Aqidah Islam
Aqidah Islam
Aqidah Islam sebagai asas bagi peraturan dan hukum karena Allah SWT.
telah memerintahkan kaum muslimin untuk merujuk dalam perkara ini terhadap
hukum yang diturunkan Allah SWT. dan Rasul-Nya saja. Allah SWT. berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman sebelum
mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu
keberatan terhadap putusan yang kauberikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa: 65)
Pendapat Xenophanes
Xenophanes menyatakan: “Tuhan hanya satu, yang terbesar di antara dewa dan
manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana.”
“Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak bergerak dan berubah-ubah, dan ia
mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya, mendengar semua dan memikirkan
seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini dengan kakuatan fikirNya.”
Pendapat Socrates
Socrates menyatakan: “Tuhan pencipta ala mini bukanlah hanya untuk memikirkan
dan memperhatikan manusia saja, tapi ialah roh bagi manusia. Jika tidak begitu
cobalah sebutkan padaku, hewan manakah yang dapat mengetahui adanya Tuhan
yang mengatur susunan tubuh yang mempunyai sifat-sifat tinggi seperti ini! Coba
katakana hewan mana selain manusia yang dapat dibawa akalnya menyembah dan
berkhidmah kepada Tuhan?”
Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri saya sendiri. Sebab kalau saya
menjadikan, tentulah saya dapat memberikan segala sifat kesempurnaan kepada diri
saya itu. Oleh sebab itu tentu saya dijadikan oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti
pula Dzat lain itu menjadikan saya mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, kalau
tidak akan sama halnya dengan diri saya.”
“Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu juga diri saya
merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan, yakni sempurna. Dan Dzat yang
sempurna itu ialah Allah”.
Pengertian Aqidah dan Aqidah Islamiyyah
Pengertian aqidah secara bahasa (etimologi) dalam bahasa Arab berasal dari
dari kata aqada, ya’qidu, aqidatan. Kata tersebut mengikuti wazan fa’ilatan yang
berarti al-habl, al-bai’, al-‘ahd (tali, jual beli, dan perjanjian) Adapun pengertian
secara terminologi (istilah) adalah:
Dengan demikian, maka segala bentuk keyakinan yang tidak berasal dari
jalan yang menghasilkan kepastian atau datang melalui jalan yang pasti tetapi masih
mengandung persangkaan (dzan) di dalam keterangannya sehingga menimbulkan
perselisihan para ulama, maka hal seperti itu tergolong pada keyakinan yang tidak
wajib oleh agama untuk meyakininya. Hal ini merupakan garis pemisah atau
pembatas yang tegas antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman.
Berdasarkan uraian di atas, Fathi Salim dalam kitab Al-Istidlal Bi Az-Zanni
Fi Al-Aqidah menyatakan bahwa aqidah Islam atau iman agar pembenarannya
bersifat pasti harus menunjukkan keyakinan (Al Ilmu). Sebab yang disebut dengan
‘Ilmu adalah i’tiqad atau keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan, sedangkan
dzann merupakan i’tiqad (keyakinan) yang kuat tetapi berdasarkan persangkaan
sehingga bermuara pada keyakinan atau bisa sampai pada keraguan (syak).
Sebutan aqidah Islamiyah ditunjukkan pada iman kepada Allah SWT, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat, dan kepada qadla dan
qadar, baik buruknya berasal dari Allah SWT. Namun demikian bukan berarti selain
hal ini tidak ada lagi perkara yang wajib diimani, tetapi enam perkara tersebut
merupakan kerangka aqidah Islam. Masih banyak terdapat perkara yang lain yang
termasuk pada bagian aqidah, yaitu iman kepada Al-Maut (ajal), rezeki, tawakkal
kepada Allah SWT, iman dengan pertolongan Allah SWT, iman terhadap sifat-sifat
Allah SWT, iman terhadap kema’shuman para nabi dan Rasul, mu’jizat Al-Qur'an,
dan lain-lain. Begitu pula keimanan terhadap adanya surga dan neraka, yaumul
hisab (hari perhitungan), iman terhadap keberadaan jin, setan dan berbagai perkara
gaib lainnya berbentuk kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur'an dan hadits
Rasulullah SAW. yang mutawatir.
