Anda di halaman 1dari 4

Bismillaahirrahmaanirrahiim

Majelis Ilmu – Mesjid Al-ukhuwah


Bandung
Ustadz Abu Haidar
Hijab dan Rasa Malu
29 Rabi’ul Tsani – 17 Januari 2018

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

،‫ق‬ِ ‫ط ِر ْي‬ َّ ‫ع ِن ال‬َ ‫طةُ اْألَذَى‬ َ ‫ َوأَدْنَاهَا إِ َما‬،ُ‫ضلُ َها قَ ْو ُل الَ إِلهَ إِالَّ هللا‬
َ ‫ فَأ َ ْف‬،ً‫ش ْعبَة‬ ْ ِ‫ض ٌع َو َس ْبعُ ْونَ أ َ ْو ب‬
ُ َ‫ض ٌع َو ِست ُّ ْون‬ ْ ِ‫ََ اْ ِإل ْي َمانُ ب‬
ُ‫ش ْعبَةٌ ِمنَ َاْ ِإل ْي َمان‬
ُ ‫و ْال َحيَا ُء‬.
َ
“Iman memiliki lebih dari tujuh puluh atau enam puluh cabang. Cabang yang paling
tinggi adalah perkataan ‘Lâ ilâha illallâh,’ dan yang paling rendah adalah
menyingkirkan duri (gangguan) dari jalan. Dan malu adalah salah satu cabang
Iman.”

[Shahîh: HR.al-Bukhâri dalam al-Adâbul Mufrad (no. 598), Muslim (no. 35), Abû
Dâwud (no. 4676), an-Nasâ-i (VIII/110) dan Ibnu Mâjah (no. 57), dari Shahabat Abû
Hurairah. Lihat Shahîhul Jâmi’ ash-Shaghîr (no. 2800)]

Rasulullah Shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,

‫الحياء و اإليمان قرنا جميعا فإذا رفع أحدهما رفع اآلخر‬

“Rasa malu dan iman itu terikat menjadi satu. Jika yang satu hilang maka yang lain
juga akan hilang.” (HR. Hakim dari Ibnu Umar dengan penilaian ‘shahih menurut
kriteria Bukhari dan Muslim. Penilaian beliau ini disetuju oleh Dzahabi. Juga dinilai
shahih oleh al Albani dalam Shahih Jami’ Shaghir, no. 1603)

Dalam Kitab Syu'abul Iman oleh Imam Al-Baihaqi, malu adalah salah satu cabang
dari iman.
Secara fitrah, rasa malu itu sudah tertanam dalam diri manusia. Sebagai contoh
ketika adam dan hawa melanggar perintah Allah, maka terlepaslah pakaian yang
menempel padanya dan terbuka auratnya. Tanpa fikir, langsung mencari dedaunan
untuk menutupi auratnya.
Umar bin Khattab berkata,
“Wanita yang tangguh dan hebat bukan yang sering keluar rumah. Tetapi wanita
yang hebat adalah yang keluar menutup auratnya dan wajahnya sebab rasa malu”.
Ada satu kisah, dalam hadits riwayat Imam Abu Dawud, sayang sekali haditsnya
dhoif
“Ada seorang wanita berkunyah Ummu Kholad dengan berniqab, datang kepada
Nabi Muhammad ‫سلَّ َم‬َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ . Menceritakan, anaknya yang syahid di medan
perang. Lalu Nabi berkata “Engkau datang kepadku dalam keadaan berniqab dan
sedang dalam musibah.” Lalu ummu Kholad menjawab, “Kalau aku memperoleh
musibah karena anakku, jangan sampai ada musibah lagi yaitu musibah hilangnya
rasa malu, maka tetap aku kenakan niqab.” Lalu Nabi Muhammad ‫سلَّ َم‬
َ ‫صلَّى هللاُ َعلَ ْي ِه َو‬
َ
menjawab tentang keadaan anaknya, “anakmu dapat pahala dua orang yang mati
syahid.”
Rasa malu dicontohkan oleh Aisyah bintu Abu Bakar yang malu tidak pernah
membuka auratnya karena di kamarnya ada kuburan Umar bin Khattab.
Hilangnya rasa malu akan menyebabkan adanya mukhalafat (mukhalafat adalah
penyimpangan-penyimpangan syari’at).
Contoh : ketika seseorang sudah tidak malu auratnya terlihat, maka akan muncul
maksiat-maksiat yang lain, contohnya jadi tabbaruj dan merubah wajah yang sudah
Allah ciptakan dengan sempurna.
Dalam Al-Quran Surah Al-A’raf ayah : 26. Tentang Pakaian Taqwa.

