Anda di halaman 1dari 50

1

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Setiap manusia dilahirkan dalam kondisi yang tidak berdaya, ia akan

tergantung pada orang tua dan orang-orang yang berada di lingkungannya

hingga waktu tertentu. Seiring dengan berlalunya waktu dan perkembangan

selanjutnya, seorang anak perlahan-lahan akan melepaskan diri dari

ketergantungannya pada orangtua atau orang lain di sekitarnya dan belajar

untuk mandiri. Hal ini merupakan suatu proses alamiah yang dialami oleh

semua makhluk hidup, tidak terkecuali manusia. Mandiri atau sering juga

disebut berdiri diatas kaki sendiri merupakan kemampuan seseorang untuk

tidak tergantung pada orang lain serta bertanggung jawab atas apa yang

dilakukannya. Kemandirian dalam konteks individu tentu memiliki aspek

yang lebih luas dari sekedar aspek fisik (Lisa, 2010).

Tema cinta seakan tak pernah habis untuk dibicarakan, tak pernah

lekang untuk dikisahkan, tak pernah basi untuk didiskusikan. Setiap orang

berbeda-beda dalam memanifestasikan cinta. Bagi orang tua, cinta adalah

kebahagiaan manakala si buah hati terlihat lucu dan pintar atau cinta adalah

perlindungan dan ungkapan rasa kasih sanyangi ketika buah hatinya


2

terbaring sakit sehingga hilang keceriaannya. Kata orang bijak cinta orang

tua kepada anak adalah cinta sejati (Taufiq, 2010).

Pada masa remaja rasa ingin tahu terhadap masalah seksual sangat

penting dalam pembentukan hubungan baru yang lebih matang dengan

lawan jenis. Padahal pada masa remaja informasi tentang masalah seksual

sudah seharusnya mulai diberikan, agar remaja tidak mencari informasi dari

orang lain atau dari sumber-sumber yang tidak jelas atau bahkan keliru

sama sekali. Pemberian informasi masalah seksual menjadi penting terlebih

lagi mengingat remaja berada dalam potensi seksual yang aktif, karena

berkaitan dengan dorongan seksual yang dipengaruhi hormon dan sering

tidak memiliki informasi yang cukup mengenai aktivitas seksual mereka

sendiri (Handbook, 2000)

Faktor-faktor yang mempengaruhi masalah seksualitas adalah

perubahan hormonal (libido seksualitas), penundaan usia perkawinan, tabu

atau larangan, kurangnya informasi tentang seks, pergaulan yang makin

bebas (Sarwono, 2006).

Bila ia seorang erotisme, maka cinta baginya adalah berapa keping

vcd porno yang telah ia tonton, berapa wanita yang telah ia kencani dan

berapa banyak ia menggodanya dan melecehkannya. Mungkin ia

pendukung teori Sigmund freud yang berpendapat bahwa hidup manusia

digerakkan oleh id (libido) saja. Cinta tak selamanya mendatangkan

kesenangan tapi juga bisa mendatangkan kesedihan, kekecewaan bahkan


3

kebencian . Antara cinta dan kebebasan seksual sungguh berbeda, cinta itu

saling menyayangi, saling menjaga, saling melindungi, saling memberi

dengan batasan-batasan tegas syar’i (Taufiq, 2010).

Menurut data yang di dapat di amerika Sebagian besar subjek

mengaku sudah berpacaran. Usia pertama kali pacaran sebagian besar

adalah 15-17 tahun subjek laki-laki sebanyak 246 orang (53,25%) dan

subjek perempuan 272 orang (57,99%), usia 20-22 tahun sebanyak 1 orang

(0,22%) pada subjek perempuan tidak ditemukan. Sebagian besar subjek

mengaku pernah ganti pacar selama 1-2 kali, yaitu pada subjek laki-

lakisebanyak 194 orang (41,99%) dan pada subjek perempuan sebanyak

196 orang (41,79%) .Sebagian besar subjek mengaku menjalani aktivitas

pacaran 2-6 bulan, yaitu pada subjek laki-laki 171 orang (37,01%) pada

subjek perempuan sebanyak 153 orang (32,62%), pada subjek laki-laki

yang melakukan aktivitas pacaran kurang dari 1 bulan sebanyak 81 orang

(17,53%) pada subjek perempuan sebanyak 67 orang (14,28%). Aktivitas

pacaran subjek kebanyakan dilakukan di rumah sendiri yaitu pada subjek

laki-laki 164 orang (23,33%), pada subjek perempuan sebanyak 37 orang

(5,23%). Subjek yang melakukan hubungan seksual dari 462 subjek laki-laki

yang berpacaran ditemukan 139 orang (30,09%), yang mengaku telah

melakukan hubungan seksual dari 469 subjek perempuan yang berpacaran

ditemukan 25 orang (5,33%). Alasan mereka melakukan hubungan seksual

sebagai bukti rasa cinta pada subjek laki-laki 57 orang (38,51%),


4

sedangkan pada subjek perempuan 6 orang (24%); dengan alasan

diperkosa atau dipaksa pada subjek laki-laki 4 orang (2,70%) pada subjek

perempuan 2 orang (8%) (Anne, 2010).

Alasan subjek laki-laki melakukan hubungan seksual sebagai bukti

rasa cinta sebanyak 57 orang (38,51%), sedangkan pada subjek

perempuan 6 orang (24%). Alasan diperkosa atau dipaksa pada subjek laki-

laki 4 orang (2,70%), sedangkan pada subjek perempuan 2 orang (8%)

(Anne, 2010).

Sedangkan data yang di dapat dari beberapa SMA di Indonesia

adalah Usia subjek pertama kali melakukan hubungan seksual adalah 15-

17 tahun yaitu pada laki-laki sebanyak 60 orang (43,16%) pada subjek

perempuan 12 orang (48%). Hubungan seksual kebanyakan dilakukan

bersama dengan pacarnya, pada subjek laki- laki 105 orang (53,29%)

sedangkan pada subjek perempuan 21 orang (84%). Setelah melakukan

hubungan seksual kebanyakan subjek merasa puas atau nikmat, pada

subjek laki-laki 61 orang (43,88%), sedangkan pada subjek perempuan 3

orang (12%). Kebanyakan subjek berpendapat melakukan hubungan

seksual adalah berdosa: pada subjek laki-laki 329 orang (34,52%),

sedangkan pada subjek perempuan 417 orang (42,12%).Kebanyakan

alasan remaja melakukan hubungan seksual adalah karena pengaruh

lingkungan, vcd, buku dan film porno yaitu: pada subjek laki-laki sebanyak

389 orang (29,07%), sedangkan pada subjek perempuan 444 orang


5

(31,11%). Alasan karena kemajuan jaman dan biar gaul, subjek laki-laki 113

orang (8,44%), pada subjek perempuan 99 orang (6,94%) (Retno, 2010).

Remaja adalah mereka yang berada pada usia 12-18 tahun. Monks,

dkk (2000) memberi batasan usia remaja adalah 12-21 tahun. Menurut

Stanley Hall (dalam Santrock, 2003) usia remaja berada pada rentang 12-

23 tahun. Berdasarkan batasan-batasan yang diberikan para ahli, bisa

dilihat bahwa mulainya masa remaja relatif sama, tetapi berakhirnya masa

remaja sangat bervariasi. Bahkan ada yang dikenal juga dengan istilah

remaja yang diperpanjang, dan remaja yang diperpendek (Lisa, 2010).

Alasan penulis mengambil judul tentang hubungan teman sebaya

dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri I Lhokseumawe

adalah bersifat sosial karena sangat sulit menemukan figure yang tepat

untuk dijadikan model alias contoh bagi remaja untuk bertindak lebih baik

seperti apa, dan hal ini tampaknya membuat remaja buntu untuk bergerak

ke arah mana. Apalagi informasi tentang remaja sangat terbatas dan

penjelasan tentang seks masih dianggap tabu untuk diperbincangkan

sehingga pada sebagian remaja yang rasa ingin tahunya besar ingin

mencoba-coba dan akhirnya ini menjadi suatu tanda tanya mengapa remaja

rentan terhadap perilaku seks. Apalagi banyak yang beranggapan bahwa

remaja-remaja diperkotaan lebih sering melakukan perilaku seks

dibandingkan dengan remaja yang ada di pendesaan, sehingga penulis


6

sangat antusias untuk meneliti tentang perilaku seks pada remaja di SMA

Negeri I Dewantara.