Dari hal di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pembahasan aqidah
menyangkut hal-hal pokok semata dalam urusan ushuluddin, sedangkan perkara
yang termasuk aktivitas dan perbuatan manusia termasuk bagian dalam syariat
Islam dan fiqh Islam.
Al-Qur'an memberikan sebutan aqidah dengan menggunakan istilah iman.
Syaikh Mahmud Syaltouth menyatakan bahwa pengertian aqidah sama dengan
iman. Kalau Aqidah mempunyai arti mempercayai sejumlah perkara yang diyakini
kebenarannya, yaitu perkara yang bertalian dengan aspek Ilahiyah (Ketuhanan), Al
Nubuwwah (kenabian), Al Ruhaaniyat (keruhanian), dan Al sam’iyyat (berita
tentang akhirat), sedangkan iman mempunyai rukun-rukunnya yang enam (Arkanul
Iman) yang juga harus yakin tentang kebenarannya. Dengan demikian inti
pengertian keduanya adalah sama. Adapun perbedaan keduanya hanya terletak pada
istilah dan sebutan. Aqidah merupakan istilah yang digunakan para ulama
ushuluddin sedangkan Al-Qur'an menyebutnya dengan menggunakan kata iman.
Aqidah Islam ditetapkan oleh Allah SWT dan kita sebagai manusia wajib
mempercayainya sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman atau
mukmin. Namun bukan berarti keimanan itu ditanamkan ke dalam diri seseorang
secara dogmatis, sebab proses keimanan haruslah disertai dalil-dalil. Dalil ini
adakalanya bersifat aqli atau naqli, tergantung perkara apa yang diimani. Jika
sesuatu itu masih dalam jangkauan panca indera maka dalilnya adalah aqli, tetapi
jika sesuatu itu di luar jangkauan panca indera, wajib disandarkan pada dalil naqli.
Dengan demikian dalil aqidah ada dua:
1.Dalil Aqli: dalil yang digunakan untuk membuktikan perkara-perkara yang bisa
diindera sebagai jalan (perantara) untuk mencapai kebenaran yang pasti dari
keimanan. Yang meliputi di dalamnya adalah beriman kepada keberadaan Allah,
pembuktian kebenaran Al-Qur'an, dan pembuktian Nabi Muhammad itu adalah
utusan Allah.
2.Dalil Naqli: berita (khabar) pasti (qath’i) yang diberitakan kepada manusia
berkaitan dengan perkara-perkara yang tidak dapat secara langsung dijangkau
oleh akal manusia, yaitu mengenai beriman kepada Malaikat, Hari Akhir, Nabi-
nabi dan Rasul-Rasul, Kitab-kitab terdahulu, sifat-sifat Allah, dan tentang Taqdir.
Khabar yang qath’i ini haruslah bersumber pada sesuatu yang pasti yaitu Al-
Qur'an dan hadits mutawatir (hadits qath’i).
“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah’.
Mereka berkata: ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
nenek-nenek moyang kami’. (Ataukah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk ?” (QS. Al-Baqarah: 170)
“Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang
Allah, sebab kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya
sebenarnya.” (Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Nu’im dalam kitab Al-
Hidayah; sifatnya marfu, sanadnya dlaif tetapi isinya shahih)
Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang
dzat Allah yang sebenarnya. Sebagai contoh mengkhayalkan bagaimana Allah
melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya. Sebab, dzat Allah
bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisis. Ia tak dapat dianalogikan (qiyas)
pada materi apapun.
Inilah jalan yang ditempuh para sahabat, tabi’in dan ulama salaf, mereka
tidak pernah menakwilkan ayat-ayat yang memang tidak mampu dijangkau oleh
akal. Imam Ibn Al-Qayyim berkata: “Para Sahabat berbeda pendapat dalam
beberapa masalah. Padahal mereka adalah umat yang dijamin sempurna imannya.
Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan dalam
menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka
tidak menakwilkannnya, juga mereka tidak memalingkan pengertiannya.”
(I’laamul Muraaqin)
Ketika Imam Malik ditanya tentang makna ‘persemayaman-Nya (Istiwaa)’
beliau lama tertunduk bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik
mengangkat kepala lalu berkata: “Persemayaman itu bukan sesuatu yang tidak
diketahui. Juga, kaifiyat (caranya) bukanlah hal yang dapat dipahamkan.
Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah
bid’ah.” (Fath Al-Baari)
Di sisi lain, banyak manusia yang mendasarkan keimanannya pada sesuatu
hanya berdasarkan dugaan yang tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Seperti
menyebutkan Tuhan itu tiga, akan terjadi reinkarnasi setelah kematian, atau
menyebut tidak ada hari kebangkitan. Sebagian manusia lagi mendasarkan
keimanannya hanya pada perasaan (wijdan), walaupun itu fitrah di dalam diri
manusia, tapi tanpa didukung dengan pembuktian akal. Bila keimanan hanya
berdasarkan perasaan, yang terjadi pada manusia adalah kecenderungan untuk
mengkhayalkan apa yang diimani dan mencari sendiri cara untuk menyembahnya.
Maka muncullah penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong), syirik, atau ajaran
kebatinan.
Islam sebagai satu-satunya diin yang kita yakini kebenarannya tentu tidak
demikian. Islam adalah diin yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan akal sehat,
sesuai dengan fitrah manusia dan menentramkan hati.
Rukun Iman
Dasar pokok dari aqidah Islam adalah Arkanul Iman, hal ini didasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khatab; ketika itu
Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya: “Coba ceritakan apa iman
itu? Lalu Rasullah SAW menjawab: Iman itu percaya kepada adanya Allah,
Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat dan percaya kepada
takdir baik dan buruknya berasal dari Allah SWT.” (HR. Muslim).
1. Iman kepada Allah
Allah, nama yang mulia ini adalah sebutan bagi Dzat Suci yang kita imani
dan kita beramal karena-Nya, dan kita mengetahui bahwa dari-Nya lah kehidupan
kita dan kepada-Nya tempat kita kembali. Hanya Allah yang patut menerima pujian
dan memiliki kebesaran, layak ditakuti dan ditaati karena tidak ada satu pun
makhluk yang dapat menandingi-Nya. Walaupun seluruh umat manusia sejak
mereka diciptakan sampai dunia sepi dan berhenti bergerak karena seluruh manusia
sudah punah, melupakan dan ingkar kepada-Nya, sedikit pun tidaklah akan
menodai kemuliaan-Nya dan sebesar dzarah pun tidak akan mengurangi kekuasaan-
Nya, serta tidak seberkas cahaya-Nya yang akan terhalang dan tidak akan secuil
keagungan-Nya pun akan berkurang. Oleh sebab itu, seandainya kita berada pada
suatu masa ketika semua orang bersikap keras kepala memperturutkan hawa
nafsunya dan melupakan hari akhir serta tidak mau tahu terhadap Tuhannya, Hal
demikian itu tidak sedikit pun akan merugikan Allah Ta'ala. Adanya Allah SWT
adalah suatu hal yang jelas dapat diketahui manusia dengan fitrahnya, dan bukan
termasuk masalah yang pelik dan bukan pula hasil pemikiran yang berbelit-belit.
Pernahkah kita memikirkan tentang planet-planet yang beredar, yang membelah
angkasa raya dan mengikuti garis edar atau falak tertentu tanpa berkisar ke kanan
atau ke kiri dan menetapi kecepatan yang teratur tidak terlalu kencang dan tidak
pula terlalu lambat, kemudian kita lihat ia muncul pada waktu yang telah
diperkirakan dan tidak melanggarnya?
Apabila bola basket dimainkan para pemain, tetapi tidak lama setelah
beredar dan berputar-putar ia selalu jatuh kembali ke bawah, sekarang pikirkan
bagaimana bola-bola yang teramat besar ukurannya yang ada di angkasa, ia tetap
beredar dan tidak jatuh-jatuh, terus berputar tak henti-henti. Itu semua tidak
mungkin terjadi tanpa ada kekuasaan yang mengaturnya.
a. Mempertebal keyakinan kita pada kekuasaan Allah SWT karena tugas malaikat
sangat banyak yang jauh dari jangkauan manusia, seperti sebagai perantara
wahyu dari Allah SWT kepada para utusan-Nya, pencabut nyawa manusia dan
penyebar rizki. Suatu kesalahan besar jika ada anggapan bahwa malaikat
dengan seperangkat tugasnya menjadikan suatu tanda bahwa dalam mengatur
alam ini Allah SWT perlu pembantu. Adanya malaikat bukan mempersempit
kekuasaan Allah SWT, tetapi sebagai bukti kekuasaan-Nya, sebagai bukti
bahwa Allah sesuatu kekuasaan apa pun yang sanggup menandingi kerajaan-
Nya.
