Anda di halaman 1dari 5

PERSAHABATAN TERLARANG

Sejak pertemuan itu, aku dan Devan mulai bersahabat. Kami bertemu tanpa sengaja mencoba
akrab satu sama lain, saling mengerti dan menjalani hari-hari penuh makna. Pesahabatan
dengan jarak yang begitu dekat itu membuat kami semakin mengenal pentingnya hubungan
ini.

Tak lama kemudian, aku harus pergi meninggalkannya. Sesungguhnya hatiku sangat berat
untuk ini, tapi apa boleh buat. Pertemuan terakhirku berlangsung sangat haru, tatapan penuh
canda itu mulai sirna dibalut dengan duka mendalam.

“Van maafkan aku atas semua kesalahan yang pernah ku lakukan, ya.” Kataku saat ia berdiri
pas di depanku.

“kamu gak pernah salah Citra, semua yang udah kamu lakukan buat aku itu lebih dari
cukup.”

“pleace, tolong jangan lupain aku, Van”

“ok, kamu nggak usah khawatir.” Sesaat kemudian mobilku melaju perlahan meninggalkan
sesosok makhluk manis itu.

Ku lihat dari dalam tempatku duduk terasa pedih sangat kehilangan. Jika nanti kami
dipertemukan kembali ingin ku curahkan semua rasa rinduku padanya. Itu janji yang akan
selalu ku ingat. Suara manis terakhir yang memberi aku harapan.

Awalnya persahabatan kami berjalan dengan lancar, walau kami telah berjauh tempat tinggal.
Pada suatu ketika, ibu bertanya tentang sahabat baruku itu.

“siapa gerangan makhluk yang membuatmu begitu bahagia, Citra?” tanya ibu saat aku sedang
asyik chatingan dengan Devan.

“ini, ma. Namanya Devan. Kami berkenalan saat liburan panjang kemarin.”

“seganteng apa sich sampai buat anak mama jadi kayak gini?”

“gak tahu juga sih ma, pastinya keren banget deh, tapi nggak papah kan, Ma aku berteman
sama dia.?”

“Apa maksud kamu ngomong kayak gitu?”

“kami berbeda agama, Ma”

“hah??,” sesaat mama terkejut mendengar cerita ku. Tapi beliau mencoba menutupi rasa
resahnya. Aku tahu betul apa yang ada di fikiran mama, pasti dia sangat tidak menyetujui
jalinan ini. Tapi aku mencoba memberi alasan yang jelas terhadapnya.

Sehari setelah percakapan itu, tak ku temui lagi kabar dari Devan, aku sempat berfikir apa dia
tahu masalah ini,,? Ku coba awali perbincangan lewat SMS..
“sudah lama ya nggak bertemu? Gimana kabarnya nech,,? “

Pesan itu tertuju kepadanya, aku masih ingat banget saat laporan penerimaan itu. Berjam-jam
ku tunggu balasan darinya. Tapi tak ku lihat Hp ku berdering hingga aku tertidur di buatnya.
Tak kusangka dia tak membalas SMS ku lagi.

Tak kusangka ternyata mama selalu melihat penampilan ku yang semakin hari semakin layu.

“citra, maafkan mama ya, tapi ini perlu kamu ketahui. Jauhi anak itu, tak usah kamu ladeni
lagi.” Suara mama sungguh mengagetkan ku saat itu. Ku coba tangkap maknanya. Tapi
sungguh pahit ku rasa.

“apa maksud mama?”

“kamu boleh kok berteman dengan dia, tapi kamu harus ingat pesan mama. Jaga jarak ya,
jangan terlalu dekat. Mama takut kamu akan kecewa.”

“mama ngomong paan sih,? Aku semakin gak mengerti.”

“suatu saat kamu pasti bisa mengerti ucapan mama” mamapun pergi meninggalkan ku
sendiri.. Aku coba berfikir tenteng ucapan itu. Saat ku tahu jiwa ini langsung kaget di
buatnya.. tak terasa tangispun semakin menjadi-jadi dan mengalir deras di kedua pipiku.
Mama benar kami berbeda agama dan nggak selayaknya bersatu kayak gini. tapi aku semakin
ingat kenangan saat kita masih bersama.