Oleh karena permasalahan diatas maka penulis sangat tertarik untuk

meneliti tentang hubungan teman sebaya dengan perilaku seksual pada

remaja di SMA Negeri 1 Lhokseumawe Tahun 2011.

B. Rumusan Masalah

Berdasarkan latar belakang di atas, penulis tertarik untuk

mengetahui apakah ada hubungan teman sebaya, dengan perilaku seksual

pada remaja di SMA Negeri 1 Lhokseumawe.

C. Tujuan

Adapun tujuan dari penelitian ini adalah :

1. Tujuan Umum

Untuk melihat hubungan faktor teman sebaya dan orang tua

dengan perilaku seksual pada remaja di SMA Negeri 1 Lhokseumawe.

2. Tujuan Khusus

a. Untuk mengetahui bentuk hubungan teman sebaya dengan perilaku

seksual remaja

b. Untuk mengetahui bentuk-bentuk dan tingkat perilaku seksual

remaja
7

c. Untuk mengetahui pengaruh teman sebaya dengan perilaku seksual

remaja

D. Manfaat Penelitian

Adapun manfaat yang ingin dicapai dari penelitian yang dilakukan

ini adalah :

1. Manfaat Teoritis : Dapat menambah wawasan pengetahuan tentang

hubungan faktor teman sebaya dengan perilaku seksual pada remaja di

SMA negeri 1 Lhokseumawe.

2. Manfaat Praktis : Diharapkan hasil ini dapat dijadikan bahan

pertimbangan pendidik atau guru dalam memberikan bimbingan

terhadapa peserta didiknya.

E. Ruang Lingkup

Ruang lingkup dari penelitian ini adalah:

1. Responden adalah siswa dan siswi di SMA Negeri 1 Lhokseumawe

2. Materi dalam penelitian ini meliputi perilaku seksual dengan faktor teman

sebaya.

3. Waktu penelitian dilakukan bulan September 2011

4. Tempat penelitian dilakukan di SMA Negeri 1 Lhokseumawe


8

F. Keaslian Penelitian

1. Widyati (2006) meneliti tentang faktor-faktor yang mempengaruhi

perilaku seksual remaja. Penelitian ini menggunakan deskriptif kuantitatif

korelasional Dengan populasi siswi SMP Negeri 3 Salatiga dan jumlah

populasi 50 orang. Pengambilan sampel dengan cara Purposive.

Sampel penelitian berjumlah 35 orang.

2. Marfiyanti (2001) meneliti tentang hubungan rasa percaya diri dengan

efektifitas komunikasi pada pasangan muda. Berdasarkan dari hasil

penelitiannya ia menyimpulkan bahwa semakin tinggi rasa percaya diri

maka semakin tinggi pula efektifitas komunikasi individu. Penelitian

dengan subjek sebanyak 40 orang dengan pendidikan SMU hingga S1

ini diketahui ternyata faktor percaya pada kemampuan pribadi

merupakan faktor yang paling besar pengaruhnya terhadap rasa

percaya diri dibanding faktor lainnya. Hal ini disebabkan karena

seseorang yang percaya pada kemampuan yang dimilikinya atau

dengan kata lain memilki keyakinan yang positif akan lebih percaya diri,

sehingga akan mempunyai keberanian untuk berkomunikasi dan lebih

bersikap terbuka dengan pasangannya.

3. Hasil penelitian yang dilakukan oleh Taufiq (2010) tentang pendidikan

seks dapat memicu terjadinya perilaku seksual remaja semakin

meningkat, metode yang digunakan kuanlitastif dan jumlah sampel 417

remaja. Usia subjek pertama kali melakukan hubungan seksual adalah


9

15-17 tahun yaitu pada laki-laki sebanyak 60 orang (43,16%) pada

subjek perempuan 12 orang (48%). Hubungan seksual kebanyakan

dilakukan bersama dengan pacarnya, pada subjek laki- laki 105 orang

(53,29%) sedangkan pada subjek perempuan 21 orang (84%). Setelah

melakukan hubungan seksual kebanyakan subjek merasa puas atau

nikmat, pada subjek laki-laki 61 orang (43,88%), sedangkan pada subjek

perempuan 3 orang (12%). Kebanyakan subjek berpendapat melakukan

hubungan seksual adalah berdosa: pada subjek laki-laki 329 orang

(34,52%), sedangkan pada subjek perempuan 417 orang

(42,12%).Kebanyakan alasan remaja melakukan hubungan seksual

adalah karena pengaruh lingkungan, vcd, buku dan film porno yaitu:

pada subjek laki-laki sebanyak 389 orang (29,07%), sedangkan pada

subjek perempuan 444 orang (31,11%). Alasan karena kemajuan jaman

dan biar gaul, subjek laki-laki 113 orang (8,44%), pada subjek

perempuan 99 orang (6,94%).


10

BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

A. Remaja

1. Pengertian Remaja

Pada tahun 1974,didefinisikan oleh WHO memberikan definisi

tentang remaja yang lebih bersifat konseptual. Dalam definisi tersebut

dikemukakan tiga criteria, yaitu biologis, psikologis, dan sosial ekonomi.

Maka, secara lengakap definisi tersebut berbunyi sebagai berikut.

Menurut Sarwono (2006) Remaja adalah suatu masa ketika:

a. Individu berkembang dari saat pertama kali ia menunjukkan tanda-

tanda seksual sekundernya sampai saat ia mencapai kematangan

seksual

b. Individu mengalami perkembangan psikologis dan pola identitas dari

kanak-kanak menjadi dewasa

c. Terjadi peralihan dari ketergantungan sosial-ekonomi yang penuh

kepada keadaan yang relative lebih mandiri.

Hurlock (1973) dalam Retnowati (2008), memberi batasan

masa remaja berdasarkan usia kronologis, yaitu antara 13 hingga 18

tahun. Menurut Thornburgh (1982), batasan usia remaja adalah


11

batasan tradisional, sedangkan aliran kontemporer membatasi usia

remaja antara 11 hingga 22 tahun (Retnowati, 2008)

Perubahan sosial seperti adanya kecenderungan anak-anak

pra-remaja untuk berperilaku sebagaimana yang ditunjukan remaja

membuat penganut aliran kontemporer memasukan mereka dalam

kategori remaja. Adanya peningkatan kecenderungan para remaja

untuk melanjutkan sekolah atau mengikuti pelatihan kerja (magang)

setamat SLTA, membuat individu yang berusia 19 hingga 22 tahun

juga dimasukan dalam golongan remaja, dengan pertimbangan

bahwa pembentukan identitas diri remaja masih terus berlangsung

sepanjang rentang usia tersebut (Retnowati, 2008).

2. Perkembangan Remaja dan Ciri-cirinya

Berkaitan dengan kesehatan reproduksi remaja sangat perlu untuk

mengenal perkembangan remaja serta ciri-cirinya. Menurut Widyastuti

(2008), berdasarkan sifat atau ciri perkembangannya, masa (rentang

waktu) remaja ada tiga tahap:

1) Masa Remaja Awal (10-12 tahun)

a. Tampak dan memang merasa lebih dekat dengan teman sebaya.

b. Tampak dan merasa ingin bebas.

c. Tampak dan memang lebih banyak memperhatikan keadaan

tubuhnya dan mulai berpikir yang khayal (abstrak).


12

2) Masa Remaja Tengah (13-15 tahun)

a. Tampak dan ingin mencari identitas diri.

b. Ada keinginan untuk berkencan atau ketertarikan pada lawan jenis.

c. Timbul perasaan cinta yang mendalam.

3) Masa Remaja Akhir (16-19 tahun)

a. Menampakkan pengungkapan kebebasan diri.

b. Dalam mencari teman sebaya lebih selektif.

c. Memiliki citra (gambaran, keadaan, peranan) terhadap dirinya.

d. Dapat mewujudkan perasaan cinta.

e. Memiliki kemampuan berpikir khayal atau abstrak.

