Anda di halaman 1dari 33

PRESENTASI KASUS

SEVERE ANEMIA ec MELENA

Disusun Oleh:
Fadhillahafizh Ibnu Achir 1710221076
Allya Inayatul Rahmah 1710221099

Pembimbing :
dr. Much. Maschun, Sp. PD

UNIVERSITAS PEMBANGUNAN NASIONAL ‘VETERAN’ JAKARTA


FAKULTAS KEDOKTERAN
SMF ILMU PENYAKIT DALAM
RSUD PROF. DR. MARGONO SOEKARJO
PURWOKERTO
2018
LEMBAR PENGESAHAN

PRESENTASI KASUS
SEVERE ANEMIA ec MELENA

Disusun oleh :
Fadhillahafizh Ibnu Achir 1710221076
Allya Inayatul Rahmah 1710221099

Diajukan untuk memenuhi syarat mengikuti ujian Kepaniteraan Klinik


di Bagian Ilmu Penyakit Dalam
RSUD Prof. DR. Margono Soekarjo Purwokerto

telah disetujui dan dipresentasikan


pada tanggal: Februari 2018

Purwokerto, Februari 2018


Pembimbing,

dr. Much. Maschun, Sp.PD


BAB I

PENDAHULUAN

Anemia defisiensi besi merupakan anemia yang terbanyak baik di Negara


maju maupunNegara yang sedang berkembang. Zat besi merupakan suatu unsur
terbanyak pada lapisan kulit bumi, akan tetapi defisiensi besi merupakan penyebab
anemia yang tersering. Hal ini disebabkan tubuh manusia mempunyai kemampuan
terbatas untuk menyerap besi dan seringkali tubuh mengalami kehilangan besi yang
berlebihan yang diakibatkan perdarahan (Hoffbrand.AV, et al, 2005). Besi merupakan
bagian dari molekul Hemoglobin, dengan berkurangnya besi maka sintesa
hemoglobin akan berkurang dan mengakibatkan kadar hemoglobin akan turun.
Hemoglobin merupakan unsur yang sangat vital bagi tubuh manusia, karena kadar
hemoglobin yang rendah mempengaruhi kemampuan menghantarkan O2 yang sangat
dibutuhkan oleh seluruh jaringan tubuh.
Anemia defisiensi besi ini dapat diderita oleh bayi, anak-anak, bahkan orang
dewasa baik pria maupun wanita, dimana banyak hal yang dapat mendasari terjadinya
anemia defisiensi besi. Dampak dari anemia defisiensi besi ini sangat luas, antara lain
terjadi perubahan epitel, gangguan pertumbuhan jika terjadi pada anak-anak,
kurangnya konsentrasi pada anak yang mengakibatkan prestasi disekolahnya
menurun, penurunan kemampuan kerja bagi para pekerja sehingga produktivitasnya
menurun. Kebutuhan besi yang dibutuhkan setiap harinya untuk menggantikan zat
besi yang hilang dari tubuh dan untuk pertumbuhan ini bervariasi, tergantung dari
umur, jenis kelamin. Kebutuhan meningkat pada bayi, remaja, wanita hamil,
menyusui serta wanita menstruasi. Oleh karena itu kelompok tersebut sangat
mungkin menderita defisiensi besi jika terdapat kehilangan besi yang disebabkan hal
lain maupun kurangnya intake besi dalam jangka panjang (Hoffbrand AV, et al,
2005).
BAB II

LAPORAN KASUS

A. Identitas Penderita
Nama : Tn. SR
Usia : 54 Th
Jenis kelamin : Laki-laki
Status : Menikah
Agama : Islam
Pekerjaan : Kontraktor
Alamat : Klapagading 03/012 klapagading, Wangon, Kab. Banyumas
Ruwat Inap : Asoka (Iso 2)
Tanggal masuk : 23 Januari 2018 ke IGD RSMS
Tanggal periksa : 23 Januari 2018
No. CM : 02037814

B. Subjektif
1. Keluhan Utama
BAB Hitam
2. Keluhan tambahan
Mual muntah, Lemas, Pucat
3. Riwayat Penyakit Sekarang
Pasien datang ke IGD RSMS pada 23 Januari 2018 dengan keluhan
lemas dan lemah. Sebelumnya pasien merupakan rujukan dari Puskesmas
Wangon. Pasien berobat karena mengeluh BAB berwarna kehitaman sejak 3
hari yang lalu. BAB berwarna hitam pekat seperti aspal, dengan konsistensi
keras dan tidak berdarah. Pasien juga mengeluh sangat pusing sampai ingin
pingsan. Nyeri pada perut disangkal oleh pasien. Pasien merasa mual namun
tidak disertai muntah. Pasien mengeluh ujung-ujung tangan pucat dan terasa
dingin. Pasien sudah pernah didiagnosa anemia namun baru pertama kali ini
mengeluh BAB hitam. Seminggu sebelum masuk RS pasien baru pulang
pasca perawatan tetanus di RSMS selama 5 hari. Pasien belum pernah
minum obat apapun untuk mengobati keluhan.

4. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat keluhan yang sama : Disangkal
Riwayat hipertensi : Disangkal
Riwayat DM : Disangkal
Riwayat anemia : Diakui
Riwayat penyakit jantung : Disangkal
Riwayat transfusi : Disangkal
5. Riwayat Penyakit Keluarga
a. Riwayat keluhan serupa : disangkal
b. Riwayat hipertensi : disangkal
c. Riwayat kencing manis : disangkal
d. Riwayat asma : disangkal
e. Riwayat alergi : disangkal
6. Riwayat Sosial Ekonomi
a. Community
Pasien tinggal di Klapagading, Wangon bersama seorang istri, dan 2
anaknya. Hubungan antara pasien dengan keluarga, tetangga, dan rekan
kerja baik.
b. Home
Pasien tinggal didaerah pedesaanan dengan lantai rumah beralaskan
keramik dengan ventilasi baik. Pencahayaan rumah pasien berasal dari
lampu dengan sinar matahari yang cukup. Pasien juga tinggal di tempat
yang tidak padat penduduk.
c. Occupational
Pasien merupakan kontraktor di daerah jakarta. Pasien mengaku hanya 2
bulan sekali pulang ke purwokerto untuk menemui anak dan istinya.
Pembiayaan rumah sakit ditanggung oleh BPJS NON PBI.
d. Drugs and diet
Pasien tidak pernah mengkonsumsi obat-obatan tertentu sebelumnya.
Pasien mengaku makan sehari 3 kali sehari, dengan nasi, sayur dan lauk
pauk seadanya.
e. Personal habit
Pasien mengaku terkadang mengkonsumsi makanan yang tidak sehat
dan berminyak, konsumsi buah dirasa jarang. Pasien mengaku merokok
kurang lebih sebungkus tiap minggu selama kurang lebih 20 tahun.
Pasien baru berhenti merokok sekitar 2 bulan yang lalu.