Satu tahun telah berlalu, bayangan tentangnya masih teikat jelas di haitku. Aku belum bisa
melupakannya. Mungkin suatu saat nanti dia kan sadar betapa berharganya aku nutuknya.

Satu harapan dari hatiku yang paling dalam adalah bertemu dengannya dan memohon
alasannya mengapa ia pergi dari hidupku secepat itu tanpa memberi tahu kesalahanku hingga
membuat aku terluka.

Pernah aku menyesali pertemuan itu. Tapi aku menyadari betapa berartinya ia di hidupku.
Canda tawa yang tinggal sejarah itu masih terlihat jelas di benakku dan akan selalu ku kenang
menjadi bumbu dalam kisah hidupku.

Devan, kau adalah sahabat yang paling ku banggakan. Aku menunggu cerita-ceritamu lagi.
Sampai kapanpun aku akan setia menunggu. Hingga kau kembali lagi menjalani kisah-kisah
kita berdua.
TAMAT
JERUJI PENEBUS DOSA

Pagi-pagi sekali, Zul sudah terbangun dari tidur nyenyaknya. Dengan


cekatan ia memasak air di teko, menanak nasi, dan memanaskan sayur lodeh sisa
semalam, lalu dia mengerjakan sholat Subuh. Dzikirnya terhenti ketika dia
mendengar bunyi “nyiiit” yang menandakan air sudah mendidih. Dengan sigap ia
mematian kompor dan dituangkannya air dalam teko itu ke teko plastik yang sudah
berisi bubuk teh. Ia tunggu sekitar lima menit sebelum menuangkannya ke dalam
tiga buah gelas belimbing.
Kesibukannya terhenti ketika Zul merasa telinganya mendengar sesuatu. Ia
menajamkan telinganya, berusaha memperjelas suara itu. Akhirnya dia paham suara
yang dia dengar barusan. Ia menghela nafas dan merasa kecewa terhadap
bapaknya.
Ibu Zul sedang di rumah neneknya karena sudah tidak tahan setiap hari
disiksa Bagio, panggilan akrab bapak Zul. Bapak Zul memang keterlaluan. Lebih
keterlaluan lagi dia sering membawa perempuan lain ke kamarnya. Anak muda itu
jadi sangat membenci bapaknya. Sebagai orang yang lebih tua, tidak pernah
memberikan panutan yang baik. Kali ini terdengar cekikikan dari kamar bapaknya.
Ia segera pergi dan masuk ke kamar Asih, adiknya. Dia bangunkan adiknya
yang masih tertidur pulas itu dengan menggoyang-goyangkan kaki adiknya. Segera
dia perintahkan adiknya untuk mengambil wudhu dan sholat Subuh. Kemudian,
segera dia berikan beberapa lembar uang kepada Asih untuk bayar sekolah. Sudah
seminggu Asih dilarang bersekolah karena belum membayar uang SPP selama 3
bulan. Zul tentu tak ingin nasib adiknya sama seperti dia yang putus sekolah.
Sekilas Zul yang sedang sarapan dengan adiknya berharap-harap cemas,
jangan sampai suara-suara ‘surga dunia’ itu terdengar oleh adiknya yang masih
kecil. Tepat saat Asih pergi pintu kamar bapak terbuka. Bapak keluar dengan
memakai celana pendek dan rambut yang masih awut-awutan. Disuruhnya Zul
mengambilkannya rokok dan dinyalakannya sebatang rokok itu. Baru saja Zul
hendak melirik ke kamar bapaknya, muncullah sosok yang ditunggu-tunggunya.
Seorang wanita muda, berparas manis, keluar dari kamar bapaknya dengan
baju tidur yang acak-acakan. Astaghfirullah Hal Adzim, batin Zul berbisik. Zul
langsung membereskan piring bekas makan Asih dan segera pergi ke dapur.
Tiba-tiba bapaknya memanggilnya. Zul segera menghampiri bapaknya.
Bapaknya hanya mengeluh atas makanan yang ada, tidak menyadari apa yang telah
dia lakukan. Zul coba membantah, namun sebuah tamparan mendarat di pipinya.
Sebelum pergi, ia berteriak di depan kamar bapaknya bahwa ia tidak ingin
wanita itu ada saat Asih sudah pulang. Zul bekerja kepada Pak Atmo sebagai kernet
angkot, kadang-kadang ia juga menjadi sopir. Selain itu, Zul juga membantu Abah
Liem mengantarkan beras di pasar.
Sebenarnya Pak Atmo merasa kasihan pada Zul. Pak Atmo menngompres
pipi Zul. Setelah agak baikan, Zul mulai bekerja. Zul adalah anak yang sangat baik.
Pak Atmo berharap punya anak sebaik Zul.
----
Muslih yang sedang bekerja jadi tukang parkir berteriak pada Zul bahwa
rumah Zul kebanjiran. Muslih segera menghampiri angkot Zul yang berhenti di dekat
mini market dan menitipkan salam untuk adiknya yang bekerja di bengkel dan
