Sejak saat dilangsungkannya perkawinan, maka menurut hukum terjadi
harta bersama menyeluruh antarà suami isteri, sejauh tentang hal itu tidak diadakan ketentuan-ketentuan lain dalam perjanjian perkawinan. Harta bersama itu, selama perkawinan berjalan, tidak boleh ditiadakan atau diubah dengan suatu persetujuan antara suami isteri. Pada dasarnya harta yang didapat selama perkawinan menjadi satu, menjadi harta bersama.
KUHPerdata lebih lanjut menekankan konsepnya
tentang harta bersama dalam pasal 121 KUHPerdata sebagai berikut:
Berkenaan dengan beban-beban, maka harta bersama itu
meliputi semua utang yang dibuat oleh masing-masing suami- isteri, baik sebelum perkawinan maupun setelah perkawinan maupun selama perkawinan
Diperjelas lagi dengann ketentuan Pasal 122
KUHPerdata bahwa “Semua penghasilan dan pendapatan, begitu pula semua keuntungan-keuntungan dan kerugian- kerugian yang diperoleh selama perkawinan, juga menjadi keuntungan dan kerugian harta bersama itu. “ Sampai di sini terlihat jelas bahwa konsep harta bersama yang di usung KUHPerdata benar-benar kebalikan dari konsep dalam UU Perkawinan. Berkaitan dengan tata cara pembagian harta bersama, dalam pasal 128 KUHPerdata dijelaskan bahwa “setelah bubarnya harta bersama,. kekayaan bersama mereka dibagi dua antara suami dan isteri, atau antara para ahli waris mereka, tanpa mempersoalkan dan pihak mana asal barang-barang itu.” Jadi dapat disimpulkan bahwa tanpa mempersoalkan apakah itu harta bawaan, hadiah, harta warisan dari salah satu pihak harta tersebut tetap dianggap sebagai harta bersama yang pembagiannya dalah sebagian untuk suami dan sebagian untuk istri. Dalam hal pembagian tersebut semua harta bersama mutlak harus dibagi tanpa terkecuali, sedikit ada pengecualian namun tetap tidak mengurangi hak dari masing-masing suami istri mengenai pembagian harta bersama untuk barang-barang yang sifatnya pribadi
- Pasal 147 KUH PERDATA berbunyi :Atas ancaman
pembatalan, setiap perjanjian per kawinan harus dibuat dengan akta notaries sebelum perkawinan berlangsung. Perjanjian mulai berlaku semenjak saat perkawinan dilangsungkan; lain s aat untuk itu tak boleh ditetapkannya. Dengan dibuat dan ditandatanganinya Perjanjian ini, maka semua harta mereka, baik itu berupa harta yang mereka bawa sebelum mereka menikah, maupun pendapatan yang mereka peroleh setelah mereka menikah kelak adalah hak dan milik mereka masingmasing. Demikian pula dengan hutanghutang dari masingmasing pihak tersebut. salah satu syarat untuk dapat berlakunya suatu perjanjian kawin, adalah dibuat sebelum perkawinan dilangsungkan di hadapan Notaris (pasal 147 Kitab Undang –Undang Hukum Perdata), dan perjanjian kawin tersebut harus di daftarkan pada Kantor Catatan sipil atau KUA dan dibacakan pada saat dilangsungkannya perkawinan, agar dapat mengikat pada pihak ketiga.
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Empat
Golongan Ahli Waris Menurut KUH Perdata,para ahli waris tersebut dibagi menjadi empat golongan besar, yaitu: 1. Golongan I: suami/istri yang hidup terlama dan anak/keturunannya (Pasal 852 KUHPerdata). Atau Golongan pertama, keluarga dalam garis lurus ke bawah, meliputi anakanak beserta keturunan mereka beserta suami atau isteri yang ditinggalkan atau yang hidup paling lama. 2. Golongan II: orang tua dan saudara kandung Pewaris 3. Golongan III: Keluarga dalam garis lurus ke atas sesudah bapak dan ibu pewaris 4. Golongan IV: Paman dan bibi pewaris baik dari pihak bapak maupun dari pihak ibu, keturunan paman dan bibi sampai derajat keenam dihitung dari pewaris, saudara dari kakek dan nenek beserta keturunannya, sampai derajat keenam dihitung dari pewaris.
Pasal 852 ayat 2 KUHPerdata: “Mereka mewarisi bagianbagian yang sama besarnya kepala demi kepala…” Artinya: seluruh ahli waris mewaris dalam bagian yang sama besarnya.