Pakaian takwa itulah yang terbaik dibanding pakaian lahiriyah.

Allah Ta’ala berfirman,

‫اس التَّ ْق َوى ذَلِكَ َخي ٌْر‬ ً ‫س ْوآَتِ ُك ْم َو ِري‬


ُ ‫شا َو ِل َب‬ ً ‫َيا َبنِي آَدَ َم قَدْ أ َ ْنزَ ْلنَا َعلَ ْي ُك ْم ِل َبا‬
َ ‫سا ي َُو ِاري‬

“Hai anak Adam, sesungguhnya Kami telah menurunkan kepadamu pakaian untuk
menutup auratmu dan pakaian indah untuk perhiasan. Dan pakaian takwa itulah
yang paling baik.” (QS. Al-A’raf: 26).

Syaikh Muhammad bin Shalih Al-‘Utsaimin menjelaskan bahwa pakaian itu ada dua
macam, yaitu pakaian lahiriyah dan pakaian batin. Pakaian lahiriyah yaitu yang
menutupi aurat dan ini sifatnya primer. Termasuk pakaian lahir juga adalah pakaian
perhiasan yang disebut dalam ayat di atas dengan riisya’ yang berarti perhiasan atau
penyempurna.

Pakaian batin sendiri adalah pakaian takwa. Pakaian ini lebih baik daripada pakaian
lahir yang nampak.

Setelah menyebutkan dua penjelasan di atas, Syaikh Ibnu ‘Utsaimin menjelaskan,


“Kita dapati bahwa orang-orang begitu semangat sekali memperhatikan bersihnya
pakaiannya yang nampak. Jika ada kotoran yang menempel di pakaiannya, maka ia
akan mencucinya dengan air dan sabun sesuai kemampuannya. Namun untuk
pakaian takwa, sedikit sekali yang mau memperhatikannya. Kalau pakaian batin
tersebut kotor, tidak ada yang ambil peduli. Ingatlah, pakaian takwa itulah yang lebih
baik. Itu menunjukkan seharusnya perhatian kita lebih tinggi pada pakaian takwa
dibanding badan dan pakaian lahir yang nampak. Pakaian takwa itulah yang lebih
penting.” (Syarh Riyadh Ash-Shalihin, 4: 266).

Dari penjelasan Syaikh di atas, kita lihat bahwa yang mesti diperhatikan adalah
pakaian takwa.

Bahkan pakaian takwa inilah yang jadi bekal terbaik. Allah Ta’ala berfirman,
‫الزا ِد التَّ ْق َوى‬
َّ ‫َوتَزَ َّود ُوا فَإ ِ َّن َخي َْر‬

“Berbekallah, dan sesungguhnya sebaik-baik bekal adalah takwa.” (QS. Al-Baqarah:


197)

Syaikh ‘Abdurrahman bin Nashir As-Sa’di rahimahullah berkata, “Bekal yang


sebenarnya yang tetap mesti ada di dunia dan di akhirat adalah bekal takwa, ini
adalah bekal yang mesti dibawa untuk negeri akhirat yang kekal abadi. Bekal ini
dibutuhkan untuk kehidupan sempurna yang penuh kelezatan di akhirat dan negeri
yang kekal abadi selamanya. Siapa saja yang meninggalkan bekal ini, perjalanannya
akan terputus dan akan mendapatkan berbagai kesulitan, bahkan ia tak bisa sampai
pada negeri orang yang bertakwa (yaitu surga). Inilah pujian bagi yang bertakwa.”
(Taisir Al-Karim Ar-Rahman, hlm. 92)

Al-Qasimi berkata, “Persiapkanlah ketakwaan untuk hari kiamat (yaumul ma’ad).


