Anda di halaman 1dari 24

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar belakang
Asfiksia neonaturium ialah suatu keadaan bayi baru lahir yang gagal bernafas
secara spontan dan teratur segera setelah (Hutchinson,1967). Keadaan ini disertai
dengan hipoksia,hiperkapnia dan berakhir dengan asidosis. Hipoksia yang terdapat
pada penderita Asfiksia ini merupakan fakTor terpenting yang dapat menghambat
adaptasi bayi baru lahir terhadap kehidupan ekstrauterin (Grabiel Duc,1971). Penilaian
statistik dan pengalaman klinis atau patologi anatomis menunjukkan bahwa keadaan
ini merupakan penyebab utama mortalitas dan morbiditas bayi baru lahir. Hal ini
dibuktikan oleh Drage dan Berendes (1966) yang mendapatkan bahwa skor Apgar
yang rendah sebagai manifestasi hipoksia berat pada bayi saat lahir akan
meperlihatkan angka kematian yang tinggi.
Haupt (1971) memperlihatkan bahwa frekuensi gangguan perdarahan pada
bayi sebagai akibat hipoksia sangat tinggi. Asidosis, gangguan kardiovaskuler serta
komplikasinya sebagai akibat langsung dari hipoksia merupakan penyebab utama
kegagalan ini akan sering berlanjut menjadi sindrom gangguan pernafasan pada hari-
hari pertama setelah lahir (James,1959). Penyelidikan patologi anatomis yang
dilakukan oleh Larrhoce dan Amakawa (1971) Menunjukkan ekrosis berat dan difus
pada jaringan otak bayi yang meninggal karena hipoksia.
B. Rumusan masalah
1. Apa yang di maksud dengan asfiksia ?
2. Apa etiologi Asfiksia ?
3. Bagaimana penilaian Asfiksia ?
4. Bagaimana penanganan Asfiksia ?

1
C. Tujuan
1. Tujuan Umum
Mahasiswa mampu menerapkan pola pikir ilmiah dalam melaksanakan
asuhan pada bayi penderita asfiksia dan mendapatkan gambaran epidemiologi,
distribusi, frekuensi, determinan, isu dan program penanganan Asfiksia.
2. Tujuan Khusus
a. Mengetahui pengertian pada Asfiksia
b. Mengetahui etiologi Asfiksia
c. Mengetahui penilaian Asfiksia
d. Mengetahui penanganan Asfiksia

2
BAB II
TINJAUAN TEORI
A. Definisi
Asfiksia neonatorum ialah keadaan dimana bayi tidak dapat segera bernafas
secara spontan dan teratur setelah lahir. Hal ini disebabkan oleh hipoksia janin dalam
uterus dan hipoksia ini berhubungan dengan faktor-faktor yang timbul dalam
kehamilan, persalinan, atau segera setelah bayi lahir. Akibat-akibat asfiksia akan
bertambah buruk apabila penanganan bayi tidak dilakukan secara sempurna.
Tindakan yang akan dikerjakan pada bayi bertujuan mempertahankan kelangsungan
hidupnya dan membatasi gejala-gejala lanjut yang mungkin timbul. (Wiknjosastro,
1999).
Asfiksia adalah perubahan patologis yang disebabkan oleh kurangnya
oksigen dalam udara pernapasan, yang menyebabkan hipoksia dan hiperkapnia
(Dorland, 2002).
Sedangkan asfiksia neonatorum adalah keadaan bayi baru lahir yang tidak
dapat bernafas secara spontan dan teratur dalam satu menit setelah lahir (Subianto,
2009).
Asfiksia lahir saat ini masih merupakan penyebab morbiditas dan mortalitas
utama di bidang perinatologi, terutama di negara yang sedang berkembang, di
samping itu dianggap berhubungan erat dengan dampak jangka panjang yang tidak
diinginkan, baik yang ringan (disfungsi minimal otak) maupun berat (palsi serebral).
Asfiksia adalah keadaan dimana bayi tidak bernafas secara spontan dan
teratur segera setelah lahir. Sering kali bayi yang sebelumnya mengalami gawat janin
akan mengalami asfiksia sesudah persalinan. Masalah ini mungkin berkaitan dengan
keadaan ibu, tali pusat atau masalah pada bayi selama atau sesudah persalinan.

