Anda di halaman 1dari 15

Aqidah Islam

"Rasul telah beriman kepada Al-Qur'an yang diturunkan kepadanya dari


Tuhannya, demikian pula orang-orang yang beriman. Semuanya beriman kepada
Allah, malaikat-malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, dan Rasul-Rasul-Nya. (Mereka
mengatakan): "Kami tidak membedakan antara seseorang pun dari Rasul-Rasul-
Nya", dan mereka mengatakan, "Kami dengar dan kami taat". Mereka berdoa:
"Ampunilah kami ya Tuhan kami, dan kepada Engkaulah tempat kembali." (QS.
Al-Baqarah: 285)

Pembahasan aqidah merupakan pembahasan yang paling penting


dibandingkan dengan berbagai perkara lainnya. Hal ini disebabkan aqidah
merupakan asas, kaidah berfikir, tolok ukur suatu perbuatan, dan standar (acuan)
bagi seorang muslim serta masyarakatnya memecahkan berbagai persoalan
(problematika) yang terjadi dalam kehidupannya di dunia. Dengan demikian,
aqidah menjadi landasan bangunan peradaban manusia, dasar berbagai tonggak
kehidupan ditegakkan, tempat keluarnya berbagai aturan dan peraturan kehidupan,
norma, dan tata nilai masyarakat. Aqidah pula yang menentukan cara dan arah
pandang, cita-cita, dan tujuan yang dianut oleh para pemeluknya, diyakini
kebenarannya, diperjuangkan, dipertahankan, dan disebarluaskan ke seluruh
penjuru dunia.
Berkaitan dengan hal tersebut, dari hidup Rasulullah SAW. fakta
menunjukkan bahwa Rasulullah SAW bukan hanya membina para shahabatnya
dengan aqidah yang kuat, namun juga membangun masyarakat Islam di Madinah
untuk selalu bersandar pada aqidah Islam walaupun ayat-ayat tasyri’ (hukum)
belum seluruhnya diturunkan. Rasulullah SAW. menjadikan syahadat Laa Ilaaha
Illallah sebagai asas bagi segalanya, asas kehidupan muslim, asas yang
menghubungkan interaksi sesama muslim, asas yang mendasari hubungan sesama
manusia, asas untuk menyelesaikan berbagai perkara kezaliman, menyelesaikan
perselisihan, asas bagi kekuasaan dan mengatur pemerintahan. Permasalahan ini
dapat kita simak dalam Piagam Madinah antara kaum Muhajirin dan Anshar dengan
Yahudi dimana antara lain disebutkan:

“...Sesungguhnya apabila terjadi kejadian atau perselisihan di antara mereka yang


terlibat dalam perjanjian ini, serta dikhawatirkan akan menimbulkan kerusakan
maka hal itu harus dikembalikan kepada Allah dan Rasul-Nya...” (Sirah Ibnu
Hisyam)

Rasulullah SAW. ketika mewajibkan jihad fii sabilillah kepada kaum


muslimin sebagai suatu cara untuk mempertahankan aqidah Islam dan
menyampaikan da’wah Islam, beliau Rasulullah SAW. selalu melandasi perintah
itu dengan aqidah tauhid seraya bersabda:

“Aku diperintahkan untuk memerangi manusia sampai mereka mengucapkan Laa


Ilaaha Illallahu, Muhammad Rasulullah. Apabila mereka telah mengucapkannya,
maka darah (nyawa) dan harta benda mereka terlindung dariku, kecuali karena
haknya. Dan Allahlah yang menghisab mereka” (HR. Bukhari, Muslim, dan
Ashhabus Sunan)

Aqidah Islam sebagai asas bagi peraturan dan hukum karena Allah SWT.
telah memerintahkan kaum muslimin untuk merujuk dalam perkara ini terhadap
hukum yang diturunkan Allah SWT. dan Rasul-Nya saja. Allah SWT. berfirman:
“Maka demi Tuhanmu, mereka itu (pada hakikatnya) tidak beriman sebelum
mereka menjadikan kamu (Muhammad) sebagai hakim terhadap perkara yang
mereka perselisihkan, kemudian mereka tidak merasa di hati mereka suatu
keberatan terhadap putusan yang kauberikan, dan mereka menerima dengan
sepenuhnya.” (QS. An-Nisaa: 65)

