Anda di halaman 1dari 23

2.1.

3 Patofisiologi

Denominator umum pada penyakit klinis AIDS adalah imunosupresi berat, terutama imunitas seluler
yang menyebabkan timbulnya berbagai infeksi oportunistik dan neoplasma, limfosit yang berasal dari
timus-limfosit T-yang secara fenotipe didefinisikan oleh antigen permukaan CD4 adalah sasaran utama.
CD4 berfungsi sebagai reseptor virus. Untuk infeksi, dibutuhkan dua ko-reseptor virus, dan dua reseptor
kemokin-CCR5 dan CXCR4-telah diketahui melakukan peran ini (Kahn dan Walker 1998 dalam
Cunningham et al, 2005). Setelah terjadi fusi sel-virus, HIV akan melepaskan single strand RNA (ssRNA)
ke dalam sitoplasma sel pejamu, maka terjadi transkripsi terbalik (reserve transcription) dari satu untai-
tunggal RNA menjadi DNA salinan (cDNA) untai-ganda virus. Dengan demikian, DNA virus dapat
diintegrasikan ke dalam DNA sel seumur hidup sel tersebut. Setelah terintegrasi dengan kromosom
pejamu, maka dua untai DNA sekarang menjadi provirus. Provirus menghasilkan RNA messenger
(mRNA), yang meninggalkan inti sel dan masuk ke dalam sitoplasma. Protein-protein virus dihasilkan dari
mRNA yang lengkap dan telah mengalami splicing (penggabungan). Tahap akhir produksi virus
membutuhkan suatu enzim virus yang disebut HIV protease, yang memotong dan menata protein virus
menjadi segmen-segmen kecil yang mengelilingi RNA virus, membentuk partikel virus yang menular yang
menonjol dari sel penjamu. Pada saat yang sama, viremia yang terjadi dapat dideteksi dan dikuantifikasi
dengan berbagai pemeriksaan RNA virus.

Gambar 2.1 siklus hidup human immunodeficiency virus

Setelah infeksi awal, kadar viremia biasanya berkurang sampai mencapai pada suatu titik patokan (set
point). Kadar virus yang tinggi dalam darah dapat diturunkan oleh sistem imun tubuh. Proses ini
berlangsung berminggu-minggu sampai terjadi keseimbangan antara pembentukan virus baru dan upaya
eliminasi oleh respon imun. Titik keseimbangan disebut set point dan amat penting karena menentukan
perjalanan penyakit selanjutnya. Pasien dengan beban virus tertinggi lebih cepat mengalami AIDS dan
kematian (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham et al, 2005). Setelah infeksi, jumlah sel T menurun
secara perlahan dan progresif seiring dengan waktu, sehingga akhirnya terjadi imunosupresi berat.
Monosit-makrofag juga dapat terinfeksi, dan infeksi pada sel mikroglia otak dapat menyebabkan kelainan
neuropsikiatrik.

Serokonversi (perubahan antibodi negatif menjadi positif) terjadi 1-3 bulan setelah infeksi, tapi pernah
juga dilaporkan sampai 8 bulan. Menurut Centre for Disease Control and Prevention (1998) antibody
dapat dideteksi pada 95% pasien dalam waktu 6 bulan setelah infeksi. Kemudian pasien akan memasuki
masa tanpa gejala, dalam masa ini terjadi penurunan bertahap jumlah CD4 (normal 800-1000) yang
terjadi setelah replikasi persisten HIV dengan kadar RNA virus relative konstan. Mula-mula penurunan
jumlah CD4 sekitar 30-60/tahun, tapi pada 2 tahun terakhir penurunan jumlah CD4 menjadi lebih cepat,
50-100/tahun, sehingga tanpa pengobatan, rata-rata masa infeksi HIV sampai masa AIDS adalah 8-10
tahun, dimana jumlah CD4 akan mencapai dibawah 200.

Gambar 2.2 Perjalanan infeksi HIV tanpa terapi ARV Bartlett JG, Gallant JE (2004) Medical management
of HIV infection, p.1

2.1.4 Manifestasi Klinis

Masa tunas sejak pajanan sampai timbul gejala klinis biasanya beberapa hari sampai beberapa minggu.
Penyakit akut serupa dengan sindrom virus lainnya dan biasanya berlangsung kurang dari 10 hari. Gejala
umum adalah demam dan keringat malam, rasa lelah, ruam, nyeri kepala, limfadenopati, faringitis,
mialgia, artralgia, mual, muntah, dan diare (Kahn dan Walker 1998 dalam Cunningham, 2005).

Infeksi HIV memberikan gambaran klinik yang tidak spesifik dengan spektrum yang lebar, mulai dari
infeksi tanpa gejala (asimptomatik) pada stadium awal sampai pada gejala-gejala yang berat pada
stadium lanjut. Setelah diawali dengan infeksi akut, maka dapat terjadi infeksi kronik asimptomatik
selama beberapa tahun disertai replikasi virus secara lambat. Kemudian setelah terjadi penurunan
sistem imun yang berat, terjadi infeksi oportunistik dan dapat dikatakan pasien telah masuk pada
keadaan AIDS. Perjalanan penyakit HIV dibagi dalam tahap-tahap berdasarkan keadaan klinis dan jumlah
CD4 :

1. Infeksi retroviral akut

Setelah terjadi infeksi HIV mula-mula bereplikasi dalam kelenjar limfe regional. Hal tersebut berakibat
terjadinya peningkatan jumlah virus secara cepat di dalam plasma, biasanya lebih dari 1 juta kopi / ml.
Fase ini disertai dengan penyebaran HIV ke organ limfoid, saluran cerna dan saluran genitalia. Setelah
mencapai puncak viremia jumlah virus atau viral load menurun bersamaan dengan berkembangnya
respon imunitas seluler pada pejamunya. Puncak viral load dan perkembangan respon imunitas seluler
berhubungan dengan kondisi penyakit yang simtomatik pada 60 hingga 90% pasien. Penyakit ini muncul
dalam kurun waktu 3 bulan setelah infeksi. Penyakit ini menyerupai ‘glandular fever’ like illness dengan
ruam, demam, nyeri kepala malaise dan limfadenopati luas. Sementara itu tingginya puncak viral load
selama infeksi primer tidak menggambarkan perkembangan penyakit tapi terkait dengan beratnya
keluhan yang menandakan prognosis yang jelek. Fase ini mereda secara spontan dalam 14 hari.