Iman kepada hari akhir memberi kita semangat untuk terus dapat
meningkatkan kuantitas dan kualitas amal perbuatan kita, sehingga semuanya
bernilai ibadah dan dapat dijadikan bekal untuk perjalanan menuju kehidupan yang
kekal abadi di akhirat nanti. Di samping itu, iman pada hari akhir akan menambah
keyakinan kita kepada keimanan kepada Allah SWT yang mempunyai sifat
Mahaadil dan Mahabijaksana karena di akhirat nanti manusia akan diberi balasan
sesuai dengan amalan-amalannya.
Karena itu iman kepada hari akhir mempunyai dampak positif bagi kehidupan
seseorang, yakni:
a. Senantiasa menjaga diri untuk selalu taat kepada Allah SWT dan senantiasa
mengharapkan pahala pada hari Kiamat. Ia akan berusaha menjauhi segala
larangan-Nya karena takut siksaan kelak di kemudian hari.
b. Menghibur dan mendorong agar bersabar bagi Mukmin bahwa kebahagiaan
(kesenangan, kesejahteraan) yang belum diperolehnya di dunia akan
diterimanya di kemudian hari.
Sebagaimana kita ketahui, iman kepada Allah SWT harus datang dari
pemahaman akal. Keimanan inilah yang menjadi dasar kuat bagi kita untuk beriman
kepada hal-hal yang ghaib dan segala apa yang dikabarkan oleh Allah SWT. Sebab,
apabila kita telah beriman kepada-Nya maka konsekuensinya kita wajib pula
beriman terhadap apa-apa yang dikabarkan-Nya melalui Rasul-Nya.
Begitulah aqidah seorang muslim yang menggunakan akal. Kalaupun dia
harus mempercayai dalil-dalil naqli (kutipan), maka dalil-dalil yang diterimanya itu
harus qath’i (pasti). Untuk mengetahui apakah suatu dalil pasti atau tidak, juga
harus memakai akal dalam memilah dan memilihnya. Sebab, tidak ada taqlid dalam
masalah aqidah. Oleh karena itu, Aqidah Islamiyah disebut Aqidah Aqliyah, artinya
aqidah yang dapat diterima oleh akal.
Setelah seorang muslim beriman kepada apa-apa yang telah dijelaskan di
atas, ia pun wajib menerima seluruh Syariat Islam sebagai pengatur bagi
kehidupannya. Sebab, syariat itu datang dari Allah SWT melalui Rasul-Nya, baik
yang terdapat di dalam Al-Qur'an dan Al-Hadits. Penerimaan terhadap hal tersebut
harus utuh dan bulat, tidak boleh hanya sebagian-sebagian. Tidak boleh dipilah-
pilah dalam menerima hukum-hukum Allah. Semuanya harus diterima dan diimani
dengan sepenuh hati.
Dan penerimaan terhadap Syariat Islam tidak boleh berhenti pada akal saja,
dalam arti hanya sebatas kepada pengetahuan. Akan tetapi, harus terdapat
penyerahan mutlak dan totalitas terhadap segala peraturan yang datang dari Allah
SWT.
KESIMPULAN
Sumber aqidah Islam adalah Al-Qur’an dan Sunnah. Akal pikiran tidaklah
menjadi sumber aqidah, tetapi hanya berfungsi memahami nash-nash yang terdapat
dalam kedua sumber tersebut dan mencoba –kalau diperlukan – membuktikan
secara ilmiah kebenaran yang disampaikan Al-Qur’an dan Sunnah. Itupun harus
didasari oleh suatu kesadaran bahwa kemampuan akal sangat terbatas. Sesuatu yang
terbatas/akal tidak akan mampu menggapai sesuatu yang tidak terbatas.
Jadi aqidah berfungsi sebagai ruh dari kehidupan agama, tanpa ruh/aqidah
maka syari’at/jasad kita tidak ada guna apa-apa.
DAFTAR PUSTAKA
Drs. H. Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h. 1
Ibid. h. 21
Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir. Aqidah al-Mukmin. Cairo. Maktabah al-Kulliyat al-
Azhariyah. 1978.
https://mananjumati.wordpress.com/2014/09/13/makalah-konsep-aqidah-dalam-
islam/
https://sabri1a.files.wordpress.com/2011/03/aqidah-islamiyah