Anda di halaman 1dari 14

1

BAB I

PENDAHULUAN

1.1 Latar Belakang


Penyakit Campak dikenal juga dengan istilah morbili dalam bahasa latin

dan measles dalam bahasa Inggris. Campak merupakan penyakit yang sangat

menular (infeksius) yang disebabkan oleh virus Ribonucleid Acid (RNA) dari

genus Morbilivirus dari keluarga Paramyxoviridae. Campak merupakan

penyakit penyebab utama kematian anak di negara berkembang termasuk

Indonesia. Diperkirakan 1,4 juta kematian anak diakibatkan karena penyakit

yang dapat dicegah dengan Imunisasi (PD3I) dan 38% kematian karena PD3I

disebabkan oleh penyakit campak (Depkes,2012).


Seharusnya saat ini Indonesia bersiap memasuki tahap eliminasi campak

dengan komitmen global pencapaian pengendalian penyakit campak pada

tahun 2015, namun hingga saat ini Indonesia belum bisa terlepas dari penyakit

campak. Data terakhir menyebutkan bahwa campak di Indonesia merupakan

penyakit terbanyak no 3 yang menyebabkan Kejadian Luar Biasa (KLB)

setelah keracunan makanan dan difteri (Depkes, Profil Kesehatan Indonesia

Tahun 2014,2015). Menurut World Health Organization (WHO) dan United

Nations Children’s Fund (UNICEF) Indonesia termasuk 47 negara yang

memiliki kasus campak terbesar, disebutkan bahwa setiap 20 menit satu anak

Indonesia meninggal akibat komplikasi campak (Depkes, 2008).


Data Kementrian Kesehatan menunjukkan bahwa mulai tahun 2006

sampai dengan 2016 jumlah kasus campak di Indonesia mengalami kenaikan

dan penurunan yang berbeda setiap tahun. Kasus campak tertinggi terjadi pada

tahun 2011 dengan jumlah kasus 1mencapai 4.993 dan jumlah KLB sebanyak
2

356 kejadian. Dalam kurun waktu 5 tahun terakhir dari 38 Kabupaten/Kota

yang ada di Indonesia, Provinsi Jawa Timur selalu menjadi salah satu Provinsi

dengan jumlah kasus campak tertinggi. Kasus tertinggi terjadi pada tahun

2014 tercatat sebanyak 1.429 kasus campak dengan total KLB sebanyak 47

kali yang tersebar di 14 Kabupaten/Kota di Jawa timur dengan 1 kematian.

Walaupun jumlah kasus campak pada tahun 2015 dan 2016 tidak sebanyak

pada tahun 2014, namun adanya kasus campak selalu diikuti dengan adanya

KLB.
Berdasarkan Data yang ditunjukkan oleh Dinas Kesehatan Kabupaten

Bangkalan dalam 5 tahun terakhir, diketahui bahwa jumlah kasus campak

tertinggi di Kabupaten Bangkalan terjadi pada tahun 2014 hingga mencapai

469 kasus dan 11 KLB, selanjutnya pada tahun 2015 terjadi penurunan

dengan jumlah kasus 103, namun jumlah KLB meningkat menjadi 25 kali.

Pada Tahun 2016 terjadi peningkatan kasus tiga kali lipat dibandingkan tahun

sebelumnya yaitu sebesar 353 kasus yang tersebar di 109 desa di Kabupaten

Bangkalan dengan 20 kali KLB. Jumlah kasus dan KLB di tahun 2016

menjadikan Kabupaten Bangkalan sebagai kabupaten dengan kasus campak

tertinggi di Jawa Timur.