2. Masa asimptomatik

Dengan menurunnya penyakit primer kebanyakan pasien mengalami masa asimtomatis yang lama,
namun selama masa tersebut replikasi HIV terus berlanjut, dan terjadi kerusakan sistem imun. Pada
masa ini pasien tidak menunjukkan gejala, tetapi dapat terjadi limfadenopati generalisata. Penurunan
jumlah CD4 terjadi bertahap. Masa ini disebut juga ’window periode’. Median waktu masa ini adalah
sekitar 10 tahun (Faunci dan Lane 1994 dalam Cunningham, 2005).

3. Masa gejala dini

Pada masa ini jumlah CD4 berkisar antara 100-300. Gejala yang timbul adalah akibat infeksi pneumonia
bakterial, kandidosis vagina, sariawan, herpes zoster, leukoplakia, ITP, dan tuberkulosis paru. Gejala
konstitusional yang mungkin berkembang seperti demam, berkurangnya berat badan, kelelahan, nyeri
otot, nyeri sendi dan nyeri kepala. Diare berulang dapat terjadi dan menjadi masalah. Sinusitis bakterial
merupakan manifestasi yang sering terjadi. Nefropati HIV dapat juga terjadi pada stadium ini.

4. Masa gejala lanjut

Pada masa ini jumlah CD4 dibawah 200. Penurunan daya tahan tubuh yang lanjut ini menyebabkan risiko
tinggi terjadinya infeksi oportunistik berat atau keganasan. Hitung CD4 yang kurang dari 200 dianggap
definitif untuk diagnosis AIDS.

Panjangnya waktu dari mulai terinfeksi HIV sampai menunjukkan gejala yang terkait dengan sistem
penurunan kekebalan tubuh akan tergantung dari kondisi sistem kekebalan tubuh seseorang dan usaha
yang dilakukannya. WHO memperkirakan 60% orang dewasa yang mengidap HIV akan berkembang
menjadi AIDS dalam waktu 12-13 tahun setelah terinfeksi HIV. Seseorang yang terinfeksi HIV akan
memasuki tahap AIDS sangat tergantung dari gizi yang dikonsumsi, dan obat-obatan yang membentuk
proses pertahanan tubuh. Penelitian WHO menunjukkan beberapa faktor yang berpengaruh dalam
perkembangan AIDS pada pengidap HIV, antara lain:

1. Semakin tua usia pengidap HIV akan semakin cepat sampai ke tahap AIDS

2. Bayi yang terinfeksi HIV akan sampai pada tahap AIDS lebih cepat daripada orang dewasa yang yang
mengidap HIV

3. Orang yang telah memiliki gejala minor pada waktu tertular HIV, akan bergejala AIDS lebih cepat
daripada yang tanpa gejala

4. Penderita HIV yang merokok akan sampai ke tahap AIDS lebih cepat daripada yang tidak merokok.

2.1.5 Diagnosis

Penilaian HIV/AIDS dilakukan dengan penggalian riwayat penyakit, pemeriksaan fisik, pemeriksaan darah
lengkap, kimia darah, pemeriksaan imunologis CD4/limfosit total dan viral load (polymerase chain
reaction /PCR).

1. Diagnosis HIV/AIDS pada Orang Dewasa

Untuk memastikan seseorang dinyatakan terinfeksi HIV atau tidak, perlu dilakukan tes HIV. Tes HIV
berfungsi untuk mengetahui adanya antibodi terhadap HIV atau mengetes adanya antigen HIV dalam
darah. Ada beberapa jenis tes yang biasa dilakukan diantaranya yaitu tes ELISA ( Enzym-Linked
Immunosorbent Assay), tes dipstick dan tes Western Blot. Masing-masing alat tes memiliki kemampuan
atau sensitivitas untuk menemukan orang yang mengidap HIV.

Prosedur screening dengan tes ELISA, memiliki sensitifitas yang tinggi, spesifik, tidak mahal dan mudah
dilakukan. Tes ELISA mungkin saja menghasilkan false positive, sehingga hasil yang menunjukkan positif
pada tes ELISA perlu dilanjutkan dengan analisis Western Blot tes yang spesifisitasnya lebih tinggi.
Sensitifitas menggambarkan kemampuan akurasi sebuah tes sehingga ditentukan ’true case’. Tes dengan
sensitifitas tinggi akan memberikan hasil ”false negative” yang sangat kecil. Tes dengan sensitifitas tinggi
digunakan ketika dibutuhkan hasil absolut dengan sangat sedikit ”false negative” seperti pada layanan
transfusi darah. Sfesifisitas menggambarkan kemampuan ketepatan tes sebagai ’true non-case’. Tes
dengan sfesifisitas tinggi akan memberikan hasil ”false positive” sangat rendah. Tes dengan sfesifisitas
tinggi digunakan ketika kebutuhan absolut untuk ”false positive” sangat kecil seperti pada penentuan
diagnosis klinis individu terinfeksi.

Prosedur pemeriksaan darah untuk mendeteksi HIV/AIDS, memiliki beberapa tahapan, yaitu:

1) Konseling Pra Test

a. Penjajagan perilaku beresiko hubungan seksual, transfuse

b. Penjelasan arti hasil tes dan prosedurnya (positif, negatif)

2) Tes darah ELISA (Enzym-Linked Immunosorbent Assay)

Tujuan tes ini adalah mendeteksi salah satu dari antibodi terhadap HIV, antigen p24 dan asam nukleat
HIV (PCR). Antibodi terbentuk kurang lebih 3 sampai 6 minggu, tapi bisa juga mencapai 3 sampai 6 bulan.
Bila kurang dari tiga minggu tidak terdeteksi, maka bisa saja saat tersebut masih dalam periode jendela
(window period). Jika hasil pemeriksaan antibodi HIV terbukti positif, maka sudah pasti pasien ini
terinfeksi HIV.

a. Jika hasil tes ELISA negatif, tetap dilakukan konseling

b. Jika hasil tes ELISA positif, dilakukan konfirmasi dengan Western Blot tes

3) Tes Western Blot

Sama halnya dengan ELISA, Western Blot juga mendeteksi antibodi terhadap HIV. Western blot menjadi
tes konfirmasi bagi ELISA karena pemeriksaan ini lebih sensitif dan lebih spesifik, sehingga kasus 'yang
tidak dapat disimpulkan' sangat kecil. Walaupun demikian, pemeriksaan ini lebih sulit dan butuh keahlian
lebih dalam melakukannya.