memberi tahu bahwa ia tidak bisa pulang.
Zul teringat ibunya yang sakit dan Asih yang masih di sekolah. Untung di
angkot Cuma tinggal dua penumpang. Ia segera mengantarkan penumpangnya dan
bergegas pulang. Zul terpaksa meninggalkan angkotnya di pinggir jalan karena
macet. Banjir sudah setinggi betisnya. Zul bertanya kepada para tetangga, namun
mereka sibuk menyelamatkan diri dan harta benda mereka.
Zul semakin panik, ia berjuang melewati kayu-kayu yang hanyut berserakan
di jalan setapak menuju rumahnya. Darah mulai mengalir dari tubuhnya. Pintu rumah
sudah jebol terhantam air. Ibu menggigil kedinginan di atas meja makan dengan
pakaian yang sudah basah. Ia segera membopong ibunya tanpa memperdulikan
barang-barang yang lain.
Sesampainya di pengungsian, Zul membaringkan tubuh ibunya di atas
sebuah tikar. Untunglah ada Yu Narsih yang memberikan kaos kering dan selimut
untuk ibu. Tetangga-tetangga Zul mulai mengeluh dan mengolok-olok pemerintah,
tapi Zul tetap tak mendengarkan. Ia bergegas ke sekolah untuk menjemput Asih.
Untunglah Asih sudah pulang bersama Pak Paijo, penjaga sekolah sekaligus
tetangga Zul.
Hari sudah sore, bantuan belum juga datang. Keadaan pengungsi semakin
memprihatinkan. Bantuan datang, Zul langsung berlari menuju mobil box yang
mengirimkan bantuan. Tapi hanya ada mi instan dan beras. Tak ada alat untuk
memasak. Tiba-tiba datang lagi sebuah mobil box, kali ini berisi nasi bungkus. Mi
instan yang ada di tangannya langsung dilempar untuk mendapatkan 3 buah nasi
bungkus dan air mineral di tengah kerumunan warga yang juga berusaha
mendapatkan bantuan.
Sesegera mungkin Zul kembali ke Asih dan ibunya. Tiba-tiba terdengar
teriakan dari Asih. Rupanya, Bapak telah datang. Ia masih menagih uang yang
diberikan Zul kepada ibu. Zul marah sekali melihatnya. Ditariknya baju bapaknya.
Saat Zul melihat mata bapaknya, ia tahu bahwa bapak mabuk. Bapak tidak peduli
pada Zul dan tetap menagih uang pada ibu. Zul membentak bapaknya dengan keras
tapi sebuah pukulan melayang ke pipi kirinya.
Perasaan Zul betul-betul kacau karena panik. Ia tak bisa berfikir dengan
jernih. Ketika matanya memandang sebuah batu yang cukup besar di samping nisan
diambilnya batu itu dan dipukulkan berkali-kali ke punggung bapaknya. Yang ada
dalam pikirannya hanya satu, yaitu menyelamatkan ibunya. Bapak terkapar
berlumuran darah. Hujan kembali mengguyur. Menghanyutkan sebagian darah
bapak dan air mata Zul.
----
Dengan dikawal dua orang polisi, Pak Atmo dan Zul berjalan melewati
lorong rumah sakit menuju ruang ICU. Zul melihat ibu dan Asih duduk di ruang
tunggu ICU. Zul segera menghampiri ibunya dan berlutut di hadapannya. Syukurlah,
Bapak Zul masih hidup dan dokter menawarkan kepada Zul untuk menengok
bapaknya. Bapak terbaring telungkup karena luka di punggungnya belum kering. Zul
hanya bisa memandangi bapaknya tanpa berkata apapun. Kemudian digenggamnya
tangan bapaknya.
Tiba-tiba dirasakannya sedikit gerakan pada tangan bapak. Zul memanggil-
manggil bapaknya. Tak disangka, mata bapak terbuka perlahan-lahan. Dokter Harjo
masih merasa terkejut bapak bisa sadar dari komanya dan sanggup berbicara.
Bapak memandangi Zul dengan tenang dan tanpa ada rasa dendam di wajah bapak.
Baru kali ini dia melihat wajah bapak yang tenang tanpa emosi. Mata bapak kembali
terpejam setelah memberikan seulas senyuman pada Zul.
Zul menangis tersedu-sedu. Tubuhnya lemas, sampai-sampai dia harus
dipapah dokter Harjo untuk keluar dari ruang ICU. Zul terduduk lemas di kursi. Zul
tak menyangka ia telah membunuh bapaknya sendiri. Polisi kembali memborgol
tangannya. Zul hanya bisa pasrah. Tapi ia yakin, bapaknya sudah memaafkannya.
Dengan langkah lunglai, Zulkifli atau biasa dipanggil Zul meninggalkan
rumah sakit dengan dikawal dua polisi. Menuju jeruji besi yang telah menantinya.
Tak henti-hentinya Zul berdo’a agar Allah mau mengampuninya dan menerima
taubatnya.