Data kasus campak 3 tahun terakhir juga menunjukkan bahwa setiap tahun

peningkatan dan penurunan kasus di Kabupaten Bangkalan selalu diikuti

adanya KLB. Distribusi kasus dan KLB campak di Kabupaten Bangkalan

Tahun 2014-2016 dapat dilihat pada Tabel 1.1

TABEL 1.1 DISTRIBUSI KEJADIAN CAMPAK DAN KLB DI KABUPATEN BANGKALAN

TAHUN 2014 – 2016


3

Jumlah kasus Jml Kasus Jumlah desa Jumlah desa


Campak dengan
No Puskesmas Campak pada peristiwa kasus campak mengalami KLB
KLB
2014 2015 2016 2014 2015 2016 2014 2015 2016 2014 2015 2016
1 Bangkalan 46 52 43 10 18 36 9 11 8 1 2 6
2 Burneh 11 0 7 0 0 0 6 0 7 0 0 0
3 Socah 1 2 0 0 0 0 1 2 0 0 0 0
4 Jaddih 18 0 8 0 0 0 4 0 3 0 0 0
5 Kamal 23 7 13 0 0 0 9 4 8 0 0 0
6 Kwanyar 2 0 0 0 0 0 2 0 0 0 0 0
7 Sukolilo 4 1 4 0 0 0 3 1 3 0 0 0
8 Tragah 43 0 54 27 0 46 8 0 11 1 0 2
9 Tanah Merah 66 0 30 48 0 16 14 0 9 3 0 2
10 Blega 3 9 40 0 0 0 1 7 16 0 0 0
11 Galis 4 0 2 0 0 0 2 0 2 0 0 0
12 Banjar 6 0 2 0 0 0 5 0 2 0 0 0
13 Konang 30 0 41 22 0 32 5 0 7 1 0 3
14 Modung 7 5 20 0 0 7 4 2 3 0 0 1
15 Kedungdung 6 0 4 0 0 0 4 0 2 0 0 0
16 Arosbaya 13 0 16 0 0 5 3 0 4 0 0 1
17 Tongguh 7 0 6 0 0 5 4 0 2 0 0 1
18 Geger 110 13 3 72 13 0 11 4 2 4 2 0
19 Klampis 8 7 26 0 0 8 7 2 11 0 0 1
20 Sepulu 37 2 10 19 0 0 9 2 3 1 0 0
21 Kokop 18 0 3 0 0 0 8 0 3 0 0 0
22 Tanjung Bumi 6 5 21 0 5 20 4 1 3 0 1 2
TOTAL 469 103 353 198 36 171 123 36 109 11 25 20

Tabel 1.1 menunjukkan bahwa dari 22 Puskesmas, jumlah kasus campak

tertinggi pada tahun 2016 terjadi di Puskesmas Tragah. Yaitu 54 kasus dan 2

kali mengalami KLB campak. KLB campak terjadi di Desa Pamorah dan Desa

Banyu Besi. Situasi KLB menunjukkan bahwa kekebalan komunitas (Herd

Immunity) di daerah tersebut rendah. yang dimaksud dengan kekebalan

komunitas adalah keadaan seorang individu yang tidak imun terhadap suatu

penyakit menular tetapi memiliki kekebalan terhadap penyakit tersebut jika

dikelilingi oleh orang yang imun. Kekebalan komunitas penting peranannya


4

pada penyakit yang ditularkan antar manusia seperti campak, cacar air dan

rubella (Mursinah dkk., 2010).

KLB merupakan suatu ancaman dan masalah yang serius bagi suatu

wilayah. KLB dapat menyebabkan penyebaran atau penularan suatu penyakit

yang berakibat pada kematian, memberikan beban secara ekonomi akibat

penyerapan anggaran daerah sebagai biaya penanggulangan bahkan berdampak

pada hubungan politik yang terjadi akibat penyebaran penyakit lintas negara.

Kejadian penyakit campak mempunyai hubungan dengan aspek perilaku

(Green, 1980). Keadaan lingkungan (padatan hunian), pengetahuan masyarakat

mengenai kesehatan, status gizi dan keadaan cakupan imunisasi campak juga

merupakan faktor yang mempengaruhi kejadian campak. Menurut Depkes,

(2012), gizi yang baik menunjukkan serokonversi terhadap imunisasi campak

lebih tinggi dibandingkan dengan gizi buruk.

Menurut Depkes (2012) komplikasi campak sering terjadi pada anak usia

<5 tahun dan penderita dewasa usia > 20 tahun. Komplikasi campak pada

penderita malnutrisi, defisiensi vitamin A, serta penurunan imunitas dapat

menjadi lebih berat atau fatal. Anak yang mengalami campak kemungkinan

akan mengalami kecacatan seumur hidup seperti kebutaan, ketulian dan dapat

juga berujung pada kematian.