C. Objektif
1. Pemeriksaan Fisik
a. Keadaan Umum : Sedang
b. Kesadaran : Compos mentis, GCS E4M6V5
c. Vital sign
1) Tekanan Darah : 90/60 mmHg
2) Nadi : 89x/menit, isi cukup, reguler
3) RR : 22x/menit
4) Suhu : 36 oC
d. Status Generalis
1) Kepala
Bentuk : mesochepal, simetris, venektasi

temporal (-)
Rambut : warna hitam, tidak udah dicabut,
distribusi merata, tidak rontok
2) Mata
Palpebra : edema (-/-) ptosis (-/-)
Konjungtiva : anemis (+/+)
Sklera : ikterik (-/-)
Pupil : reflek cahaya (+/+) normal, isokor Ø 3 mm
3) Telinga
Otore (-/-)
Deformitas (-/-)
Nyeritekan (-/-)
Discharge (-/-)
4) Hidung
Napas cuping hidung (-)
Deformitas (-/-)
Discharge (-/-)
Rinorhea(-/-)
5) Mulut
Bibir sianosis (-)
Bibir pucat (+)
Lidah kotor (-)
6) Leher
Trakhea : deviasi trakhea (-/-)
Kelenjar lymphoid : tidak membesar, nyeri (-)
Kelenjar thyroid : tidak membesar
JVP : nampak,tidak kuat angkat
7) Dada
a) Paru
Inspeksi : bentuk dada simetris, ketinggalangerak (-)
Palpasi : vocal fremitus kanan = kiri
Perkusi : sonor pada lapang paru kiri dan kanan
Batas paru – hepar di SIC V LMCD
Auskultasi : suara dasar vesikuler (+/+), wheezing (-/-)
Ronki basah kasar (-/-), ronki basah halus (-/-)
b) Jantung
Inspeksi : ictus cordis nampak pada SIC V 2 jari medial
LMCS
Palpasi : ictus cordis teraba di SIC V 2 jari medial
LMCS,tidak kuat angkat
Perkusi : Batas jantung kanan atas :SIC II LPSD
Batas jantung kiri atas :SIC II LPSS
Batas jantung kanan bawah :SICIV LPSD
Batas jantung kiri bawah :SIC V 2 jari
medial LMCS
Auskultasi : S1>S2, reguler, murmur (-), gallops (-)

8) Abdomen
Inspeksi : datar
Auskultasi : bising usus (+) normal
Perkusi : timpani, pekak sisi (-), pekak alih (-), nyeri ketok
costo vertebrae (-)
Palpasi : supel, nyeri tekan (-)
Hepar : tidak teraba perbesaran
Lien : tidak teraba perbesaran
9) Ekstrimitas
Pemeriksaan Ekstremitas Ekstremitas
Superior Inferior
Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Edema - - - -
Sianosis - - - -
Akral dingin - - - -
Reflek fisiologis + + + +
Reflek patologis - - - -
2. Pemeriksaan Penunjang
a. Laboratorium Darah 23 Januari 2018
Darah Lengkap

Hb : 4,4 gr/dl (L) Normal : 11.7 – 15.5 gr/dl

Leukosit : 15090 /ul (H) Normal : 3.600 – 11.000/ul

Hematokrit : 12 % (L) Normal : 35 % - 47 %

Eritrosit : 1,4 juta/ul Normal : 3,8 - 5,2 juta/ul

Trombosit : 260.000/ul Normal: 150.000 - 440.000/ul

MCV : 90,1 fL Normal : 80 - 100 fL

MCH : 31 pg (L) Normal : 26 - 34 pg

MCHC : 34,4 gr/dl Normal : 32 – 36 gr/dl

RDW : 14,2 % Normal : 11,5 - 14.5 %

MPV : 10.6fL Normal : 9,4 - 12,3 fL

Hitung Jenis

Basofil : 0,1 % Normal : 0 – 1 %

Eosinofil : 1,7% (L) Normal : 2 – 4 %

Batang : 0,9 % (L) Normal : 3 – 5 %

Segmen : 72,6 % Normal : 50 – 70%

Limfosit : 20,9 % Normal : 25 - 40%

Monosit : 3,8 % Normal : 2 – 8 %


GDS : 138 mg/dL Normal <= 200 mg/dL

SGOT : 33 U/L Normal : 15-37

SGPT : 34 U/L Normal : 16-62

Ureum Darah : 53,1 mg/dL H Normal : 14,98 – 38,52

Kreatinin darah : 0,86 mg/dL Normal : 0,7 – 1,3

Gambaran darah tepi

Eritrosit : anisositosis ringan (normositik), Poikilositosis ringan

Leukosit : estimasi jumlah meningkat, neutrofilia

Trombosit : Estimasi jumlah normal

Lumping (+), benuk besar (+)

Kesan: anemia normositik normokromik, leukositosis

DD : anemia ec perdarahan dengan infeksi, anemia ec penyakit


kronik dengan infeksi.

b. Laboratorium Darah 28 Januari 2018 (Sebelum pulang, Post TF PRC 6


kolf)