Penokohan :
 Zul : Penyayang, pekerja keras, sabar
Bukti : Penyayang: Sangat menyayangi adik dan ibunya. Bahkan ketika banjir datang,
ia langsung menyelamatkan ibunya.
Pekerja keras: Ia bekerja untuk memenuhi kebutuhan keluarga, serta membiayai
sekolah adinya tanpa mengeluh

Sabar :
 Bapak/Bagio
Zul tetap sabar menghadapi bapaknya yang sering menyiksa ibunya.
: Kasar, pemalas, egois,
Bukti : Kasar: Bagio menampar dan memukul anaknya sendiri dan menyiksa istrinya.
Pemalas: Tidak mau bekerja, hanya berjudi, menagih uang, dan mau makan
enak.
Egois: Tetap menagih uang walaupun dalam keadaan susah pada saat banjir.
 Asih : Rajin, terima apa adanya
Bukti : Rajin: Rajin bersekolah walaupun dalam keadaan yang pas-pasan. Tidak
bermalas-malasan
Terima apa adanya: Bersekolah tanpa mengeluh, maupun ketika makan, tidak
mengeluh.
 Pak Atmo : Peduli, dermawan
Bukti : Peduli: Pak Atmo peduli dengan Zul yang ingin bekerja untuk memenuhi
kebutuhan keluarga. Sehingga memberi Zul pekerjaan sebagai sopir angkot.
Dermawan: Memberi uang pada Zul untuk biaya sekolah Asih.
 Muslih : Peduli, patuh
Bukti : Peduli: Memberi tahu Zul bahwa rumahnya kebanjiran.
Patuh: Mematuhi aturan dan perintah dari atasan dalam bekerja.
 Ibu : Lembut, lemah
Bukti : Lembut: Tidak pernah membentak Zul, Asih, maupun Bapak.
Lemah: Tidak punya kekuatan melawan baak, sehingga selalu disiksa.
 Yu Narsih : Dermawan
Bukti : Memberi selimut dan pakaian kepada ibu Zul dengan ikhlas.

Anda mungkin juga menyukai