Berbagai upaya dilakukan oleh Puskesmas Tragah untuk mencegah

meningkatnya kasus dan KLB campak, diantaranya melakukan Outbreak

Response Immunization (ORI) dan penyelidikan epidemiologi dalam rangka

pemutusan penularan penyakit campak. Kegiatan ini menghabiskan dana

hingga ratusan juta. Hal ini menunjukkan bahwa KLB campak yang terjadi di
5

Kabupaten Bangkalan tidak hanya memberikan dampak terhadap masalah

kesehatan tetapi juga berdampak terhadap masalah non kesehatan yaitu

kerugian sosial ekonomi. Alasan inilah yang mendasari penulis tertarik untuk

meneliti faktor – faktor yang berpengaruh terhadap kejadian campak pada

peristiwa KLB campak di wilayah kerja Puskesmas Tragah.

1.2 Identifikasi Penyebab Masalah

Faktor – faktor yang


mempengaruhi kejadian
campak:
Kejadian Campak di
1. Status Immunisasi.. Wilayah Kerja Puskesmas
2. Status Gizi.
Tragah dengan jumlah
3. Kepadatan Hunian.
4. Status Vit.A. kasus sebanyak 54.
5. Sosial Ekonomi.
6. Jarak rumah ke Pelayanan
Kesehatan.
7. Umur pemberian vaksin.
8. Efikasi vaksin.
9. Pencatatan dan pelaporan.Gambar 1.2 Identifikasi Penyebab Masalah
10.Faktor – faktor
Pengetahuan risiko
Orang Tua yang mempengaruhi kejadian campak, meliputi :
1. Status Imunisasi
6

Imunisasi merupakan suatu upaya untuk meningkatkan kekebalan aktif

terhadap suatu antigen atau penyakit sehingga diharapkan dapat

melindungi terhadap penyakit tertentu (Depkes, 2005). Berdasarkan

Laporan Imunisasi Puskesmas Tragah disebutkan bahwa dalam kurun

waktu 5 tahun terakhir yaitu tahun 2012-2016 cakupan imunisasi campak

pada bayi dan anak sekolah (BIAS) di wilayah kerja Puskesmas Tragah

selalu mencapai target minimal cakupan imunisasi yaitu ≥95%, begitupun

juga dengan cakupan imunisasi tambahan berupa kegiatan kampanye

campak pada tahun 2011 mencapai >95%.

Imunitas yang rendah setelah imunisasi berpengaruh tidak langsung

terhadap terjadinya penyakit campak ataupun terjadinya wabah. Respon

imun terhadap imunisasi campak dipengaruhi oleh faktor host/ pejamu dan

faktor eksternal. Faktor dari pejamu meliputi: umur saat imunisasi, adanya

antibodi maternal, status gizi, faktor genetik dan adanya penyakit yang

diderita. Faktor dari luar dipengaruhi oleh kualitas dan kuantitas vaksin,

jadwal imunisasi dan rantai vaksin (Puslitbang PP, Balitbangkes, 2003).

2. Status Gizi
Anak dengan gizi kurang biasanya lebih mudah terserang penyakit

infeksi termasuk penyakit campak, hal ini dikarenakan pembentukan

antibodi tidak sempurna. Penelitian Purnomo (1996) menyebutkan bahwa

orang status gizi kurang berisiko 3 kali lebih besar untuk menderita

campak dibandingkan dengan orang dengan status gizi baik. Anak dengan

status gizi buruk mengeluarkan sekresi virus campak dalam waktu yang

lebih lama dibandinghkan dengan anak yang status gizinya baik. Hal ini
7

menunjukkan risiko sembuh lebih lama dengan bertambahnya masa

infeksi dan tingginya intensitas penularan pada orang lain.


Berdasar penelitian Casaeri (2003) dan Setyaningrum (2013), faktor

status gizi berhubungan dengan kejadian campak, maka peneliti tertarik

untuk mengetahui pengaruh status gizi terhadap kejadian campak di

wilayah kerja Puskesmas Tragah.