3. Tugas-tugas Perkembangan pada masa Remaja

Menurut Havighurst dalam Retnowati (2008), tugas-tugas

perkembangan yang harus dipenuhi oleh remja adalah sebagai berikut:

a. Mencapai hubungan yang baru dan lebih masak dengan teman

sebaya baik sesama jenis maupun lawan jenis

b. Mencapai peran sosial maskulin dan feminin

c. Menerima keadaan fisik dan dapat mempergunakannya secara efektif

d. Mencapai kemandirian secara emosional dari orangtua dan orang

dewasa lainnya

e. Mencapai kepastian untuk mandiri secara ekonomi

f. Memilih pekerjaan dan mempersiapkan diri untuk bekerja


13

g. Mempersiapkan diri untuk memasuki perkawinan dan kehidupan

keluarga

h. Mengembangkan kemampuan dan konsep-konsep intelektual untuk

tercapainya kompetensi sebagai warga negara

i. Menginginkan dan mencapai perilaku yang dapat

dipertanggungjawabkan secara sosial

j. Memperoleh rangkaian sistem nilai dan etika sebagai pedoman

perilaku.

Tidak semua remaja dapat memenuhi tugas-tugas tersebut

dengan baik. Menurut Hurlock (1973) dalam Retnowati (2008), ada

beberapa masalah yang dialami remaja dalam memenuhi tugas-

tugas tersebut, yaitu:

1) Masalah pribadi, yaitu masalah-masalah yang berhubungan

dengan situasi dan kondisi di rumah, sekolah, kondisi fisik,

penampilan, emosi, penyesuaian sosial, tugas dan nilai-nilai.

2) Masalah khas remaja, yaitu masalah yang timbul akibat status

yang tidak jelas pada remaja, seperti masalah pencapaian

kemandirian, kesalahpahaman atau penilaian berdasarkan

stereotip yang keliru, adanya hak-hak yang lebih besar dan lebih

sedikit kewajiban dibebankan oleh orangtua.


14

B. Perilaku

Behaviorisme yang memandang perilaku manusia bukan dikendalikan

oleh faktor dalam (Alam Bawah Sadar) tetapi sepenuhnya oleh lingkungan

yang nampak, yang terukur, dapat diramal dan dapat dilukiskan. Menurut

teori ini manusia disebut sebagai homo mechanicus, manusia mesin. Mesin

adalah benda yang bekerja tanpa ada motiv dibelakangnya, sepenuhnya

ditentukan oleh factor obyektif (bahan baker, kondisi mesin dsb). Manusia

tidak dipersoalkan apakah baik atau tidak, tetapi ia sangat plastis, bias

dibentuk menjadi apa dan siapa sesuai dengan lingkungan yang dialami

atau yang dipersiapkan untuknya (Mubarroq, 2007).

Perilaku kesehatan adalah suatu aktifitas oleh individu yang meyakini

dirinya sehat untuk tujuan mencegah penyakit atau mendeteksi dalam tahap

asimpptomatik (Niken, 2002)

Menuru Mubarroq (2007) seorang ahli psikologi, merumuskan bahwa

perilaku merupakan respon atau reaksi seseorang terhadap stimulus

(rangsangan dari luar). Perilaku manusia dari segi biologis adalah tindakan

atau aktivitas dari manusia itu sendiri yang mempunyai bentangan yang

sangat luas seperti berjalan, berbicara, menangis, bekerja dan sebagainya.

Dilihat dari bentuk respon terhadap stimulus Skinner membedakan perilaku

menjadi dua:
15

1. Perilaku tertutup (Covert Behavior)

Respon seseorang terhadap stimulus dalam bentuk terselubung

atau tertutup. Respon terhadap stimulus ini masih terbatas pada

perhatian, persepsi, pengetahuan atau kesadaran, dan sikap yang terjadi

pada orang yang menerima stimulus tersebut, dan belum dapat diamati

secara jelas oleh orang lain.

2. Perilaku terbuka (Overt Behavior)

Repon seseorng terhadap stimulus dalam bentuk tindakan nyata

atau terbuka. Respon terhadap stimulus tersebut sudah jelas dalam

bentuk tindakan atau praktik yang dengan mudah dapat diamati atau

dilihat orang lain. Skinner dalam Notoatmodjo (2001) mengemukakan

bahwa perilaku adalah merupakan hasil hubungan antara perangsang

(stimulus) dan tanggapan atau respon, respon dibedakan menjadi dua

respon:

a. Respondent response atau reflexive respon, ialah respon yang

ditimbulkan oleh rangsangan-rangsangan tertentu yang relatif tetap.

Responden respon (Respondent behaviour) mencakup juga emosi

respon dan emotional behaviour.

b. Operant respons atau instrumental respon adalah respon yang timbul

dan berkembangnya diikuti oleh perangsang tertentu. Perangsang ini

disebut reinforsing stimuli atau reinforcer.


16

C. Perilaku Seksual

Seksualitas merupakan hal yang sulit untuk didefinisikan karena

menyangkut banyak aspek kehidupan dan diekspresikan dalam bentuk

perilaku yang beraneka ragam. Sedangkan kesehatan seksual telah

didefinikan oleh WHO sebagai pengintegrasian aspek somatic, emosional,

intelektual, dengan cara yang positif, memperkaya dan meningkatkan

kepribadian, komunikasi, dan cinta. Menurut Raharjo, yang dikutip oleh

Nurhadmo (1999) menjelaskan bahwa seksualitas merupakan suatu

konsep, kontruksi social terhadap nilai, orientasi, dan perilaku yang

berkaitan dengan seks.

1. Perilaku Seksual

Perilaku seksual adalah perilaku yang muncul karena adanya

dorongan seksual. Bentuk perilaku seksual bermacam-macam mulai

dari bergandengan tangan, berpelukan, bercumbu, petting (bercumbu

berat) sampai berhubungan seks (Suryo, 2008).

Perilaku seksual adalah perilaku yang melibatkan sentuhan secara

fisik anggota badan antara pria dan wanita yang telah mencapai pada

tahap hubungan intim, yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami

istri (Dhea, 2007)

Menurut Sarwono (2006), masalah seksualitas pada remaja timbul

karena faktor-faktor berikut:


17

a. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat seksual

(libido seksual) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini

membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual

tertentu.

b. Akan tetapi, penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena

adaya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh karena

adanya undang-undang tentang perkawinan yang menentukan batas

usia menikah (sedikit 16 tahun untuk wanita dan 19 tahun untuk

pria), maupun karena norma sosial yang makin lama makin

menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk perkawinan

(pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-lain).

c. Sementara usia kawin tunda, norma-norma agama tetap berlaku.

Seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum

menikah. Bahkan, larangannya berkembang lebih jauh kepada

tingkah-tingkah laku yang lain seperti berciuman dan mastrubasi.

Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat

kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.

d. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena adanya

penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui media massa

dengan adanya teknologi canggih (video cassette, foto copy, satelit,

VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain) menjadi tidak

terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam periode ingin tahu dan
18

ingin mencoba, akan meniru apa yang dilihat atau didengarnya dari

media massa, khususnya karena mereka pada umumnya belum

pernah mengetahui masalah seksual secara lengkap dari orang

tuanya.

e. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena

sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks

dengan anak tidak terbuka terhadap anak. Malah, orang tua

cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah yang satu

ini.

f. Dipihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan pergaulan

yang makin bebas antara pria dan wanita dalam masyarakat. Hal ini

berkembangnya peran dan pendidikan wanita sehingga kedudukan

wanita makin sejajar dengan pria.

2. Bentuk dan Tingkat Perilaku Seksual

a. Perilaku seksual ringan

Perilaku seksual ringan adalah aktivitas seksual dimulai dari

menaksir seseorang, sesekali berkencan, pergi ketempat yang

bersifat pribadi, dan berciuman ringan.

b. Perilaku seksual berat

Perilaku seksual berat adalah aktivitas seksual seperti,

berciuman melibatkan lidah, meraba payudara, meraba vagina atau


19

penis, oral seks, dan melakukan hubungan seksual. Berikut adalah

beberapa contoh perilaku seksual adalah sebagai berikut :

1) Masturbasi adalah menyentuh, menggosok dan meraba bagian

tubuh sendiri yang peka sehingga menimbulkan rasa

menyenangkan untuk mendapat kepuasan seksual (Orgasme)

baik tanpa menggunakan alat maupun menggunakan alat.