Darah Lengkap
Hb : 9,5 gr/dl (L) Normal : 11.7 – 15.5 gr/dl
Leukosit : 7140 /ul Normal : 3.600 – 11.000/ul
Hematokrit : 28 % (L) Normal : 35 % - 47 %
Eritrosit : 3,2 juta/ul (L) Normal : 3,8 - 5,2 juta/ul
Trombosit : 302.000/ul Normal: 150.000 - 440.000/ul
MCV : 88,5 fL Normal : 80 - 100 fL
MCH : 29,6 pg Normal : 26 - 34 pg
MCHC : 33,5 gr/dl Normal : 32 – 36 gr/dl
RDW : 16,4 % (H) Normal : 11,5 - 14.5 %
MPV : 9 fL (H) Normal : 9,4 - 12,3 fL
Hitung Jenis
Basofil : 0,3 % Normal : 0 – 1 %
Eosinofil : 2,4 % Normal : 2 – 4 %
Batang : 0% (L) Normal : 3 – 5 %
Segmen : 77,1 % (H) Normal : 50 – 70%
Limfosit : 11,1 % (L) Normal : 25 - 40%
Monosit : 9,1 % (H) Normal : 2 – 8 %

c. Hasil Endoskopi 29 Januari 2018


D. Diagnosis
Obs. Melena
Severe Anemia

Riw. Tetanus

E. Terapi
1. Non Farmakologis
a. Konsumsi makanan bergizi
b. Tinggal dilingkungan yang sehat
2. Farmakologi
a. O2 3 lpm nk
b. IVFD NaCl 0,9% loading 500 cc lalu 20 tpm
c. Inj. Kalnex 3x500 mg iv
d. Inj. OMZ 2x1 gr iv
e. Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv ST
f. Inj. Mecobalamin 1x1 amp iv
g. Transfusi PRC sampai HB ≥ 10

F. Prognosis
Ad vitam : dubia ad bonam

Ad fungsionam : dubia ad bonam

Ad sanationam : dubia ad bonam


RESUME FOLLOW UP PASIEN

Tanggal S-O A P
24/01/2018 S: sesak (+), lemas, Obs. Melena O2 3 lpm NK
pucat Anemia Severe IVFD NaCl 0.9% 20 tpm ,
O: TD: 90/60 mmHg Riw. tetanus loading 500 cc pertama
HR: 90x/menit Inj. Kalnex 3x500 mg IV
RR: 20x/menit Inj. OMZ 2x1 gr iv
S: 35,6 C Inj. Mecobalamin 1x1 amp iv
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv ST
Pro Transfusi sampai hb > 10

25/01/2018 S: Lemas, Nafsu Obs. Melena O2 3 lpm NK


Makan turun, sesak (-) Anemia Severe IVFD NaCl 0.9% 20 tpm ,
O: TD: 110/70 mmHg Riw. Tetanus loading 500 cc pertama
HR: 75x/menit Inj. Kalnex 3x500 mg IV
RR: 20x/menit Inj. OMZ 2x1 gr iv
S: 36 Inj. Mecobalamin 1x1 amp iv
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv ST
Pro Transfusi sampai hb > 10

26/01/2018 S: BAB berwarna Obs. Melena O2 3 lpm NK


kehitaman membaik, Anemia Severe IVFD NaCl 0.9% 20 tpm ,
nafsu makan Riw. Tetanus loading 500 cc pertama
membaik, mual Inj. Kalnex 3x500 mg IV
muntah (-) Inj. OMZ 2x1 gr iv
Inj. Mecobalamin 1x1 amp iv
O: TD: 100/70 mmHg Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv ST
HR: 81x/menit Pro Transfusi sampai hb > 10
RR: 20x/menit
S: 36
27/01/2018 S: BAB hitam, Obs. Melena O2 3 lpm NK
keluhan lain membaik Anemia Severe IVFD NaCl 0.9% 20 tpm ,
O: TD: 110/90 mmHg Riw. Tetanus loading 500 cc pertama
HR: 70 x/menit Inj. Kalnex 3x500 mg IV
RR: 20 x/menit Inj. OMZ 2x1 gr iv
S: 36 Inj. Mecobalamin 1x1 amp iv
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv ST
Pro Transfusi sampai hb > 10
28/01/2018 S: BAB berwarna Obs. Melena O2 3 lpm NK
hitam Anemia Severe IVFD NaCl 0.9% 20 tpm ,
O: TD: 110/80 mmHg Riw. Tetanus loading 500 cc pertama
HR: 80 x/menit Inj. Kalnex 3x500 mg IV
RR: 20 x/menit Inj. OMZ 2x1 gr iv
S: 36.5 Inj. Mecobalamin 1x1 amp iv
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv ST
Pro Transfusi sampai hb > 10
PRO Endoskopi
29/01/2018 S: BAB masih hitam, Obs. Melena O2 3 lpm NK
keluhan lain membaik Anemia Severe IVFD NaCl 0.9% 20 tpm ,
O: TD: 90/70 mmHg Riw. Tetanus loading 500 cc pertama
HR: 80 x/menit Inj. Kalnex 3x500 mg IV
RR: 18 x/menit Inj. OMZ 2x1 gr iv
S: 36.4 Inj. Mecobalamin 1x1 amp iv
Inj. Ceftriaxone 2x1 gr iv ST

30/01/2018 S: BAB berwarna Obs. Melena PO Cefixime 100 mg 2x1


hitam sudah sedikit, Anemia Severe PO pamol 3x1 tab
keluhan lain (-) Riw. Tetanus PO Lanzoprazole 2x1 caps
O: TD: 110/70 mmHg PO cliad 2x1
HR: 78 x/menit PO kalnex 500 mg 3x1
RR: 20 x/menit PO Vit. K 3x1
S: 36.5 BLPL
BAB III

TINJAUAN PUSTAKA

A. DEFINISI
Anemia merupakan kekurangan jumlah hemoglobin dalam darah.
Penyebab kekurangan haemoglobin itu sendiri dapat terjadi akibat berbagai
penyebab. Baik itu karena kekurangan sel eritrosit dalam darah ataupun sangat
sedikit jumlah hemoglobin dalam sel eritrosit itu sendiri (Guyton & Hall, 2010).
Secara praktis anemia ditunjukkan oleh penurunan kadar hemoglobin, hematokrit
atau hitung eritrosit (red cell count). Tetapi yang paling lazim dipakai adalah
kadar hemoglobin, kemudian hematokrit. Harus diingat bahwa terdapat keadaan-
keadaan tertentu dimana ketiga parameter tersebut tidak sejalan dengan massa
eritrosit, seperti pada dehidrasi, perdarahan akut, dan kehamilan (Sudoyo, 2009).