3. Kepadatan Hunian
Menurut Mohammad (1988), faktor ekonomi keluarga

mempengaruhi tingkat kesehatan. Salma P ( 2000) menyatakan bahwa

pendapatan keluarga yang kurang, mempunyai risiko 1,54 kali untuk

terjadinya campak pada anaknya. Dibandingkan dengan anak dari

keluarga yang memiliki pendapatan cukup. Social ekonomi

mempengaruhi kualitas hunian dan lingkungan tinggal.


Lingkungan yang kurang baik dapat mempercepat proses penularan

penyakit campak. Menurut Dibley (1987), (Soemirat, 1994), dan

(Gutierrez, et.al, 1996) menyatakan bahwa, beberapa faktor lingkungan

yang berkontribusi terhadap kejadian campak pada anak antara lain:

rumah/ tempat tinggal yang padat penghuninya, kondisi rumah dengan

ventilasi yang buruk, rumah yang didiami oleh beberapa keluarga


Anak yang tinggal pada tempat yang padat penghuni akan sangat

mudah tertular penyakit, apalagi jika di dalam rumah tersebut ada

penderita Anak yang tinggal dirumah yang padat hunian akan berpeluang

menderita campak 2,9 kali daripada anak yang tinggal di rumah tidak

padat (Duski, 2000).


4. Status Vitamin A
Anak yang menderita kekurangan vitamin A mudah sekali terserang

infeksi seperti infeksi saluran pernapasan akut, campak, cacar air, diare,
8

dan infeksi lainnya, karena adanya daya tahan anak tersebut menurun.

Kekurangan vitamin A mengurangi kemampuan T-cells untuk melawan

infeksi dan mengurangi mukosa yang menyebabkan bakteri lebih mudah

melekat di mukosa pernapasan sehingga terjadi infeksi pernapasan

(Setiawan dan Saroso, 2008)


Pada saat anak menderita campak, tubuh menggunakan vitamin A

secara berlebihan, sedangkan intake dan absorbsinya menurun. Vitamin A

berperan dalam mempertahankan lapisan epitel usus dan memperkuat

sistem imunitas seluler (Kandun, 1990). Defisiensi vitamin A akan

memperparah penderita campak dan memunculkan komplikasi. Hasil

penyelidikan Epidemiologi Puskesmas Tragah tahun 2016 menunjukkan

bahwa tidak ada satupun kasus yang mengalami komplikasi akibat

penyakit campak pada peristiwa KLB di wilayah kerja Puskesmas Tragah


5. Sosial Ekonomi
Faktor ekonomi keluarga memegang peranan besar dalam memilih

prioritas, sehingga mempengaruhi tingkat kesehatan (Mohammad, 1988).

Salma P (2000) menyatakan bahwa pendapatan keluarga kurang

mempunyai risiko 1,54 kali untuk terjadinya campak pada anaknya

‘dibanding anak dengan keluarga yang memiliki pendapatan cukup. Hal

yang sama ditunjukkan oleh penelitian Salma (2000) yang menyatakan

bahwa kondisi sosial ekonomi bukan merupakan penentu terjadinya

campak di Kota Serang.


Hasil observasi yang dilakukan di wilayah penelitian menunjukkan

bahwa status sosial ekonomi masyarakat bersifat homogen yaitu menengah

ke bawah dengan mata pencaharian utama adalah bertani dan tingkat

pendidikan rata-rata lulus SD atau sederajat.


9

6. Jarak rumah ke Pelayanan Kesehatan


Faktor yang berpengaruh terhadap kejadian drop out atau tidak

lengkapnya status imunisasi bayi antara lain adalah :factor jarak rumah

ketempat pelayanan imunisasi. Dengan jarak yang tidak terlalu jauh dari

pusat pelayanan kesehatan, diharapkan masyarakat dapat

memanfaatkannya untuk kesehatan keluarganya. Syafie (2007)

menyebutkan bahwa jarak sarana pelayanan imunisasi mempunyai

hubungan dengan status imunisasi anak.

