Anda di halaman 1dari 31

KONSTRUKSI JALAN RAYA II

BAB II
PERENCANAAN GEOMETRIK JALAN
II.1. Faktor – Faktor Yang Mempengaruhi Perencanaan Geometrik Jalan Raya

1. KARAKTERISTIK LALU LINTAS


Data lalu lintas adalah data utama yang diperlukan untuk perencanaan teknik jalan, karena kapasitas
jalan yang akan direncanakan tergantung dari komposisi lalu lintas yang akan menggunakan jalan
pada suatu segmen jalan yang ditinjau. Besarnya volume atau arus lalu lintas diperlukan untuk
menentukan jumlah dan lebar jalur pada satu jalur jalan dalam penentuan karekteristik geometrik,
sedangkan jenis kendaraan akan menentukan kelas beban atau MST (Muatan Sumbu Terberat) yang
berpengaruh langsung pada perencanaan konstruksi perkerasan. Unsur lalu lintas, adalah benda atau
pejalan kaki sebagai bagian dari lalu lintas, sedangkan unsur lalu lintas di atas roda disebut
kendaraan dengan unit kendaraan.
A. Kendaraan Rencana
1. Kendaraan Ringan / Kecil (LV)
Kendaraan ringan / kecil adalah kendaraan bermotor ber as dua dengan empat roda dan
dengan as 2,0 – 3,0 ( meliputi : mobil penumpang, oplet, microbus, pick up dan truck kecil
sesuai sistem klasifikasi Bina Marga).
2. Kendaraan Sedang (MHV)
Kendaraan bermotor dengan dua gandar, dengan jarak 3,5 – 5,0 (termasuk bus kecil, truck
dua as dengan enam roda, sesuai dengan klasifikasi Bina Marga).
3. Kendaraan Berat / Besar (LB – LT)
a. Bus besar (LB)
Bus dengan dua atau tiga gandar dengan jarak as 5,0 – 6,0 m
b. Truck Besar (LT)
Truck tiga gandar dan truck kombinasi tiga, jarak gandar (gandar pertama ke kedua) < 3,5
m (sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)
4. Sepeda Motor (MC)
Kendaraan bermotor dengan 2 atau 3 ( meliputi : sepeda motor dan kendaraan roda tiga
sesuai sistem klasifikasi Bina Marga)
5. Kendaraan Tak Bermotor (UM)
Kendaraan dengan roda yang digerakkan oleh orang atau hewan (meliputi: sepeda, becak,
kereta kuda, dan kereta dorong sesuai dengan klasifikasi Bina Marga)
Catatan : Kendaraan tak bermotor tidak dianggap sebagai bagian dari arus lalu lintas tetapi unsur
hambatan samping.

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Tabel. Dimensi Kendaraan Rencana


DIMENSI
KATEGORI KENDARAAN TONJOLAN RADIUS PUTAR RADIUS

KENDARAAN (cm) (cm) (cm) TONJOLAN

RENCANA Tinggi Lebar Panjang Depan Belakang Minimum Maksimum ( cm )

Kecil 130 210 580 90 150 420 730 780

Sedang 410 260 1210 210 240 740 1280 1410

Besar 410 260 2100 120 90 290 1400 1370

2. Komposisi Lalu Lintas


Volume Lalu Lintas Harian Rata – rata (VLHR), adalah perkiraan volume lalu lintas harian pada
akhir tahun lalu lintas dinyatakan dalam SMP/ hari.
 Satuan Mobil Penumpang (SMP)
Satuan arus lalu lintas, dimana arus dari berbagai tipe kendaraan telah menjadi ringan (termasuk
mobil penumpang) dengan menggunakan EMP.
 Ekivalen Mobil Penumpang (EMP)
Faktor konversi berbagai jenis kendaraan dibandingkan dengan mobil penumpang atau kendaraan
ringan lainnya sehubungan dengan dampaknya pada perilaku lalu lintas (untuk mobil penumpang
dan kendaraan ringan lainnya, EMP = 1,0)
Tabel Ekivalen Mobil Penumpang (EMP).
 Faktor (F)
Faktor F adalah variasi tingkat lalu lintas per 15 menit dalam satu jam
 Faktor VLHR (K)
Faktor untuk mengubah volume yang dinyatakan dalam VLHR menjadi lalu lintas jam sibuk
 Volume Jam Rencana (VJR)
VJR, adalah perkiraan volume lalu lintas pada jam sibuk tahun rencana lalu lintas, dinyatakan
dalam SMP/jam, dihitung dengan rumus :
K
VJR = VLHR x
F
di mana K (disebut factor K), adalah faktor volume lalu lintas jam sibuk, dan F (disebut
faktor F), adalah faktor variasi tingkat lalu lintas perseperempat jam dalam satu jam
VJR digunakan untuk menghitung jumalh jalur jalan dan fasilitas lalu lintas lainnya yang
diperlukan.

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Tabel Penentuan Faktor K dan Faktor F berdasarkan Volume Lalu lintas Harian Rata –
rata.

VLHR FAKTOR - K (%) FAKTOR - F (%)

> 50.000 4- 6 0,9 - 1

30.000 - 50.000 6- 8 0,8 - 1

10.000 - 30.000 6- 8 0,8 - 1

5.000 - 10.000 8 - 10 0,6 - 0,8

1.000 - 5.000 10 - 12 0,6 - 0,8

< 1.000 12 - 16 < 0,6

 Kapasitas C
Volume lalu lintas maksimum (mantap) yang dapat digunakan dipertahankan (tetap) pada suatu
bagian jalan dalam kondisi tertentu (misalnya : rencana geometrik, lingkungan, komposisi lalu
lintas dan sebagainya.
 Derajat Kejenuhan (DS)
Rasio volume lalu lintas terhadap kapasitas, biasanya dihitung per jam.

3. Kecepatan Rencana (VR)


VR adalah kecepatan rencana pada suatu ruas jalan yang dipilih sebagai dasar perencanaan
geometrik, jalan yang memungkinkan kendaraan – kendaraan bergerak dengan aman dan nyaman
dalam kondisi cuaca yang cerah, lalu lintas yang lengang, dan pengaruh samping jalan yang tidak
berarti, VR untuk masing – masing fungsi jalan dapat ditetapkan dari tabel :
KECEPATAN RENCANA VR (Km / Jam)
FUNGSI JALAN
DATAR BUKIT GUNUNG

Arteri 70 - 120 60 - 80 40 - 70

Kolektor 60 - 90 50 - 60 30 - 50

Lokal 40 - 70 30 - 50 20 - 30

Catatan : Untuk kondisi medan yang sulit, V R suatu segmen jalan dapat diturunkan dengan syarat 5
bahwa penurunan tersebut tidak lebih dari 20 km / jam.