B. ETIOLOGI
Pada dasarnya anemia disebabkan oleh karena: 1) Gangguan pembentukan
eritrosit oleh sumsum tulang; 2) Kehilangan darah keluar tubuh (perdarahan): 3)
Proses penghancuran eritrosit dalam tubuh sebelum waktunya (hemolisis),
berikut adalah etiologi anemia (Sudoyo, 2009):
1. Anemia karena gangguan pembentukan eritrosit dalam sumsum tulang
a. Kekurangan bahan esensial pembentuk eritrosit
1) Anemia defisiensi besi
2) Anemia defisiensi asam folat
3) Anemia defisiensi vitamin B12
b. Gangguan penggunaan (utilisasi) besi
1) Anemia akibat penyakit kronik
2) Anemia sideroblastik
c. Kerusakan sumsum tulang
1) Anemia aplastik
2) Anemia mieloptisik
3) Anemia pada keganasan hematologi
4) Anemia diseritropoietik
5) Anemia pada sindrom mielodisplastik
d. Anemia akibat kekurangan eritropoietin : anemia pada gagal ginjal kronik
2. Anemia akibat hemoragi
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia akibat perdarahan kronik
3. Anemia hemolitik
a. Anemia Hemolitik intrakorpuskular
1) Gangguan membran eritrosit (membranopati)
2) Gangguan ensim eritrosit (enzimopati): anemia akibat defisiensi G6PD
3) Gangguan Hemoglobin (hemoglobinopati)
a) Thalassemia
b) Hemoglobinopati struktural : HbS,HbE,dll
b. Anemia Hemolitik ekstrakorpuskular
1) Anemia Hemolitik autoimun
2) Anemia Hemolitik mikroangiopatik
3) Lain-lain
4. Anemia dengan penyebab tidak diketahui atau dengan patogenesis yang
kompleks
Klasifikasi lain untuk anemia dapat dibuat berdasarkan gambaran
morfologik dengan melihat indeks eritrosit atau hapusan darah tepi. Dalam
klasifikasi ini anemia dibagi menjadi tiga golongan :
1. Anemia hipokromik mikrositer, bila MCV<80fl dan MCH <27pg:
2. Anemia normokromik normositer, bila MCV 80-95 fl dan MCH 27-34
pg:
3. Anemia makrositer bila MVC > 95 fl.
Klasifikasi anemia berdasarkan morfologi dan etiologi (Sudoyo et
all., 2007).
1) Anemia mikrositik hipokromik
a. Anemia defisisensi besi
b.Anemia akibat penyakit kronik
c. Anemia sideroblastik
d. Thalassemia major
2) Anemia normositik normokromik
a. Anemia pasca perdarahan akut
b. Anemia aplastik
c. Anemia hemolitik didapat
d. Anemia akibat penyakit kronik
e. Anemia pada gagal ginjal kronik
f. Anemia sindrom mielodisplastik
g. Anemia keganasan hematologi
3) Anemia makrositik
a. Bentuk megaloblastik
i. Anemia defisiensi asam folat
ii. Anemia defisiensi B12, termasuk anemia pernisiosa
b. Bentuk non-megaloblastik
i. Anemia pada penyakit hati kronik
ii. Anemia pasa hipotiroidisme
iii.Anemia pada sindrom mielodisplastik

C. KLASIFIKASI DEFISIENSI BESI


Menurut Bakta dan Cielsa 2007 Anemia Defisiensi Besi dibagi menjadi tiga
tingkatan yaitu:
1. Deplesi besi (Iron depleted state): keadaan dimana cadangan besinya
menurun, tetapi penyediaan besi untuk eritropoesis belum terganggu.
2. Eritropoesis Defisiensi Besi (Iron Deficient Erytropoesis) : keadaan dimana
cadangan besinya kosong dan penyediaan besi untuk eritropoesis sudah
terganggu, tetapi belum tampak nemia secara laboratorik.
3. Anemia defisiensi besi : keadaan dimana cadangan besinya kosong dan sudah
tampak gejala anemia defisiensi besi.

D. PATOFISIOLOGI
Perjalanan anemia defisiensi besi terbagi dalam 3 keadaan, yaitu iron depleted
state, iron defisit erithropoiesis dan iron deficiency anemia. Keadaan pertama
adalah negative iron balance, dimana terdapat penurunan jumlah besi, sehingga
jumlah cadangan besi akan menurun. Keadaan ini ditandai dengan menurunnya
kadar feritin serum, peningkatan absorbsi besi dalam usus, serta pengecatan besi
dalam sumsung tulang yang negatif. Keadaan ini terjadi akibat adanya
perdarahan menahun, kehamilan, pertumbuhan cepat pada remaja, atau tidak
adekuatnya pemasukan besi dalam makanan. Perdarahan yang terjadi melebihi
10-20 mL sel darah perhari, lebih banyak dari jumlah besi yang diserap usus
dalam diet normal (Fauci et al,2008).
Jika keadaan kurangnya besi terjadi terus-menerus, cadangan besi akan habis
dan kosong sama sekali, sehingga proses eritropoieis yang membutuhkan besi
menghasilkan gangguan bentuk eritrosit, tetapi tanda-tanda klinis anemia masih
belum bisa ditemukan. Keadaan ini disebut iron deficient erythropoiesis.
Keadaan ini ditandai dengan jumlah serum ferritin < 15-20%, dan peningkatan
total iron binding capacity (TIBC). Jika jumlah besi terus berkurang, maka
proses eritropoiesis semakin terganggu sehingga kadar hemoglobin dan
hematokrit mulai menurun. Hal ini menimbulkan anemia hipokromik mikrositik
yang disebut anemia defisiensi besi. Kadar saturasi transferin akan menurun
hingga 10-15% (Fauci et al,2008).
Pada pasien dengan anemia defisiensi besi, terjadi penurunan enzim sitokrom
oksidase pada mukosa mulut dengan sedikit besi, dapat menyebabkan perasaan
tidak nyaman di mulut. Hal ini menyebabkan pasien mempunyai perilaku aneh
untuk memakan atau mengunyah benda tertentu seperti kertas, kotoran, alat tulis,
pasta gigi, es, dan lain-lain. Kadar besi yang kurang juga membuat permukaan
kuku menjadi lebih kasar, mudah terkelupas dan mudah patah. Bentuk kuku
menyeruai sendok atau disebut kolinikia. Selain itu, kurangnya zat besi juga
mengganggu proses epiteliasi saluran pencernaan, sehingga lidah pasien menjadi
atrofi, mulut pasien terdapat stomatitis angularis dan didapatkan gastritis
(Abdulsalam, 2002).

