Anda di halaman 1dari 2

Meningkat, Ketidaknyamanan Bertetangga Dengan Gay

dan Lesbian
Share on facebookShare on twitterShare on googleShare on favoritesMore Sharing Services4

Redaksi 1 – Selasa, 13 Muharram 1434 H / 27 November 2012 09:15 WIB

BERITA TERKAIT
 Aksi Solidaritas Suriah, Team ke 3
 Berkenalan dengan Program Kaderisasi Ulama dan Cendekiawan Muslim
 UGM Menjadi Pesantren Tahfidz Quran
 Ratusan Intelektual Muslim Berkumpul Bahas Cara Menggugurkan “Dosa Investasi”
 Kutunggu Qurbanmu PKPU Lakukan Kampanye Unik “Ironi Tusuk Sate”

Oleh : Henri Shalahuddin, MIRKH*


Zaman berubah begitu cepat. Dulu, pecinta sesama jenis dianggap sakit mental dan menyimpang.
Sekarang kondisinya berbalik, penikmat homoseksual dianggap sah dan normal. Orientasi seksual
sejenis yang dipraktekkan kaum gay dan lesbi kini diyakini sebagai pilihan hidup yang harus dihormati
dan berhak mendapatkan perlindungan dari negara. Mereka sebagaimana kaum minoritas lainnya
juga berhak mengekspresikan hasrat seksualnya di tengah-tengah masyarakat. Orang-orang yang
tidak setuju dengan perilaku homoseks dicap intoleran, sakit jiwa dan homophobia.

Baru-baru ini, Lembaga Survei Indonesia (LSI) telah merilis hasil surveinya yang dianggap bertujuan
membidik masyarakat Islam tentang sikap terhadap pelaku liwath(homoseksual), penganut Syiah dan
Ahmadiyah. Dari survei yang dilakukan terhadap 1.200 responden pada 1 hingga 8 Oktober 2012,
LSI menyebutkan telah terjadi peningkatan cukup drastis tentang ketidaksukaan bertetangga dengan
kaum gay dan lesbian. Hasil survei pada tahun 2005 menunjukkan 64,7% dari responden
menyatakan tidak nyaman bertetangga dengan komunitas homoseksual. Namun angka tersebut
melonjak menjadi 80,6% pada tahun 2012.
Ardian Sopa, peneliti LSI menyimpulkan bahwa hasil survei tersebut menunjukkan sikap tidak toleran
di kalangan masyarakat meningkat. Dan responden yang menyatakan tidak toleran itu kebanyakan
adalah laki-laki, berpenghasilan rendah dan tidak terpelajar, katanya di sela-sela konferensi pers
pada minggu sore, 21/10/2012.

Mengamini pendapat Ardian Sopa, direktur “Denny JA Foundation” mengatakan bahwa hasil survei
tersebut menunjukkan betapa jalan panjang yang harus ditempuh Indonesia untuk bisa menerima
homoseksualitas. Sebab tingkat penerimaan masyarakat terhadap homoseksual jauh lebih rendah
berbanding dengan tingkat penerimaan mereka kepada penganut agama lain. Sebagai solusinya, ia
menyarankan agar pemerintah meningkatkan taraf kesejahteraan rakyat. Sebab sikap tidak toleran
biasanya hanya dilakukan orang miskin saja, jelas tokoh muda JIL yang juga alumni al-Azhar dan UI
ini. (lihat:http://www.thejakartapost.com/news/2012/10/22/homophobia-rise-survey-says.html).
Homoseksual dan Naluri Kriminal
Peran media massa sebagai garda terdepan penyalur informasi yang sehat, mendidik dan
membangun nampaknya kian terkikis. Pasca reformasi 1998, kebebasan pers dalam menyampaikan
informasi sangat longgar, nyaris tanpa batasan. Di satu sisi hal ini tentu berdampak positif, tetapi
kebebasan pers seperti ini juga sangat rentan menimbulkan anarkhisme, menampilkan keruwetan
pola hidup dan menawarkan sistem nilai sekular dengan judul yang bombastis dan sensasional.