3
B. Penyebab Atau Etiologi
Faktor terjadinya asfiksia neonatorum menurut Wiknjosastro, H (2002) adalah
sebagai berikut:
1. Faktor-faktor dari pihak janin seperti:
a. Gangguan aliran darah dalam tali pusat karena tekanan tali pusat
b. Defresi pernapasan karena obat-obat anastesi analgetik yang diberikan
kepada ibu, pendarahan intra kranial, dan kelainan bawaan (hernia
diagfragmatika, atresia saluran pernapasan, hipoplasia paru-paru dll.
2. Faktor-faktor dari pihak ibu:
a. Gangguan HIS
b. Hipotensi mendadak pada ibu karena pendarahan misalnya pada plasenta
previa
c. Hipertensi pada eklanpsia
d. Gangguan mendadak pada plasenta
3. Faktor neonates:
a. Trauma persalinan, perdarahan rongga tengkorak
b. Kealainan bawaan, hernia diafragmatik atresia atau stenosis jalan nafas
C. Patofosiologis
Asfiksia lahir menyangkut hal-hal meiputi masa transisi saat lahir, faktor
sirkulasi dan faktor metabolisme. Karena oksigen diberikan kepada janin melalui
plasenta maka paru-paru tidak berisi udara. Alveoli janin berisi cairan yang dibentuk
didalam paru-paru itu sendiri.
Paru-paru janin yang berisi cairan tidak dapat dipakai untuk pernapasan.
Peredaran darah lewat paru-paru janin sangat rendah dibandingkan dengan
peredaran darah yang diperlukan sesudah kelahiran. Hal tersebut akibat dari
terjadinya kontriksi pembuluh darah arterioli di dalam paru-paru janin. Kebanyakan
dari aliran darah janin dialirkan dari paru-paru lewat duktus arteriosus.

4
Pernafasan spontan BBL tergantung pada kondisi janin pada masa kehamilan
dan persalinan. Bila terdapat gangguan pertukaran gas atau pengangkutan O2 selama
kehamilan atau persalinan akan terjadi asfiksia yang lebih berat. Keadaan ini akan
mempengaruhi fungsi sel tubuh dan bila tidak teratasi akan menyebabkan kematian
asfiksia yang terjadi dimulai suatu periode apnu disertai dengan penurunan frekuensi.
Pada penderita asfiksia berat, usaha bernafas tidak tampak dan bayi selanjutnya
berada dalam periode apnue kedua. Pada tingkat ini terjadi bradikardi dan penurunan
TD.
Pada asfiksia terjadi pula gangguan metabolisme dan perubahan
keseimbangan asam-basa pada tubuh bayi. Pada tingkat pertama hanya terjadi
asidosis respioratorik. Bila berlanjut dalam tubuh bayi akan terjadi proses metabolisme
an aerobic yang berupa glikolisis glikogen tubuh, sehingga glikogen tubuh terutama
pada jantung dan hati akan berkurang. Pada tingkat selanjutnya akan terjadi
perubahan kardiovaskular yang disebabkan oleh beberapa keadaan diantaranya :
1. Hilangnya sumber glikogen dalam jantung akan mempengaruhi fungsi jantung.
2. Terjadinya asidosis metabolik yang akan menimbulkan kelemahan otot jantung.
3. Pengisian udara alveolus yang kurang adekuat akan mengakibatkan tetap

Tingginya resistensi pembuluh darah paru sehingga sirkulasi darah ke paru


dan ke sistem sirkulasi tubuh lain akan mengalami gangguan (Rustam, 1998). Gejala
dan Tanda-tanda Asfiksia:

1. Tidak bernafas atau bernafas megap-megap


2. Warna kulit kebiruan
3. Kejang
4. Penurunan kesadaran
5. DJJ lebih dari 16Ox/mnt/kurang dari lOOx/menit tidak teratur
6. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala

5
D. Transisi Pada Kelahiran
Pada waktu kelahiran, saat bayi menarik napas pertama terjadi beberapa
peruahan, paru-paru mulai mengambil alih fungsinya dalam proses pernapasan.
Segera sesudah lahir, paru-paru mulai berkembang sambil mengisinya dengan udara.
Cairan paru-paru janin berangsur-angsur keluar dari alveoli.
Pada saat yang sama paru-paru mulai berkembang dan cairan paru-paru
mulai dikeluarkan, arterioli di paru-paru mulai membuka yang menyebabkan
peningkatan aliran masuk ke dalam jaringan paru-paru.
Duktus arteriosus mulai menciut bersama-sama dengan meningkatnya kadar
oksigen di dalam darah. Aliran darah yang sebelumnya melewati duktus arteriosus
sekarang dialirkan melalui paru-paru, oksigen akan diambil untuk dibawa ke jaringan
di seluruh tubuh. Duktus arteriosus akan tetap menciut dan sirkulasi darah yang
normal untuk kehidupan ekstrauterin mulai bekerja.
Beberapa tarikan nafas pertama harus mempermudah pengeluaran cairan
dari paru-paru dan menentukan functional residual capacity (FRC). Tarikan nafas
pertama bayi secara spontan mempunyai mempunyai beberapa karakteristik unik.
Walau tekanan inspirasi puncak biasanya diantar -20 dan -40 cm H2O, tapi tekanan
pembukaan sangat rendah.
Dengan demikian, gas mulia memasuki paru-paru pada tekanan yang sangat
rendah, biasanya kurang dari tekanan –5 cm H2O. Tekanan ekspirasi yang sangat
tinggi juga timbul, tekanan yang pada umumnya melebihi tekanan inspirasi. Tekanan
ekspirasi ini mungkin akan timbul terhadap glottis yang tertutup, bantuan untuk
mengeluarkan cairan paru-paru dan menyebabkan distribusi udara yang lebih merata
di seluruh paru-paru. Pernapasan secara spontan dilakukan dengan cara bayi yang
dikeluarkan melalui vagina akan mengembangkan FRC yang signifikan pada akhir
napas pertama.