Hasil penelitian Risma (2016) mengenai faktor determinan yang

mempengaruhi munculnya KLB Campak di Kabupaten Bangkalan,

disebutkan bahwa tidak ada hubungan yang bermakna secara statistik

antara jarak rumah responden dengan tempat pemberian imunisasi

campak. Hasil penelitian ini sejalan dengan penelitian Yuzar (2010)

mengenai pengaruh faktor disposisi, pendukung dan pendorong ibu

terhadap pemberian imunisasi campak di Puskesmas Swang Aceh Selatan,

menyebutkan bahwa tidak ada pengaruh jarak rumah ke tempat pelayanan

imunisasi.

Hasil penelitian lain seperti penelitian Ningrum (2008), Jannah (2009)

dan Prayogo (2009) yang menyebutkan bahwa tidak ada hubungan antara

jarak rumah ke tempat pelayanan imunisasi dengan kelengkapan imunisasi

bayi dan balita, hal ini dikarenakan ada kecenderungan tempat tinggal

responden dekat dengan unit pelayanan imunisasi.


10

7. Umur pemberian vaksin


Secara umum WHO menganjurkan pemberian imunisasi campak pada

umur 9 bulan. PAHO (Pan American Health Organization)

merekomendasikan pemberian imunisasi rutin pada umur 12 bulan dan

pemberian imunisasi tambahan secara berkala pada kampanye Pekan

Imunisasi Nasional untuk mencega hterjadinya KLB (Chin, 2000).

Hasil penelitian Risma (2016) mengenai faktor determinan yang

mempengaruhi KLB Campak di Kabupaten Bangkalan, disebutkan bahwa

tidak terdapat pengaruh umur pemberian imunisasi campak terhadap KLB

campak di Kabupaten Bangkalan. Artinya pemberian imunisasi campak

pada usia <9 bulan atau ≥9 bulan tidak berpengaruh terhadap munculnya

KLB campak. Hasil penelitian ini sejalan dengan hasil penelitian khotimah

(2008) dengan judul hubungan antara usia, status gizi dan status imunisasi

dengan kejadian campak balita, yang menyebutkan bahwa umur

pemberian imunisasi campak tidak berhubungan dengan kejadian campak

di Kabupaten Lebak.

8. Efikasi vaksin
Efikasi vaksin adalah suatu ukuran perbandingan rata-rata penyakit

campak pada orang yang terimunisasi dengan yang tidak terimunisasi

dalam suatu pemeriksaan klinis.Efikasi vaksin akan sedikit berkurang pada

nak-anak yang mendapatkan imunisasi pada usia 12-14 bulan (Dales dkk.,

1993).
Perhitungan efikasi vaksin di Kabupaten Bangkalan belum tentu

menggambarkan kondisi yang riil di lapangan. Hal ini dikarenakan

populasi berisiko yang diggunakan sebagai dasar perhitungan adalah


11

populasi yang tidak terimunisasi berdasarkan cakupan imunisasi campak

yang ada pada masing-masing desa. Sedangkan hasil penelitian

menunjukkan cakupan imunisasi campak di Kabupaten Bangkalan

sebagian besar tidak valid (Risma, 2016)


9. Pencatatan dan pelaporan
Kualitas pencatatan dan pelaporan imunisasi juga memiliki peran

penting untuk menghasilkan cakupan imunisasi yang berkualitas. Masalah

yang paling penting adalah validitas data cakupan imunisasi. Hasil Riset

Kesehatan Dasar (2013) menyebutkan bahwa hasil cakupan imunisasi

campak di Kabupaten Bangkalan hanya mencapai 17,6 % sangat berbeda

dengan laporan cakupan imunisasi campak kabupaten Bangkalan yang

mencapai 94%.

Penderita campak pada umumnya jarang mencari pengobatan ke

pelayanan kesehatan, sehingga tidak tercatat dalam system pelaporan yang

sudah ada. Oleh sebab itu, perlu peran aktif kader atau petugas desa siaga

untuk mendorong masyarakat melaporkan ke petugas kesehatan terdekat

apabila menemukan adanya kasus campak di daerahnya. Kasus campak

yang tidak datang ke pelayanan kesehatan dapat dilaporkan melalui kader

atau petugas desa siaga atau petugas kesehatan terdekat. Kasus campak

yang dilaporkan oleh kader/ petugas desa siaga harus dikonfirmasi oleh

petugas puskesmas sebelum dicatat kedalam form C1 campak.