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

4. Tingkat Pelayanan
Highway Capacity Manual membagi tingkat pelayanan jalan atas 6 keadaan yaitu:
a. Tingkat pelayanan A, dengan ciri-ciri :
a. Arus lalu lintas bebas tanpa hambatan
b. Volume dan kepadatan lalu lintas rendah
c. Kecepatan kendaraan merupakan pilihan pengemudi
b. Tingkat pelayanan B, dengan ciri-ciri :
a. Arus lalu lintas stabil
b. Kecepatan mulai dipengaruhi oleh keadaan lalu lintas, tetapi tetap dapat dipilih sesuai
kehendak pengemudi
c. Tingkat pelayanan C, dengan ciri-ciri :
a. Arus lalu lintas masih stabil
b. Kecepatan perjalanan dan kebebasan bergerak sudah dipengaruhi oleh besarnya volume
lalu lintas sehingga pengemudi tidak dapat lagi memilih kecepatan yang diinginkannya.
d. Tingkat pelayanan D, dengan ciri-ciri :
a. Arus lalu lintas sudah mulai tidak stabil
b. Perubahan volume lalu lintas sangat mempengaruhi besarnya kecepatan perjalanan
e. Tingkat pelayanan E, dengan ciri-ciri :
a. Arus lalu lintas sudah tidak stabil
b. Volume kira-kira sama dengan kapasitas
c. Sering terjadi kemacetan
f. Tingkat pelayanan F, dengan ciri-ciri :
a. Arus lalu lintas tertahan pada kecepatan rendah
b. Sering kali terjadi kemacetan
c. Arus lalu lintas rendah

5. Jarak Pandang
Jarak pandang adalah suatu jarak yang diperlukan oleh seorang pengemudi pada saat
mengemudi sedemikian sehingga jika pengemudi melihat suatu halangan yang membahayakan
,pengemudi dapat melakukan sesuatu untuk menghindari bahaya tersebut dengan aman
,dibedakan atas :
1. Jarak Pandang henti
Jh adalah jarak minimum yang diperlukan oleh setiap pengemudi untuk menghentikan
kendaraannya dengan aman begitu melihat adanya halangan didepan .Setiap titik disepanjang
jalan harus memenuhi Jh.
Jh diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi
halangan adalah 15 cm diukur dari permukaan jalan.
Jh terdiri atas dua elemen jalak , yaitu :
6
 Jarak tanggap (Jht) adalah jarakyang ditempuh oleh kendaraan sejakpengemudi melihat
suatu halangan yang menyebabkan ia harus berhenti sampai saat pengemudi menginjak
rem,dan

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

 Jarakpengereman (Jhr) adalah jarak ayng dibutuhkan untuk menghentikan kndaraan sejak
pengemudi menginjak mrem sampai kendaraan berhenti.
Jarak pandang henti
VR (km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jh minimum (m) 250 175 120 75 55 40 27 16

2. Jarak Pandang mendahului (Jd)


Jd adalah jarak yang memungkinkan suatu kendaraan mendahului kendaraan lain di depan
dengan aman sampaikendaraan tersebut kembali kelajur semula.
Jd diukur berdasarkan asumsi bahwa tinggi mata pengemudi adalah 105 cm dan tinggi
halangan adalah 105 cm.
Panjang jarak pandang
VR(Km/jam) 120 100 80 60 50 40 30 20
Jd 800 670 550 350 250 200 150 100

II.2. Elemen Dari Perencanaan Geometrik Jalan Adalah :

2.2.1. Alinyemen Horisontal


Alinyemen horisontal adalah garis proyeksi sumbu jalan tegak lurus pada bidang datar peta (trase),
Trase jalan biasa disebut juga situasi jalan y secara menunjukan umum menunjukan arah dari jalan
yang bersangkutan. Pada perencanaan alinyemen horinsontal jalan, tak cukup bagian bagian
alinyemen saja yang memenuhi syarat, tetapi keseluruhan bagian haruslah memberikan kesan aman
dan nyaman.
Trase merupakan susunan yang terdiri dari potongan-potongan garis lurus yang biasa disebut dengan
tangen dan satu sama lainya dihubungkan dengan lengkung-lengkung berupa busur lingkaran (circle)
yang disebut dengan bagian lengkung (curve), atau ditambah dengan lengkung peralihan (spiral).
Guna mencapai tujuan diatas, maka yang perlu diperhatikan antara lain adalah :
a. Alinyemen jalan sedapat mungkin dibuat lurus mengikuti keadaan topografi
b. Pada alinyemen jalan yang relatif lurus dan panjang jangan tiba-tiba terdapat lengkung yang
tajam yang akan mengejutkan pengemudi.
c. Hindarkanlah sedapat mungkin lengkung yang berbalik mendadak.
d. Sebaiknya hindarkanlah lengkung yang tajam pada timbunan yang tinggi.
Keterkaitan langsung sebagai akibat dari adanya alinyemen horisontal adalah superelevasi, pada saat
kendaraan bergerak akan terjadi gaya sentrifugal pada kendaraan tersebut.
Ada beberapa gaya sentrifugal yang mungkin terjadi sebagai akibat dari bergeraknya kendaraan
gesekan kesamping dari ban (roda) dengan permukaan jalan raya yakni seperti pada gambar dibawah
ini .

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

G.V 2
g.R

FL FR
NL NR
Gambar 2-1 : Keseimbangan Normal
Keterangan :
G = Berat Kendaraan.
g = Gaya grafitasi bumi.
V = Kecepatan kendaraan.
R = Jari-jari lengkung lintasan.
FL = Gaya gesekan ban kiri dengan permukaan jalan.
FR = Gaya gesekan ban kanan dengan permukaan jalan.
NL = Gaya perlawanan terhadap berat kendaraan pada ban kiri.
NR = Gaya perlawanan terhadap berat kendaraan pada ban kanan.
Pada gambar diatas terlihat bahwa gaya sentrifugal yang muncul masih seimbang dengan gaya
gesekan antara ban dengan permukaan jalan sehingga berlaku rumus :
V2
f
127 R
Dimana :
f = Koefisien gesekan melintang.
V = Kecepatan kendaraan ( Km/jam )
R = Jari-jari lengkung ( m ).
127 g = 9,8 m/det
= 9,8 . 10 -3 (1/360)-2 Km/jam-2
= 127,008 Km/jam-2
Gambar berikut ini menunjukan keseimbangan yang akan terjadi pada saat melakukan tikungan serta
gaya-gaya yang akan terjadi seperti pada gambar posisi keseimbangan normal.

2
G V Co s α
g R

G Sin α G V2
G V2 F
Sin α g R
Fs g R
a G G Cos α

Gambar 2-2 : Gaya-gaya yang bekerja pada lengkung horisontal

Pada posisi seperti ini gaya yang setrifugal yang ditimbulkan sebagaimana akibat dari gaya pusat
(laju) kendaraan dapat diimbangi karena kemiringan jalan aspal. Dengan kata lain bahwa bentuk
miring dari jalan akan memberikan perimbangan atau mengurangi kemungkinan terjadinya

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

penggulingan pada kendaraan dan kemudahan pada pengemudi untuk menguasai kendaraan sehingga
memberikan kenyamanan kepada penumpang.
Pada pengaturan kemiringan permukaan jalan yang baik akan memberikan kemungkinan semakin
kecilnya kecelakaan disebabkan gaya sentrifugal kendaraan.
Dari gambar 2-2 gaya-gaya yang bekerja adalah :
G.V 2
G sin α + fs = x cos α
g .R

G.V 2 G.V 2
G. sin α + f ( G cos α + sin α ) = cos α
g .R g .R

G.V 2
G. sin α + f.G = (cos α – f. sin α )
g .R

sin a G.V 2
G + f. G = ( 1 – f . tg α )
cos a g .R

e = tg α

GV 2 GV 2
Ge  fG  - f .e
g.R g.R

V2
G(e  f )  (1  f .e)
g.R

e f V2
=
1  ef g .R

Karena nilai e, f itu kecil, maka dapat diabaikan, dengan demikian diperoleh rumus umum untuk

lengkung horisontal sebagai berikut :

V2
ef 
g.R

Jika V dinyatakan dalam km/jam, g = 9,81 m/det 2, dan R dalam meter, maka diperoleh :

V2
ef  ........................................................................................ (2-1)
127.R

Dimana : e = Super elevasi (%) 9

f = Koefisien gesekan melintang

V = Kecepatan kendaraan (km/jam)

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

R = Jari-jari lengkung

Ketajaman lengkung horisontal dinyatakan dalam besarnya radius dari lengkung tersebut atau

dengan besarnya derajat lengkung.