a. Jika hasil Western Blot positif, laporkan ke Dinas Kesehatan (anonimus). Lakukan post konseling dan
pendampingan untuk menghindari emosi, putus asa atau keinginan untuk bunuh diri
b. Jika hasil Western Blot negatif, tetap dilakukan konseling sama seperti jika ditemukan hasil negatif
pada ELISA

Menurut sumber lain, teknik yang umum digunakan untuk deteksi antibodi selain ELISA dan western Blot
Elisa adalah Rapid test. Saat ini yang paling sering digunakan ialah test rapid, karena mempertimbangkan
keefektifan dan keefisienan waktu terjadinya aglutinasi antara antigen dan anti bodi. Sedangkan ELISA
tidak menegakkan diagnosa AIDS tapi hanya menunjukkan bahwa seseorang terinfeksi atau pernah
terinfeksi HIV serta memerlukan alat pembaca khusus. Adapun Rapid test bisa diamati langsung secara
visual, juga bisa digunakan untuk spesimen yang jumlahnya sedikit bahkan jika hanya satu spesimen.
Untuk sensitifitas dan spesifitas keduanya hampir sama. Jenis pemeriksaan Rapid test adalah yang paling
efisien dan banyak digunakan oleh para klinisi. Rapid tes hanya memerlukan waktu pemeriksaan 10
menit. Sebagian besar rapid tes mempunyai sensitifitas dan sfesifisitas diatas 99% dan 98%. Keuntungan
utama rapid test HIV adalah memberikan hasil pada hari yang sama sehingga menguragi angka drop out
untuk mengetahui sero status HIV klien. Keuntungan lain klien, lebih mudah menerima hasil dari
konselor yang sama sehingga pre tes dan pasca tes dilakukan oleh orang yang sama.

Kondisi bahan pemeriksaan dapat mempengaruhi hasil pemeriksaan. Bahan pemeriksaan terbaik adalah
serum/plasma dengan syarat tidak hemolisis, tidak keruh, disimpan dan dikirimkan dengan baik,
ditempeli label yang sesuai dan berada dalam penampung yang tidak bocor.

2. Diagnosis HIV/AIDS pada bayi

Infeksi HIV dapat terjadi pada bayi selama kehamilan, saat melahirkan, dan waktu menyusui. Bila infeksi
menular melalui ASI, antibodi yang dicari oleh tes HIV baru terbentuk dengan jumlah yang cukup untuk
dideteksi setelah beberapa minggu. Jadi sebaiknya menunggu sedikitnya enam minggu setelah
penyusuan dihentikan sebelum tes HIV dilakukan.

1) Tes Antibodi

Merupakan Tes HIV yang biasa dipakai untuk orang dewasa mencari antibodi terhadap HIV, bukan virus
sendiri. Antibodi terhadap HIV disalurkan dari ibu ke janin melalui plasenta. Jadi bila seorang bayi yang
terlahir oleh ibu yang HIV-positif dites HIV waktu lahir, hasilnya pasti akan positif. Namun HIV sendiri
hanya tertular pada kurang lebih 20 persen bayi dalam kandungan atau waktu melahirkan. Sedikitnya,
antibodi ibu berada dalam darah bayi untuk enam bulan pertama hidupnya. Setelah enam bulan, jumlah
antibodi ibu mulai berkurang, dan hasil tes HIV kebanyakan bayi yang tidak terinfeksi akan menjadi
negatif pada usia 12 bulan. Kadang kala, antibodi dari ibu baru hilang setelah 18 bulan. Sebaliknya,
setelah beberapa bulan, seorang bayi yang terinfeksi HIV akan membentuk antibodi sendiri terhadap
HIV, dan hasil tes HIV akan tetap positif untuk seumur hidup. Hasil tes HIV positif pada seorang anak
berusia 18 bulan ke atas berarti anak tersebut terinfeksi HIV.

Tes antibodi HIV dapat dipakai untuk meyakinkan bahwa anak tidak terinfeksi HIV asal anak tidak
diberikan ASI oleh ibu yang HIV-positif sedikitnya dalam enam minggu sebelum dites. Seorang anak yang
tidak disusui selama tiga bulan terakhir dengan hasil tes HIV negatif berarti tidak terinfeksi HIV.
2) Tes Virus

Berbeda dengan tes antibodi, tes virus dapat menentukan apakah bayi terinfeksi dalam bulan-bulan
pertama hidupnya. Tes RNA HIV dengan alat PCR yang biasanya dilakukan untuk mengukur viral load,
dapat mendeteksi virus dalam darah, dan dapat dipakai untuk diagnosis HIV pada bayi. Namun tes ini
masih sangat mahal dan lebih sulit dilakukan dibandingkan tes antibodi, dan hanya dapat dilakukan di
sedikit laboratorium di Indonesia.

Dua puluh sampai empat puluh persen bayi yang terinfeksi dalam kandungan atau saat lahir akan
menunjukkan hasil positif pada tes PCR segera setelah lahir. Sedangkan 98% bayi terinfeksi HIV terdeteksi
setelah empat minggu. WHO mengusulkan tes viral load untuk mendiagnosis infeksi HIV pada bayi
sebaiknya dilakukan pada usia enam minggu ke atas.

Hasil positif palsu dapat terjadi, terutama bila laboratorium tidak berpengalaman dengan alat PCR, dan
semua hasil positif sebaiknya langsung dikonfirmasi dengan contoh darah baru. Hasil viral load yang
rendah (di bawah 10.000) kemungkinan positif palsu, karena viral load pada bayi biasanya sangat tinggi.

Hasil negatif palsu juga dapat terjadi. Sebaiknya kedua tes virus tersebut dilakukan untuk konfirmasi
bahwa anak tidak terinfeksi dan anjuran untuk tes antibodi dilakukan setelah anak berusia 18 bulan
sebagai konfirmasi ulang.

Pemeriksaan antibodi HIV selain ELISA dan Rapid Tes adalah pemeriksaan Enzyme immunoassay (EIA)
yang digunakan sebagai uji penapis untuk antibodi HIV. Uji penapis yang positif memiliki sensitivitas lebih
dari 99,5%. Uji positif dikonfirmasi dengan Western Blot atau immunofluoresence assay (IFA). Walaupun
sangat spesifik, Western Blot kurang sensitif dibandingkan immunoassay karena untuk memberikan hasil
positif diperlukan lebih banyak antibodi. Dengan demikian, immunofluoresence assay dapat digunakan
untuk memastikan sampel yang positif EIA tetapi hasil Western Blot-nya meragukan. Untuk infeksi HIV
primer akut, diperlukan identifikasi antigen inti p.24 atau RNA virus.