2) Onani mempunyai arti sama dengan masturbasi. Namun ada

yang berpendapat bahwa onani hanya diperuntukkan bagi laki-

laki, sedangkan istilah masturbasi dapat berlaku pada perempuan

maupun laki-laki.

3) Petting adalah melakukan huubungan seksual dengan atau tanpa

pakaian tetapi tanpa melakukan penetrasi penis ke dalam vagina,

jadi sebatas digesekkan saja ke alat kelamin perempuan.

4) Hubungan seksual yaitu masuknya penis ke dalam vagina. Bila

terjadi ejakulasi (pengeluaran cairan mani yang di dalamnya

terdapat jutaan sperma) dengan posisi alat kelamin laki-laki

berada dalam vagina memudahkan pertemuan sperma dan sel

telur yang menyebabkan terjadinya pembuahan dan kehamilan

(Sepsis, 2008).
20

Perilaku seks adalah perilaku yang melibatkan sentuhan secara

fisik anggota badan antara pria dan wanita yang telah mencapai pada

tahap hubungan intim, yang biasanya dilakukan oleh pasangan suami istri.

3. Faktor Pencetus Seksualitas

a. Faktor-faktor internal yang tidak dapat diamati secara langsung (tidak

kasat mata).

b. Motivasi merupakan penggerak perilaku. Motivasi tertentu akan

mendorong seseorang untuk melakukan perilaku tertentu pula. Pada

seorang remaja, perilaku seks bebas tersebut dapat dimotivasi oleh

rasa saying dan cinta dengan di dominasi oleh perasaan kedekatan

dan gairah yang tinggi terhadap pasangan pasangannya, tanpa

disertai komitmen yang jelas (menurut Sternberg hal ini dinamakan

romantic love) atau karena pengaruh kelompok (konformitas), dimana

remaja tersebut ingin menjadi bagian dari kelompok nya dengan

mengikuti norma-norma yang telah dianut oleh kelompoknya, dalam

hal ini kelompoknya telah melakukan perilaku seks bebas.

c. Faktor lain yang dapat mempengaruhi seorang remaja melakukan

seks bebas karena di dorong rasa ingin tahu yang besar untuk

mencoba hal yang belum deketahui. Hal tersebut merupakan ciri-ciri

remaja pada umumnya, mereka ingin mengetahui banyak hal yang

dapat dipuaskan serta diwujudkannya melalui pengalaman mereka

sediri, “learning by doing”.


21

d. Faktor lingkungan ini bervariasi macamnya, ada teman sepermainan

(peer-group), pengaruh media dan televisi, bahkan faktor orang tua

sendiri (Dhea, 2007).

Pengaruh Teman Sebaya Terhadp Perilaku

Selain lingkungan keluarga yang ikut mempengaruhi perkembangan

seorang individu jika individu tersebut telah berinteraksi dengan

individu lain adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial merupakan

lingkungan tempat dimana seorang individu mulai berinteraksi

dengan individu lain diluar anggota keluarga. Lingkungan sosial yang

dimaksudkan adalah teman sebaya. Teman sebaya merupakan

lingkungan bergaul seorang anak dan melalui interaksi dengan teman

sebaya, individu akan berkenalan dan mulai bergaul dengan teman-

temannya dengan pola perilaku yang berbeda-beda, sehingga

melalui interaksi inilah masing-masing individu akan saling

memahami keinginan-keinginan dan tidak jarang individu akan

membentuk kelompok-kelompok jika perilaku teman-temannya

tersebut telah dirasa cocok (Wahyurini, 2003).

Pergaulan teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku.

Pengaruh tersebut dapat berupa pengaruh positif dan dapat pula

berupa pengaruh negatif. Pengaruh positif yang dimaksud adalah

ketika individu bersama teman-teman sebayanya melakukan aktifitas

yang bermanfaat seperti membentuk kelompok belajar dan patuh


22

pada norma-norma dalam masyarakat. Sedangkan pengaruh negatif

yang dimaksudkan dapat berupa pelanggaran terhadap norma-norma

sosial, dan pada lingkungan sekolah berupa pelanggaran terhadap

aturan sekolah. Dari teman sebaya remaja menerima umpan balik

mengenai kemampuan mereka. Remaja cenderung untuk mengikuti

pendapat dari kelompoknya dan menganggap bahwa kelompoknya

itu selalu benar. Kecenderungan untuk bergabung dengan teman

sebaya didorong oleh keinginan untuk mandiri, sebagaimana yang

diungkapkan oleh Hurlock dalam Mu’tadin (2002) bahwa melalui

hubungan teman sebaya remaja berpikir mandiri, mengambil

keputusan sendiri, memerima bahkan menolak pandangan dan nilai

yang berasal dari keluarga dan mempelajari pola perilaku yang

diterima didalam kelompoknya. Kelompok begaul/kelompok teman

sebaya dapat memberikan pengaruh, baik pengaruh positif maupun

pengaruh negatif. Teman sebaya menuntut nilai kebersamaan,

kekerabatan, kemanusiaan serta persaudaraan. Namun jika perilaku

dalam kelompok didominasi oleh pencurian, tawuran, serta tindak

kriminal, maka akan memberikan pengaruh negatif pada

perkembangan remaja.

Menurut Wahyurini (2003 ) manfaat menjalin persahabatan

dengan teman sebaya yaitu sebagai berikut :


23

a. Bisanya dengan teman dekat seseorang dapat berbicara terbuka

dan jujur. Hal ini memberikan kemampuan untuk peka pada

kekuatan, kelemahan, kebutuhan, dan keinginan orang lain.

Persahabatan memungkinkan seseorang untuk saling berbagi

dalam banyak hal, termasuk persoalan yang bersifat pribadi.

Persahabatan dapat memberikan kesempatan bagi seseorang

untuk menggali dan mengenali diri sendiri.

b. Kepekaan karena persahabatan akan meningkatkan rasa empati

atau dapat merasakan apa yang dirasakan orang lain.

Kebersamaan dengan teman menjadikan kita akan merasa

memperoleh dukungan, termasuk saat sedang bermasalah atau

mengalami stres.

Sikap positif yang ada pada teman seperti disiplin, rajin

belajar, patuh pada orang tua, bisa ditiru dan diikuti. Sedangkan hal-

hal negatif yang ditimbulkan akibat pergaulan dengan teman sebaya

menurut Wahyurini (2003) adalah sebagai berikut :

a. Karena ingin diakui atau diterima, seseorang kadang melakukan

hal-hal yang kurang pas. Karena takut dibilang aneh, walau salah

teman sebaya lebih menerima pendapat teman dari pada

pendapat sendiri.
24

b. Seseorang juga bisa termakan tren atau gaya yang sedang

berkembang, misalnya mengikuti gaya hidup teman meskipun kita

tidak mampu.

c. Karena terlalu sering bersama-sama dengan teman, kita tidak

punya waktu untuk belajar atau membantu orang tua.

d.Ingin mencoba-coba yang dilakukan oleh salah seorang

diantara teman, misalnya merokok, minuman beralkohol,

memakai narkoba, dan seks bebas.

4. Macam-Macam Perilaku Seksual

a. Pranikah

Perilaku hubungan seks pranikah yang dilakukan remaja

ternyata sudah dari dulu ada. Namun belakangan ini sikap permisif

tersebut lebih ditunjukkan secara terbuka. Makin banyak perilaku

seks pranikah dikalangan remaja disebabkan oleh faktor internal dan

eksternal. Faktor internal adalah disebabkan pertumbuhan psikologi

dan psikis remaja yang mengalami perubahan dari masa anak-anak

menuju dewasa. Sedangkan faktor eksternal adalah adanya

dorongan dari lingkungan untuk melakukan hubungan pranikah.

Seperti derasnya informasi hubungan seksual ditengah masyarakat

melalui media masa, film, atau internet.

Tayangan infotaiment dimedia televise yang hanya 15%

ssajaa bermuatan pendidikan, sedangkan sisanya 85% dipenuhi


25

muatan seks. Hasil survey yang diberitakan April 2007 menyebutkan,

tayangan infotaiment yang menjadi menu wajib berbagai stasiun TV

di tanah air, tak lepas dari jeratan industry seks. Sebuah mosaic

bisnis seks kelas tinggi (high class of business of sex) yang

menawarkan beragam sensasi dan fantasi nafsu syahwat, terbingkai

kamuflasean apik dalam sajian informasi dan hiburan (informasi and

entertainment.