Derajat lengkung adalah besarnya sudut lengkung yang menghasilkan panjang busur 25 meter.

25 m
Ini berarti :

25
D 3600
2.p .R

1432.39
D ...... (3-2)
R
R

Do R dalam meter

Gambar 2-3 Kondisi antara derajat lengkung ( D ) dan radius lengkung ( R )

Untuk mendapatkan derajat kelengkungan maksimum, didapat dari hubungan jari-jari minimum

yang diisinkan berdasarkan kecepatan rencananya, dimana koefisien gesek dan superelevasi dalam

kondisi maksimum.

V2
R min  ......................................... (2-3)
127 ( e maks  f maks )

Dimana :

Rmin = Jari-jari minimum (meter)

V = Kecepatan rencana (km/jam)

fmaks = Koefisien gesekan maksimum

emaks = Superelevasi maksimum (%)

Sehingga :

181913,53 (e maks  f .maks )


D maks 
V2 ............................. (2-4)

Derajat kelengkungan maksimum dicapai bila digunakan jari-jari minimum dengan menggunakan
superelevasi maksimum. Sehingga bilamana menggunakan jari-jari yang lebih besar dari jari-jari
minimum akan diperoleh superelevasi yang lebih kecil. 10
Perhitungan besarnya superelevasi berdasarkan jari-jari yang direncanakan ditentukan
berdasarkan rumus sebagai berikut :

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

e max .D  D 
e  2  
D max  D max 

Dimana :
e = Superelevasi (%)
emax = Superelevasi maksimum (%)
D = Derajat kelengkungan ( 0 )
Dmax = Derajat kelengkungan maksimum ( 0 )
2.2.2. Gaya Gesek Melintang

Gaya gesek melintang adalah besarnya gesekan yang timbul antara ban dan permukaan jalan dalam
arah melintang jalan, yang berfungsi untuk menggimbangi gaya sentrifugal, sedangkan perbandingan
gaya gesek melintang dengan gaya normal yang bekerja disebut koefisien gesekan melintang.
Koefisien gesek melintang maksimum akan timbul pada saat terjadi selip, besarnya nlai koefisien
melintang tergantung pada beberapa faktor antara lain :
– Kecepatan kendaraan
– Keadaan permukaan jalan
– Kondisi cuaca
– Jenis ban
Nilai koefisien gesekan melintang yang dipergunakan untuk perencanaan harus merupakan nilai
yang telah mempertimbangkan factor keamanan pengemudi, sehingga bukanlah merupakan nilai
maksimum yang terjadi.
Dari hasil penyelidikan bahwa besarnya koefisien gesekan melintang itu rendah, jika kecepatan
kendaraan bertambah besar.
Hubungan antara kecepatan dan koefisien gesekan melintang maximum dapat dilihat pada
grafik dibawah ini :

Grafik 2 – 1 Koefisien Gesek Melintang Maksimum Desain (Berdasarkan TEH Dalam Satuan
SI)
11

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

2.2.3. Bentuk Lengkumg Horisontal

Pada uraian diatas dikemukakan bahwa dalam merencanakan jalan ataupun mengembangkan jalan
lama menjadi jalan baru perlulah suatu perencanaan pada tikungan.
Dengan memperhatikan akan terjadinya perubahan dimana jalan lurus akan membelok, akan
terjadilah suatu perubahan gaya terhadap kendaraan, maka dalam upaya untuk menjaga suatu
keamanan pada saat kendaraan melakukan tikungan dibuatlah lengkung peralihan perantara yang
merupakan perantara dari kedua jalur lurus, dimana diupayakan perubahan itu secara berangsur-
angsur.
Beberapa bentuk dari lengkung horisontal yang dianjurkan oleh Bina Marga :
- Lengkung busur lingkaran sederhana (Full Circle)
- Lengkung busur lingkaran dengan lengkung peralihan (Spiral – Circle – Spiral)
- Lengkung peralihan saja (Spiral – Spiral)
Batasan yang diberikan oleh Bina Marga dimana diperbolehkan batasan untuk full circle, spiral-
spiral, spiral-circle-spiral adalah seperti pada tabel dibawah ini :
Tabel 2 – 3 : Hubungan antara jari-jari dengan kecepatan pada tiap-tiap bentuk kurva

V
Full Circle Spiral - Circle - Spiral Spiral – Spiral
(Km/Jam)

120 R < 2000 1500 < R < 2000 1100 < R < 1500
100 1500 < R < 2000 1100 < R < 1500 700 < R < 1100
80 1100 < R < 1500 700 < R < 1100 300 < R < 700
60 700 < R < 1100 300 < R < 700 180 < R < 300
40 300 < R < 700 180 < R < 300 50 < R < 180
30 180 < R < 300 50 < R < 300 30 < R < 50

Sumber : Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota 038/T/BM/1997

Bina Marga menyarankan untuk menggunakan jenis tikungan spiral-circle-spiral sebagai dasar
perancangan. Adapun Alur pemilihan tikungan yang disarankan oleh Bina Marga adalah sebagai
berikut :

12

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Tikungan
Spiral-Circle-Spiral

Lc < 20 m' ya
Tikungan
? Spiral-Spiral

tidak

p < 0.10 m' ya


Tikungan
? Full Circle

tidak

e < min (0.04 atau ya


Tikungan
1.5 e n ? Full Circle

tidak

Tikungan
Spiral-Circle-Spiral

Gambar 3-4. Proses Pemilihan Jenis Tikungan

a. Lengkung Busur Lingkaran Sederhana (Full Circle)


Untuk dapat mengetahui apakah kurva tersebut berbentuk dari ketiga jenis kurva yang ada, maka
haruslah ditinjau dari sistim coba-coba pada perencanaan radius dan circle itu sendiri. Untuk radius
dibawah ini dari ketetapan diatas (Tabel 2-3) maka bentuk kurva menjadi spiral-circle-spiral, dengan
mengacu pada penetapan rumus:

PI D

Tc
Ec

Lc
TC
CT

1/2
D D
1/2

Gambar 2-5: Full Circle

Keterangan :
PI = Point of Intersection
13
V = Kecepatan rencana ditetapkan (Km/Jam)
∆ = Sudut tangen
TC = Tangen circle yaitu titik peralihan dari lurus ke circle

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

T = Panjang TC –PI dihitung


LC = Panjang lengkung dihitung
EC = Jarak PI kelengkungan dengan arah pusat lengkung
CT = Circle tangen yaitu peralihan dari lengkung circle ke lurus.
Rumus :

T = R x tan x 0,5 ∆ .................................................................. (2-5)

EC = T x tg 1 4 ∆ ................................................................... (2-6)

Δ.π
LC  R ............................................................................ (2-7)
180

Syarat-syarat full circle :


1. Digunakan apabila radius lengkungnya besar, dimana superelevasi yang dibutuhkan kurang dari
atau sama dengan 30 %
2. ∆c > 0
3. LC > 20 m

Adapun batasan-batasan yang digunakan pada Perencanaan jalan raya di Indonesia yang
menggunakan bentuk dari full circle seperti terlihat pada tabel dibawah ini :
Tabel 2-4 : Penetapan Jari-jari minimum lingkaran circle berdasarkan kecepatan rencana