Indikasi tes antibodi HIV adalah kecurigaan kemungkinan risiko penularan seperti melakukan hubungan
seks yang tidak aman, pecandu narkotika suntikan, pasien penyakit menular seksual, tusukan jarum yang
telah digunakan pada orang terinfeksi HIV, serta bayi baru lahir dari ibu terinfeksi HIV. Tes ini dapat
dilakukan pada periode asimptomatik.

Diagnosis infeksi HIV berdasar kemungkinan penularan dan pemeriksaan antibodi HIV positif. Diagnosis
AIDS didasarkan adanya penyakit infeksi oportunistik atau kanker terkait yang telah ditetapkan dan
antibodi HIV positif. Pada revisi kriteria keadaan yang berhubungan dengan AIDS tahun 1993,
ditambahkan jumlah CD4 dibawah 200, sehingga walaupun belum ada infeksi oportunistik atau kanker
terkait, bila jumlah CD4 telah dibawah 200 dogolongkan dalam AIDS.

2.1.6 Stadium HIV/AIDS


Pada tahun 1990, World Health Organization (WHO) mengelompokkan berbagai infeksi dan kondisi AIDS
dengan memperkenalkan sistem tahapan untuk pasien yang terinfeksi dengan HIV-1. Sistem ini
diperbarui pada bulan September tahun 2005. Menurut WHO, melalui stadium klinis pada orang
dewasa, yaitu :

1. Stadium Klinis I

Asimptomatis

Limadenopati persistent generalisata

Penampilan dan aktivitas fisik skala I masih normal

2. Stadium Klinis II

· Penurunan berat badan, tetapi < 10% dar berat badan sebelumnya.

· Manifestasi mukokutaneus minor ( dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi
mukosa oral berulang, cheilitis angularis)

Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir

· Infeksi berulang pada saluran pernafasan atas ( sinusitis bakterial)

· Dengan atau penampilan aktivitas fisik skala II : simptomatis, aktivitas normal.

3. Stadium Klinis III

Penurunan berat badan > 10%

Diare kronis dengan penyebab tidak jelas, > 1 bulan

· Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap), > I bulan

Kandidiasis oral

Oral hairy leukoplakia

TB pulmonar, dalam satu tahun terakhir

Infeksi bakterial berat (pneumonia, piomiositis)

· Dengan atau penampilan/ aktivitas pisik skala 3 lemah, berada di tempat tidur, < 50% perhari dalam
bulan terakhir

4. Stadium Klinis IV

· HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC (BB turun 10% ditambah diare kronik > 1 bulan atau
demam > 1 bulan yang tidak disebabkan penyakit lain)
PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia)

Ensefalitis Toksoplsmosis

Diare karena Cryptosporidiosis, > 1 bulan

Cryptococcosis ektrapulmoner

Infksi virus Sitomegalo

Infeksi Herpes simplex > 1 bulan

· Berbagai infeksi jamut berat ( histoplasma , coccidioidomycosis)

Kandidiasis esfagus, trakhea dan bronkus

Mikobacteriosis atypical

Salmonelosis non tifoid disertai setikemia

TB ektrapulmoner

Limfoma Maligna

Sarkoma kaposi’s

· Ensefalopati HIV (gangguan kognitif dan atau disfungsi motorik yang mengganggu aktivitas sehari-hari
dan bertambah buruk dalam beberapa minggu/bulan yang tidak disertai penyakit lain)

· Dengan atau penampilan/aktivitas fisik 4 : sangat lemah, selalu berada di tempat tidur > 50% per hari
dalam bulan terakhir.

2.1.7 Penanganan HIV/AIDS

1. Pencegahan

Ada banyak cara untuk terhindar dari virus HIV. Yang terpenting adalah pencegahan dari tertularnya virus
HIV yang dapat melemahkan sistem kekebalan tubuh ini. Karena virus HIV adalah virus yang mempunyai
kemampuan mencetak biru (retrovirus) pada antibodi, maka jika sudah terinfeksi virus ini, sulit untuk
melakukan pengobatan dan mempunyai potensi untuk menularkan kepada orang lain.

Upaya-upaya yang dapat dilakukan untuk mencegah terinfeksi/tertular virus HIV antara lain adalah:

- Tidak melakukan hubungan seksual sebelum menikah

- Mencari informasi yang benar mengenai HIV/AIDS


- Mendiskusikan secara terbuka permasalahan yang sedang dihadapi, dalam hal ini masalah perilaku
seksual

- Menghindari penggunaan obat-obatan terlarang, pemakaian jarum suntik secara bersama-sama, tatto,
tindik

- Tidak melakukan kontak langsung percampuran darah dengan orang yang sudah terinfeksi

- Menghindari perilaku yang dapat mengarah pada perilaku tidak sehat dan tidak bertanggung jawab

- Lebih aman berhubungan seks dengan pasangan tetap

- Menghindari hubungan seks dengan bergonta-ganti pasangan

- Menggunakan kondom

- Sedapat mungkin menghindari transfusi darah yang tidak jelas asalnya

- Menjamin kesterilan alat-alat medis dan non medis

Studi de Cock et.al (2000) menunjukkan bahwa terdapat variasi potensi penularan HIV dari ibu kepada
bayinya dengan gambaran sebagai berikut:

Periode Transmisi Risiko

Selama kehamilan 5 – 10%

Selama persalinan 10 – 20%

Selama menyusui 10 – 15%

Total 25 – 45%

WHO merancangkan empat strategi untuk mencegah penularan HIV terhadap bayi yaitu:

1) Mencegah seluruh wanita jangan sampai terinfeksi HIV(pencegahan primer)

2) Bila sudah terinfeksi HIV, cegah jangan sampai ada kehamilan yang tidak diinginkan

3) Bila sudah hamil, cegah penularan dari ibu ke bayi dan anaknya

4) Bila ibu dan anaknya sudah terinfeksi berikan dukungan dan perawatan bagi ODHA dan keluarganya

2.Penatalaksanaan Umum

Istirahat, pemenuhan nutrisi yang memadai berbasis makronutrien dan mikronutrien, konseling
termasuk pendekatan psikologis dan psikososial dan membiasakan gaya hidup sehat.
Pada penderita HIV sering mengalami gangguan asupan nutrient yang menyebabkan fungsi biologis
tubuh terganggu. Bahkan pada penderita terjadi perubahan kondisi klinis bukan hanya karena masalah
asupan nutrient tetapi juga akibat proses penyakitnya. Nutrisi penting dalam penatalaksanaan penderita
HIV dan AIDS, selain mendorong kearah perbaikan, juga berperan menekan progresifitas HIV ke AIDS.