Ayat di atas menegaskan kepada kita bahwa keimanan (aqidah) seorang


muslim dan masyarakatnya diukur dari apakah ia bersedia merujuk kepada hukum
Allah dan Rasul-Nya ataukah tidak. Hal ini menegaskan bahwa aturan dan
peraturan kehidupan manusia harus merujuk dan hanya lahir berasal dari aqidah
Islam semata. Namun pada dasarnnya manusia seringkali kehilangan pengertian
terhadap iman kepada penciptanya, adalah ini pengertian Tuhan menurut beberapa
ahli :

Pendapat Xenophanes
Xenophanes menyatakan: “Tuhan hanya satu, yang terbesar di antara dewa dan
manusia, tidak serupa dengan makhluk yang fana.”
“Tuhan Yang Esa itu tidak dijadikan tidak bergerak dan berubah-ubah, dan ia
mengisi seluruh alam. Dia melihat semuanya, mendengar semua dan memikirkan
seluruhnya. Mudah sekali Ia memimpin alam ini dengan kakuatan fikirNya.”

Pendapat Socrates
Socrates menyatakan: “Tuhan pencipta ala mini bukanlah hanya untuk memikirkan
dan memperhatikan manusia saja, tapi ialah roh bagi manusia. Jika tidak begitu
cobalah sebutkan padaku, hewan manakah yang dapat mengetahui adanya Tuhan
yang mengatur susunan tubuh yang mempunyai sifat-sifat tinggi seperti ini! Coba
katakana hewan mana selain manusia yang dapat dibawa akalnya menyembah dan
berkhidmah kepada Tuhan?”

Pendapat Descartes
Descartes menyatakan: “Saya tidak menjadikan diri saya sendiri. Sebab kalau saya
menjadikan, tentulah saya dapat memberikan segala sifat kesempurnaan kepada diri
saya itu. Oleh sebab itu tentu saya dijadikan oleh Dzat yang lain. Dan sudah pasti
pula Dzat lain itu menjadikan saya mempunyai sifat-sifat kesempurnaan, kalau
tidak akan sama halnya dengan diri saya.”
“Saya selalu merasa diri saya dalam kekurangan, dan pada waktu itu juga diri saya
merasa tentu ada Dzat yang tidak kekurangan, yakni sempurna. Dan Dzat yang
sempurna itu ialah Allah”.
Pengertian Aqidah dan Aqidah Islamiyyah
Pengertian aqidah secara bahasa (etimologi) dalam bahasa Arab berasal dari
dari kata aqada, ya’qidu, aqidatan. Kata tersebut mengikuti wazan fa’ilatan yang
berarti al-habl, al-bai’, al-‘ahd (tali, jual beli, dan perjanjian) Adapun pengertian
secara terminologi (istilah) adalah:

a. Syaikh Taqiyuddin An-Nabhaniy menyatakan aqidah adalah iman. Iman


merupakan pembenaran (keyakinan) yang bersifat pasti (tashdiqu al-jaaziim)
yang sesuai dengan kenyataan berdasarkan dalil”.
b. Mahmud Syaltouth menyatakan bahwa aqidah merupakan cara pandang
keyakinan yang harus diyakini terlebih dahulu sebelum segala perkara yang
lainnya dengan suatu keyakinan yang tidak diliputi keraguan dan tidak
dipengaruhi oleh kesamaran yang menyerupainya”
c. Muhammad Husein Abdullah menyatakan aqidah adalah pemikiran yang
menyeluruh tentang alam, manusia, kehidupan, serta hubungan semuanya
dengan sebelum kehidupan (Sang Pencipta) dan setelah kehidupan (Hari
Kiamat), serta tentang hubungan semuanya dengan sebelum dan setelah
kehidupan (syari’at dan hisab)