Kec. Rencana (km/jam) Jari-jari lengkung minimum (m)

120 2500
100 1500
80 1100
60 700
40 300
30 130

Sumber : Direktorat Jenderal Bina Marga Departemen Pekerjaan Umum

b. Lengkung busur lingkaran dengan lengkung Peralihan (Spiral-Circle-Spiral)

14

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

PI D

Es Busur lingkaran
Ts
Spiral
SC CS
Lc
Xs

k k
p

qs qs
TS

ST
Ys

Gambar 2-6 : Spiral-Circle-Spiral

Keterangan :

Ts = Titik peralihan dari lurus ke lengkung spiral

ST = Titik peralihan dari lengkung spiral ke lurus

ES = Jarak PI ke lengkungan

SC = Titik peralihan dari lengkung spiral ke lengkung circle

CS = Titik peralihan dari lengkung circle ke lengkung spiral

∆c = Sudut lengkung circle

qs = Sudut lengkung spiral

T = Jarak dari TS ke PI

R = Jari-jari lengkung

K = Peralihan antara absis dengan Ls

P = Peralihan antara ordinat dengan Ls

Menghitung data kurva :

V3 V .e
1. Lsmin = 0,002. -2.727 (dapat dilihat dari tabel : AASTHO dan Bina Marga), c =
R.C C 15

Perubahan kecepatan (dianjurkan 0,4m/det3)

2. Sehubungan dari R & V maka diperoleh Ls dan e

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Ls.90
3. θs = ............................................................................... (2-8)
p .R

4. ∆c = ∆ - 2.qs .............................................................................. (2-9)

Δc
5. Lc = 2. p .R ...................................................................... (2-10)
360

6. L = Lc + 2 Ls ......................................................................... (2-11)

7. Ts = (R+P) tan ½ ∆ + K ........................................................... (2-12)

RP
8. Es =  R ............................................................... (2-13)
Cos 1/2 Δ

9. Harga P*, K* dilihat pada tabel : Yoseph Barnet

 Ls 2 
10. Xc = Ls 1  2 
................................................................ (2-14)
 40R 

Ls 2
11. Yc = ................................................................................. (2-15)
6R

Dimana :

TS = Tangen spiral, yaitu titik peralihan dari lurus berbentuk spiral

SC = Spiral circle, yaitu titik peralihan dari spiral kelurus

PI = Titik perpotongan dari dua tangen

Ls = Panjang lengkung circle / busur lingkaran

∆c = Sudut pusat busur lingkaran SC - CS

θs = Sudut pusat spiral TS − SC atau ST − CS

Syarat pemakaian Spiral-Circle-Spiral

1. ∆c > 0

2. Lc > 20 meter

a. Lengkung Peralihan (Spiral-Spiral)


16

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

PI
D
Spiral
Ts Es

SC=CS
k k

p Rc ST
TS qs qs

Gambar 2-7: Spiral-Spiral

Menghitung data kurva

1. θs = 0,5. ∆ .................................................................................. (2-16)

θs.R
2. Ls = .............................................................................. (2-17)
28,648

3. Ts = (R + P) tan ½ ∆ + K

RP
4. Es = R
Cos 1/2 Δ

Dimana : P = P* . Ls

K = K* . Ls

5. Untuk harga P* dan K* dapat dilihat pada tabel : Yoseph Barnet dengan

Ls = 1 meter

θs = Sesuai hasil perhitungan

Syarat pemakaian Spiral-Spiral


1. θs = 0,5 .∆
2. Spiral-spiral dipakai jika dengan menggunakan spiral-circle-spiral tidak memenuhi Lc < 20 m 17

atau ∆c = 0, dalam menghitung spiral Lc = 0, ∆c = 0.

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

2.2.4. Diagram Superelevasi

Dalam merencanakan suatu geometrik jalan pada suatu tikungan akan terjadi perubahan miring
menuju ke miringan maksimum. Untuk memperoleh hasil yang memadai baik tingkat keamanan dan
kenyamanan bagi pengguna jalan raya dapat dicari dengan mempergunakan diagram superelevasi
dimana bentuknya sangat tergantung pada macam (jenis) tikungan yang direncanakan.
Dari sisi kegunaannya dimana perkiraan penggunaan superelevasi akan memberi keuntungan bagi
pengemudi dan kendaraan akan memasuki tikungan pada suatu jalan.
Ada beberapa faktor yang mempengaruhi penentuan jenis tikungan (superelevasi) pada suatu jalan
antara lain :
- Cuaca
- Lapangan (datar atau gunung)
-
Bentuk-bentuk dari diagram superelevasi dapat kita lihat seperti :

1. Diagram superelevasi spiral-circle-spiral

Bagian lengkung Bagian lengkung


Bagian lingkaran penuh
peralihan peralihan
TS SC Sisi luar tikungan CS ST
Kiri e = +

Sumbu Jalan

Sisi dalam tikungan


Kanan e = -
Ls Lc Ls

Gambar 2-8 : Diagram Superelevasi pada Tikungan Spiral-Circle-Spiral

2. Diagram superelevasi Full circle

Bagian lurus Bagian lingkaran penuh Bagian lurus


TC CT
Sisi luar tikungan
Kiri e = +
e%

2%
Sumbu Jalan
0%
2%

e%
1/4 Ls' 1/4 Ls'
3/4 Ls' Sisi dalam tikungan 3/4 Ls' 18
Kanan e = -
Lc

Gambar 2-9 : Diagram Superelevasi Full Circle

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

3. Diagram Superelevasi Spiral - Spiral

Bagian lengkung peralihan Bagian lengkung peralihan

TS ST
e%

2%

Sumbu Jalan
0%

2%

e%

Ls Ls

Gambar 2-10 : Diagram Superelevasi Spiral-Spiral

2.2.5. Pelebaran Pada Tikungan.

Dalam upaya memberikan tingkat kenyamanan bagi pelakupengguna jalan raya dan keamanan
dimana kondisi kendaran yang berbeda baik ukuran panjang dan lebar serta kecepatan pada saat
memasuki/melintas tikungan, memungkinkan terjadinya persinggungan, maka diupayakan pelebaran
pada daerah sekitar tikungan.

Pelebaran jalan di Indonesia tetaplah berdasarkan pada Tata Cara Perencanaan Geometrik jalan
Antar Kota yang telah ditetapkan oleh Direktorat Jenderal Pekerjaan Umum No. 038/T/BM/1997
yang penggunaannya pada jalan utama jalan Kolektor atau jalan penghubung.

Untuk jelasnya dapat kita lihat pada gambar berikut ini posisi kendaran pada saat menikung.