Hubungan seks pranikah umumnya berawal dari masa

pacaran. Pada masa pacaran ini hubungan intim mulai dilakukan

kalangan remaja. Baik pelajar, mahasiswa, pemuda-pemudi tidak

sekolah, mereka tinggal di kota atau di desa. Waktu pacaran tergiur

melakukan cumbu rayu, peluk cium dan bila gejolah nafsu tidak

terkendali berkelanjutannya ke hubungan badan. (Tanjung, 2007)

b. Kumpul Kebo

Kumpul kebo adalah hubungan seks yang dilakukan

berulang-ulang oleh seorang laki-laki dan perempuan sebagaimana

layaknya pasangan suami istri, namun tidak diikat oleh akad nikah

dalam sebuah pernikahan. Pasangan kumpul kebo hidup serumah.

Perbuatan ini dikatakan kumpul kebo, karena pasangan laki-laki dan

perempuan melakukan hubungan seks seperti kerbau (binatang),

melakukan hubungan seks tanpa ada ikatan melalui pernikahan yang

sah (Tanjung, 2007)


26

c. Pelacuran

Istilah lain dari pelacur antara lain perek (perempuan

eksperimen), wanita jalang, di Batam juga ada istilah Lontong dan di

Sumatra barat di istilahkan lonte, untuk menyebut pelacuran.

Seperti dilaporkan Padang Ekspress, lemahnya

pengawasan orang tua, pemilik rumah kos, lingkungan hingga

keimanan, menjadi santapan lezat bagi kaum hawa. Perilaku seks

bebas di kalangan mahasiswa dipondokan atau kos-kosan makin di

khawatirkan (Tanjung, 2007).

d. Oral-genital seks

Tipe ini saat sekarang banyak dilakukan oleh remaja untuk

menghindari terjadinya kehamilan. Tipe hubungan seksual model

oral-genetal ini merupakan alternatif aktivitas seksual yang dianggap

aman oleh remaja masa kini (Eliyawati, 2008)

e. Sexual intercourse

Ada dua perasaan yang saling bertentangan saat remaja

pertama kali melakukan seksual intercourse. Pertama muncul

perasaan nikmat, menyenangkan, indah, intim dan puas. Pada sisi

lain muncul perasaan cemas, tidak nyaman, khawatir, kecewa dan

perasaan bersalah. Dari hasil penelitian tampak bahwa remaja laki-

laki yang paling terbuka untuk mmenceritakan pengalaman

intercoursenya dibadingkan dengan remaja perempuan. Sehingga


27

dari data tampaknya frekuensi untuk melakukan hubungan seksual

intercourse lebih banyak terjadi pada laki-laki dibandingkan dengan

remaja perempuan (Eliyawati, 2008).

f. Homoseksual

Adakalanya perilaku homoseksual bukan terjadi pada

remaja yang orientasi seksualnya memang homo, namun beberapa

kasus menunjukkan bahwa homoseksual dijadikan sebagai sarana

latihan remaja untuk menyalurkan dorongan seksual yang

sebenarnya dimasa yang akan datang. Pada remaja yang memiliki

orientasi sekssual homo, biasanya sejak dini melakukan proses

pencarian informasi bias diperoleh dari bacaan, sesame teman homo,

atau justru sangat ketakutan dengan kondisi dirinya sehingga

mencoba-coba melakukan hubungan seksual secara hetero

(Eliyawati, 2008).

5. Dampak Seksual

Menurut Nugraha, jika hubungan seks tersebut dilakukan sebelum

usia 17 tahun, resiko terkena penyakit menular seksual bias mencapai

empat hingga lima lipat. Selain itu, seks pranikah akan meningkatkan

kasus penyakit menular seksual, seperti sipilis, GO (ghonorhoe), hingga

HIV/AIDS. Androlog Anita Gunawan mengatakan, kasus GO paling

banyak terjadi (Lily, 2008).


28

Disisi lain, Boyke menambahkan, perilaku seks bebas ini bias

berlanjut hingga menginjak perkawinan. Tercatat sekitar 90-121

masalah seks yang masuk ke Klinik Pasutri (pasangan suami istri) pada

tahun 2000 lalu, dialami orang-orang yang pernah melakukan hubungan

pranikah (pre marital). Hamil diluar nikah merupakan masalah yang bisa

juga ditimbulkan dari perilaku seks bebas. Banyak dari remaja kita

aborsi untuk menutupi kehamilannya (lily, 2008).

a. Kehamilan tidak diinginkan

Kehamilan dan melahikan untuk hamil dan melahirkan atau

mempunyai anak ditentukan oleh kesiapan dalam tiga hal, yaitu

kesiapan fisik, mental, dan kesiapan social/ekonomi. Secara umum,

seorang perempuan dikatakan siap secara fisik jika telah

menyelesaikan pertumbuhan tubuhnya yaitu sekitar usia 20 tahun.

Sehingga usia 20 tahun bisa dijadikan pedoman kesiapan fisik.

Kehamilan tidak diinginkan adalah suatu kehamilan yang karena

suatu sebab maka keberadaannya tidak diinginkan oleh salah satu

atau kedua calon orang tua bayi. Hal ini bisa terjadi pada

pasangannya yang belum menikah atau sudah menikah.

6. Faktor seksualitas

Menurut Sarwono (2006), masalah seksualitas pada remaja

timbul karena faktor-faktor berikut:


29

a. Perubahan-perubahan hormonal yang meningkatkan hasrat

seksual (libido seksual) remaja. Peningkatan hasrat seksual ini

membutuhkan penyaluran dalam bentuk tingkah laku seksual

tertentu.

b. Akan tetapi, penyaluran itu tidak dapat segera dilakukan karena

adaya penundaan usia perkawinan, baik secara hukum oleh

karena adanya undang-undang tentang perkawinan yang

menentukan batas usia menikah (sedikit 16 tahun untuk wanita

dan 19 tahun untuk pria), maupun karena norma sosial yang

makin lama makin menuntut persyaratan yang makin tinggi untuk

perkawinan (pendidikan, pekerjaan, persiapan mental, dan lain-

lain).

c. Sementara usia kawin tunda, norma-norma agama tetap berlaku.

Seseorang dilarang untuk melakukan hubungan seks sebelum

menikah. Bahkan, larangannya berkembang lebih jauh kepada

tingkah-tingkah laku yang lain seperti berciuman dan mastrubasi.

Untuk remaja yang tidak dapat menahan diri akan terdapat

kecenderungan untuk melanggar saja larangan-larangan tersebut.

d. Kecenderungan pelanggaran makin meningkat oleh karena

adanya penyebaran informasi dan rangsangan seksual melalui

media massa dengan adanya teknologi canggih (video cassette,

foto copy, satelit, VCD, telepon genggam, internet, dan lain-lain)


30

menjadi tidak terbendung lagi. Remaja yang sedang dalam

periode ingin tahu dan ingin mencoba, akan meniru apa yang

dilihat atau didengarnya dari media massa, khususnya karena

mereka pada umumnya belum pernah mengetahui masalah

seksual secara lengkap dari orang tuanya.

e. Orang tua sendiri, baik karena ketidaktahuannya maupun karena

sikapnya yang masih mentabukan pembicaraan mengenai seks

dengan anak tidak terbuka terhadap anak. Malah, orang tua

cenderung membuat jarak dengan anak dalam masalah yang satu

ini.

f. Dipihak lain, tidak dapat diingkari adanya kecenderungan

pergaulan yang makin bebas antara pria dan wanita dalam

masyarakat. Hal ini berkembangnya peran dan pendidikan wanita

sehingga kedudukan wanita makin sejajar dengan pria.