6
E. Faktor-Faktor Asfiksia
1. FAKTOR SIRKULASI
Mendapatkan sejumlah udara yang masuk ke dalam paru-paru ternyata tidak
cukup dan harus disertai dengan jumlah aliran darah di kapiler paru-paru yang
adekuat agar oksigen yang melewati peredaran darah dapat dibawa keseluruh
tubuh. Keaadaan ini memerlukan peningkatan jumlah darah yang cukup tinggi
melalui perfusi paru-paru pada saat bayi dilahirkan.
Menurunnya peredaran darah paru-paru pada bayi dengan asfiksia sering
dinyatakan sebagai vasokontriksi paru-paru. Keadaan ini ditujukan pada
menciutnya (konstriksi) pembuluh darah paru-paru. Pembuluh darah yang
biasanya terbuka pada paru-paru bayi normal akan tetap tertutup pada bayi
dengan asfiksia.
Seorang bayi yang mengalami asfiksia juga menunjukan hipoksia (kadar
oksigen darah yang rendah) dan asidosis (penurunan pH). Karena adanya
hipoksia dan asidosis maka pembuluh darah arteriori di paru-paru menciut dan
duktus arterioles tetap terbuka. Dengan demikian sirkulasi darah janin akan tetap
dipertahankan dan tetap ikut berperan pada kurangnya peredaran darah di paru-
paru. Darah yang seharusnya mengaliri jaringan paru-paru tetap dilewatkan
melalui duktus arteriosis.
2. FAKTOR METABOLIK
Perbedaan-perbedaan regional di dalam kecepatan metabolisme energi,
akumulasi laktat, influx kalsium, dan formasi bebas radikal bisa menunjukan
meningkatnya kerentanan daerah-daerah tertentu, misalnya thalamus, basal
ganglia, dan brainstem, terhadap hipoksi-iskemik akut insult. Selain itu,
vulnerabilitas yang selektif bisa mencerminkan active myelination di dalam
daerah-daerah ini selama periode baru lahir.

7
F. Manifestasi klinik
Asfiksia biasanya merupakan akibat hipoksia janin yang menimbulkan tanda-
tanda klinis pada janin atau bayi berikut ini :
1. DJJ lebih dari 100x/menit atau kurang dari 100x/menit tidak teratur
2. Mekonium dalam air ketuban pada janin letak kepala
3. Tonus otot buruk karena kekurangan oksigen pada otak, otot, dan organ lain
4. Depresi pernafasan karena otak kekurangan oksigen
5. Bradikardi (penurunan frekuensi jantung) karena kekurangan oksigen pada otot-
otot jantung atau sel-sel otak
6. Tekanan darah rendah karena kekurangan oksigen pada otot jantung, kehilangan
darah atau kekurangan aliran darah yang kembali ke plasenta sebelum dan
selama proses persalinan
7. Takipnu (pernafasan cepat) karena kegagalan absorbsi cairan paru-paru atau
nafas tidak teratur/megap-megap
8. Sianosis (warna kebiruan) karena kekurangan oksigen didalam darah
9. Penurunan terhadap spinkters
10. Pucat (Depkes RI, 2007)
G. Pengkajian Klinis
Menurut Buku Acuan Nasional Pelayanan Kesehatan Maternal dan Neonatal
(2009) pengkajian pada asfiksia neonatorum untuk melakukan resusitasi semata-mata
ditentukan oleh tiga hal penting, yaitu :
1. Pernafasan
Observasi pergerakan dada dan masukan udara dengan cermat. Lakukan
auskultasi bila perlu lalu kaji pola pernafasan abnormal, seperti pergerakan dada
asimetris, nafas tersengal, atau mendengkur. Tentukan apakah pernafasannya
adekuat (frekuensi baik dan teratur), tidak adekuat (lambat dan tidak teratur), atau
tidak sama sekali.

8
2. Denyut jantung
Kaji frekuensi jantung dengan mengauskultasi denyut apeks atau merasakan
denyutan umbilicus. Klasifikasikan menjadi >100 atau <100 kali per menit. Angka
ini merupakan titik batas yang mengindikasikan ada atau tidaknya hipoksia yang
signifikan.
3. Warna
Kaji bibir dan lidah yang dapat berwarna biru atau merah muda. Sianosis
perifer (akrosianosis) merupakan hal yang normal pada beberapa jam pertama
bahkan hari. Bayi pucat mungkin mengalami syok atau anemia berat. Tentukan
apakah bayi berwarna merah muda, biru, atau pucat.
Ketiga observasi tersebut dikenal dengan komponen skor apgar. Dua
komponen lainnya adalah tonus dan respons terhadap rangsangan menggambarkan
depresi SSP pada bayi baru lahir yang mengalami asfiksia kecuali jika ditemukan
kelainan neuromuscular yang tidak berhubungan.