19

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Bt

C/2

Bn

Gambar 2-11 : Posisi Kendaran Pada Waktu Menikung

Pelebaran jalan juga dipengaruhi oleh keadaan daerah setempat dimana kontur lapangan perbukitan
atan datar. Keadaan seperti ini akan memberikan dampak terhadap tajam tidaknya suatu tikungan.
Telah diutarakan sebelumnya masih ada beberapa hal yang juga turut mempengaruhi pelebaran jalan
pada tikungan antara lain :
- Adanya kecenderungan untuk keluar (terlempar) dari perkerasan jalan.
- Meningkatnya lebar efektif kendaraan disebabkan oleh posisi ban depan dan ban belakang
dari kendaraan tidak melintas pada suatu garis.
- Pertambahan lebar disebabkan posisi kendaraan yang masih miring terhadap As jalan.
Untuk mendapatkan suatu pelebaran jalan pada suatu tikungan dipergunakan rumus

sebagai berikut :
20

B = n.(b’ + c) + (n – 1) Td + Z

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Td = R  A(2 P  A)  R

0,105.V
Z =
R

b’ = 2,4 + R - R2  P2

Dimana :

B = Lebar perkerasan pada tikungan (meter)

N = Jumlah jalur lalu lintas

b’ = Lebar lintasan kendaraan truk pada tikungan

Z = Lebar tambahan akibat kelainan dalam mengemudi

C = Kebebasan samping 0,8 meter

Td = Lebar tambahan akibat tonjolan bagian depan kendaraan (meter)

P = Jarak antara kedua gardan (diambil 6,5 meter)

A = Panjang tonjolan depan dari kendaraan (diambil 1,3 meter)

b = Lebar lintasan kendaraan truk pada jalan lurus (2,5 meter)

b” = Lebar lintasan tambahan kendaraan akibat tikungan

= (b’ – b) = R - R2  P2

V = Kecepatan rencana (km/jam)

R = Jari-jari tikungan (meter)

2.3. Alinyemen Vertikal


Alinyemen vertikal adalah adalah perpotongan bidang vertikal dengan bidang permukaan perkerasan
jalan melalui sumbu jalan, yang umumnya biasa disebut dengan profil/penampang memanjang jalan.
Perencanaan Alinyemen Vertikal sangat dipengaruhi oleh beberapa hal, antara lain :
 Kondisi tanah dasar
 Keadaan medan
 Fungsi jalan
 Muka air banjir
 Muka air tanah
 Kelandaian yang masih memungkinkan.
Selain hal tersebut diatas dalam perencanaan alinyemen vertikal, akan ditemui kelandaian 21
positif (tanjakan) dan kelandaian negatif (turunan), sehingga terdapat suatu kombinasi yang berupa
lengkung cembung dan lengkung cekung serta akan ditemui pula kelandaian = 0, yang berarti datar.

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Gambar rencana suatu profil memanjang jalan dibaca dari kiri kekanan, sehingga landai jalan

diberi tanda positif untuk pendakian dari kiri kekanan, dan landai negatif untuk penurunan dari kiri

kekanan.

2.3.1. Kelandaian Alinyemen Vertikal


a. Landai minimum
Untuk tanah timbunan yang tidak menggunakan kerb, maka lereng melintang jangan
dianggap sudah cukup untuk dapat mengalirkan air diatas badan jalan yang selanjutnya
dibuang kelereng jalan.
Untuk jalan-jalan diatas tanah timbunan dengan medan datar dan menggunakan kerb,
kelandaian yang dianjurkan adalah sebesar 0,15 %, yang dapat membantu mengalirkan air
dari atas badan jalan dan membuangnya kesaluran tepi atau saluran pembuangan.
Sedangkan untuk jalan-jalan didaerah galian atau jalan yang memakai kerb, kelandaian yang
dianjurkan adalah 0,30 – 0,50 %. Lereng melintang jalan hanya cukup untuk mengalirkan
air hujan yang jatuh diatas badan jalan, sedangkan landai jalan dibutuhkan untuk membuat
kemiringan dasar saluran samping, untuk membuang air permukaan sepanjang jalan.
b. Landai maksimum.
Kelandaian maksimum dimaksudkan untuk menjaga agar kendaraan dapat bergerak terus
tanpa kehilangan kecepatan yang berarti. Kelandaian maksimum didasarkan pada kecepatan
truk yang bermuatan penuh dan mampu bergerak, dengan penurunan kecepatan tidak lebih
dari separuh kecepatan semula tanpa harus menggunakan gigi rendah.
Tabel 2-5 : Kelandaian maksimum yang diizinkan.

VR (Km/jam) 120 110 100 80 60 50 40 <40

Kelandaian
3 3 4 5 8 9 10 10
maksimum (%)

c. Panjang kritis suatu kelandaian.


Landai maksimum saja tidak cukup merupakan faktor penentu dalam suatu perencanaan
alinyemen vertikal, karena jarak yang pendek memberikan faktor pengaruh yang berbeda
dibandingkan dengan jarak yang panjang pada kelandaian yang sama. Kelandaian yang
besar akan mengakibatkan penurunan kecepatan pada kendaraan truk yang cukup berarti,
jika kelandaian tersebut dibuat panjang pada jalan yang cukup panjang, tetapi sebaliknya
kurang berarti jika panjang jalan dengan kelandaian tersebut hanya pendek saja.
Panjang kritis adalah panjang landai maksimum yang harus disediakan agar kendaraan
dapat mempertahankan kecepatannya sedemikian rupa, sehingga penurunan kecepatan yang
22
terjadi tidak lebih dari separuh kecepatan rencana (V R). Lama perjalanan ditetapkan tidak
lebih dari satu menit.

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Tabel 2-6 : Panjang Kritis (m)

Kecepatan pada Kelandaian (%)


awal tanjakan
(km/jam) 4 5 6 7 8 9 10

80 630 460 360 270 230 230 200

60 320 210 160 120 110 90 80

d. Lajur pendakian.
Pada jalur jalan dengan rencana volume lalu lintas yang tinggi, maka kendaraan berat akan
berjalan pada lajur pendakian dengan kecepatan dibawah kecepatan rencana (V R),
sedangkan kendaraan lainnya masih dapat bergerak dengan kecepatan rencana. Dalam hal
ini sebaiknya dipertimbangkan untuk membuat lajur tambahan disebelah kiri lajur jalan.
Awal pendakian

Akhir pendakian
Awal lajur pendakian

POTONGAN MEMANJANG

30 m 45 m > 200 m 50 m 45 m

Lajur Pendakian

TAMPAK ATAS

Gambar 2-12 Lajur Pendakian Tipikal

Penempatan lajur pendakian dilakukan sebagai berikut :


Berdasarkan Tata Cara Perencanaan Geometrik Jalan Antar Kota (1997)
a. Lajur pendakian dimaksudkan untuk menampung truk-truk bermuatan berat atau kendaraan
lain yang berjalan lebih lambat dari kendaraan–kendaraan lain pada umumnya, agar
kendaraan lainnya tersebut dapat mendahului kendaraan lambat tersebut tanpa harus
berpindah lajur atau menggunakan lajur arah berlawanan.
b. Lajur pendakian harus disediakan pada ruas jalan yang mempunyai kelandaian yang besar,
menerus, dan volume lalu lintas yang relatif padat.
c. Penempatan lajur pendakian harus dilakukan dengan ketentuan sebagai berikut :
 Disediakan pada jalan arteri atau kolektor.
 Apabila panjang kritis terlampaui, jalan memiliki VLHR > 15.000 SMP/hari, dan
prosentase truk > 15 %.
23
d. Lebar lajur pendakian sama dengan lebar lajur rencana.
e. Lajur pendakian dimulai 30 meter dari awal perubahan kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter dan berakhir 50 meter sesudah puncak kelandaian dengan serongan
sepanjang 45 meter.

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

f. Jarak minimum antara 2 lajur pendakian adalah 1,50 km.

2.3.2. Lengkung vertikal

Lengkung vertikal merupakan tempat peralihan dari dua kelandaian yang berbentuk

lengkung parabola sederhana.

Jenis lengkung vertikal dilihat dari letak titik perpotongan kedua bagian lurus (tangen), adalah :

1. Lengkung vertikal cekung.

Lengkung vertikal cekung adalah suatu lengkung dimana titik perpotongan antara kedua

tangen berada dibawah permukaan jalan.