D. Hubungan teman sebaya dengan perilaku seksual pada remaja

Selain lingkungan keluarga yang ikut mempengaruhi perkembangan

seorang individu jika individu tersebut telah berinteraksi dengan individu lain

adalah lingkungan sosial. Lingkungan sosial merupakan lingkungan tempat

dimana seorang individu mulai berinteraksi dengan individu lain diluar

anggota keluarga. Lingkungan sosial yang dimaksudkan adalah teman

sebaya. Teman sebaya merupakan lingkungan bergaul seorang anak dan


31

melalui interaksi dengan teman sebaya, individu akan berkenalan dan mulai

bergaul dengan teman-temannya dengan pola perilaku yang berbeda-beda,

sehingga melalui interaksi inilah masing-masing individu akan saling

memahami keinginan-keinginan dan tidak jarang individu akan membentuk

kelompok-kelompok jika perilaku teman-temannya tersebut telah dirasa

cocok. Pergaulan teman sebaya dapat mempengaruhi perilaku. Pengaruh

tersebut dapat berupa pengaruh positif dan dapat pula berupa pengaruh

negatif. Pengaruh positif yang dimaksud adalah ketika individu bersama

teman-teman sebayanya melakukan aktifitas yang bermanfaat seperti

membentuk kelompok belajar dan patuh pada norma-norma dalam

masyarakat. Sedangkan pengaruh negatif yang dimaksudkan dapat berupa

pelanggaran terhadap norma-norma sosial, dan pada lingkungan sekolah

berupa pelanggaran terhadap aturan sekolah (Wahyurini, 2003).

Perilaku seksual adalah segala tingkah laku yang didorong oleh

hasrat seksual, baik dengan lawan jenisnya maupun dengan sesama

jenisnya. Menurut L’Engle (2006), perilaku seksual terbagi dua yaitu aktivitas

seksual ringan dan berat yang dimulai dari menaksir seseorang, sesekali

berkencan, pergi ketempat yang bersifat pribadi, berciuman ringan, french

kiss, sampai melakukan aktivitas seksual berat seperti meraba payudara,

meraba vagina atau penis, oral seks, dan melakukan hubungan seksual.

Menurut Sarwono (2006), masalah seksualitas pada remaja

timbul karena faktor-faktor berikut: Perubahan-perubahan hormonal yang


32

meningkatkan hasrat seksual (libido seksual) remaja, adaya penundaan usia

perkawinan, norma-norma agama tetap berlaku, adanya penyebaran

informasi dan rangsangan seksual melalui media massa dengan adanya

teknologi canggih, Orang tua sendiri masih mentabukan pembicaraan

mengenai seks dengan anak tidak terbuka, pergaulan yang makin bebas

antara pria dan wanita dalam masyarakat karena pendidikan yang setara.

Hasil penelitian mengungkapkan bahwa di Amerika Serikat dan

Finlandi frekuensi remaja yang sudah aktif secara seksual lebih banyak di

kota-kota besar dan terjadi pada remaja yang hubungan dengan orang

tuanya sangat terganggu. Hal ini juga terjadi di kalangan remaja berkulit

hitam yang keaadaan sosial-ekonomininya dan tingkat pendidikannya

tergolong rendah. Sebaliknya, dinegara masih berkembang seperti Afrika

(misalnya di Accra), aktivitas seksual di kalangan remaja jauh lebih tinggi di

pedesaan, sebab pengetahuan tentang seks tidak ada sama sekali.

Sementara itu, di kota-kota besar, masuknya agama, makin intensifnya

pendidikan formal dan mulai dikenalnya bentuk keluarga inti menyebabkan

berkurangnya aktivitas seksual remaja (Ryde Blomquist, 1978 dalam

Sarwono, 2006).

Beberapa studi menunjukkan bahwa pendidikan seks dapat

membantu menunda hubungan intim pertama bagi remaja. Progam yang

paling efektif kesehatan seksual adalah mereka yang mencakup lebih dari

informasi tentang kesehatan reproduksi. Program ini membantu remaja


33

untuk meningkatkan kemampuan komunikasi dan negosiasi,

mengklarifikasikan nilai-nilai dan perubahan perilaku berisiko (Barnett, 2010).

Hasil penelitian Esere (2008), program pendidikan seks

mengurangi perilaku seksual beresiko pada remaja. Berdasarkan penemuan

ini, direkomendasikan bahwa pendidikan seks diperkenalkan ke dalam

kurikulum pendidikan sekolah menengah di Nigeria.

Penelitian lain oleh Fox dan Inazu (1980), juga menunjukkan hasil

yang mendukung perlunya pendidikan seks untuk remaja, khususnya yang

dilakukan oleh orang tua. Penelitian yang dilakukan terhadap 449 pasangan

ibu-anak remaja putri (kulit hitam dan putih) ini membuktikan bahwa makin

sering terjadi komunikasi tentang seks antara ibu dan anak, tingkah laku

seksual anak makin bertanggung jawab. Selanjutnya, mereka mengatakan

bahwa jika komunikasi antara ibu dan anak dilakukan sebelum anak

melakukan hubungan seks, hubungan seks dapat dicegah. Makin awal

komunikasi itu dilakukan, fungsi pencegahannya makin nyata. Akan tetapi,

jika komunikasi setelah hubungan seks terjadi, komunikasi itu justru

mendorong lebih sering dilakukannya hubungan seks. Meskipun demikian,

dalam hal yang terjadi akhir ini, pengaruh positif dan komunikasi itu tetap

ada, yaitu hubungan seks yang terjadi tidak sampai menimbulkan kehamilan

yang tidak diharapkan (Sarwono, 2006).

Pandangan yang pro pendidikan seks antara lain diajukan oleh

Zalnik dan Kim (1982) dalam Sarwono (2006), menyatakan bahwa remaja
34

yang telah mendapatkan pendidikan seks lebih rendah persentasenya

melakukan hubungan seks, tetapi mereka yang belum pernah mendapat

pendidikan seks lebih tinggi persentasenya mengalami kehamilan yang tidak

dikehendaki.

Hasil peneltian oleh Yuliasari (2005), tentang sumber informasi

dan perilaku kesehatan reproduksi remaja pada Siswa SMA Pondok

Pasantren dan Siswa SMA Umum di Kabupaten Jember. Hasilnya adalah

jenis sumber informasi yang paling banyak diakses oleh siswa SMA Pondok

Pasantren adalah media yaitu televise, radio, dan buku (novel atau komik),

sedangkan untuk SMA Umum adalah non media yaitu guru di sekolah dan

teman sebaya. Tidak ada perbedaan frekuensi mengakses sumber informasi

kesehatan reproduksi antara siswa SMU Pondok Pasantren dengan siswa

SMA Umum, yaitu masuk dalam katagori sedang. Tingkat pengetahuan

kesehatan reproduksi keduanya termasuk tinggi namun ada perbedaab yang

signitifikan. Untuk sikap kesehatan reproduksi, ada perbedaan yang

signifikan antara kedua kelompok responden yaitu siswa SMA Pondok

Pasantren termasuk sedang dan SMA Umum termasuk positif. Tindakan

kesehatan reproduksi kedua kelompok responden termasuk positif dan tidak

ada perbedaan signifikan antara keduanya. Tidak terdapat hubungan yang

signitifikan antara frekuensi mengakses sumber informasi kesehatan

reproduksi dengan pengetahuan, sikap dan tindakan kesehatan reproduksi


35

pada siswa SMA Pondok Pasantren dan siswa SMA Umum di Kabupaten

Jember.

Sedangkan penelitian Endarto (2008), pada remaja akhir (usia 15-

20 tahun) yang mempunyai pengetahuan tentang kesehatan reproduksi yang

baik maka perilaku seksualnya baik, dan remaja yang mempunyai

pengetahaun yang kurang maka perilaku seksualnya juga buruk.

Pada penelitian Suyanto (2009), remaja yang berperilaku positif

terhadap perilaku seksual, terjadi karena memperoleh pendidikan yang

cukup. Sedangkan berperilaku negative terhadap seks karena pendidikan

seks yang kurang.

E. Landasan Teoritis

Menurut Hakim (2007) Keluarga merupakan organisasi sosial yang

paling penting dalam kelompok sosial, keluarga juga merupakan pusat

pembentukan kepribadian manusia sebagian besar dari anak manusia

tumbuh, berkembang dan didewasakan dalam lingkungan keluarga. Keluarga

memberi ruang kepada wanita (remaja putri) untuk melaksanakan fungsi-

fungsi kewanitaan. Selanjutnya semakin mantap wanita memerankan

peranan sosial maka semakin positif dan semakin produktif dirinya.