3.Penatalaksanaan Khusus

Pemberian Antiretroviral therapy kombinasi, terapi infeksi sekunder sesuai jenis infeksi yang ditemukan,
dan terapi malignansi.

1) Antiretroviral

Dengan ditemukannya kombinasi ART dijumpai penurunan morbiditas dan mortalitas HIV/AIDS dari 60
menjadi 90% dan perbaikan kualitas hidup dan panjangnya usia harapan hidup ODHA. Tujuan terapi
antiretroviral secara umum adalah memperpanjang usia dan memperbaiki kualitas hidup , dengan cara
mempertahankan supresi maksimal replikasi HIV selama mungkin. Pengurangan virus dalam plasma
darah ternyata terjadi dengan pemberian ART. Pilihan regimen tergantung pada beberapa factor,
diantaranya harga obat, kekuatan individu, ketersediaan dan keterjangkauan obat untuk suatu jangka
waktu menengah dan panjang, kepatuhan berobat, potensi regimen, toleranbilitas dan profil efek
samping, kemungkinan interaksi obat dan potensial untuk opsi terapi lainnya ketika terjadi kegagalan
terapi regimen yang telah digunakan.

Pemberian ARV harus dilakukan dengan langkah-langkah yang arif dan bijiksana serta
mempertimbangkan berbagai factor, yaitu memberikan penjelasan tentang manfaat, efek samping,
resistensi dan tata cara penggunaann ARV; kesanggupan dan kepatuhan penderita mengkonsumsi obat
dalam waktu yang tidak terbatas; serta saat yang tepat untuk memulai terapi ARV.

· Tujuan terapi ARV

a. Menurunkan angka kesakitan akibat HIV, dan menurunkan kematian akibat AIDS.

b. Memperbaiki dan meningkatkan kualitas hidup penderita.

c. Mempertahankan dan mengembalikan status imun ke fungsi normal.

d. Menekan replikasi virus serendah dan selama mungkin sehingga kadar HIV dalam plasma < 50
copy/ml.

· Terapi antiretroviral yang sangat aktif:

a. Inhibitor Reserve Transcriptase Nukleosida (NRTI)

Bekerja menghambat reserve transcriptese HIV, sehingga pertumbuhan rantai DNA dan replikasi HIV
terhenti. Golongan obat yang termasuk dalam NRTI adalah:

- Zidovudin (contoh: ZDV, Retrovir)


- Didanosin (contoh: ddl, Videx)

- Zalsitabin (contoh: ddC, HIVID)

- Stavudin (contoh: d4T, Zerit)

- Lamivudin (contoh: Epivir)

- Abacavir (contoh: Ziagen)

b. Inhibitor Reserve Transcriptase Non-Nukleosida (NNRTI)

Bekerja menghambat transkripsi RNA HIV menjadi DNA, suatu langkah penting dalam proses replikasi
virus. Golongan obat yang termasuk dalam NNRTI:

- Nevirapin (contoh: Viramune)

- Delavirdin (contoh: Rescriptor)

- Efavirenz (contoh: Sustiva)

c. Inhibitor Protease (PI)

Bekerja menghambat protease HIV, yang mencegah pematangan HIV infeksiosa. Golongan obat yang
terrmasuk dalam PI:

- Indinavir (contoh: Crixivan)

- Ritonavir (contoh: Norvir)

- Nelfinavir (contoh: viracept)

- Sakuinavir (contoh: Invirase, Fortovase)

- Amprenavir (contoh: Agenerase)

- Lopinavir (contoh: Kaletra)

· Prinsip terapi ARV

a. Indikasi

ARV harus ditetapkan pemberiannya atas indikasi pengobatan yang tepat.

b. Kombinasi

ARV harus diberikan secara kombinasi, paling tidak melibatkan 3 jenis obat untuk mendapatkan efek
optimal dan memperkecil resistensi.

c. Pilihan obat
Pemilihan obat-obatan lini pertama diprioritaskan daripada lini kedua atau obat yang lain.

d. Kompleksitas

Pemberian ARV bersama dengan obat yang berfungsi untuk mengatasi infeksi sekunder perlu
dipertimbangkan dengan seksama karena dapat terjadi interaksi obat satu sama lain.

e. Resistensi

Pemberian ARV memiliki potensi terjadinya resistensi baik lini yang sama maupun resistensi silang.

f. Informasi

Sebelum memulai terapi ARV, penderita perlu diberikan informasi lengkap maksud, tujuan, resistensi dan
efek samping terapi ARV.

g. Motivasi

Penderita ditekankan untuk tidak terlarut dalam kesedihan, dan diingatkan bahwa didalam tubuhnya
yerdapat virus yang perlu dieliminasi melalui upaya pemberian ARV.

h. Monitoring

Evikasi pengobatan anti virus ditentukan dan dimonitor melalui pemeriksaan klinis berkala disertai
pemeriksaan laboratorium guna menentukan HIV-RNA virus dan hitung CD4 secara periodic dan teratur.

i. Efikasi

Pengobatan ARV dilakukan secara berkesinambungan. Penderita diharapkan memperoleh hasil maksimal
dan efikasi klinis, virologist dan imunologi yang nyata.

Rekomendasi memulai terapi ARV penderita dewasa menurut WHO, 2006

Stadium klinis WHO

Pemeriksaan CD4 tidak dapat dilakukan

Pemeriksaan CD4 dapat dilakukan

ARV belum direkomendasikan

Terapi bila CD4 <200 sel/mm3

II

ARV belum direkomendasikan


Mulai terapi bila CD4<200 sel/ mm3

III

Mulai terapi ARV Pertimbangkan terapi bila CD4 <350 sel/ mm3 acd dan mulai ARV sebelum CD4
turun <200sel/ mm3

IV

Mulai terapi ARV Terapi tanpa mempertimbangkan jumlah CD4

Rekomendasi memulai terapi ARV berdasar CD4 penderita dewasa (WHO, 2006)

CD4 (sel/mm3) Rekomendasi terapib

<200

200-350

>350 Mulai terapi ARV pada semua stadium klinis

Pertimbangkan untuk memulai terapi sebelum CD4 turun <200 sel/mm3

Jangan memulai ARV dulu.