LENGKUNG CEKUNG

Lampu Kendaraan
Tinggi Mata Belakang

Jarak Pandang Henti


Gambar 3-13

Lengkung Vertikal Cekung

2. Lengkung vertikal cembung.


Lengkung vertikal cembung adalah lengkung dimana titik perpotongan antara kedua
tangen berada diatas permukaan jalan yang bersangkutan.

LENGKUNG CEMBUNG

Tinggi Mata
Penghalang

Jarak Pandang Henti

Gambar 2-14 Lengkung Vertikal Cembung

II.3. Klasifikasi Jalan


1. Pada umumnya jalan raya dapat dikelompokkan dalam klasifikasi menurut fungsinya, dimana
peraturan ini mencakup tiga golongan penting, yaitu :
a. Jalan Arteri ( Utama ) 24
Jalan raya utama adalah jalan yang melayani angkutan utama, dengan ciri- ciri perjalanan
jarak jauh, kecepatan rata- rata tinggi dan jumlah jalan masuk dibatasi secara efisien. Dalam
komposisi lalu lintasnya tidak terdapat kendaraan lambat dan kendaraan tak bermotor. Jalan

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

raya dalam kelas ini merupakan jalan- jalan raya berjalur banyak dengan konstruksi
perkerasan dari jenis yang terbaik.
b. Jalan Kolektor ( Sekunder )
Jalan kolektor adalah jalan raya yang melayani angkutan pengumpulan/ pembagian dengan
ciri- ciri perjalanan jarak sedang, kecepatan rata- rata sedang dan jumlah jalan masuk
dibatasi.
Berdasarkan komposisi dan sifat lalu lintasnya dibagi dalam tiga kelas jalan, yaitu :
1. Kelas II A
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur atau lebih dengan konstruksi permukaan jalan dari
lapisan aspal beton atau yang setara.
2. Kelas II B
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur dengan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi
berganda atau yang setara dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan lambat
dan kendaraan tak bermotor.
3. Kelas II C
Merupakan jalan raya sekunder dua jalur denan konstruksi permukaan jalan dari penetrasi
tunggal, dimana dalam komposisi lalu lintasnya terdapat kendaraan bermotor lambat dan
kendaraan tak bermotor.
c. Jalan Lokal ( Penghubung )
Jalan penghubung adalah jalan yang melayani angkutan setempat dengan cirri- cirri
perjalanan yang dekat, kecepatan rata- rata rendah dan jumlah jalan masuk tidak dibatasi.
Adapun tabel klasifikasi jalan raya adalah sebagai berikut :
Tabel Klasifikasi Jalan Raya

JALAN RAYA JALAN


JALAN RAYA SEKUNDER
KLASIFIKASI UTAMA PENGHUBUNG
JALAN

I (A1) II A (A2) II B (B1) II C (B2) III

KLASSIFIKASI MEDAN D B G D B G D B G D B G D B G

Lalu lintas harian rata- rata (smp) > 20. 000 6.000 - 20.000 1500 - 8000 < 20.000 -

Kecepatan Rencana (km/jam) 120 100 80 100 80 60 80 60 40 60 40 30 60 40 30

Lebar Daerah Penguasaan min.(m) 60 60 60 40 40 40 30 30 30 30 30 30 20 20 20

Lebar Perkerasan (m) Minimum 2 (2x3,75) 2x3.50 atau 2(2x3.50) 2x 3.50 2 x 3.00 3.50 - 6.00

Lebar Median minimum (m) 2 1.5 - - -

Lebar Bahu (m) 3.50 3.00 3.00 3.00 2.50 2.50 3.00 2.50 2.50 2.50 1.50 1.00 3.50 - 6.00

Lereng Melintang Perkerasan 2% 2% 2% 3% 4%

Lereng Melintang Bahu 4% 4% 6% 6% 6%

Aspal beton Penetrasi Berganda/ Paling tinggi penetrasi Paling tinggi pelebaran
Jenis Lapisan Permukaan Jalan Aspal Beton
( hot mix ) setaraf tunggal jalan

Miring tikungan maksimum 10% 10% 10% 10% 10%

Jari- jari lengkung minimum (m) 560 350 210 350 210 115 210 115 50 210 115 50 115 50 30 25
Landai Maksimum 3% 5% 6% 4% 6% 7% 5% 7% 8% 6% 8% 10 % 6% 8% 10 %

Sumber : Peraturan Perencanaan Geometrik Jalan Raya, Dept. PU

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

2. Klasifikasi jalan menurut wewenang


Tujuan dari klasifikasi ini adalah untuk menwujudkan kepastian hukum penyelenggaraan jalan
sesuai dengan kewenangan pemerintah pusat dan pemerintah daerah. Jalan umum menurut
statusnya sesuai PP.No.26/1985 dikelompokkan menjadi:
 Jalan nasional
Merupakan jalan arteri dan jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang
menghubungkan antaribukota provinsi, dan jalan strategis nasional, serta jalan tol.
 Jalan provinsi
Jalan kolektor dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota provinsi
dengan ibukota kabupaten/kota, atau antaribukota kabupaten/kota, dan jalan strategis
provinsi.
 Jalan kabupaten
Jalan lokal dalam sistem jaringan jalan primer yang menghubungkan ibukota kabupaten
dengan ibukota kecamatan, antaribukota kecamatan, ibukota kabupaten dengan pusat
kegiatan lokal, antarpusat kegiatan lokal, serta jalan umum dalam sistem jaringan jalan
sekunder dalam wilayah kabupaten, dan jalan strategis kabupaten.
 Jalan kota
Jalan umum dalam sistem jaringan jalan sekunder yang menghubungkan antarpusat
pelayanan dalam kota, menghubungkan pusat pelayanan dengan persil, menghubungkan
antarpersil, serta menghubungkan antarpusat permukiman yang berada di dalam kota.
 Jalan desa
Jalan umum yang menghubungkan kawasan dan/atau antarpermukiman di dalam desa,
serta jalan lingkungan.
3. Menurut kelas Jalan
a. Klasifikasi menurut kelas jalan berkaitan dengan kemampuan jalan untuk menerima
beban lalu lintas ,dinyatakan dalam muatan terberat (MST) dalam satuan ton.
b. Klasifikasi menurut kelas jalan dan ketentuannya serta kaitannya dengan klasifikasi
menurut fungsi jalan dapat dilihat dalam (pasal 11,PP.No.43/1993 )
4. Menurut Medan Jalan
Medan jalan diklasifikasikan berdasarkan kondisi sebagian besar kemiringan medan yang diukur
tegak lurus garis kontur.
Keseragaman kondisi medan yang diproyeksikan harus mempertimbangkan keseragaman
kondisi medan menurut rencan trase jalan dengan mengabaikan perubahan-perubahan pada
bagian kecil dari segmen rencana jalan tersebut.
Tabel Klasifikasi menurut medan jalan
No. Jenis Medan Notasi Kemiringan
1. Datar D <3%
2. Perbukitan B 3–5%
26
3. Pegunungan G > 25 %

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Untuk memperkecil biaya pembangunan , suatu standar perlu disesuaikan dengan kjeadaan
topografi. Dalam hal ini jenis medan dibagi dalam tiga golongan umum uang dibedakan menurut
besarnya lereng melintanbg dalam arah kurang lebih tegaklurus sumbu jalan raya.
Tabel Klasifikasi medan dan besarnya lereng melintang
Golongan Medan
Lereng Melintang

1. Datar ( D ) 0 sampai 9,9 %


2. Perbukitan ( B ) 10 sampai 24,9 %
3. Pegunungan ( G ) Dari 25 % Keatas

5. Klasifikasi Kelas Jalan Berdasarkan Spesifikasi Penyediaan Prasarana Jalan


Klasifikasi kelas jalan dikelompokkan berdasarkan penggunaan jalan dan kelancaran lalu lintas
dan angkutan jalan, serta spesifikasi penyediaan prasarana jalan. Kelas jalan berdasarkan
spesifikasi penyediaan prasarana jalandikelompokkan atas jalan bebas hambatan, jalan raya,
jalan sedang, dan jalankecil. .( Peraturan Pemerintah RI No.34 Tahun 2006 Tentang Jalan ).