Kesuksesan dalam memainkan peranan tersebut memberikan rasa puas,

bahagia, dan kestabilan jiwa dalam hidupnya. Maka perlu adanya


36

kedewasaan psikis pada wanita agar mampu melaksanakan peranannya.

Kedewasaan psikis mengandung pengertian: memiliki emosi yang stabil, bisa

mandiri, menyadari tanggung jawab pada dirinya, memiliki tujuan dan arah

hidupnya.

Tanjung (2007) menyatakan Perilaku hubungan seks pranikah yang

dilakukan remaja ternyata sudah dari dulu ada. Namun belakangan ini sikap

permisif tersebut lebih ditunjukkan secara terbuka. Makin banyak perilaku

seks pranikah dikalangan remaja disebabkan oleh faktor internal dan

eksternal. Faktor internal adalah disebabkan pertumbuhan psikologi dan

psikis remaja yang mengalami perubahan dari masa anak-anak menuju

dewasa. Sedangkan faktor eksternal adalah adanya dorongan dari

lingkungan untuk melakukan hubungan pranikah. Seperti derasnya informasi

hubungan seksual ditengah masyarakat melalui media masa, film, atau

internet.

Menurut Sarwono (2006), masalah seksualitas pada remaja timbul

karena faktor-faktor berikut: Perubahan-perubahan hormonal yang

meningkatkan hasrat seksual (libido seksual) remaja, adaya penundaan usia

perkawinan, norma-norma agama tetap berlaku, adanya penyebaran

informasi dan rangsangan seksual melalui media massa dengan adanya

teknologi canggih, Orang tua sendiri masih mentabukan pembicaraan

mengenai seks dengan anak tidak terbuka, pergaulan yang makin bebas

antara pria dan wanita dalam masyarakat karena pendidikan yang setara.
37

Perkembangan perilaku seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor antara lain

perkembangan psikis, fisik, proses belajar dan sosial kultural (Soetjiningsih,

2004)..

Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003), mengatakan perilaku

dilatar belakangi atau dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni : faktor

predisposisi (predisposing factors) yang mancakup pendidikan, pengetahuan,

sikap, kepercayaan, tradisi, agama, dan norma. Faktor-faktor yang

mendukung (enabiling factors) yang mencakup sarana dan prasarana atau

fasilitas kesehatan. Faktor-faktor yang memperkuat atau mendorong

(reinforcing factors) mencakup sikap dan perilaku petugas dan orang tua.
38

F. Kerangka Teoritis

Lawrence Green dalam Notoatmodjo (2003),


perilaku dipengaruhi oleh tiga faktor pokok yakni
:
1. faktor predisposisi yang mancakup:
pendidikan, pengetahuan, sikap,
kepercayaan, tradisi, agama, dan norma.
2. Faktor-faktor yang mendukung yang
mencakup sarana dan prasarana atau
fasilitas kesehatan.
3. Faktor-faktor yang memperkuat atau
mendorong : mencakup sikap dan perilaku
petugas dan orang tua

Soetjiningsih (2004), perkembangan perilaku


seksual dipengaruhi oleh berbagai faktor antara
lain: Perilaku
1. Perkembangan psikis seksual pada
2. Perkembangan fisik Remaja
3. Proses belajar
4. Sosial kultural

Sarwono (2006), masalah seksualitas pada


remaja karena faktor-faktor:

1. Hormonal
2. Penundaan perkawinan
3. Norma-norma agama
4. Media
5. Orang tua
6. Pergaulan
7. Pendidikan seks

Esere (2008) dan Barnett (2010), program


pendidikan seks mempengaruhi perilaku seksual
beresiko

Gambar 2.1 Kerangka Teoritis Modifikasi Lawrence Green dalam Notoatmodjo


(2003), Soetjiningsih (2004), Sarwono (2006),
Esere (2008) dan Barnett (2010)
39

BAB III

KERANGKA KONSEPTUAL

A. Kerangka Konsep

Berdasarkan kerangka teoritis di atas, maka dapat disusun kerangka

konsep metodelogi penelitian seperti berikut:

Variabel Independent Variabel Dependent

Teman Sebaya Perilaku Seksual pada


Remaja

Gambar 3.1 Kerangka Konsep


40

G. Hipotesis Penelitian

Hipotesis yang digunakan dalam penelitian ini terdiri dari hipotesis

dua arah yaitu Hipotesis alternative dan hipotesis Nol. Hipotesis benar jika

Hipotesis alternative (Ha) terbukti kebenarannya.

Ha : teman sebaya berhubungan dengan perilaku seksual remaja di

SMA

Ho : Teman sebaya tidak berhubungan dengan perilaku seksual

remaja di SMA

B. Variabel Penelitian

Menurut Sastroasmoro (2008), variabel didefinisikan sebagai

karakteristik subyek penelitian yang berubah dari satu subyek lain. Yang

dimaksud variabel adalah karakteristik suatu subyek, bukan subyek atau

benda sendirinya.

Dalam penelitian ini peneliti menggunakan variabel

bebas/independent yaitu untuk teman sebaya, sedangkan variabel

tergantung/dependent yaitu menyatakan perilaku seksual pada remaja .


41

C. Definisi Operasional

Tabel 3.2 Definisi Operasional

Alat Skala
Variabel Definisi Operasional Cara Ukur Katagori
Ukur Ukur
Dependen

Perilaku Perilaku hubungan seks Penyebaran Kuesioner Berat nominal


seksual pranikah yang dilakukan Kuesioner Ringan
remaja ternyata sudah
dari dulu ada. Namun
belakangan ini sikap
permisif tersebut lebih
ditunjukkan secara
terbuka
Independen Kedekatan sebuah
kelompok sosial yang
Teman memiliki kesamaan ciri- Penyebaran Kuesioner Positif Nominal
Sebaya ciri seperti kesamaan Kuesioner Negatif
tingkat usia.

D. Metode Pengukuran Variabel

Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pertanyaan yang terdiri

dari 20 untuk pemberian pendidikan seksual dan 20 pertanyaan untuk

perilaku seksual pada remaja.perrtanyaan pemberian perilaku seksual dapat

diukur dengan berat dan ringan untuk variabel teman sebaya di tentukan

dalam 2 kategori yaitu positif dengan negatif. Kategori positif diberikan jika

responden menjawab lebih dari nilai rata-rata (bila > rata-rata mean). Dan

kategori negatif diberikan jika responden menjawab kurang dari nilai rata-

rata Kategori negatif (bila < rata-rata mean).


42

BAB IV

METODE PENELITIAN

A. Rancangan Penelitian

Penelitian ini merupakan penelitian observasional analitik dengan

rancangan potong lintang (cross sectional). Sastroasmoro (2008)

mengatakan penelitian cross-sectional peneliti mencari hubungan antara

variabel bebas (faktor resiko) dengan variabel tergantung (efek) dengan

melakukan pengukuran sesaat. Tentunya tidak semua subjek harus

diperiksa pada hari ataupun saat yang sama, namun baik variabel resiko

serta efek tersebut diukur menurut keadaan atau statusnya pada waktu

observasi, jadi pada desain cross-sectional tidak ada tindak lanjut atau

follow-up.

Penelitian ini menggunakan kuantitatif. Pendekatan kuantitatif untuk

mengetahui hubungan teman sebaya dengan perilaku seksual remaja.


43

B. Tempat dan Waktu Penelitian

1. Tempat Penelitian

Penelitian akan ini dilakukan di SMA Negeri 1 Lhokseumawe

yang berada di kota lhokseumawe. Tempat penelitian dipilih dengan

alasan karena SMA Negeri 1 Lhokseumawe terletak di daerah

perkotaan, akses informasi dan interner pun mudah dijangkau. Dari

alasan tersebut diharapkan dapat memberikan gambaran tentang

hubungan teman sebaya sehingga terjadi perilaku seksual remaja.

2. Waktu Penelitian

Rencana penelitian dilakukan setelah ujian proposal KTI.

C. Populasi dan Sampel

1. Populasi

Populasi adalah keseluruhan obyek penelitian (Notoatmodjo,

2005), jumlah seluruh siswa SMA Negeri 1 Lhokseumawe dengan

distribusi kelas X berjumlah 196 orang siswa, kelas XI berjumlah 204

orang siswa dan kelas XII berjumlah 207 orang siswa. Dalam penelitian

ini populasi yang diambil hanya kelas XI yang berjumlah 204 orang

siswa.