2) Terapi infeksi sekunder dan malignansi

Terapi infeksi opoturnistik dan malignansi disesuaikan dengan jenis infeksi sekunder maupun malignansi
yang ada.

gan HIV-AIDS

Pemeriksa :

Jam :

Tempat :

Tanggal :

1. Pengkajian data

1) Data Subjektif

(1) Identitas ibu hamil dan suami

Nama : mengantisipasi kesalahan pemberian asuhan


Umur : HIV pada ibu hamil tidak ada batasan usia

Pendidikan : Tingkat pendidikan rendah

Pekerjaan : tingkat perekonomian dan pekerjaan yang merupakan faktor risiko terinfeksi HIV.
Pekerjaan yang merupakan resiko tinggi HIV/ AIDS adalah pekerja seks, pelaut, dan pekerja di sector
transportasi (WHO, 2004)

Alamat : Pada multiple pasangan bisa tinggal pada rumah yang berbeda.

(2) Keluhan Utama :

Keluhan yang paling sering terjadi pada pasien hamil dengan HIV-AIDS adalah selain keluhan sehubungan
dengan kehamilannya, ibu juga mengeluh berbagai masalah sesuai dengan stadium).

a. Stadium Klinis 1

- Asimtomatis

- Limpadenopati persistent generalisata

Penampilan atau aktivitas fisik skala 1: asimtomatis, aktivitas normal.

b. Stadium Klinis 2

- Penurunan berat badan, 10% dari berat badan sebelumnya.

- Manifestasi mukokutaneus minor (dermatitis seborhhoic, prurigo, infeksi jamur pada kuku, ulserasi
mukosa oral berulang, cheilitis angularis)

- Herpes Zoster, dalam 5 tahun terakhir.

- Infeksi berulang pada saluran pernapasan atas (misalnya sinusitis bakterial)

Dengan atau penampilan ativitas fisik skala 2 : simtomatis, aktivitas normal.

c. Stadium Klinis 3

- Penurunan berat badan >10%

- Diare kronis dengan penyebab tidak jelas >1 bln

- Demam dengan sebab yang tidak jelas (intermittent atau tetap), >1 bulan

- Kandidiasis oris

- Oral hairy leukoplakia

- TB pulmoner, dalam 1 tahun terakhir.


- Infeksi bakterial berat (misal : pneumonia, piomiositis)

Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada di tempat tidur, <50% perhari dalam bulan
terakhir.

d. Stadium Klinis 4

- HIV wasting syndrome, sesuai yang ditetapkan CDC

- PCP (pneumocytis carinii pneumonia)

- Ensefalitis toksoplasmosis

- Cryptococcosis ekstrapulmoner

- Infeksi virus sitomegalo

- Infeksi herper simpleks >1 bulan

- Berbagai infeksi jamur berat.

- Kandidiasis esofagus, trachea atau bronkhus

- Mikobakteriosis atypical

- Salmonelosis non tifoid disertai setikemia

- TB, ekstrapulmoner

- Limfoma maligna

- Sarkoma kaposi’s

- Ensefalopati HIV

Dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4: sangat lemah, selalu berada di tempat tidur >50% per
hari dalam bulan terakhir (Fazidah, 2004).

(3) Riwayat Obstetri:

a. Riwayat menstruasi

Fluor albus : banyak, gatal , berbau, warna hijau. Pada ibu dengan HIV mudah terkena infeksi jamur yang
bila mengenai organ genital bisa menyebabkan keputihan.

b. Riwayat Obstetri lalu

Kehamilan yang lalu terinfeksi HIV, ibu dapat bersalin dengan SC.
c. Riwayat Kehamilan Sekarang :

Keluhan pada trimester I ,II, atau III pada ibu hamil dengan HIV seperti keluhan ibu hamil normal
terkadang dijumpai keluhan berdasarkan stadium HIV/AIDS:

Trimester I : Chloasma gravidarum, mual dan muntah (akan hilang pada kehamilan 12-14 minggu) sering
kencing, pusing, ngidam, obstipasi.

Trimester II : Body image dan nafsu makan bertambah.

Trimester III : Sering kencing, obstipasi, sesak nafas (bila tidur telentang) sakit punggung, oedema,
varices.

d. Riwayat perkawinan

hamil dengan HIV biasanya ibu atau suami menikah lebih dari satu kali atau mempunyai banyak
pasangan.

e. Riwayat kesehatan ibu

Pada ibu dengan HIV biasanya penyakit yang diderita beragam, antara lain : demam, faringitis,
limfadenopati, artralgia, mialgia, letargi, malaise, nyeri kepala, mual, muntah, diare, anoreksia,
penurunan berat badan. Dapat juga menimbulkan kelainan saraf, seperti meningitis, ensefaliits,
neuropati perifer dan mielopati. Gejala pada dermatologi yaitu ruam makropapulereritematosa dan
ulkus makokutan

Pada beberapa pasien terdapat sarkoma kaposi’s, herpes simpleks, sinusitis bakterial, herpes Zooster dan
peneumonia yang berlangsung tidak terlalu lama. Fase ini berlangsung sekitar 8-10 tahun (dapat 3-13
tahun) setelah terinfeksi HIV. Pada tahun kedelapan setelah terinfeksi HIV akan muncul gejala klinis yaitu
demam, banyak berkeringat pada malam hari, kehilangan berat badan kurang dari 10%, diare, lesi pada
mukosa dan kulit berulang, penyakit infeksi kulit berulang. Gejala ini merupakan tanda awal munculnya
infeksi oportunistik.

Selain itu terdapat juga pneumonia carinii, tuberkulosis, sepsis, toksoplamosis ensefalitis, diare akibat
kriptosporidiasis, infeksi virus sitomegalo, infeksi virus herpes, kandisiasis esofagus, kandisiasis trakhea,
kandisiasis bronkhus atau paru serta infeksi jamur jenis lain seperti histoplamosis, koksidiodomikosis.
Kadang juga ditemukan beberapa jenis kanker, yaitu kanker kelenjar getah bening dan kanker sarkoma
kaposi’s (Nasronudin, 2007).

f. Riwayat kesehatan keluarga

Penyakit HIV dapat diturunkan oleh orangtua ataupun ditularkan oleh suami penderita.

g. Pola fungsional kesehatan


a) Pola Nutrisi :

pada pasien HIV pola makan harus dijaga untuk menghindari terjadinya infeksi oportunistik.

Wanita dewasa memerlukan 2.500 Kalori per hari, jumlah tambahan kalori yang dibutuhkan pada ibu
hamil adalah 300 kalori per hari, dengan komposisi menu seimbang (cukup mengandung karbohidrat,
protein, lemak, vitamin, mineral, air) (Nakita, 2014).