Setiap kasus campak yang datang ke pelayanan kesehatan ditindak

lanjuti dengan melakukan pencarian informasi kasus tambahan di sekitar

tempat tinggal penderita. Apabila ditemukan kasus tambahan dicatat dalam


12

laporan C1 campak, jika jumlah kasus memenuhi kriteria KLB, maka

dilakukan penyelidikan epidemiologi KLB. Petugas surveilans puskesmas

harus memastikan bahwa setiap kasus campak yang ditemukan, baik yang

berasal dari dalam maupun dari luar wilayah kerja, telah dicatat dalam

form C1 campak dan dilaporkan ke Dinas Kesehatan Kabupaten/Kota.

10. Pengetahuan Orang Tua


Notoatmodjo (2002) menyatakan bahwa pengetahuan atau kognitif

merupakan domain yang sangat penting dalam membentuk tindakan

seseorang (overt behavior). Menurut WHO, pengetahuan diperoleh dari

pengalaman sendiri atau pengalaman orang lain. Hasil penelitian Siregar

pada kejadian KLB di Bogor tahun 2002, ibu yang mempunyai

pengetahuan rendah, anaknya mempunyai risiko 2,03 kali untuk menderita

sakit campak dibandingkan dengan ibu yang mempunyai pengetahuan

cukup.
1.3 Batasan Masalah
Berdasarkan identifikasi masalah, maka peneliti membatasi masalah

penelitian ini pada faktor status gizi, status imunisasi, padatan hunian dan

pengetahuan orang tua yang berpengaruh terhadap kejadian campak di

wilayah kerja Puskesmas Tragah.


1.4 Rumusan Masalah
Berdasarkan batasan masalah yang telah disebutkan, maka peneliti ingin

mengetahui Bagaimana pengaruh faktor status gizi, status imunisasi, padatan

hunian, dan pengetahuan orang tua terhadap kejadian campak di wilayah

kerja Puskesmas Tragah.


1.5 Tujuan Penelitian
1. TujuanUmum
Menganalisis faktor yang berpengaruh terhadap kejadian campak di

wilayah kerja Puskesmas Tragah


13

2. TujuanKhusus
1) Menganalisis pengaruh status gizi responden terhadap kejadian campak di

wilayah kerja Puskesmas Tragah.


2) Menganalisis pengaruh status imunisasi responden terhadap kejadian

campak di wilayah kerja Puskesmas Tragah.


3) Menganalisis pengaruh kepadatan hunian responden terhadap kejadian

campak di wilayah kerja Puskesmas Tragah.


4) Menganalisis pengaruh pengetahuan orang tua terhadap kejadian campak di

wilayah kerja Puskesmas Tragah.

1.6 Manfaat Penelitian


1.6.1 Manfaat Teoritis
Mengembangkan dan menambah pengetahuan tentang faktor – faktor

yang mempengaruhi kejadian campak di wilayah kerja Puskesmas Tragah.


1.6.2 Manfaat Praktis
a. Bagi Profesi Keperawatan
1) Sebagai Masukan bagi profesi keperawatan dalam bidang

pengembangan ilmu keperawatan komunitas.


2) Sumber motivasi untuk menemukan metode penanggulan penyakit

menular (campak) sebagai alternatif selain dengan Imunisasi.


b. Bagi Puskesmas
Sebagai tambahan informasi bagi Puskesmas dalam penyuluhan

kesehatan masyarakat tentang pencegahan penularan penyakit campak.


c. Bagi Institusi Pendidikan

1) Sebagai sumbangan ilmiah bagi mahasiswa Jurusan Keperawatan

di STIKes Ngudia Husada Madura.

2) Sebagai data dasar dan pembanding bagi penelitian selanjutnya

dalam melaksanakan penelitian yang terkait dengan faktor – faktor

yang mempengaruhi kejadian campak.

d. Bagi Masyarakat
14

Menambah pengetahuan masyarakat tentang faktor – faktor yang

mempengaruhi kejadian campak. Sehingga kejadian KLB campak

dapat di cegah.

Anda mungkin juga menyukai