Tabel 1. Skor 0 1 2
Apgar Skor
Frekuensi jantung Tidak ada <100x/menit >100x/menit
Usaha pernafasan Tidak ada Tidak teratur, Teratur, menangis
lambat
Tonus otot Lemah Beberapa tungkai Semua tungkai
fleksi fleksi
Iritabilitas reflex Tidak ada Menyeringai Batuk/menangis
Warna kulit Pucat Biru Merah muda

Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan pada 1 menit dan 5 menit sesudah
bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai segera sesudah bayi lahir. Apabila
bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian pernafasan, denyut jantung atau
warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan segera.

9
Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu
hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan Nilai Apgar pada umumnya dilaksanakan
pada 1 menit dan 5 menit sesudah bayi lahir. Akan tetapi, penilaian bayi harus dimulai
segera sesudah bayi lahir. Apabila bayi memerlukan intervensi berdasarkan penilaian
pernafasan, denyut jantung atau warna bayi, maka penilaian ini harus dilakukan
segera. Intervensi yang harus dilakukan jangan sampai terlambat karena menunggu
hasil penilaian Apgar 1 menit. Kelambatan tindakan akan membahayakan terutama
pada bayi yang mengalami depresi berat.

Walaupun Nilai Apgar tidak penting dalam pengambilan keputusan pada awal
resusitasi, tetapi dapat menolong dalam upaya penilaian keadaan bayi dan penilaian
efektivitas upaya resusitasi. Jadi nilai Apgar perlu dinilai pada 1 menit dan 5 menit.
Apabila nilai Apgar kurang dari 7 penilaian nilai tambahan masih diperlukan yaitu tiap
5 menit sampai 20 menit atau sampai dua kali penilaian menunjukkan nilai 8 dan lebih
(Saifuddin, 2009).

H. Diagnosis
Asfiksia yang terjadi pada bayi biasanya merupakan kelanjutan dari anoksia /
hipoksia janin. Diagnosis anoksia / hipoksia janin dapat dibuat dalam persalinan
dengan ditemukannya tanda-tanda gawat janin. Tiga hal yang perlu mendapat
perhatian yaitu :
1. Denyut jantung janin
Peningkatan kecepatan denyut jantung umumnya tidak banyak artinya, akan
tetapi apabila frekuensi turun sampai ke bawah 100 kali per menit di luar his, dan
lebih-lebih jika tidak teratur, hal itu merupakan tanda bahaya
2. Mekonium dalam air ketuban
Mekonium pada presentasi sungsang tidak ada artinya, akan tetapi pada
presentasi kepala mungkin menunjukkan gangguan oksigenisasi dan harus
diwaspadai. Adanya mekonium dalam air ketuban pada presentasi kepala dapat

10
merupakan indikasi untuk mengakhiri persalinan bila hal itu dapat dilakukan
dengan mudah.
3. Pemeriksaan pH darah janin
Dengan menggunakan amnioskop yang dimasukkan lewat serviks dibuat
sayatan kecil pada kulit kepala janin, dan diambil contoh darah janin. Darah ini
diperiksa pH-nya. Adanya asidosis menyebabkan turunnya pH. Apabila pH itu
turun sampai di bawah 7,2 hal itu dianggap sebagai tanda bahaya gawat janin
mungkin disertai asfiksia (Wiknjosastro, 1999)
I. Penilaian Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Aspek yang sangat penting dari resusitasi bayi baru lahir adalah menilai bayi,
menentukan tindakan yang akan dilakukan dan akhirnya melaksanakan tindakan
resusitasi. Upaya resusitasi yang efesien clan efektif berlangsung melalui rangkaian
tindakan yaitu menilai pengambilan keputusan dan tindakan lanjutan.
Penilaian untuk melakukan resusitasi semata-mata ditentukan oleh tiga tanda penting,
yaitu :
1. Penafasan
2. Denyut jantung
3. Warna kulit

Nilai apgar tidak dipakai untuk menentukan kapan memulai resusitasi atau
membuat keputusan mengenai jalannya resusitasi. Apabila penilaian pernafasan
menunjukkan bahwa bayi tidak bernafas atau pernafasan tidak kuat, harus segera
ditentukan dasar pengambilan kesimpulan untuk tindakan vertilasi dengan tekanan
positif (VTP).