Dengan demikian, maka segala bentuk keyakinan yang tidak berasal dari
jalan yang menghasilkan kepastian atau datang melalui jalan yang pasti tetapi masih
mengandung persangkaan (dzan) di dalam keterangannya sehingga menimbulkan
perselisihan para ulama, maka hal seperti itu tergolong pada keyakinan yang tidak
wajib oleh agama untuk meyakininya. Hal ini merupakan garis pemisah atau
pembatas yang tegas antara orang-orang yang beriman dengan yang tidak beriman.
Berdasarkan uraian di atas, Fathi Salim dalam kitab Al-Istidlal Bi Az-Zanni
Fi Al-Aqidah menyatakan bahwa aqidah Islam atau iman agar pembenarannya
bersifat pasti harus menunjukkan keyakinan (Al Ilmu). Sebab yang disebut dengan
‘Ilmu adalah i’tiqad atau keyakinan yang pasti sesuai dengan kenyataan, sedangkan
dzann merupakan i’tiqad (keyakinan) yang kuat tetapi berdasarkan persangkaan
sehingga bermuara pada keyakinan atau bisa sampai pada keraguan (syak).
Sebutan aqidah Islamiyah ditunjukkan pada iman kepada Allah SWT, para
malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari kiamat, dan kepada qadla dan
qadar, baik buruknya berasal dari Allah SWT. Namun demikian bukan berarti selain
hal ini tidak ada lagi perkara yang wajib diimani, tetapi enam perkara tersebut
merupakan kerangka aqidah Islam. Masih banyak terdapat perkara yang lain yang
termasuk pada bagian aqidah, yaitu iman kepada Al-Maut (ajal), rezeki, tawakkal
kepada Allah SWT, iman dengan pertolongan Allah SWT, iman terhadap sifat-sifat
Allah SWT, iman terhadap kema’shuman para nabi dan Rasul, mu’jizat Al-Qur'an,
dan lain-lain. Begitu pula keimanan terhadap adanya surga dan neraka, yaumul
hisab (hari perhitungan), iman terhadap keberadaan jin, setan dan berbagai perkara
gaib lainnya berbentuk kisah-kisah yang tercantum dalam Al-Qur'an dan hadits
Rasulullah SAW. yang mutawatir.
Dari hal di atas kita dapat menarik kesimpulan bahwa pembahasan aqidah
menyangkut hal-hal pokok semata dalam urusan ushuluddin, sedangkan perkara
yang termasuk aktivitas dan perbuatan manusia termasuk bagian dalam syariat
Islam dan fiqh Islam.
Al-Qur'an memberikan sebutan aqidah dengan menggunakan istilah iman.
Syaikh Mahmud Syaltouth menyatakan bahwa pengertian aqidah sama dengan
iman. Kalau Aqidah mempunyai arti mempercayai sejumlah perkara yang diyakini
kebenarannya, yaitu perkara yang bertalian dengan aspek Ilahiyah (Ketuhanan), Al
Nubuwwah (kenabian), Al Ruhaaniyat (keruhanian), dan Al sam’iyyat (berita
tentang akhirat), sedangkan iman mempunyai rukun-rukunnya yang enam (Arkanul
Iman) yang juga harus yakin tentang kebenarannya. Dengan demikian inti
pengertian keduanya adalah sama. Adapun perbedaan keduanya hanya terletak pada
istilah dan sebutan. Aqidah merupakan istilah yang digunakan para ulama
ushuluddin sedangkan Al-Qur'an menyebutnya dengan menggunakan kata iman.

Dalil Masalah Keimanan

Aqidah Islam ditetapkan oleh Allah SWT dan kita sebagai manusia wajib
mempercayainya sehingga kita layak disebut sebagai orang yang beriman atau
mukmin. Namun bukan berarti keimanan itu ditanamkan ke dalam diri seseorang
secara dogmatis, sebab proses keimanan haruslah disertai dalil-dalil. Dalil ini
adakalanya bersifat aqli atau naqli, tergantung perkara apa yang diimani. Jika
sesuatu itu masih dalam jangkauan panca indera maka dalilnya adalah aqli, tetapi
jika sesuatu itu di luar jangkauan panca indera, wajib disandarkan pada dalil naqli.
Dengan demikian dalil aqidah ada dua:

1.Dalil Aqli: dalil yang digunakan untuk membuktikan perkara-perkara yang bisa
diindera sebagai jalan (perantara) untuk mencapai kebenaran yang pasti dari
keimanan. Yang meliputi di dalamnya adalah beriman kepada keberadaan Allah,
pembuktian kebenaran Al-Qur'an, dan pembuktian Nabi Muhammad itu adalah
utusan Allah.
2.Dalil Naqli: berita (khabar) pasti (qath’i) yang diberitakan kepada manusia
berkaitan dengan perkara-perkara yang tidak dapat secara langsung dijangkau
oleh akal manusia, yaitu mengenai beriman kepada Malaikat, Hari Akhir, Nabi-
nabi dan Rasul-Rasul, Kitab-kitab terdahulu, sifat-sifat Allah, dan tentang Taqdir.
Khabar yang qath’i ini haruslah bersumber pada sesuatu yang pasti yaitu Al-
Qur'an dan hadits mutawatir (hadits qath’i).

Pengambilan dalil untuk perkara aqidah berbeda dengan pengambilan dalil


bagi perkara tasyri’ (hukum). Hal ini disebabkan aqidah mensyaratkan dalil yang
bersifat pasti, tidak ada keraguan sedikitpun di dalamnya. Oleh sebab itu, sumber
pengambilan dalil bagi masalah aqidah ini harus qath’i (pasti) sumbernya (qat’i
tsubut) dan pasti penunjukkan dalilnya (qath’i dalalah). Sumber yang tergolong
pasti adalah Al Qur-an dan Hadits Rasulullah SAW. yang mutawatir saja.
Muhammad Husain Abdullah menyatakan bahwa hadits mutawatir adalah
hadits yang didasarkan panca indera, diberitakan oleh sejumlah orang yang
jumlahnya menurut kebiasaan tidak mungkin mereka bersepakat (terlebih dahulu)
untuk berdusta (dalam pemberitaannya). Hadits mutawatir seperti ini menunjukkan
Al-‘Ilmu (kepastian), yakin, wajib diamalkan, dan barangsiapa mengingkarinya
dikategorikan kafir.
Adapun yang dimaksud qath’i dalalah karena kepastian penunjukkan dalil
akan memustahilkan ijtihad dalam perkara aqidah. Syariat Islam tidak menerima
ijtihad seseorang dalam perkara aqidah. Ijtihad hanya terbatas dalam perkara tasyri’
(hukum) saja. Sebab jika aqidah dijadikan lahan untuk berijtihad maka bagaimana
dengan orang-orang yang hasil ijtihadnya dalam perkara aqidah tersebut keliru atau
salah. Sedangkan kekeliruan atau kesalahan dalam perkara aqidah akan
menjerumuskan pada kekafiran. hal ini karena aqidah Islam merupakan batas antara
iman dan kafir.
Dari hal inilah maka penunjukkan dalil dalam masalah aqidah harus qath’i
(pasti) bukan dzanni (persangkaan) yang masih mengandung kemungkinan
penafsiran berbeda dan beraneka ragam pemahaman. Adapun ayat-ayat Al-Qur'an
yang mewajibkan hal ini adalah:

“Sesungguhnya orang-orang yang tidak beriman kepada kehidupan akhirat,


mereka benar-benar menamakan malaikat itu dengan nama perempuan. Dan
mereka tidak mempunyai sesuatu pengetahuan tentang itu. Mereka tidak lain
hanyalah mengikuti persangkaan (dzann), sedangkan persangkaan itu tidak
berfaidah sedikitpun terhadap kebenaran” (QS. Al Najm: 27-28)