2. Sampel

Dalam pengambilan menggunakan kriteria inklusi. Kriteria

inklusi adalah karakteristik umum dari subjek penelitian yang layak untuk
44

dilakukan penelitian atau dijadikan responden. Kriteria inklusi pada

penelitian ini adalah :

a. Siswa-siswi aktif SMU Negeri 1 Lhokseumawe

b. Setuju mengikuti penelitian atau menjadi responden

Pengambilan sampel dengan cara proportional yaitu jumlah

sampel yang ditentukan berdasarkan proporsi setiap kelas. Setiap strata

ditentukan seimbang atau sebanding dengan banyak subyek atau

masing-masing strata (Arikunto, 2006). Untuk penetapan besar sampel

digunakan rumus sebagai berikut:

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑2 )

Keterangan :

n = Besar sampel

N = Basar populasi

d = Tingkat penyimpangan (0,05)

(Notoadmodjo, 2002)

𝑁
𝑛=
1 + 𝑁 (𝑑2 )

204
𝑛=
1 + 204 (0,052 )

204
𝑛=
1 + 204(0,0025)

𝑛 = 135
45

Berdasarkan rumus diatas, didapat besar sampel 135 siswa,

berdasarkan sampel yang telah ditentukan didapatkan jumlah sampel

tiap kelas sebagai berikut :

Tabel 4.1. Sampel Penelitian

No. Kelas Populasi Sampel


1. Kelas 2 IPA 1 31 𝑁1 31
𝑛= ×𝑛 = × 135 = 21
𝑁 204
2. Kelas 2 IPA 2 38 𝑁1 38
𝑛= ×= × 135 = 25
𝑁 204
3. Kelas 2 IPA 3 38 𝑁 38
𝑛 = 𝑁1 ×= 204 × 135 = 25
4 Kelas 2 IPA 4 38 𝑁1 38
𝑛= ×𝑛 = × 135 = 25
𝑁 204
5. Kelas 2 IPS 1 32 𝑁1 32
𝑛= ×𝑛 = × 135 = 21
𝑁 204
6. Kelas 2 IPS 2 27 𝑁1 27
𝑛= ×𝑛 = × 135 = 18
𝑁 204

D. Cara Pengumpulan Data

Pengumpulan data dilakukan dengan cara membagikan kuesioner

kepada responden. Responden diminta untuk mengisi sendiri kuesioner

yang ditunggu dan langsung dikembalikan kepada peneliti.

E. Instrumen Penelitian

Instrumen yang digunakan dalam penelitian ini adalah kuesioner.

1. Dalam penelitian ini, peneliti menggunakan pertanyaan yang terdiri dari

15 pertanyaan yang dibagi menjadi 7 pertanyaan untuk perilaku seksual

pada remaja dan 8 pertanyaan untuk teman sebaya. Sedangkan


46

pertanyaan untuk perilaku seksual pada remaja dapat dinilai dengan

Perilaku seksual ringan adalah aktivitas seksual dimulai dari menaksir

seseorang, sesekali berkencan, pergi ketempat yang bersifat pribadi,

dan berciuman ringan. Perilaku seksual berat adalah aktiviatas seksual

seperti, berciuman meliabatkan lidah, meraba payudara, meraba vagina

atau penis, oral seks, dan melakukan hubungan seksual.

2. Skor kuesioner perilaku seksual pada remaja dengan pilihan jawaban

berat dan ringan: Jawaban ringan dengan skor 0 dan berat skor 1

3. Skor kuesioner teman sebaya dengan pilihan jawaban positif dan negatif

: Jawaban tidak skor 0 dan ya 1

F. Metode Pengolahan dan Analisa Data

1. Metode Pengelolahan Data

Menurut Budiarto (2003), pengolahan data terdiri dari:

a. Editing, yaitu memeriksa kembali kekeliruan dalam pengisian data.

Pada tahap ini data telah dikumpulkan dilakukan pengecekan data

yang meliputi kelengkapan identitas dan kelengkapan jawaban yang

diberikan oleh responden sehingga tidak ada kuesioner yang rusak.

b. Coding, yaitu memberikan simbol, kode bagi tiap-tiap data yang

termasuk dalam kategori yang sama.


47

c. Tabulating, yaitu mengelompokkan jawaban-jawaban yang serupa

dengan teliti dan teratur, kemudian dihitung berapa banyak item yang

termasuk dalam satu kategori.

2. Analisa Data

a. Analisa Univariat

Yaitu ditujukan untuk menggambarkan variabel penelitian

melalui distribusi frekuensi dan persentase. Menurut Budiarto (2003)

analisa data dilakukan secara deskriptif dengan persentase data yang

terkumpul dalam bentuk tabel distribusi frekuensi adalah :

𝑓
𝑃= 𝑥 100%
𝑛

Keterangan :

P = Persentase

f = Frekuensi

n = Jumlah seluruh yang diobservasi

b. Analisa Bivariat

Analisis bivariat dilakukan terhadap 2 variabel yang diduga

berhubungan atau berkolerasi yang dibuat dalam bentuk tabel

distribusi. Untuk mengetahui ada tidaknya hubungan antara kedua

variabel pada penelitian ini yaitu variabel bebas teman sebaya,


48

dengan variabel terikat yaitu perilaku seksual pada remaja, dipakai

analisa Uji Statistik Chi Square (X2), karena statistic uji mempunyai

penerapan yang sangat luas untuk memeriksa ketidaktergantungan

dan homogenitas. Pada hakikatnya adalah uji keselarasan. Prosedur

Uji Chi Square selalu melakukan perbandingan antara frekuensi-

frekuensi yang diamati dengan frekuensi yang diharapkan dengan

hipotesis awal yang ditetapkan dengan benar.

Rumus :

(𝑓𝑜 − 𝑓ℎ )2
𝑥2 = ∑ 𝑓ℎ

Keterangan:

= Chi Kuadrat

fo = Frekuensi yang diobservasi

fh = Frekuensi yang diharapkan

a. Uji Coba Instrumen Penelitian

Karena instrument penelitian ini dibuat sendiri oleh peneliti

dan belum pernah diujicobakan, maka perlu dilakukan uji validitas

dan reliabilitas instrument penelitian ini.


49

1. Uji Validitas

Uji validitas digunakan untuk mengukur relevan tidaknya

pengukuran dan pengamatan yang dilakukan pada penelitian

(Notoadmodjo, 2002). Pada pengujian validitas kuesioner

dilakukan dengan uji korelasi antara skor (nilai) tiap-tiap item

pertanyaan terhadap skor total seluruh pertanyaan dengan

menggunakan rumus (Hartono, 2009).

N ∑ XY − (∑ X)(∑ Y)
rXY =
√[N ∑ X 2 − (∑ X 2 )] [N ∑ Y 2 − (∑ Y 2 )]

Keterangan :

N : Banyaknya peserta

∑x : Jumlah skor item

∑y : Jumlah skor total

rXY : Korelasi antar variable

2. Uji Reliabilitas

Reliabilitas adalah indeks yang menunjukkan sejauh

mana suatu alat pengukur dapat dipercaya atau dapat

diandalkan (Notoatmodjo, 2002). Menurut Arikunto (2006),


50

penguji reliabilitas kuesioner dapat dilakukan dengan

menggunakan metode internal consistency, dilakukan dengan

cara mencoba instrument sekali saja, kemudian yang diperoleh

dianlisis dengan teknik tertentu. Penguji kuesioner tersebut

digunakan dengan rumus koefisien reliabilitas Alpha Cronbach

dengan rumus sebagai berikut :

𝐾 ∑ 𝜎𝑏2
𝑟11 = ( ) (1 − )
(𝐾 − 1) 𝜎𝑡2

Keterangan :

r11 : reabilitas instrument

k : banyaknya butir pertanyaan atau banyaknya soal

∑𝜎𝑏2 : jumlah varians butir

𝜎𝑡2 : varians total

Menurut Sabri (2006), nilai korelasi (r) berkisar 0 sampai

dengan 1 atau bila dengan disertai arahannya nilainya setara

antara – 1 sampai dengan + 1.

r = 0 tidak ada hubungan linier

r = -1 hubungan linier negatif sempurna

r = +1 hubungan linier positif sempurna

Anda mungkin juga menyukai