J. Persiapan Alat Resusitasi


Sebelum menolong persalinan, selain persalinan, siapkan juga alat-alat
resusitasi dalam keadaan siap pakai, yaitu :
1. Dua helai kain / handuk

11
2. Bahan ganjal bahu bayi. Bahan ganjal dapat berupa kain, kaos, selendang,
handuk kecil, digulung setinggi 5 cm dan mudah disesuaikan untuk mengatur
posisi kepala bayi
3. Alat penghisap lendir de lee atau bola karet
4. Tabung dan sungkup atau balon dan sungkup neonatal
5. Kotak alat resusitasi
6. Jam atau pencatat waktu (Wiknjosastro, 2007).
K. Penanganan Asfiksia pada Bayi Baru Lahir
Tindakan resusitasi bayi baru lahir mengikuti tahapan-tahapan yang dikenal
sebagai ABC resusitasi, yaitu :
1. Memastikan saluran terbuka
 Meletakkan bayi dalam posisi kepala defleksi bahu diganjal 2-3 cm
 Menghisap mulut, hidung dan kadang trachea
 Bila perlu masukkan pipa endo trachel (pipa ET) untuk memastikan saluran
pernafasan terbuka
2. Memulai pernafasan
 Memakai rangsangan taksil untuk memulai pernafasan
 Memakai VTP bila perlu seperti : sungkup dan balon pipa ETdan balon atau
mulut ke mulut (hindari paparan infeksi).
3. Mempertahankan sirkulasi
 Rangsangan dan pertahankan sirkulasi darah dengan cara
 Kompresi dada
 Pengobatan
L. Persiapan resusitasi
Agar tindakan untuk resusitasi dapat dilaksanakan dengan cepat dan efektif,
kedua faktor utama yang perlu dilakukan adalah :
1. Mengantisipasi kebutuhan akan resusitasi lahirannya bayi dengan depresi dapat
terjadi tanpa diduga, tetapi tidak jarang kelahiran bayi dengan depresi atau asfiksia
dapat diantisipasi dengan meninjau riwayat antepartum dan intrapartum.

12
2. Mempersiapkan alat dan tenaga kesehatan yang siap dan terampil. Persiapan
minumum antara lain :
 Alat pemanas siap pakai
 Oksigen
 Alat pengisap
 Alat sungkup dan balon resusitasi
 Alat intubasi
 Obat-obatan

Prinsip-prinsip resusitasi yang efektif :

1. Tenaga kesehatan yang slap pakai dan terlatih dalam resusitasi neonatal harus
rnerupakan tim yang hadir pada setiap persalinan.
2. Tenaga kesehatan di kamar bersalin tidak hanya harus mengetahui apa yang
harus dilakukan, tetapi juga harus melakukannya dengan efektif dan efesien
3. Tenaga kesehatan yang terlibat dalam resusitasi bayi harus bekerjasama sebagai
suatu tim yang terkoordinasi.
4. Prosedur resusitasi harus dilaksanakan dengan segera dan tiap tahapan
berikutnya ditentukan khusus atas dasar kebutuhan dan reaksi dari pasien.
5. Segera seorang bayi memerlukan alat-alat dan resusitasi harus tersedia clan siap
pakai.
M. Langkah-Langkah Resusitasi
1. Letakkan bayi di lingkungan yang hangat kemudian keringkan tubuh bayi dan
selimuti tubuh bayi untuk mengurangi evaporasi.
2. Sisihkan kain yang basah kemudian tidurkan bayi terlentang pada alas yang datar.
3. Ganjal bahu dengan kain setinggi 1 cm (snifing positor).
4. Hisap lendir dengan penghisap lendir de lee dari mulut, apabila mulut sudah bersih
kemudian lanjutkan ke hidung.
5. Lakukan rangsangan taktil dengan cara menyentil telapak kaki bayi dan mengusap-
usap punggung bayi.

13
6. Nilai pernafasanJika nafas spontan lakukan penilaian denyut jantung selama 6
detik, hasil kalikan 10. Denyut jantung > 100 x / menit, nilai warna kulit jika merah /
sinosis penfer lakukan observasi, apabila biru beri oksigen. Denyut jantung < 100 x
/ menit, lakukan ventilasi tekanan positif.
7. Jika pernapasan sulit (megap-megap) lakukan ventilasi tekanan positif.
8. Ventilasi tekanan positif / PPV dengan memberikan O2 100 % melalui ambubag
atau masker, masker harus menutupi hidung dan mulut tetapi tidak menutupi mata,
jika tidak ada ambubag beri bantuan dari mulur ke mulut, kecepatan PPV 40 – 60 x
/ menit.
9. Setelah 30 detik lakukan penilaian denyut jantung selama 6 detik, hasil kalikan 10.
 100 hentikan bantuan nafas, observasi nafas spontan.
 60 – 100 ada peningkatan denyut jantung teruskan pemberian PPV.
 60 – 100 dan tidak ada peningkatan denyut jantung, lakukan PPV, disertai
kompresi jantung.
 < 10 x / menit, lakukan PPV disertai kompresi jantung.
10. Kompresi jantung perbandingan kompresi jantung dengan ventilasi adalah 3 : 1,
ada 2 cara kompresi jantung
11. Kedua ibu jari menekan stemun sedalam 1 cm dan tangan lain mengelilingi tubuh
bayi.
12. Jari tengah dan telunjuk menekan sternum dan tangan lain menahan belakang
tubuh bayi.
13. Lakukan penilaian denyut jantung setiap 30 detik setelah kompresi dada.
14. Denyut jantung 80x./menit kompresi jantung dihentikan, lakukan PPV sampai
denyut jantung > 100 x / menit dan bayi dapat nafas spontan.
15. Jika denyut jantung 0 atau < 10 x / menit, lakukan pemberian obat epineprin 1 :
10.000 dosis 0,2 – 0,3 mL / kg BB secara IV.
16. Lakukan penilaian denyut jantung janin, jika > 100 x / menit hentikan obat
17. Jika denyut jantung < 80 x / menit ulangi pemberian epineprin sesuai dosis diatas
tiap 3 – 5 menit.