Ayat di atas dengan jelas dan gamblang mencela orang-orang yang


mengikuti persangkaan dan dugaan, mencela orang-orang yang mengikuti suatu
perkara aqidah tanpa ‘ilmu (kepastian). Celaan dan teguran ayat-ayat tersebut di
atas sekaligus sebagai dalil yang melarang secara tegas untuk tidak mengikuti
persangkaan dan dugaan dalam urusan aqidah. Dalil syara’ menunjukkan kepada
kita bahwa beristidlal (menggunakan dalil) dzanni (terdapat adanya
dugaan/keraguan) dalam masalah aqidah dilarang. Di samping itu, tematik yang
disinggung oleh ayat-ayat tersebut di atas seluruhnya menyangkut aqidah,
diantaranya ada yang berhubungan dengan keberadaan Allah SWT, qiamat,
malaikat, para Rasul, janji Allah, penciptaan langit dan bumi, sampai masalah
penyaliban Isa Al-Masih.
Hanya saja perlu diingat bahwa penentuan dalil naqli juga ditetapkan
dengan jalan aqli. Artinya, penentuan dalil tersebut dilakukan melalui penyelidikan
untuk menentukan mana yang dapat dan mana yang tidak untuk dijadikan dalil
naqli. Sebuah dalil naqli harus bisa dibuktikan terlebih dahulu kebenarannya secara
aqli. Oleh karena itu, semua dalil tentang aqidah pada dasarnya disandarkan pada
metode aqli (aqliyyah).

Sehubungan dengan ini, Imam Syafi’i berkata: “Ketahuilah bahwa


kewajiban pertama bagi seorang mukallaf adalah berpikir dan mencari dalil untuk
ma’rifat kepada Allah ta’ala. Arti berpikir adalah melakukan penalaran dan
perenungan kalbu dalam kondisi orang yang berpikir tersebut dituntut untuk
ma’rifat kepada Allah. Dengan cara seperti itu, ia bisa sampai ma’rifat terhadap
hal-hal yang ghaib dari pengamatannya dengan indera, dan ini merupakan suatu
keharusan. Hal seperti itu merupakan suatu kewajiban dalam masalah
ushuluddin.” (Fiqh Al-Akbar)

Peranan Akal Dalam Masalah Keimanan


Al-Qur'an melarang seseorang untuk beriman tanpa proses berpikir (taqlid
buta). Islam mencela orang yang beriman karena sebatas mengikuti orang tua atau
nenek moyang mereka.

“Dan apabila dikatakan kepada mereka: ‘Ikutilah apa yang diturunkan Allah’.
Mereka berkata: ‘Tidak, kami hanya mengikuti apa yang telah kami dapati dari
nenek-nenek moyang kami’. (Ataukah mereka akan mengikuti juga), walaupun
nenek moyang mereka itu tidak mengetahui suatu apapun, dan tidak mendapat
petunjuk ?” (QS. Al-Baqarah: 170)

Oleh karena itu, masalah keimanan haruslah dibangun berdasarkan sesuatu


yang dipastikan kebenarannya, tidak menduga-duga yang sifatnya dzanni (tidak
pasti). Al-Qur'an telah menghinakan kaum musyrik karena mereka hanya mengikuti
prasangka. Hanya saja perlu kita ingat, bahwa akal manusia hanya mampu
membuktikan sesuatu yang berada di dalam jangkauan akal. Adapun yang di luar
jangkauan akal, harus ada sesuatu sebagai perantara (wasilah) yang merupakan
petunjuk atas hal-hal yang tak bisa dijangkau tadi.
Seperti perkataan seorang Badui (orang awam) tatkala ditanyakan
kepadanya: “Dengan apa engkau mengenal Robbmu?” Jawabnya: “Tahi onta itu
menunjukkan adanya onta dan bekas tapak kaki menunjukkan ada orang yang
berjalan”.
Oleh karena itu, ayat-ayat Al-Qur'an mengajak manusia untuk
membuktikan keberadaan (eksistensi) Allah dengan berpikir melihat alam semesta.
Karena keterbatasan akal dalam berpikir, Islam melarang manusia untuk
memikirkan tentang dzat Allah. Sebab manusia mempunyai kecenderungan (bila ia
hanya menduga-duga) menyerupakan Allah dengan suatu makhluk. Berkaitan
dengan hal ini Rasullah SAW bersabda:

“Berpikirlah kamu tentang makhluk Allah tetapi jangan kamu pikirkan tentang
Allah, sebab kamu tidak akan sanggup mengira-ngira tentang hakikatnya
sebenarnya.” (Hadist ini diriwayatkan oleh Abu Nu’im dalam kitab Al-
Hidayah; sifatnya marfu, sanadnya dlaif tetapi isinya shahih)

Akal manusia yang terbatas tidak akan mampu membuat khayalan tentang
dzat Allah yang sebenarnya. Sebagai contoh mengkhayalkan bagaimana Allah
melihat, mendengar, berbicara, bersemayam di atas Arsy-Nya. Sebab, dzat Allah
bukanlah materi yang bisa diukur atau dianalisis. Ia tak dapat dianalogikan (qiyas)
pada materi apapun.
Inilah jalan yang ditempuh para sahabat, tabi’in dan ulama salaf, mereka
tidak pernah menakwilkan ayat-ayat yang memang tidak mampu dijangkau oleh
akal. Imam Ibn Al-Qayyim berkata: “Para Sahabat berbeda pendapat dalam
beberapa masalah. Padahal mereka adalah umat yang dijamin sempurna imannya.
Tetapi alhamdulillah, mereka tidak pernah terlibat bertentangan dalam
menghadapi asma Allah, perbuatan-perbuatan Allah dan sifat-sifat-Nya. Mereka
tidak menakwilkannnya, juga mereka tidak memalingkan pengertiannya.”
(I’laamul Muraaqin)
Ketika Imam Malik ditanya tentang makna ‘persemayaman-Nya (Istiwaa)’
beliau lama tertunduk bahkan mengeluarkan keringat. Setelah itu Imam Malik
mengangkat kepala lalu berkata: “Persemayaman itu bukan sesuatu yang tidak
diketahui. Juga, kaifiyat (caranya) bukanlah hal yang dapat dipahamkan.
Sedangkan mengimaninya adalah wajib, tetapi menanyakan hal tersebut adalah
bid’ah.” (Fath Al-Baari)
Di sisi lain, banyak manusia yang mendasarkan keimanannya pada sesuatu
hanya berdasarkan dugaan yang tidak bisa dibuktikan dengan akal sehat. Seperti
menyebutkan Tuhan itu tiga, akan terjadi reinkarnasi setelah kematian, atau
menyebut tidak ada hari kebangkitan. Sebagian manusia lagi mendasarkan
keimanannya hanya pada perasaan (wijdan), walaupun itu fitrah di dalam diri
manusia, tapi tanpa didukung dengan pembuktian akal. Bila keimanan hanya
berdasarkan perasaan, yang terjadi pada manusia adalah kecenderungan untuk
mengkhayalkan apa yang diimani dan mencari sendiri cara untuk menyembahnya.
Maka muncullah penyembahan berhala, khurafat (cerita bohong), syirik, atau ajaran
kebatinan.
Islam sebagai satu-satunya diin yang kita yakini kebenarannya tentu tidak
demikian. Islam adalah diin yang bisa dibuktikan kebenarannya dengan akal sehat,
sesuai dengan fitrah manusia dan menentramkan hati.