Alih-alih berfungsi sebagai mediator pendidik masyarakat, media massa justru terseret ke limbah
liberalisme yang tidak bertanggung jawab. Media massa sering terlibat provokasi kebebasan tanpa
memperdulikan nilai-nilai agama dan budaya, bahkan sering menjelek-jelakkan komunitas muslim
dengan pencitraan yang buruk sekali. Label-label seperti preman berjubah, ekstrimis dan intoleran
selalu disematkan kepada kaum muslimin. Bahkan dengan data yang serampangan pesantren dan
rohis dikaitkan dengan lumbung teroris, kemudian menyusul ide aneh tentang sertifikasi muballigh.

Berkenaan dengan hasil survei LSI di atas, kesimpulan yang patut digarisbawahi adalah upaya
terang-terangan untuk menggambarkan orang yang tidak menyukai perilaku liwath sebagai kelompok
yang tidak toleran. Tidak puas sampai di sini, LSI menggambarkan orang-orang yang tidak toleran itu
berlatarbelakang pendidikan rendah dan berpenghasilan kecil. Jelas sekali LSI ingin menampilkan
opini bahwa orang yang tidak mau dekat-dekat dengan para pelaku liwath adalah kaum bodoh dan
miskin. Kalaulah benar ini merupakan target dari survei LSI, maka sama saja LSI ingin mengajarkan
“toleransi” dengan cara-cara yang tidak toleran. Sebab semua agama tidak membenarkan liwath dan
mengutuk pelakunya, apalagi mensosialisasikan liwath sebagai tindakan yang wajar. Maka survei LSI
ini ibarat mengutuk tamu yang tidak mau makan hidangan daging babi, lalu menyebutnya tidak
menghormati perasaan tuan rumah.
Orientasi seksual sesama jenis adalah salah satu bentuk sakit jiwa (mental disorder). Bahkan jika
merujuk QS. Al-A’raf 80-81 dalam tafsir al-Kasysyaf disebutkan bahwa homoseksual merupakan
tindakan kejahatan yang melampaui batas akhir suatu keburukan (al-sayyi’ah al-mutamadiyah fi l-
qubhi). Bahkan homoseksual adalah salah satu perbuatan jahat yang tidak dilakukan setan. Sebab
ketika setan meminta ditangguhkan sampai hari kiamat, ia berjanji akan beranak pinak dan
menggoda manusia untuk menemaninya di neraka kelak. Maka bagaimana mungkin menyebut
intoleran terhadap orang yang tidak menyukai perbuatan -yang setan pun enggan melakukannya?
Pelaku homoseks bukan saja jahat secara moral, tapi juga berpotensi berbuat kriminal yang
berlebihan, terlebih ketika mereka cemburu atau putus dengan pasangannya. Naluri kriminal pelaku
homoseksual patut diwaspadai. Sebab bukan hal mudah untuk mencari kekasih baru yang
berorientasi seksual yang ganjil seperti ini. Kasus-kasus pembunuhan berantai yang sangat sadis
sering melibatkan mereka yang memiliki orientasi seksual menyimpang. Sebut saja nama-nama
seperti Robot Gedhek, Ryan, Mujiyanto dan lain-lainnya. Maka bertetangga dengan pelaku homoseks
pun berkemungkinan besar membawa bahaya laten bagi masa depan anak-anak usia dini.

Penutup
Kebebasan berbasis HAM akhir-akhir ini selalu digunakan pers dan LSM-LSM liberal sebagai payung
untuk menyebarkan kejahatan moral. Sebab bagi kaum liberal, kejahatan yang terlarang hanya
dimaknai secara empirik dan berhubungan langsung dengan kriminal. Sedangkan hal-hal yang
berkenaan dengan moralitas dan pembangunan spiritual bukan termasuk prioritas yang penting. Bisa
jadi setelah ini akan bermunculan lomba survei menghujat ajaran Islam hanya karena tidak bisa
dikompromikan dengan paham-paham modern sekular, seperti feminisme, HAM dan lain-lain.

Maka akan lebih fair jika setiap survei disebutkan sumber dana, target dan tujuannya, sehingga
masyarakat dapat mengenal pasti kepentingan yang berperan di baliknya. Budaya dan agama yang
berkembang di Indonesia senantiasa menolak berkompromi dengan segala jenis kejahatan, baik
berupa kejahatan moral maupun kriminal. Jika kemudian bermunculan “survei” yang memandang
buruk terhadap pihak-pihak yang menolak perbuatan amoral, maka ia tidak lebih dari hasutan
berkedok survei. Dan di sinilah bedanya antara survei yang hakiki dan syuurr pay, wani piro?!
*Peneliti INSISTS (524)

Anda mungkin juga menyukai