14
18. Lakukan penilaian denyut jantung, jika denyut jantung tetap / tidak rewspon
terhadap di atas dan tanpa ada hiporolemi beri bikarbonat dengan dosis 2 MEQ/kg
BB secara IV selama 2 menit. (Wiknjosastro, 2007).

BAB III
ASUHAN KEPERAWATAN

A. Pengkajian Fisik Fokus

Secara umum pasien terlihat sangat sakit, terdapat perubahan status kesadaran yang
semakin menurun sesuai dengan tingkat keaktifan kuman dalam tubuh. TTV biasanya
mengalami perubahan seperti takikardia, hipertermi, peningkatan frekuensi napas, dan
penurunan tekanan darah.

B1. Fungsi pernapasan biasanya tidak ada masalah tetapi pada malaria falcifarum dengan
komplikasi akan didapatkan perubahan takipnu dengan penurunan kedalaman
pernapasan, serta napas pendek pada istirahat dan istirahat.

B2. Pada fase demam akan didapatkan takikardia, tekanan darah menurun,
kulit hangat, dan diuresis (diaforesis) karena vasodilatasi, pucat dan lembap
berhubungan dengan adanya anemia, hipovolemia, dan penurunan akan darah. Pada
pasien malaria dengan komplikasi berat sering didapatkan adanya tanda-tanda syok
hipovolemik dan tanda DIC.

15
B3. Sistem neuromotorik biasanya tidak ada masalah. Pada beberapa kasus pasien terlihat
gelisah dan ketakutan. Pada kondisi yang lebih berat akan didapatkan adanya
perubahan tingkat kesadaran dengan manifestasi disorientasi, delirium, bahkan koma.
Pada beberapa kasus pasien dengan adanya perubahan elektrolit sering didapatkan
adanya kejang.

B4. Sistem perkemihan biasanya tidak masalah, tetapi pada saat fase demam akan
didapatkan adanya penurunan produksi urine, sedangkan pada fase lanjut didapatkan
adanya poliuri sekunder dari perubahan glukosa darah.

B5. Pada inspeksi didapatkan gangguan pencernaan, seperti mual dan muntah, diare atau
konstipasi. Pada auskultasi didapatkan penurunan bising usus. Pada perkusi
didapatkan adanya timfani abdomen. Pada palpasi abdomen sangat sering didapatkan
adanya splenomegali.

B6. Pada pengkajian integumen didapatkan adanya tanda-tanda anemia dan icterus. Pada
pemeriksaan muskuloskeletal didapatkan adanya keletihan dan kelemahan fisik
umum, malaise, dan penurunan kekuatan otot.

B. Pengkajian Diagnostik
1. Pemeriksaan laboratoris
Pemeriksaan yang mendukung diagnostic malaria, meliputi pemeriksaan
serum elektrolit, es fungsi ginjal, tes kehamilan, urinalisis, serum haptoglobin,
kultur urine, dan darah, serta blood smears.
2. Pemeriksaan imunoserologis
Pemeriksaan imunoserologis didesain baik untuk mendeteksi antibodi spesifik
terhadap parasit plasmodium maupun antigen spesifik plasmodium atau eritrosit
yang terinfeksi plasmodium. Teknik ini terus dikembangkan terutaman
menggunakan teknik radioimmunoassay dan immunoassay.
3. Pemeriksaan biomolekuler

16
Pemeriksaan biomolekuler digunakan untuk mendeteksi DNA spesifik
parasit/plasmodium dalam darah penderita malaria. Tes ini menggunakan DNA
lengkap, yaitu dengan melisiskan eritrosit penderita malaria untuk mendapatkan
ekstrak DNA.

C. Pengkajian Penatalaksanaan Medis


Intervensi medis disesuaikan dengan kondisi klinis pada pasien malaria.
Tujuan pemberian terapi, meliputi hal-hal sebagai berikut :
1. Intervensi darurat.
a. Rehidrasi dengan pemberian IVFD.
b. Tranfusi RBC (red blood cells).
c. Mengatasi hiponatremi dan hipokalemi.
d. Monitor dan mengobati hipoglikemia.
e. Monitor kasus malaria dengan penurunan daya tahan tubuh (pada anak-anak,
kehamilan, imunodefisiensi).
f. Peratawan diruang intensif (koagulopati atau kegagalan organ akhir, malaria
serebral, penurunan kesadaran, kejang berulang, koma).