Rukun Iman

Dasar pokok dari aqidah Islam adalah Arkanul Iman, hal ini didasarkan
hadits yang diriwayatkan oleh Imam Muslim dari Umar bin Khatab; ketika itu
Malaikat Jibril datang kepada Nabi SAW dan bertanya: “Coba ceritakan apa iman
itu? Lalu Rasullah SAW menjawab: Iman itu percaya kepada adanya Allah,
Malaikat-Nya, kitab-kitab-Nya, para Rasul-Nya, hari Kiamat dan percaya kepada
takdir baik dan buruknya berasal dari Allah SWT.” (HR. Muslim).
1. Iman kepada Allah
Allah, nama yang mulia ini adalah sebutan bagi Dzat Suci yang kita imani
dan kita beramal karena-Nya, dan kita mengetahui bahwa dari-Nya lah kehidupan
kita dan kepada-Nya tempat kita kembali. Hanya Allah yang patut menerima pujian
dan memiliki kebesaran, layak ditakuti dan ditaati karena tidak ada satu pun
makhluk yang dapat menandingi-Nya. Walaupun seluruh umat manusia sejak
mereka diciptakan sampai dunia sepi dan berhenti bergerak karena seluruh manusia
sudah punah, melupakan dan ingkar kepada-Nya, sedikit pun tidaklah akan
menodai kemuliaan-Nya dan sebesar dzarah pun tidak akan mengurangi kekuasaan-
Nya, serta tidak seberkas cahaya-Nya yang akan terhalang dan tidak akan secuil
keagungan-Nya pun akan berkurang. Oleh sebab itu, seandainya kita berada pada
suatu masa ketika semua orang bersikap keras kepala memperturutkan hawa
nafsunya dan melupakan hari akhir serta tidak mau tahu terhadap Tuhannya, Hal
demikian itu tidak sedikit pun akan merugikan Allah Ta'ala. Adanya Allah SWT
adalah suatu hal yang jelas dapat diketahui manusia dengan fitrahnya, dan bukan
termasuk masalah yang pelik dan bukan pula hasil pemikiran yang berbelit-belit.
Pernahkah kita memikirkan tentang planet-planet yang beredar, yang membelah
angkasa raya dan mengikuti garis edar atau falak tertentu tanpa berkisar ke kanan
atau ke kiri dan menetapi kecepatan yang teratur tidak terlalu kencang dan tidak
pula terlalu lambat, kemudian kita lihat ia muncul pada waktu yang telah
diperkirakan dan tidak melanggarnya?
Apabila bola basket dimainkan para pemain, tetapi tidak lama setelah
beredar dan berputar-putar ia selalu jatuh kembali ke bawah, sekarang pikirkan
bagaimana bola-bola yang teramat besar ukurannya yang ada di angkasa, ia tetap
beredar dan tidak jatuh-jatuh, terus berputar tak henti-henti. Itu semua tidak
mungkin terjadi tanpa ada kekuasaan yang mengaturnya.

2. Iman kepada para malaikat-Nya


Iman kepada Malaikat berdasarkan dalil naqli sebab akal tidak pernah
mampu menjangkau keberadaan Malaikat. Dalil syara tentang adanya Malaikat
berasal dari ayat-ayat Al-Qur'an dan sunnah Rasul SAW.

Malaikat adalah makhluk Allah yang paling taat kepada-Nya. Malaikat


tidak pernah menentang kehendak-Nya, senantiasa tunduk, patuh, dan taat kepada-
Nya serta menjauhi larangan-Nya. Keimanan kepada malaikat ini membuahkan
sejumlah hikmah, di antaranya adalah :

a. Mempertebal keyakinan kita pada kekuasaan Allah SWT karena tugas malaikat
sangat banyak yang jauh dari jangkauan manusia, seperti sebagai perantara
wahyu dari Allah SWT kepada para utusan-Nya, pencabut nyawa manusia dan
penyebar rizki. Suatu kesalahan besar jika ada anggapan bahwa malaikat
dengan seperangkat tugasnya menjadikan suatu tanda bahwa dalam mengatur
alam ini Allah SWT perlu pembantu. Adanya malaikat bukan mempersempit
kekuasaan Allah SWT, tetapi sebagai bukti kekuasaan-Nya, sebagai bukti
bahwa Allah sesuatu kekuasaan apa pun yang sanggup menandingi kerajaan-
Nya.

b. Menambah ketawadluan kita sebagai manusia yang banyak melakukan


perbuatan dosa karena malaikat yang mempunyai kedudukan mulia di sisi Allah
SWT saja tidak pernah melanggar perintah-Nya (apalagi kita yang belum jelas
kedudukannya di hadapan Allah SWT).
c. Menambah keyakinan kita terhadap kitab-kitab yang telah diturunkan-Nya
kepada para utusan-Nya melalui perantaraan malaikat. Dengan demikian, tidak
ada keraguan dalam diri kita untuk mengamalkannya.