Karena sudah jadi kepastian bahwa orang yang bersafar di dunia mesti memiliki
bekal. Musafir tersebut membutuhkan makan, minum dan kendaraan. Sama halnya
dengan safar dunia menuju akhirat juga butuh bekal. Bekalnya adalah dengan
ketakwaan pada Allah, amal taat dan menjauhi berbagai larangan Allah. Bekal ini
tentu lebih utama dari bekal saat safar di dunia. Bekal dunia tadi hanya memenuhi
keinginan jiwa dan nafsu syahwat. Sedangkan bekal akhirat (takwa) akan
mengantarkan pada kehidupan abadi di akhirat.” (Mahasin At-Ta’wil, 3: 153.
Dinukil dari Kunuz Riyadh Ash-Shalihin, 10: 125)

Tak masalah memang memiliki baju baru karena asalnya mubah. Namun jangan
melalaikan dari menyiapkan bekal hakiki untuk akhirat yaitu takwa.

Wajib memiliki rasa malu kepada :


1. Malu kepada diri sendiri
2. Malu kepada Malaikat
3. Malu kepada orang lain
4. Malu kepada Allah
Urutan malu itu kepada Allah, Malaikat, Orang lain, dan diri sendiri.
Diterima oleh said bin Zaid, dalam hadits riwayat Imam Ahmad
“Malu kepada Allah seperti malu kepada orang-orang yang shalih.”
Maksudnya adalah : ketika kita sedang berhadapan dengan teman-teman kita yang
shalih pasti enggan untuk berbuat maksiat. Ingat! Merasa dilihat oleh orang yang
shalih dan yang kita hormati, tentu akan malu berbuat maksiat di hadapannya.

Bagian Tanya Jawab


1. Apa hukum mengikuti harakah ?
Jawab :
Harakah artinya gerakan. Harakah menyimpang dari Al-quran dan Sunnah.
2. Bagaimana hukum merubah wajah kerut jadi kencang ?
Jawab :
Hukum asalnya boleh.
Caranya harus syar’i yang bisa dijelaskan secara ilmiah misalnya dengan
memijat. Kalau dilakukan dengan operasi plastik maka haram. Dan yang
terpenting hal tersebut dilakukan untuk menyenangkan suami bukan untuk
mendapat pujian dari orang lain.
3. Bagaimana dengan akhowat yang pergi ke kajian malam hari ?
Lebih baik nonton live streaming di rumah atau datang langsung ?
Jawab :
Boleh datang langsung ke kajian karen akhowat keluar rumah dengan alasan
yang syar’i. Di malam hari wanita lebih aman dari pandangan laki-laki. Kecuali
untuk tempat tertentu yang lebih rawan fitnah.
4. Bolehkah menjadi seorang yang memiliki pekerjaan sebagai perias pengantin ?
Jawab :
Boleh. Asal, akhowatnya tidak dipajang untuk para ikhwan, dan merias dengan
cara-cara yang benar sesuai syariat.
5. Bagaimana cara istiqomah pakai niqab ? Tidak hanya pada saat pergi ke kajian
saja
Jawab :
1. Yakini bahwa wajahnya (wajah akhowat) itu cantik maka dapat menarik
ikhwan dan besar kemungkinan akan menjadi sebabnya dosa untuk ikhwan.
Misal : Fotonya disimpan, dizoom in. Hal itu dapat mengakibatkan dosa
jariyah.
2. Niatkan untuk syi’ar Islam. Dengan adanya kita dapat menjadikan syi’ar
untuk kawan kita yang asalnya ragu menggunakan niqab, jadi merasa ada
teman, dan tentu diikuti dengan akhlak mulia yang ada pada diri kita sebagai
seseorang yang sudah pakai niqab.

Anda mungkin juga menyukai