Pada pasien HIV yang mengalami ulserasi mukosa oral terjadi gangguan pemenuhan nutrisi karena
ketidaknyamanan/sakit saat makan.

b) Pola Eliminasi :

BAK : dalam batas normal (1cc kg/jam)

BAB teratur tiap hari 1x

Pada stadium HIV lanjut ( stadium III dan IV) Ibu dapat mengalami diare akut atau

c) Pola Istirahat :

Pada stadium lanjut HIV ibu membutuhkan istirahat, selalu berada di tempat tidur > 50% per hari dalam
bulan terakhir.

d) Pola Aktivitas :

Stadium 1 : penampilan atau aktivitas fisik skala 1: asimtomatis, aktivitas normal.

Stadium 2 : dengan atau penampilan ativitas fisik skala 2 : simtomatis, aktivitas normal.

Stadium 3 : dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 3: lemah, berada di tempat tidur, <50% perhari
dalam bulan terakhir.

Stadium 4 : dengan atau penampilan/aktivitas fisik skala 4: sangat lemah, selalu berada di tempat tidur
>50% per hari dalam bulan terakhir (Fazidah, 2004).

e) Aktivitas Seksual

Seberapa sering aktivitas sex yang dilakukan ibu dan suami sebelum dan selama kehamilan.

Mungkin ditemukan adanya penurunan aktivitas seksual utamanya pada mereka yang sudah berada
pada stadium lanjut. disarankan untuk menggunakan kondom bila suami HIV negatif dikarenakan
kondom dapat mencegah penularan HIV.

f) Pola Kebiasaan

Merokok

Minum Alkohol
Mengkonsumsi Narkoba : Pemakaian narkoba dengan suntik atau obat-obatan terlarang lainya yang
dapat meningkatkan resiko terkena HIV AIDS.

Minum Jamu-jamuan

Memelihara binatang peliharaan : (rantai penularan toxoplasmosis yang dapat memperburuk HIV/AIDS
dalam perkembangan janin)

h. Riwayat PsikoSosial Budaya

Perkawinan ibu dengan HIV seringkali ditemui dengan ibu atau suami menikah lebih dari sekali

Perencanaan kehamilan akan berpengaruh pada penerimaan ibu dan keluarga terhadap kehamilan ini
dan bayinya nantinya, ibu merasa gelisah dan cemas apabila keluhan yang dirasakan oleh ibu akan
mengganggu kehamilannya.

2) Data Obyektif

(1) Pemeriksaan Umum

- TD : Ibu hamil dengan HIV tidak ada perbedaan tekanan darah dengan ibu hamil normal. Normal antara
100/60-140/90 mmHg

- Suhu : Suhu pada ibu hamil dengan HIV pada fase akut dan fase laten akan mengalami demam. Normal
antara 360C – 370C (Nasronudin, 2007).

- Nadi : Ibu hamil dengan HIV tidak ada perbedaan jumlah nadi dengan ibu hamil normal. Nadi normal
antara 80-110 x/menit

- RR : Pada ibu dengan HIV tidak ada peningkatan jumlah pernapasan. Normal 16-20 x/menit.

- Berat badan sebelum hamil:

Penimbangan berat badan harus terus dipantau. Pada penderita HIV pada fase infeksi laten mengalami
penurunan berat badan 10% (Nasronudin, 2007).

- Berat badan sekarang:

Mulai stadium II ibu mengalami penurunan BB akan tetapi <10 Kg, sedangkan pada stadium III dan IV
penurunan berat badan > 10 Kg.

(2) Pemeriksaan Fisik

Muka

Mulut : Mukosa bibir kering, caries gigi. Pada pasien HIV stadium klinis 2 terjadi ulserasi mukosa
berulang. Pada stadium klinis 3 terdapat kandidiasis oris (pada rongga mulut terdapat pseudomembran
yang berwarna putih krem sampai keabu-abuan. Periksa adanya leukoplakia (plak putih di sekitar rongga
mulut) (Nasronudin, 2007).

Dada : Ada tarikan dinding dada. Ada ronchi dan wheezing sebagai indikasi kelainan organ
pernafasan ( apabila sudah terjadi TB pulmonar dan PCP (Pneumocystis Carinii Pneumonia) manifestasi
dari HIV/AIDS.

Pada pasien HIV mulai stadium 1 terdapat limpadenopati (pembengkakan kelenjar limfe) (Nasronudin,
2007).

Abdomen : Ada luka bekas SC apabila ibu persalinan yang lalu mengidap HIV mencegah
penularan ibu ke bayi.

Pembesaran uterus terkadang tidak sesuai dengan umur kehamilan. Hal tersebut dikarenakan adanya
infeksi HIV menyebabkan gangguan pertumbuhan pada janin.

Ekstrimitas : Atas : tidak ada oedema

Bawah : tidak ada varises

Pada stadium II terlihat luka infeksi/ ulkus pada kuku.

Kulit : Kadang ditemukan tanda-tanda dermatitis, herpes zoster, prurigo, dan kelainan kulit
lainnya akibat infeksi jamur.

Genetalia : Vulva dan vagina

Keluaran : Pada wanita hamil sering mengeluarkan cairan pervaginam lebih banyak. Keadaan ini dalam
batas normal (tidak berwarna, tidak berbau, tidak gatal). Pada ibu hamil dengan HIV memungkinkan
adanya infeksi candida yang menyebabkan flour albus (Nasronudin, 2007).

3) Pemeriksaan penunjang

Pemeriksaan lab

Pemeriksaan HIV

Saat ini ada 2 standar untuk melakukan uji HIV yaitu dengan Enzyme-Linked Immunosorbent Assay
(ELISA) dan Western Blot.

Apabila setelah melakukan uji ELISA hasilnya positif maka penderita harus melakukan uji ELISA lagi,
sebelum melakukan Western Blot untuk mengonfirmasi status HIV positif. ELISA awal dapat bereaksi
silang untuk memberi hasil positif palsu jika digunakan tanpa uji konfirmasi. Western Blot akan dibaca
positif bila ada antibody dua atau lebih “pita” protein ditemukan dalam HIV. Adanya pita tunggal tidak
dapat meyakinkan dan mungkin hasil dari pajanan HIV atau sebuah temuan kronis. Diantara penyebab
hasil menetap yang tidak dapat disimpulkan ini adalah autoimun atau penyakit vascular kolagen,
aloantibodi dari kehamilan atau transfuse, dan infeksi HIV subtype jarang atau HIV 2. Hasil positif palsu
pada ELISA dan Western Blot kurang dari 0,001 persen dalam area prevalensi yang rendah.