1. Jalan Bebas Hambatan ( Freeway )


Spesifikasi untuk jalan bebas hambatan ( freeway ) sebagaimana dimakasud dalam PP RI No.34
Tahun 2006 Tentang Jalan adalah sebagai berikut:
a. Merupakan jalan untuk lalu lintas umum,
b. Pengendalian jalan masuk secara penuh,
c. Tidak ada persimpangan sebidang,
d. Dilengkapi pagar ruang milik jalan dan median,
e. Paling sedikit mempunyai 2(dua) lajur setiap arah,
f. Lebar paling sedikit 3,5 meter.

2. Jalan Raya ( Highway )


Spesifikasi untuk jalan raya ( highway )sebagaimana dimakasud dalam PP RI No.34 Tahun 2006
Tentang Jalan adalah sebagai berikut:
a. Merupakan jalan untuk lalu lintas umum untuk lalu lintas secara menerus
b. Pengendalian jalan masuk secara terbatas,
c. Dilengkapi dengan median,
d. Paling sedikit 2(dua) lajur setiap arah,
e. Lebar lajur paling sedikit 3,5 meter.

3. Jalan Sedang ( Road )


27
Spesifikasi untuk jalan sedang ( road )sebagaimana dimakasud dalam PP RI No.34 Tahun 2006
Tentang Jalan adalah sebagai berikut:
a. Merupakan jalan untuk lalu lintas umum,
b. Untuk lalu lintas jarak sedang dengan pengendalian jalan masuk tidak

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

dibatasi, paling sedikit 2(dua) lajur untuk 2(dua) arah,


c. Lebar jalur paling sedikit 7 meter.

4. Jalan Kecil ( Street )


Spesifikasi untuk jalan kecil ( street )sebagaimana dimakasud dalam PP RI No.34 Tahun 2006
Tentang Jalan adalah sebagai berikut:
a. Merupakan jalan untuk lalu lintas umum untuk lalu lintas setempat,
b. Paling sedikit 2(dua) lajur untuk 2(dua) arah,
c. Lebar jalur paling sedikit 5,5 meter.

6. Klasifikasi Perencanaan
Berdasarkan jenis hambatannya jalan-jalan perkotaan dibagi dalam dua tipe, dengan dasar
klasifikasi perencanaan sebagai berikut :
Tipe I : Pengaturan jalan masuk secara penuh

Tipe II : Sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk

Tipe I, kelas 1 : Adalah jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu lintas cepat antar regional
atau antar kota dengan pengaturan jalanmasuk secara penuh.

Tipe I, kelas 2 : Adalah jalan dengan standar tertinggi dalam melayani lalu lintas cepat antar
regional atau di dalam kota-kota metropolitan dengan sebagian atau tanpa pengaturan jalan masuk.

Tipe II, kelas 1 : Adalah standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 4 lajur atau lebih, memberikan
pelayanan angkutan cepat bagi angkutan antar kota bagi angkutan antar kota atau dalam kota,
dengan kontrol.

Tipe II, kelas 2 : Adalah standar tertinggi bagi jalan-jalan dengan 2 atau 4 lajur dalam melayani
angkutan cepat antar kota dan dalam kota, terutama untuk persimpangan tanpa lampu lalu lintas.

Tipe II, kelas 3 : Adalah standar menengah bagi jalan dengan 2 jalur untuk melayani angkutan dalam
distrik dengan kecepatan sedang,
untuk persimpanngan tanpa lampu lalu lintas.

Tipe II, kelas 4 : Adalah standar terendah bagi jalan satu arah yang melayani hubungan dengan
jalan-jalan lingkungan.

28

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Pada peraturan pemerintah tahun 2006 ini, klasifikasi jalan dibuat lebih detail, agar semakin
ekonomis dan tepat guna dalam mendasain jalan raya, banyak perbaikan yang di tambahkan pada
peraturan pemerintah yang mengatur mengenai klasifikasi jalan raya pada PP tahun 2006 ini.

II.4. Perencanaan Perkerasan Jalan


Berdasarkan bahan pengikatnya,konstruksi perkerasan jalan dibedakan atas :
Konstruksi Perkerasan Lentur ( Fleksibel Pavement )
Yaitu perkerasan yang menggunakanaspal sebagai bahan pengikatnya . Lapisan –lapisan
perkerasannya bersifat memikul dan menyebarkan beban lalu lintas ketanah dasar .
Konstruksi Perkerasan Kaku (Rigid Pavement)
Yaitu perkerasan yang mengunakan semen (portland cement)sebagai bahan pengikatnya
.Palt beton dengan atau tanpa tulangan diletakkan diatas tanah dasar dengan atau tanpa
pondasi bawah. Beban lalu lintas sebagian besar dipikuloleh plat beton.
Konstruksi Perkerasan Komposit ( Composit pavement )
Yaitu perkerasan kaku yang dikombinasikan dengan perkerasan lentur dapat berupa
perkerasan lentur diatas perkerasan kaku atau perkerasan kaku diatas perkerasam lentur.
Konstruksi Perkerasan jalan terdiri atas :
1. Lapisan permukaan / lapisan Penutup ( Snoface Course )
Lapisan ini mempunyai persyaratan paling ketat ,karena lapisan ini menerima seluruh
beban kendaraan , yaitu berupa :
a. Gaya vertikal berupa berat dan muatan kendaraan
b. Gaya horizontal berupa gaya geser akibat rem kendaraan
c. Getaran-getaran akibat pukulan roda kendaraan

29
Lapisan ini mempunyai fungsi :
a. Lapisan perkerasan penahan beban roda ,lapisan ini mempunyai stabilitas tinggi
untuk menahan roda selama masa pelayanan.

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

b. Lapisan kedap air , sehingga air hujan yang jatuh diatasnya tidak meresap
kelapisan bawahnya .
c. Lapisan aus ,lapisan yang langsung menderita gesekan akibat rem kendaraan
sehingga mudah aus
d. Lapisan yang menyebarkan beban kelapisan bawahnya .
Untuk dapat berfungsi seperti tersebut diatas ,pada umumnya lapisan permukaan dibuat
dengan menggunakan bahan pengikat aspal sehingga menghasilkan kedap airdengan
stabilitas yang tinggi dan daya tahan yang lama.