2. Terapi malaria.
a. Malaria Tersiana/Kuartana.
Biasanya ditanggulangi dengan kloroquin, namun jika pasien resisten
perlu ditambahkan mefloquin dosis tunggal 500 mg p.c (atau kinin 3 dd 600
mg selama 4-7 hari). Terapi ini disusul dengan pemberian primaquin 15
mg/hari selama 14 hari).

b. Malaria Ovale.
Berikan kinin dan doksisklin (hari pertama 200 mg, lalu 1 dd 100 mg
selama 6 hari) atau mefloquin (2 dosis dari masing-masing 15 dan 10 mg/kg
dengan interval 4-6 jam). Pirimethamin-sulfadoksin (dosis tunggal dari 3

17
tablet) yang biasanya dikombinasikan dengan kinin (3 dd 600 mg selama 3
hari).

c. Malaria Falcifarum
Kombinasi sulfadoksin 1000 mg dan pirimetamin 25 mg per tablet
dalam dosis tunggal sebanyak 2-3 tablet. Klina 3 x 650 mg selama 7 hari.
Antibiotic seperti tetrasiklin 4 x 250 mg/hari selama 7-10 hari dan aminosiklin
2 x 100 mg/hari selama 7 hari.

D. Diagnosis Keperawatan
1. Hipertermia b.d. peningkatan metabolisme, dehidrasi, efek langsung sirkulasi
kuman pada hipotalamus
2. Perubahan perfusi jaringan b.d. penurunan komponen seluler yang diperlukan
untuk pengiriman oksigen dan nutrient dalam tubuh

E. Rencana keperawatan

Hipertermia b.d. peningkatan metabolisme, dehidrasi, efek langsung sirkulasi kuman pada
hipotalamus
Tujuan: Dalam waktu 1×24 jam terjasi penurunan suhu tubuh.
kriteria evaluasi:
 Klien mampu menjelaskan kembali pendidikan kesehatan yang diberikan.
 Klien mampu termotivasi untuk melakukan penjelasan yang telah diberikan.
Intervensi Rasional
Evaluasi TTV pada setiap pergantian sif atau Sebagai pengawasan terhadap adanya
setiap ada keluhan dari klien perubahan keadaan umum klien sehingga
dapat dilakukan penanganan dan perawatan
secara cepat dan tepat.
Kaji pengetahuan klien dan keluarga tentang Sebagai data dasar untuk memberikan

18
cara menurunkan suhu tubuh . intervensi selanjutnya.
Lakukan tirah baring total. Penurunan aktivitas akan menurunkan laju
metabolisme yang tinggi padafase akut,
dengan demikian membantu penurunan suhu
tubuh.

Atur lingkugan yang kondusif. Kondisi ruang kamar yang tidak panas, tidak
bising, dan sedikit pengunjung memberikan
efektivitas terhadap proses penyembuhan.
Pada suhu ruangan kamar yang tidak panas,
maka aan terjadi perpindahan suhu tubuh dari
tubuh klien ke ruangan. Proses pengeluaran
ini disebut dengan radiasi dankonveksi.
Proses merupakan pengeluaran suhu tubuh
yang paling efektif, dimana sekitar 60% suhu
tubuh dapat berpindah melalui proses radiasi,
sedangkan konveksi 15%. Perawat
melakukan intervensi penting agar suhu
kamar ruangan tidak secara mendadak dingin
karena memberikan risiko penurunan suhu
tubuh yang begitu cepat dan berpengaruh
terhadap tingkat toleransi anak.
Beri kompres hangat pada daerah aksila, Dapat membantu mengurangi demam,
lipat paha, dan temporal bila terjadi panas. penggunaan es/alkohol mungkin
menyebabkan kedinginan dan menggigil.
Selain itu, alkohol dapat mengeringkan kulit.
Anjurkan keluarga untuk memakaikan Pengeluaran suhu tubuh dengan cara
pakaian yang dapat menyerap keringat evaporasi berkisar 22% dari penggeluaran

19
seperti katun. suhu tubuh. Pakaian yang mudah meyerap
keringat sangat efektif meningkatkan efek dari
evaporasi.
Berikan selimut Pemberian selimut digunakan untuk
mengurangi ketidaknyamanan pada saat
demam dan menggigil sebagai respons
sekunder dan hipertermi.
Anjurkan keluarga untuk melakukan masase Masase dilakukan untuk meningkatkan aliran
pada ekstermitas . darah ke perifer dan terjadi vasodilatasi perifer
yang akan meningkatkan efek evaporasi.
Penggunaan cairan penghangat seperti
minyak kayu putih dapat digunakan untuk
meningkatkan efektivitas intervensi masase.

Kolaborasi dengan dokter dalam pemberian Antipiretik bertujuan untuk memblok respons
obat antipiretik. panas sehingga suhu tubuh klien dapat lebih
cepat menurun.