E. MANIFESTASI KLINIS
Gejala pada anemia defisiensi besi dapat dibagi menjadi tiga golongan,
yaitu: gejala umum anemia, gejala khas akibat anemia defisiensi besi dan gejala
penyakit yang mendasari anemia defisiensi besi. Gejala umum anemia yang
dijumpai pada anemia defisiensi besi bila kadar hemoglobin turun di bawah 7-8
g/dl, berupa badan lemah, lesu, cepat lelah, mata berkunangkunang, serta telinga
berdenging. Gejala khas terjadi akibat defisiensi besi berupa chlorosis
(kekurangan zat besi yang mempengaruhi wanita pada masa pubertas dan
menyebabkan kulit berubah menjadi kehijau-hijauan), glossitis (peradangan pada
lidah di mana lidah terlihat merah dan halus), stomatitisangularis (cheilosis)
(adanya peradangan pada sudut mulut sehingga tampak sebagai bercak berwarna
pucat keputihan) (longmore, et al., 2007) .
Gejala khas lainnya berupa disfagia (nyeri menelan karena kerusakan
epitel hipofaring), atrofimukosa gaster sehingga menimbulkan akhloridia,
koilonychia / kuku sendok (spoon nail) (kuku menjadi rapuh, bergaris-garis
vertikal dan menjadi cekung seperti sendok), pica (keinginan makan yang tidak
biasa, seperti makan tanah (geophagia) dan es (pagophagia)), dan sklera mata
berwarna biru (longmore, et al., 2007). Gejala yang ditimbulkandari penyakit
yangmendasari terjadinya anemia defisiensi besitersebut, misalkan yang
disebabkan oleh infeksicacing tambang maka akan dijumpai gejala dispepsia,
kelenjar parotis membengkak, kulit telapak tangan warna kuning seperti jerami.
Jika disebabkan oleh perdarahan kronis akibat dari suatu karsinoma maka gejala
yang ditimbulkan tergantung pada lokasi dari karsinoma tersebut beserta
metastasenya (Mehta, 2000).

F. PENEGAKAN DIAGNOSIS
WHO 2001
Kadar hemoglobin

Kriteria Non Anemia Anemia Anemia


Anemia ringan sedang berat

Pria dewasa >13 11,0-12,9 8-10,9 <8

Wanita dewasa >12 11-11,9 8-10,9 <8

Wania hamil >11 10-10,9 7-9,9 <7

Anak >12 11-11,9 8-10,9 <8

Anak <5tahun >11 10-10,9 7-9,9 <7

Namun untuk memudahkan dalam melakukan tindakan sesuai diagnosis


anemia, pada praktiknya kriteria anemia pada rumah sakit dan klinik di Indonesia
adalah:
1. Hemoglobin < 10 g/dl
2. Hematokrit < 30%
3. Eritrosit < 2,8 x 106 /mm.
Penegakan diagnosis anemia berdasarkan anamnesis dan pemeriksaan fisik
mengenai manifestasi klinis yang ada pada pasien dan dibantu dengan hasil
pemeriksaan penunjang.
Gejala dan tanda anemia bergantung pada derajat dan kecepatan terjadinya
anemia, juga kebutuhan oksigen penderita. Gejala akan lebih ringan pada anemia
yang terjadi perlahan-lahan, karena ada kesempatan bagi mekanisme homeostatik
untuk menyesuaikan dengan berkurangnya kemampuan darah membawa oksigen
(Bakta, 2009).

1. Anamnesis
Gejala umum anemia disebut juga sebagai sindrom anemia, timbul karena
iskemia organ target serta akibat mekanisme kompensasi tubuh terhadap
penurunan kadar hemoglobin. Gejala ini muncul pada setiap kasus anemia
setelah penurunan hemoglobin sampai kadar tertentu(Hb <7 g/dl). Sindrom
anemia terdiri dari rasa lemah, lesu, cepat lelah, telinga mendenging (tinnitus),
mata berkunang-kunang, kaki terasa dingin, sesak nafas, dan dispepsia (Bakta,
2009).
2. Pemeriksaan Fisik
Tujuan utamanya adalah menemukan tanda keterlibatan organ atau
multisistem dan untuk menilai beratnya kondisi penderita (Oehardian, 2012).
Pada pemeriksaan, pasien tampak pucat yang mudah dilihat pada
konjungtivanya, mukosa mulut, telapak tangan, dan jaringan di bawah kuku
(Bakta, 2009).
Tanda dan gejala khas masing-masing anemia (Bakta, 2009) :
a) Anemia defisiensi besi
Disfagia, atrofi papil lidah, stomatitis angularis, dan kuku sendok.
b) Anemia megaloblastik
Glositis, gangguan neurologik pada defisiensi vitamin B12
c) Anemia hemolitik
Ikterus, splenomegali, hepatomegali
d) Anemia aplastik
Perdarahan dan tanda-tanda infeksi

