Anda di halaman 1dari 5

Pasal 119

Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi


harta bersama menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu
tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan.
Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan
atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. Pada
dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu,
menjadi harta bersama.

KUHPerdata lebih lanjut menekankan konsepnya


tentang harta bersama dalam pasal 121 KUHPerdata
sebagai berikut:

Berkenaan dengan beban-beban, maka harta bersama itu


meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami-
isteri, baik sebelum perkawinan maupun setelah perkawinan
maupun selama perkawinan

Diperjelas lagi dengann ketentuan Pasal 122


KUHPerdata bahwa “Semua penghasilan dan pendapatan,
begitu pula semua keuntungan-keuntungan dan kerugian-
kerugian yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi
keuntungan dan kerugian harta bersama itu. “ Sampai di sini
terlihat jelas bahwa konsep harta bersama yang di
usung KUHPerdata benar-benar kebalikan dari konsep
dalam UU Perkawinan.
Berkaitan dengan tata cara pembagian harta
bersama, dalam pasal 128 KUHPerdata dijelaskan
bahwa “setelah bubarnya harta bersama,. kekayaan bersama
mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para
ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal
barang-barang itu.” Jadi dapat disimpulkan bahwa tanpa
mempersoalkan apakah itu harta bawaan, hadiah,
harta warisan dari salah satu pihak harta tersebut
tetap dianggap sebagai harta bersama yang
pembagiannya dalah sebagian untuk suami dan
sebagian untuk istri.
Dalam hal pembagian tersebut semua harta bersama
mutlak harus dibagi tanpa terkecuali, sedikit ada
pengecualian namun tetap tidak mengurangi hak dari
masing-masing suami istri mengenai pembagian harta
bersama untuk barang-barang yang sifatnya pribadi

- Pasal 147 KUH PERDATA berbunyi :Atas ancaman


pembatalan, setiap perjanjian per
kawinan harus dibuat dengan akta notaries sebelum
perkawinan berlangsung.
Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan
dilangsungkan; lain s aat untuk itu tak boleh ditetapkannya.
Dengan dibuat dan ditanda­tanganinya Perjanjian ini, maka semua harta 
mereka, baik itu berupa harta yang mereka bawa sebelum mereka 
menikah, maupun pendapatan yang mereka peroleh setelah mereka 
menikah kelak adalah hak dan milik mereka masing­masing. Demikian 
pula dengan hutang­hutang dari masing­masing pihak tersebut. salah satu 
syarat untuk dapat berlakunya suatu perjanjian kawin, adalah dibuat 
sebelum perkawinan dilangsungkan di hadapan Notaris (pasal 147 Kitab 
Undang –Undang Hukum Perdata), dan perjanjian kawin tersebut harus di
daftarkan pada Kantor Catatan sipil atau KUA dan dibacakan pada saat 
dilangsungkannya perkawinan, agar dapat mengikat pada pihak ketiga.

Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Empat


Golongan Ahli Waris Menurut KUH Perdata,para ahli waris
tersebut dibagi menjadi empat golongan besar, yaitu:
1. Golongan I: suami/istri yang hidup terlama dan
anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata). Atau
Golongan pertama,   keluarga   dalam   garis   lurus   ke   bawah,   meliputi
anak­anak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang
ditinggalkan atau yang hidup paling lama.
2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris
3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah
bapak dan ibu pewaris
4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak
maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai
derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan
nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung
dari pewaris.

Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata:
“Mereka mewarisi bagian­bagian yang sama besarnya kepala demi 
kepala…”
Artinya: seluruh ahli waris mewaris dalam bagian yang sama besarnya.

Pasal 874 KUH Perdata

Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah


kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekedar
terhadap itu dengan Surat Wasiat tidak telah diambilnya sesuatu
ketetapan yang sah.
Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari
seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia
meninggal. Pada asasnya suatu pernyataan yang demikian,
adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu
dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Dengan
sendirinya, dapat dimengerti bahwa tidak segala yang
dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam
wasiatnya itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. Pasal
874 B.W. yang menerangkan tentang arti wasiat atau testament,
memang sudah mengandung suatu syarat, bahwa isi pernyataan
itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang.
Pada dasarnya menurut Pasal 874 KUHPerdata, segala harta
peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah
kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh
mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah.
Ketetapan yang sah yang dimaksud adalah surat wasiat. Surat
wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan
seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia
meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.[1] Mengenai
surat wasiat dapat dibaca dalam artikel Diberikan Warisan oleh
Pewaris Tanpa Ada Surat Wasiat.
 
Ini berarti jika tidak ada ketetapan yang sah dalam bentuk
surat wasiat, maka semua harta peninggalan pewaris adalah
milik segenap ahli waris. Sedangkan jika ada surat wasiat yang
sah, surat wasiat tersebut harus dijalankan oleh para ahli
waris.
 
Hal serupa juga dijelaskan oleh J. Satrio dalam bukunya
Hukum Waris. J. Satrio (hal. 179),bahwa di dalam Pasal 874
KUHPerdata tersimpul suatu asas penting hukum waris.Yaitu
bahwa ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang baru
berlaku, kalau pewaris, tidak/telah mengambil suatu ketetapan
yang menyimpang mengenai harta peninggalannya, ketetapan
mana harus dituangkan dalam bentuk surat wasiat. Dengan
kata lain kehendak pewaris didahulukan.
 
Lebih lanjut J. Satrio menjelaskan, di sini nampak bahwa
hukum waris menurut KUHPerdata pada asasnya bersifat
hukum yang mengatur (mengisi), walaupun sebagian kecil dari
ketentuan-ketentuannya mempunyai sifat yang memaksa.
Bagian mutlak (LP) untuk ahli waris dalam garis ke bawah, berdasarkan 
pasal 914 KUHPerdata adalah:
1.jika pewaris hanya meninggalkan 1 orang anak sah maka LPnya adalah
setengah dari bagiannya menurut undang­undang
2.jika meninggalkan dua orang anak sah, maka besarnya LP adalah dua 
pertiga dari bagian menurut undang­undang dari kedua anak sah 
tersebut, sedangkan
jika meninggalkan tiga orang anak sah atau lebih, maka besarnya LP 
adalah tiga perempat dari bagian para ahli waris tersebut menurut 
ketentuan undang­undang.
Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga
orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu tiga
perempat bagian dari apa yang sedianya akan diterima
tiap anak pada pewarisan karena kematian.
Dengan sebutan anak-anak dimaksudkan juga keturunan-
keturunan mereka dalam derajat seberapapun tetapi
mereka ini hanya dihitung sebagai pengganti anak yang
mereka wakili dalam mewarisi warisan pewaris.

Pasal 916 KUHPerdata:


Legitieme portie dan anak yang lahir di luar perkawinan
tetapi telah diakui dengan sah, ialah seperdua dari bagian
yang oleh undang-undang sedianya diberikan kepada anak
di luar kawin itu pada pewarisan karena kematian.
Jadi dalam KUHPerdata pengertian legitieme portie
adalah bagian-bagian yang sudah di tentukan undang-
undang dalam pembagiannya.
Dalam konsep pewarisan menurut hukum perdata barat (waris barat), 
yang dimaksud dengan “Anak Luar Kawin” yang berhak mendapatkan 
warisan dari pewaris adalah anak luar kawin yang diakui secara sah oleh 
pewaris. Anak luar kawin yang diakui secara sah oleh pewaris tersebut 
berhak atas warisan dari pewaris; sedangkan anak luar kawin yang tidak 
di akui, tidak termasuk dalam kategori “anak luar kawin” berdasarkan 
hukum waris barat.

Anda mungkin juga menyukai