Perubahan perfusi jaringan b.d. penurunan komponen seluler yang diperlukan untuk
pengiriman oksigen dan nutrient dalam tubuh
Tujuan: Dalam waktu 2×24 jam tidak terjadi penurunantingkat kesadaran dan dapat
mempertahankan cardiac output secara adekuat guna meningkatkan perfusi jaringan.
Kriteria evaluasi:
 Klien tidak mengeluh pusing
 TTV dalam batas normal, tidak terjadi sesak dan mual/muntah, tanda diaphoresis dan
pucat/sianosis hilang, akral hangat, kulit segar, produksi urine >30 ml/jam, respons

20
verbal baik, EKG normal.
Intervensi Rasional
Kaji status mental klien secara teratur Mengetahui derajat hipoksia pada otak.
Pertahankan tirah baring bantu dengan Menurunkan badan kerja miokard dan
aktivitas perawatan. konsumsi oksigen, memaksimalkan
efektivitas dari perfusi jaringan .
Pantau terhadap kecenderungan tekanan Hipotensi akan berkembang bersamaan
darah, mencatat perkembangan hipotensi, dan dengan kuman yang menyerang darah
perubahan pada tekanan nadi.
Perhatikan kualitas dan kekuatan dari denyut Pada awalnya nadi cepat dan kuat karena
perifer. peningkatkan curah jantung, nadi dapat
lemah atau lambat karena hipotensi yang
terus menerus, penurunan curah jantung,
dan vasokonstriksi perifer.
Observasi perubahan sensori dan tingkat Bukti aktual terhadap peurunan aliran darah
kesadaran pasien yang menunjukkan ke jaringan serebral adalah adanya
penurunan perfusi otak (gelisah, perubahan respons sensori dan penurunan
confuse/bingung, apatis, somnolen). tingkat kesadaran pada fase akut. Adanya
kegagalan harus dilakukan monitoring yang
tepat.
Kurangi aktivitas yang merangsang timbulya Respons valsava akan meningkatkan
respons valsava/aktivitas. beban jantung sehingga akan menurunkan
curah jantung ke otak.
Catat adanya keluhan pusing. Keluhan pusing merupakan manifestasi
penurunan suplai darah ke jaringan otak.

Kolaborasi
 Pemberian tranfusi darah PRC Jalur yang paten penting untuk pemenuhan

21
(packed red cells) lisis darah sebagai intervensi kedaruratan.

F. Evaluasi
Hasil yang diharapkan pada asuhan keperawatan pada pasien dengan malaria,
meliputi :
1. Penurunan suhu tubuh
2. Terpenuhnya perpusi jaringan
3. Tidak terjadi gangguan elektrolit (hiponatremi, hipokalemi)
4. Terpenuhnya kebutuhan nutrisi
5. Tidak terjadi infeksi
6. Tidak mengeluh nyeri dan peningkatan perasaan nyaman
7. Kecemasan berkurang atau teradaptasi
8. Terpenuhinya kebutuhan pengetahuan individu

22
BAB IV
PENUTUP

A. Kesimpulan
Malaria merupakan penyakit infeksi parasit yang disebabkan oleh plasmodium
yang menyerang eritrosit dan ditandai dengan ditemukannya bentuk aseksual didalam
darah. Infeksi malaria memberikan gejala berupa demam, menggigil, anemia dan
splenomegali. Terdapat beberapa parasit yang dapat menyebabkan penyakit malaria,
yaitu plasmodium falciparum, vivax, malaria dan ovale. Parasit ini menggunakan
nyamuk sebagai hospes definitifnya, yaitu nyamuk Anopheles. Gejala klinis penyakit
ini terdiri dari 3 tahap, yaitu periode dingin, periode panas dan periode berkeringat.
Penularan penyakit ini bias secara alami, yaitu melalui gigitan langsung nyamuk
anopheles dan secara tidak alami yaitu secara bawaan dan secra mekanik.
Diagnosanya dapat dilihat dari manifestasi klinis yaitu terjadinya demam,
imunnoserologi yaitu ditemukannya antigen HRP-2, pLDH dan aldolase dan lewat
pemeriksaan mikroskopik yaitu melihat morfologi sel darah merah yang terinfeksi dan
melihat asam nukleat pada parasit. Malaria ini dapat menyebabkan rasa sakit,
gangguan otak hingga menyebabkan kematian.
Pemeriksaan dapat dilakukan dengan lima metode, yaitu yang pertama
menggunakan mikroskopik cahaya dengan melihat morfologi eritrosit yang terinfeksi,
yang kedua menggunakan mikroskop flouresensi dengan melihat asam nukleat yang
terdapat diparasit, yang ketiga dengan menggunakan metode rapid test yaitu
identifikasi antigen yang terdapat pada serum sampel, yang keempat menggunakan

23
dip-stick yaitu identifikasi antigen parasit malaria yang terdapat dalam serum sampel,
yang kelima dengan menggunakan PCR yaitu dengan menggandakan sekuens
DNA/RNA yang spesifik dengan menggunakan primer oligonukleotida yang spesifik
pula lalu dibaca menggunakan elektroforesis.

DAFTAR PUSTAKA

Muttaqin Arif, Sari Kumala. 2011. Gangguan Gastrointestinal. Jakarta: Salemba Medika

Nurarifin Amin Huda, Kusuma Hardhi. 2015. Nanda. Jogjakarta: Mediaction

24

Anda mungkin juga menyukai