3. Pemeriksaan Laboratorium
Menurut Guillermo dan Arguelles (Riswan, 2003) pemeriksaan yang dapat
dilakukan antara lain:
a) Hemoglobin (Hb)
Hemoglobin adalah parameter status besi yang memberikan suatu ukuran
kuantitatif tentang beratnya kekurangan zat besi setelah anemia berkembang.
Pada pemeriksaan dan pengawasan Hb dapat dilakukan dengan menggunakan
alat sederhana seperti Hb sachli, yang dilakukan minimal 2 kali selama
kehamilan, yaitu trimester I dan III.
b) Penentuan Indeks Eritrosit
Penentuan indeks eritrosit secara tidak langsung dengan flowcytometri atau
menggunakan rumus:
1) Mean Corpusculer Volume (MCV)
MCV adalah volume rata-rata eritrosit, MCV akan menurun apabila
kekurangan zat besi semakin parah, dan pada saat anemia mulai
berkembang. MCV merupakan indikator kekurangan zat besi yang spesiflk
setelah thalasemia dan anemia penyakit kronis disingkirkan. Dihitung
dengan membagi hematokrit dengan angka sel darah merah. Nilai normal
70-100 fl, mikrositik < 70 fl dan makrositik > 100 fl.
2) Mean Corpuscle Haemoglobin (MCH)
MCH adalah berat hemoglobin rata-rata dalam satu sel darah
merah. Dihitung dengan membagi hemoglobin dengan angka sel darah
merah. Nilai normal 27-31 pg, mikrositik hipokrom < 27 pg dan makrositik
> 31 pg.
3) Mean Corpuscular Haemoglobin Concentration (MCHC)
MCHC adalah konsentrasi hemoglobin eritrosit rata-rata. Dihitung
dengan membagi hemoglobin dengan hematokrit. Nilai normal 30-35% dan
hipokrom < 30%.
c) Pemeriksaan Hapusan Darah Perifer
Pemeriksaan hapusan darah perifer dilakukan secara manual.Pemeriksaan
menggunakan pembesaran 100 kali dengan memperhatikan ukuran, bentuk inti,
sitoplasma sel darah merah.Dengan menggunakan flowcytometry hapusan darah
dapat dilihat pada kolom morfology flag.
d) Luas Distribusi Sel Darah Merah (Red Distribution Wide = RDW)
Luas distribusi sel darah merah adalah parameter sel darah merahyang
masih relatif baru, dipakai secara kombinasi dengan parameter lainnya untuk
membuat klasifikasi anemia.RDW merupakan variasi dalam ukuran sel merah
untuk mendeteksi tingkat anisositosis yang tidak kentara. Kenaikan nilai RDW
merupakan manifestasi hematologi paling awal dari kekurangan zat besi, serta
lebih peka dari besi serum, jenuh transferin, ataupun serum feritin. MCV rendah
bersama dengan naiknya RDW adalah pertanda meyakinkan dari kekurangan zat
besi, dan apabila disertai denganeritrosit protoporphirin dianggap menjadi
diagnostik.Nilai normal 15 %.
e) Eritrosit Protoporfirin (EP)
EP diukur dengan memakai haematofluorometer yang hanya
membutuhkan beberapa tetes darah dan pengalaman tekniknya tidak terlalu
dibutuhkan. EP naik pada tahap lanjut kekurangan besi eritropoesis, naik secara
perlahan setelah serangan kekurangan besi terjadi. Keuntungan EP adalah
stabilitasnya dalam individu, sedangkan besi serum dan jenuh transferin rentan
terhadap variasi individu yang luas.EP secara luas dipakai dalam survei populasi
walaupun dalam praktik klinis masih jarang.
f) Besi Serum (Serum Iron = SI)
Besi serum peka terhadap kekurangan zat besi ringan, serta menurun
setelah cadangan besi habis sebelum tingkat hemoglobin jatuh. Keterbatasan besi
serum karena variasi diurnal yang luas dan spesitifitasnya yang kurang. Besi
serum yang rendah ditemukan setelah kehilangan darah maupun donor, pada
kehamilan, infeksi kronis, syok, pireksia, rhematoid artritis, dan malignansi. Besi
serum dipakai kombinasi dengan parameter lain, dan bukan ukuran mutlak status
besi yang spesifik.
g) Serum Transferin (Tf)
Transferin adalah protein tranport besi dan diukur bersama -sama dengan
besi serum. Serum transferin dapat meningkat pada kekurangan besi dan dapat
menurun secara keliru pada peradangan akut, infeksi kronis, penyakit ginjal dan
keganasan.
h) Transferrin Saturation (Jenuh Transferin)
Jenuh transferin adalah rasio besi serum dengan kemampuan mengikat
besi, merupakan indikator yang paling akurat dari suplai besi ke sumsum
tulang.Penurunan jenuh transferin dibawah 10% merupakan indeks kekurangan
suplai besi yang meyakinkan terhadap perkembangan eritrosit. Jenuh transferin
dapat menurun pada penyakit peradangan. Jenuh transferin umumnya dipakai
pada studi populasi yang disertai dengan indikator status besi lainnya. Tingkat
jenuh transferin yang menurun dan seru feritin sering dipakai untuk mengartikan
kekurangan zat besi.Jenuh transferin dapat diukur dengan perhitungan rasio besi
serum dengan kemampuan mengikat besi total (TIBC), yaitu jumlah besi yang
bisa diikat secara khusus oleh plasma.

i) Serum Feritin
Serum feritin adalah suatu parameter yang terpercaya dan sensitif untuk
menentukan cadangan besi orang sehat. Serum feritin secara luas dipakai dalam
praktek klinik dan pengamatan populasi. Serum feritin < 12 ug/l sangat spesifik
untuk kekurangan zat besi, yang berarti kehabisan semua cadangan besi,
sehingga dapat dianggap sebagai diagnostik untuk kekurangan zat
besi.Rendahnya serum feritin menunjukan serangan awal kekurangan zat besi,
tetapi tidak menunjukkan beratnya kekurangan zat besi karena variabilitasnya
sangat tinggi.
Penafsiran yang benar dari serum feritin terletak pada pemakaian range
referensi yang tepat dan spesifik untuk usia dan jenis kelamin. Konsentrasi serum
feritin cenderung lebih rendah pada wanita dari pria, yang menunjukan cadangan
besi lebih rendah pada wanita. Serum feritin pria meningkat pada dekade kedua,
dan tetap stabil atau naiksecara lambat sampai usia 65 tahun. Pada wanita tetap
saja rendah sampai usia 45 tahun, dan mulai meningkat sampai sama seperti pria
yang berusia 60-70 tahun, keadaan ini mencerminkan penghentian mensturasi
dan melahirkan anak.
Pada wanita hamil serum feritin jatuh secara dramatis dibawah 20 ug/l
selama trimester II dan III bahkan pada wanita yang mendapatkan suplemen zat
besi.Serum feritin adalah reaktan fase akut, dapat juga meningkat pada inflamasi
kronis, infeksi, keganasan, penyakit hati, alkohol. Serum feritin diukur dengan
mudah memakai Essay immunoradiometris (IRMA),Radioimmunoassay (RIA),
atau Essay immunoabsorben (Elisa).

