yang menunjang untuk perhitungan persentase pengendapan antara lain persen
padatan dan persen air (%) yang terkandung dalam lumpur, kecepatan pengendapan
partikel (m/detik), dan dimensi kolam pengendapan yang sudah ada. Perhitungan
persentase pengendapan ditempuh dengan rumursan sebagai berikut.
Waktu yang dibutuhkan partikel padat untuk mengendap dengan kecepatan
(vt) sejauh (h) adalah (Gambar 3.5):

tv = ..................................................................................(3.20)
𝑉𝑡

Keterangan :
tv = waktu pengendapan partikel padat (detik)
h = kedalaman kolam (m)
𝑚
𝑉𝑡 = kecepatan pengendapan partikel padat (𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘)

Waktu yang dibutuhkan partikel untuk keluar dari kolam pengendapan (th)
dengan kecepatan (vh) adalah :

37
𝑄𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙
𝑉ℎ = ............................................................................(3.21)
𝐴
Keterangan :
𝑉ℎ = kecepatan mendatar partikel padat (detik)
𝑚3
𝑄𝑇𝑜𝑡𝑎𝑙 = debit aliran air (𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘)

𝐴 = luas penampang aliran (perkalian lebar dan kedalaman kolam) (𝑚2 )


𝑃
th= ......................................................................(3.22)
𝑉ℎ

Keterangan :
th = waktu partikel padat keluar kolam (detik)
P = panjang keseluruhan kolam (m)
𝑚
𝑉ℎ = kecepatan mendatar partikel padat (𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘)

Proses pengendapan dapat berjalan dengan baik, apabila (tv) tidak lebih besar
dari (th) maka berlaku rumus.
th
Persentase pengendapan = 𝑥 100% ...............................(3.23)
(th +tv )

Keterangan :
th = waktu partikel padat keluar kolam (detik)
tv = waktu pengendapan partikel padat (detik)

3. Jadwal Perawatan Kolam Pengendapan


Setelah kapasitas kolam pengendapan terpenuhi oleh partikel padatan, maka
harus dilakukan perawatan berupa pengerukan kolam. Pengerukan kolam dilakukan
untuk menjaga kemampuan kolam mengendapkan partikel padat yang ada dalam
aliran air dengan baik sebelum dialirkan ke sungai atau saluran air alamiah lainnya.
Sebelum mengetahui jadwal pengerukan, perlu diperhitungkan banyaknya partikel
padatan yang dihasilkan per satuan waktu dengan rumusan sebagai berikut :

𝑉𝑃 = 𝑉𝑃𝑎𝑑 x 𝐷𝑅 x persentase pengendapan ........................(3.24)


Keterangan :
𝑚3
𝑉𝑃 = Volume Partikel Padatan (ℎ𝑎𝑟𝑖)
𝑚3
𝑉𝑃𝑎𝑑 = Volume Padatan dalam aliran (𝑑𝑒𝑡𝑖𝑘)
𝑗𝑎𝑚
𝐷𝑅 = durasi hujan per hari ( )
ℎ𝑎𝑟𝑖

38
Gambar 3.4
Pembagian zona dalam kolam pengendapan
Penentuan jadwal pengerukan dapat dihitung dengan persamaan sebagai
berikut :
𝑉
T = 𝑉𝑇 ...............................................................................(3.25)
𝑃
Keterangan :
T = jadwal pengerukan kolam pengendapan (hari)
𝑉𝑇 = volume total kolam pengendapan (𝑚3 )
𝑚3
𝑉𝑃 = volume padatan yang berhasil terendapkan (ℎ𝑎𝑟𝑖)

39

Anda mungkin juga menyukai