d. Memperketat amalan-amalan kita karena keyakinan kita akan adanya


'pengawas' yang ditugaskan Allah untuk kita (malaikat Raqib dan Atid)
sehingga amalan-amalan kita semakin terlindungi dari hal-hal yang dimurkai-
Nya.
Dengan keimanan yang utuh terhadap malaikat, seorang muslim akan
berhati-hati dalam berbuat, karena ia yakin sang Malaikat akan senantiasa mencatat
amal baik dan buruknya. Selain itu pun akan lebih berani dan optimis dalam
mengarungi kehidupan, khususnya dalam mengemban da’wah, karena ia yakin
selalu “dikawal” oleh tentara Allah yang perkasa, yakni para Malaikat.

3. Iman kepada kitab-kitab-Nya


Seorang Muslim beriman dan yakin kepada segala hal yang diturunkan dan
diwahyukan oleh Allah SWT, berupa kitab dan apa yang difirmankan-Nya kepada
beberapa Rasul berupa shuhuf (lembaran).
Kitab-kitab yang berasal dari firman Allah SWT seluruhnya ada empat
macam, yaitu Al-Qur'an yang diturunkan kepada Nabi Muhammad SAW. Taurat
yang diturunkan kepada Nabi Musa as. Zabur yang diturunkan kepada Nabi Daud
as. Dan Injil yang diturunkan kepada hamba Allah dan Rasul-Nya, Nabi Isa as.
Sementara itu firman Allah dalam bentuk shuhuf, misalnya adalah apa yang
diberikan Allah kepada Nabi Ibrahim as.
Hal ini menunjukkan adanya kesatuan misi yang diemban oleh para Rasul-
Nya dari masa ke masa, tidak berubah, yaitu tauhidullah. Hal ini pun menunjukkan
bahwa Tuhan dari semenjak Nabi Adam hingga Nabi Muhammad SAW, manusia
pertama yang diciptakan hingga manusia akhir yang kelak akan diciptakan adalah
sama, yaitu Allah SWT. Kitab-kitab itu masing-masing diturunkan-Nya untuk
menyempurnakan yang sebelumnya. Tidak ada kesimpangsiuran atau target yang
tidak jelas karena yang menurunkannya adalah Allah SWT, Sang Maha Pengatur
yang Maha Mengetahui lagi Maha Bijaksana.

4. Iman kepada para utusan-Nya


Iman kepada para utusan-Nya, menunjukkan bahwa semua Rasul yang
diutus-Nya adalah pengemban misi yang sama yaitu tauhidullah yang akan
membawa keselamatan bagi umat manusia di dunia dan akhirat. Di samping itu,
menunjukkan terdapat aturan dalam beribadah kepada-Nya karena itu manusia
memerlukan penunjuk jalan yaitu seseorang yang telah diutus-Nya. Para utusan
Allah adalah orang-orang yang terpilih, tidak bisa setiap orang mengklaim dirinya
sebagai Rasul dan tidak bisa pula setiap orang mengangkat orang lain menjadi
Rasul.

DAFTAR PUSTAKA

Drs. H. Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h. 1

Al-Banna, Majmu’atu ar-Rasail. Muassasah ar-Risalah Beirut: tanpa tahun.


h.165

Al-Jazairy, Aqidah al-Mukmin. (Cairo: 1978). h. 21


Drs. Edi Suresman. A.Md. Aqidah Islam. Malang. IKIP. 1993.

Drs. Edu Suresman. Aqidah Islam. (Malang: 1993). h. 1

Ibid. h. 21
Al-Jazairy, Abu Bakar Jabir. Aqidah al-Mukmin. Cairo. Maktabah al-Kulliyat al-
Azhariyah. 1978.

Drs. H. Yunahar Ilyas. Kuliah Aqidah Islam. (Yogyakarta: 1992). h. 6


Dr. Ahmad Daudy, Kuliah Aqidah Islam. Jakarta. Bulan Bintang. 1997

https://mananjumati.wordpress.com/2014/09/13/makalah-konsep-aqidah-dalam-
islam/

https://sabri1a.files.wordpress.com/2011/03/aqidah-islamiyah

Anda mungkin juga menyukai