Algoritma Penegakan Diagnosis Anemia (Tefferi A. 2003).


G. TATALAKSANA
Menurut Handayani dan Haribowo (2008), pada setiap kasus anemia perlu
diperhatikan prinsip-prinsip sebagai berikut ini:
a. Terapi spesifik sebaiknya diberikan setelah diagnosis ditegakkan.
b. Terapi diberikan atas indikasi yang jelas, rasional, dan efisien.
Terapi sebaiknya ditunjukan kepada penyakit yang mendasari. Jika
penyakitnya tidak responsif terhadap terapi, berikan terapi suportif dengan
transfusi darah, yang diulangi beberapa kali untuk meminimalkan gejala (Davey,
2005).
Transfusi darah
Pemberian transfusi darah harus melalui indikasi pemberian, diantaranya yaitu:
1.Anemia pada perdarahan akut setelah didahului penggantian volume dengan
cairan
2. Anemia kronis jika Hb tidak dapat ditingkatkan dengan cara lain
3. Gangguan pembekuan darah karena defisiensi komponen
4. Plasma loss atau hipoalbuminemia jika tidak dapat lagi diberikan plasma
subtitute atau larutan albumin
Pada pasien dengan anemia, transfusi baru diberikan jika terdapat tanda “oxygen
need” :
a. Rasa sesak
b. Mata berkunang
c. Berdebar (palpitasi)
d. Pusing
e. Gelisah
f. Hb<6 gr/dl

Penatalaksanaan yang juga dapat dilakukan :


1. Terapi gawat darurat
Pada kasus anemia dengan payah jantung atau ancaman payah jantung, maka
harus segera diberikan terapi darurat dengan transfusi sel darah merah yang
dimampatkan (PRC) untuk mencegah perburukan payah jantung tersebut.
2. Terapi kausal
Terapi kausal merupakan terapi untuk mengobati penyakit dasar yang menjadi
penyebab anemia. Misalnya, anemia defisiensi besi yang disebabkan oleh infeksi
cacing tambang harus diberikan obat anti-cacing tambang. Mengatasi penyebab
perdarahan kronik, misalnya pada ankilostomiasis diberikan antelmintik yang
sesuai.
3. Pemberian praparat besi : ferosulfat/ferofuramatferoglukonat dosis 4-6 mg
besi elemental/kgBB/hari dibagi dalam 3 dosis. Diberikan dalam 2-3 bulan
setelah kadar Hb normal.
4. Bedah : Untuk penyebab yang memerlukan intervensi bedah seperti
perdarahan karena diverticulum Meckel.
5. Suportif : Makanan gizi seimbang terutama yang megandung kadar besi tinggi
yang bersumber dari hewani (limfa, hati, daging) dan nabati (bayam, kacang-
kacangan).

Menurut Ahmad Syafiq, dkk (2008) screening diperlukan untuk mengidentifikasi


kelompok wanita yang harus diobati dalam mengurangi mordibitas anemia. CDC
menyarankan agar remaja putri dan wanita dewasa yang tidak hamil harus di-
screening tiap 5-10 tahun melalui uji kesehatan, meskipun tidak ada faktor risiko
anemia seperti perdarahan, rendahnya intake Fe, dan sebagainya.

H. PENCEGAHAN
Ada lima pendekatan dasar pencegahan anemia defisiensi zat besi (Arisman,
2004) :

1. Pemberian Tablet atau Suntikan Zat Besi


Wanita hamil merupakan salah satu kelompok yang diprioritaskan dalam
program suplementasi, disamping anak usia pra sekolah, anak usia sekolah,
serta bayi. Untuk wanita hamil, dosis yang dianjurkan dalam satu hari adalah
dua tablet yang dimakan selama paruh kedua kehamilan karena pada saat
tersebut kebutuhan akan zat besi sangat tinggi. Sedangkan pada anak sekolah
(6-12 tahun) yaitu ½ tablet, 2 kali seminggu selama 3 bulan.
2. Pendidikan
Pendidikan gizi pada keluarga dan masyarakat merupakan hal yang penting
dalam pencegahan anemia. Perlu dijelaskan pada keluarga atau masyarakat
tersebut bahwa kadar besi yang berasal dari ikan, hati dan daging lebih tinggi
dibandingkan kadar besi yang berasal dari beras, gandum, kacang kedelai
dan bayam. Agar lebih mengerti tentang bahaya yang mungkin terjadi akibat
anemia, dan pula harus diyakinkan bahwa salah satu penyebab anemia
adalah karena defisiensi zat besi.
3. Modifikasi Makanan
Asupan zat besi dari zat makanan dapat ditingkatkan melalui dua cara.
Pertama, pemastian konsumsi makanan yang cukup mengandung kalori
sebesar yang seharusnya di konsumsi. Kedua, meningkatkan makanan yang
dapat membantu penyerapan zat besi dan menghindari makanan yang dapat
menghambat penyerapan zat besi.
4. Pengawasan Penyakit Infeksi
Anak-anak biasanya merupakan kelompok yang rawan terkena penyakit
infeksi dan parasit. Penyakit infeksi dan parasit merupakan salah satu
penyebab anemia defisisensi besi. Pengobatan yang efektif dan tepat waktu
dapat mengurangi dampak yang tidak diingini. Pengawasan infeksi ini
memerlukan upaya kesehatan masyarakat seperti penyediaan air bersih,
perbaikan sanitasi lingkungan dan kebersihan perorangan. Parasit seperti
cacing tambang (ancylostomadan necator) serta schistosoma dapat
menyebabkan anemia. Parasit tersebut dalam jumlah besar dapat
mengganggu penyerapan berbagai zat gizi serta menyebabkan anemia.
Karena itu parasit harus dimusnahkan secara rutin, disamping itu kesehatan
diri dan sanitasi lingkungan harus dijaga.
5. Fortifikasi Makanan
Fortifikasi makanan merupakan inti dari pengawasan anemia diberbagai
negara. Fortifikasi makanan merupakan salah satu cara terampuh dalam
pencegahan defisiensi zat besi karena dapat diterapkan pada populasi yang
besar dengan biaya yang relative murah. Kelompok masyarakat yang
dijadikan target harus dibiasakan mengkonsumsi makanan yang difortifikasi
serta harus memiliki kemampuan untuk mendapatkannya. Di negara industri,
produk makanan yang lazim difortifikasi adalah tepung gandum serta roti
yang terbuat dari jagung dan bubur jagung, produk susu seperti susu formula
bayi, serta makanan serpihan. Di negara sedang berkembang lain telah
dipertimbangkan menfortifikasi garam, gula, beras, serta saus ikan.
I. PROGNOSIS
Prognosis pada pasien anemia jika ditangani dengan baik maka akan baik,
namun jika pada keadaan anemia berat dan tidak ditangani dengan cepat maka
akan dapat menyebabkan syok hingga kematian.