Jenis lapisan permukaan yang umum digunakan din Indonesia adalah :


1. Lapisan bersifat nonstruktural ,yaitu lapisan yang hanya berfungsi sebagai lapisan aus
dan kedap air ,antara lain :
a. Burtu (leburan aspal 1lapis) merupakanlapis penutup yang terdiri dari lapisan
aspal yang ditaburi dengan 1 lapis agregat bergradasi seragam dengan tebal
maksimum 2 cm.
b. Burdak (Leburan aspal 2 lapis)merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan
aspal ditaburi agregat yang dikerjakan 2x secara berturut-turut yang tebal pada
maksimumnya 3,5 cm.
c. Latasir (Lapis tipis aspal pasir ) merupakan lapis penutup yang terdiri dari lapisan
aspal dan pasir alam dihampar dan dipadatkan pada suhu tetentu dengan tebal
padat 1-2 cm
d. Buras (pelaburanb aspal ) merupakan lapisan penutupyang terdiri dari lapisan
aspal taburan pasir .
e. Latasbum (Lapisan tipis asbuton murni) merupakan lapisan penutup yang terdiri
dari campuran asbuton dan bahan pelunak dengan perbandingan tertentu yang
dicampur secara dingin .Tebal padat maksimm 1 cm.
f. Lataston (lapisan tipis aspal beton) lebih dikenal HRS (Hot roll sheet).Jenis
perkerasan ini terutama digunakan untuk pemeliharaan jalan .
2. Lapisan bersifat struktural ,berfungsi sebagai lapisan yang menahan dan
menyebarkan beban roda disamping itu juga berfungsi sebagailapisan aus dan kedap
air, yaitu :
a. Penetrasi makadan (Lapen) merupakan lapisan perkerasan yang terdiri dari
agregat pokok dan agregat pengunci yang diikat oleh aspal dengan cara
disemprotkan diatasnya dan dipadatkan lapis demi lapis .Diatas lapis ini biasanya
diberi leburan aspal dengan agregat penutup tebal 4-10 cm
b. Lasbutag merupakan lapisan pada konstruksi jalan yang terdiri dari campuran
antara agregat ,asbuton dan bahan pelunak yang diaduk ,dihamparkan dan
dipadatkan secara dingin dengan tebal 3-5 cm.
30
c. Laston (Lapisan Aspal Beton) merupakan suatu lapisan pada konstruksi jalan
yang terdiri dari campuran aspal keras dan agregat yang mempunyai gradasi
terstentu dicampurkan ,dihamparkan dan dipadatkan pada suhutertentu.

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

2. Lapisan Pondasi Bawah (LPA)


Lapisan ini menerima gaya vertikal berupa berat dan muatan kendaraan dan getaran-
getaran akibat pukulan roda kendaraan hampir secara penuh. Sedangkan gaya horizontal
yang berupa gaya geser akibat rem rem sudah berkurang ,sehingga persyaratan lapisan ini
sedah agak longgar .
Fungsi Lapisan ini antara lain
a. Bagian perkerasan yang menahan gaya lintang dari beban roda dan menyebarkan
beban kebagian dibawahnya.
b. Sebagai lapisan peresapan untuk lapisan pondasi bawah .
c. Bantalan terhadap lapisan permukaan .

Jenis lapisan pondasi atas yang umum dipakai di nIndonesia :


1. Agregat bergradasi baik, terdiri dari :
 Batu pecah kelas A
 Batu pecah kelas B
 Batu pecah kelas C
2. Pondasi Makadan
3. Pondasi telpor
4. Penetrasi makadan ( Lapen )
5. Aspal beto pondasi (ATB)
6. Stabilisasi yang tinggi
a. Satabilisasi agragat dengan semen
b. Stabilisasi agregat dengan kapur
c. Stabilisasi agragat dengan aspal
3. Lapisan Pondasi Bawah (LPB)
Lapisan perkerasanini menerima gaya vertikal berupa berat dan mutan kendaraan-
kendaraan dan getaran –getaran akibat pukulan roda kendaraan sudah berkurang . Dan
menerima gaya horizontal berupa gaya geser akibat rem sudah mulaiberkurang .

Lapisan pondasi bawah terletak antara lapisan pondasi atas dan tanah dasar. Lapisan ini
berfungsi sebagai :
a. Bagian dari konstruksiperkerasan untuk menyebarkan beban roda ketanah dasar .
Lapisan ini harus kuat.CBR =20% dan indeks plastis (IP) ≤10 %.
b. Efisienpenggunaan material yaitu material pondasi bawah jauh lebih murah
dibandingkan denganlapisan perkerasan diatasnya .
c. Mengurangi tebal lapisan diatasnya yang lebih mahal.
d. Lapisan peresapan
e. Lapisan pertamaagar pekerjaan dapat berjalan lancar .Ini sehubungan dengan kondisi 31
lapangan yang memaksa harus segera menutup tanah dasar dari pengaruh cuaca atau
lemahnya daya dukung tanah dasar menahan roda –roda alat berat.
f. Lapisan untuk mencegah partikel halus dari tanah dasar naik kelapisan pondasi atas .

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

Jenis lapisan pondasi bawah yangumumdignakan di Indonesia :


1. Agregat bergradasi baik, dibedakan atas :
a. Sirtu/pitrum kelas A
b. Sirtu/pitrumkelas B
c. Sirtu/pitrum kelas C
2. Stabilisasi
a. Stabilisasi agregat dengan semen
b. Stabilisasi agregat dengan kapur
c. Stabilisasi tanah dengan semen
d. Stabilisasi tanah dengan kapur
4. Tanah Dasar
Lapisan tanah dasar dapat berupa :
1. Tanah asli yang dipadatkan jika tanah aslinya memenuhi syarat
2. Tanah yang didatangkan dari tempat lain dan dipadatkan yang berupa timbunan
3. Tanah galian
Sebelum diletakkan lapisan diatasnya tanah dasar dipadatkan terlebih dahulu untuk
mendapatkan kepadatan yang memenuhi syarat .

Masalah-masalah yang sering didapatkan menyangkut tanah dasar :


 Perubahan bentuk dari tanah tertentu akibat beban lalu lintas yang akanberkibat pada
cepatnya jalan tersebut rusak .Ini terjadi pada tanah dengan plastisitas tinggi.Daya
dukung tanah ditujukan dengan nilai CBR-nya
 Sifat mengembang dan menyusut dari tanah tertentu akibat perubahan kadar air.Hal
ini dapat ditanggulangi dengan memadatkan tanah pada kadar air optimum.
 Daya dukung tanah dasar tidak merata sepanjang segmen jalan.Perencanaan
tebalperkerasan jalan dibuat berbeda-beda dengan membagi jalan jalan menjadi
segmen-segmen sesuai kondisi daya dukung yang ada.
 Akibat pelaksanaan pemadatan yang kurang bagus diperoleh daya dukung yang
tidakmerata .Hal ini dapat diatasi dengan pengawasan yang baik
 Perbedaan dengan penurunan akibat terdapatnya lapisan lapisan tanah lunak dibawah
tanah dasar yang berakibat terjadinya perubahan bentuk tetap. Ini dapat diatasi
dengan melakukan penyelidikan tanah secara teliti.
 Kondisi geologis perlu dipelajari dengan teliti jika ada kemungkinan lokasi berada
pada daerah patahan .

Lapisan tanah dasar ini hanya menerima gaya vertikal berupa berat dan muatan
kendaraan dan gesekan-gesekan akibat pukulan roda kendaraan yang pengaruhnya sudah
sangat kecil. Sedangkan gaya horizontal yang berupa gaya geser akibat rem kendaraan
32
sudah tidak berpenagruh lagi.
Daya dukung tanah dasar ditentukan oleh :
1. Jenis tanah

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK


KONSTRUKSI JALAN RAYA II

2. Tingkat kepadatan
3. Kadar air
4. Kondisi drainase
5. DLL

33

IMRAN S.T. M.T. | POLITEKNIK NEGERI FAK-FAK

Anda mungkin juga menyukai