Pasal 874 KUH Perdata
Segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah
kepunyaan sekalian ahli warisnya menurut undang-undang, sekedar terhadap itu dengan Surat Wasiat tidak telah diambilnya sesuatu ketetapan yang sah. Suatu wasiat atau testament ialah suatu pernyataan dari seseorang tentang apa yang dikehendaki setelahnya ia meninggal. Pada asasnya suatu pernyataan yang demikian, adalah keluar dari suatu pihak saja (eenzijdig) dan setiap waktu dapat ditarik kembali oleh yang membuatnya. Dengan sendirinya, dapat dimengerti bahwa tidak segala yang dikehendaki oleh seseorang, sebagaimana diletakkan dalam wasiatnya itu, juga diperbolehkan atau dapat dilaksanakan. Pasal 874 B.W. yang menerangkan tentang arti wasiat atau testament, memang sudah mengandung suatu syarat, bahwa isi pernyataan itu tidak boleh bertentangan dengan undang-undang. Pada dasarnya menurut Pasal 874 KUHPerdata, segala harta peninggalan seseorang yang meninggal dunia, adalah kepunyaan para ahli warisnya menurut undang-undang, sejauh mengenai hal itu dia belum mengadakan ketetapan yang sah. Ketetapan yang sah yang dimaksud adalah surat wasiat. Surat wasiat atau testamen adalah sebuah akta berisi pernyataan seseorang tentang apa yang dikehendakinya terjadi setelah ia meninggal, yang dapat dicabut kembali olehnya.[1] Mengenai surat wasiat dapat dibaca dalam artikel Diberikan Warisan oleh Pewaris Tanpa Ada Surat Wasiat.
Ini berarti jika tidak ada ketetapan yang sah dalam bentuk surat wasiat, maka semua harta peninggalan pewaris adalah milik segenap ahli waris. Sedangkan jika ada surat wasiat yang sah, surat wasiat tersebut harus dijalankan oleh para ahli waris.
Hal serupa juga dijelaskan oleh J. Satrio dalam bukunya Hukum Waris. J. Satrio (hal. 179),bahwa di dalam Pasal 874 KUHPerdata tersimpul suatu asas penting hukum waris.Yaitu bahwa ketetapan pewarisan berdasarkan undang-undang baru berlaku, kalau pewaris, tidak/telah mengambil suatu ketetapan yang menyimpang mengenai harta peninggalannya, ketetapan mana harus dituangkan dalam bentuk surat wasiat. Dengan kata lain kehendak pewaris didahulukan.
Lebih lanjut J. Satrio menjelaskan, di sini nampak bahwa hukum waris menurut KUHPerdata pada asasnya bersifat hukum yang mengatur (mengisi), walaupun sebagian kecil dari ketentuan-ketentuannya mempunyai sifat yang memaksa. Bagian mutlak (LP) untuk ahli waris dalam garis ke bawah, berdasarkan pasal 914 KUHPerdata adalah: 1.jika pewaris hanya meninggalkan 1 orang anak sah maka LPnya adalah setengah dari bagiannya menurut undangundang 2.jika meninggalkan dua orang anak sah, maka besarnya LP adalah dua pertiga dari bagian menurut undangundang dari kedua anak sah tersebut, sedangkan jika meninggalkan tiga orang anak sah atau lebih, maka besarnya LP adalah tiga perempat dari bagian para ahli waris tersebut menurut ketentuan undangundang. Dalam hal orang yang meninggal dunia meninggalkan tiga orang anak atau lebih, maka legitieme portie itu tiga perempat bagian dari apa yang sedianya akan diterima tiap anak pada pewarisan karena kematian. Dengan sebutan anak-anak dimaksudkan juga keturunan- keturunan mereka dalam derajat seberapapun tetapi mereka ini hanya dihitung sebagai pengganti anak yang mereka wakili dalam mewarisi warisan pewaris.
Pasal 916 KUHPerdata:
Legitieme portie dan anak yang lahir di luar perkawinan tetapi telah diakui dengan sah, ialah seperdua dari bagian yang oleh undang-undang sedianya diberikan kepada anak di luar kawin itu pada pewarisan karena kematian. Jadi dalam KUHPerdata pengertian legitieme portie adalah bagian-bagian yang sudah di tentukan undang- undang dalam pembagiannya. Dalam konsep pewarisan menurut hukum perdata barat (waris barat), yang dimaksud dengan “Anak Luar Kawin” yang berhak mendapatkan warisan dari pewaris adalah anak luar kawin yang diakui secara sah oleh pewaris. Anak luar kawin yang diakui secara sah oleh pewaris tersebut berhak atas warisan dari pewaris; sedangkan anak luar kawin yang tidak di akui, tidak termasuk dalam kategori “anak luar kawin” berdasarkan hukum waris barat.