J. KOMPLIKASI
1. Gagal jantung
Anemia menginduksi terjadinya mekanisme terjadinya kompensasi terhadap
penurunan konsentrasi Hb. Untuk memenuhi kebuttuhan oksigen jaringan.
Pad anemia jantung akan meningkatkam venous return sehingga stroke
volume akan meningkat dan menyebabkan terjadinya hipertrofi ventrikel
kiri dengan myofibril jantung yang memanjang, gagal jantung kongestif,
kejadian gagal jantung berulang dan kematian
2. Gagal ginjal
Berkurnagnya pasokan oksigen ke jaringan mialnya pada ginjal maka akan
menyebabkan gagal ginjal
3. Hipoksia
Penurunan pasokan oksigen ke jaringan akan berkurang karena kurangnya
jumlah hb yang mengikat oksigen dapat menyebabkan hipoksia jaringan
sampai kematian.
4. Ibu hamil
Komplikasi dari penyakit anemia ini juga dapat terjadi pada ibu hamil
beserta janinnya. Komplikasi yang terjadi seperti pertumbuhan janin yang
lambat atau tidak normal, lahir prematur atau bahkan dapat menimbulkan
keguguran (Longmore, 2007)
DAFTAR PUSTAKA

Abdulsalam, Maria dan lbert Daniel. 2002. Diagnosis, pengobatan dan Pencegahan
Anemia defisiensi Besi. Sari Pediatri, Vo 4 NO. 2L 74-77

Arisman MB. 2004. Gizi Dalam Daur Kehidupan : Buku Ajar Ilmu Gizi, Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC. Hlm 144-155

Bakta, I Made, dkk. Anemia Defisiensi Besi dalam Sudoyo, Aru W, et.al. 2009. Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta: Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI
Cielsa ,B. 2007. Hematology in Practice.Philadelphia: FA Davis Company.

Fauci, A.S., Braunwald, E., Kasper, D.L., Hauser, S.L., Longo, D.L., Jameson, .L.,et
al.2008. Harrison’s Principles Internal Medicine 17th Edition. McGraw-
Hill:Philadhelpia

Guyton and Hall. 2010. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Jakarta: EGC.

Hoffbrand, AV. et all. 2005. Kapita Selekta Hematologi. Jakarta: EGC.

Longmore M, Wilkinson I, Turmezei T, Cheung CK. Iron Deficiency Anemia.


Dalam: Oxford Handbook of Clinical Medicine. 7th edition. Oxford University
Press, 2007; p. 312-13.

Mehta, A. Hoffbrand, AV. 2000. Hematologyat Glance. London: Blackwell


ScienceLtd.

Made I Bakta. 2009. Pendekatan Terhadap Pasien Anemia dalam buku Ilmu Penyakit
dalam Jilid 2 Edisi 5. Jakarta pusat: Pusat Penerbitan Ilmu Penyakit dalam.

Sudoyo Aru W.,dkk. 2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II edisi. Jakarta: FK
UI.
Davey, Patrick. 2005. At a Glance Medicine. Jakarta: Erlangga.

[Depkes] Departemen Kesehatan. 2008. Laporan Hasil Riset Kesehatan Dasar Indonesia.
Jakarta : Badan Penelitian dan Pengembangan Kesehatan, Departemen Kesehatan
RI.

Husaini MA. 1999. Iron deficiency in Indonesia. Presented at the Micronutrient


Symposium. Dies Natalis Sebelas Maret University. Surakarta, 2-3 march

Husaini MA et al. 1989. Anemia Gizi : Suatu Studi Kompilasi Informasi dalam Menunjang
Kebijaksanaan Nasional dan Pengembangan Program.Jakarta :Direktorat Bina Gizi
Masyarakat dan Puslitbang Gizi.

Murray, R. K., Daryl, K. G., Peter, A. M. , Victor, W. R., 2003. Biokimia Harper--- Ed 25 ---
Jakarta : EGC

Riswan, M., 2003. Anemia Defisiensi Besi Pada Wanita Hamil Di Beberapa Praktek Bidan
Swasta Dalam Kota Madya Medan, Universitas Sumatera Utara. Diunduh dari:
http://library.usu.ac.id/download/fk/penydalammuhammad%20riswan.pdf. [Diakses
April 2014]

Soebroto, I. 2010. Cara Mudah Mengatasi Problem Anemia. Yogyakarta: Bangkit

Sudoyo, A., 2007. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam edisi 4 Jilid II. Pustaka IPD FKUI

Tefferi A. 2003. Anemia in adults : a contemporary approach to diagnosis. Mayo Clin Proc.
78:1274-1280

WHO. 2001. Iron Deficiency Anemia Assessment, Prevention, and Control. A guide for
Programme Manager

WHO. 2008. Worldwide Prevalence Of Anemia 1993–2005. WHO Global Database on


Anemia.

Anda mungkin juga menyukai