Selain 2 uji standar tersebut, ada banyak uji lain yang digunakan untuk mengevaluasi kesehatan dan
perkembangan penyakit. Beberapa diantaranya penting bagi bidan untuk mengenalinya dalam rangka
meningkatkan status kesehatan wanita. Pengujian ini termasuk pengukuran CD4 limfosit, muatan virus
plasma, perubahan dalam hitung sel darah lengkap dan panel kimia. Karena pada saat hamil diharapkan
viral load ibu serendah-rendahnya.

(pada saat hamil diharapkan vairal load ibu serendah-rendahnya. Selain itu perlu untuk dilakukan USG
untuk melihat pertumbuhan janin pada pasien HIV/AIDS, janin dapat IUGR atau bahkan IUFD)

2. Interpretasi Data Dasar

Pada langkah ini dilakukan identifikasi yang benar atas data-data yang dikumpulkan.

1) Dx aktual :

GPapah usia kehamilan… dengan HIV/AIDS stadium 1/2/3/4

Janin tunggal, hidup, presentasi, keadaan janin baik.

2) Masalah :

Pada ibu hamil dengan HIV masalahnya yaitu:

a. Kecemasan ibu pada kondisi bayinya

b. Penurunan berat badan

c. Penyakit oportunistik

d. Sariawan dan diare yang tak kunjung sembuh

3. Identifikasi Diagnosa dan Masalah Potensial

Mengidentifikasi masalah / diagnosa potensial lain berdasarkan masalah dan diagnosa yang sudah
diidentifikasikan. Pada kehamilan dengan HIV/AIDS dapat muncul diagnose potensial yaitu abortus, IUGR
dan penularan HIV dari ibu ke janin.

4. Identifikasi Kebutuhan Segera


Menetapkan kebutuhan terhadap tindakan segera baik dalam melakukan konsultasi, kolaborasi, dengan
dokter atau tenaga kesehatan lain berdasarkan kondisi klien, ibu hamil dengan HIV membutuhkan
tindakan segera rujukan ke rumah sakit untuk memperoleh perawatan lebih lanjut sehingga proses
kehamilan dan persalinannya baik sehingga mencegah penularan dari ibu ke janin apabila diketahui lebih
dini.

KIE pola nutrisi dan PMTCT (Prevention Mother to Child Transmition) sangat penting bagi ibu hamil
dengan HIV/AIDS yang merupakan pilar utama dalam penetalaksanaan HIV/AIDS.

5. Perencanaan

Pada langkah ini jika ada informasi / data tidak lengkap bisa dilengkapi. Mencerminkan rasional yang
valid dan ditentukan oleh hasil kajian pada langkah sebelumnya.

1) Informasikan hasil pemeriksaan dan kondisi kehamilan pada ibu dan keluarga.

R/: ibu dan keluarga mengetahui tentang keadaan kehamilannya sehingga dapat menentukan tindakan
yang tepat untuk menjaga kesehatan diri ibu dan janinnya.

2) Berikan konseling dan edukasi (VCT) dan berikan dukungan psikologis kepada ibu

R/ Pengetahuan tentang HIV kepada ibu dan keluarga akan mengurangi tingkat kecemasan dan ketakutan
ibu dan keluarga

3) Diskusikan dengan ibu tentang PMTCT (Prevention Mother To Child Transmition) dan komplikasinya
(Abortus, IUGR, HIV pada bayi) yang meliputi rencana persalinan yang aman di rumah sakit

R/ Pengetahuan tentang PMTCT dapat mengurangi angka resiko HIV pada janin

4) Kolaborasi untuk Uji saring antepartum untuk menegakkan diagnose medis selama window periode

R/ Menegakkan diagnose HIV/AIDS

5) Kolaborasi dengan dokter untuk menegakkan diagnose dan pemberian terapi.

R/: ibu hamil dengan HIV merupakan kondisi risiko tinggi yang memerlukan penanganan terpadu oleh
dokter Sp.OG.

6) Menyepakati kunjungan ulang

R/ pemantauan kesejahteraan janin dan kesehatan ibu dengan HIV/AIDS

6. Pe nata laksanaan
Melaksanakan rencana asuhan menyeluruh seperti yang telah diuraikan pada langkah V

7. Evaluasi

Dilakukan evaluasi keefektifan dari asuhan yang diberikan dalam bentuk SOAP.

S : ibu tidak cemas dan takut dengan kondisi penyakit HIV/AIDS yang dideritanya

O:

- Kondisi ibu dan janin dalam keadaan baik

- Transmisi HIV dari ibu ke janin dapat dicegah

A : ibu hamil dengan HIV/AIDS

P:

- P4K à perencanaan proses persalinan dengan operasi saesar untuk mencegah transmisi ibu ke janin

- Kolaborasi dokter spesialis terkait pemberian terapi dan pemeriksaan lab

DAFTAR PUSTAKA

Adler MW, 1993. Peunjuk Penting AIDS edisi 3. Jakarta : EGC pp. 1-92

Coad J, Dunstall M, 2002. Anatomi dan Fisiologi untuk Bidan. Jakarta : EGC.

Cunningham FG, Gant NF, Leveno KJ, Gilstrap III LC, Hauth JC, Wenstrom KD, 2005. Obstetri Williams edisi
21 vol I, Jakarta : EGC.

Daili, 2008. Ilmu Kebidanan. Jakarta : YBPSP. pp. 932-933

Depkes RI, 2004. Modul Pelatihan Konseling dan Tes Sukarela HIV (Voluntary Counselling and Testing =
VCT). Jakarta.

Depkes RI, 2008. Pedoman Pelayanan Konseling dan Testing HIV/AIDS secara Sukarela (Voluntary
Counselling and Testing). Jakarta.

Kusniati, N dkk. Modul 4 : PMS & HIV/AIDS. Jakarta : PKBI, IPPF, UNFBA

Price SA, Wilson LM, 2003. Patofisiologi Konsep Klinis Proses-Proses Penyakit edisi 6 volume 1. Jakarta :
EGC. pp. 225-239.
Sweet, BR, 1997, Mayes’ Midwifery A Textbook for Midwives 12th edition, London : Bailliere Tindall,
pp.575-577.

Winefred, L.S et all (2001). Ambulatory Obstetrics. Third Edition. USA : UCSF Nursing Pres

Anda mungkin juga menyukai