Anda di halaman 1dari 14

REFERAT

SINDROM GUILLIAN BARRE

Disusun Oleh :

INTAN RAHMI NASYA

NIM : 1361050096

Pembimbing :

dr. Agus Yudawijaya, Sp.S

KEPANITERAAN KLINIK ILMU PENYAKIT SARAF

RSU UKI

PERIODE 22 JANUARI 2018 – 24 FEBRUARI 2018

FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN INDONESIA

JAKARTA

2018
BAB I
PENDAHULUAN

Sindroma Guillain Barre (SGB) merupakan suatu sindroma klinis


yang ditandai adanya paralisis flasid yang terjadi secara akut berhubungan dengan
proses autoimun dimana targetnya adalah saraf perifer, radiks, dan nervus
kranialis.
Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa
terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah.
Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan
dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry,
1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik
dengan gagal napas.
Penyakit ini terdapat di seluruh dunia pada setiap musim, menyerang
semua umur. Insidensi SGB bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus per 100.000
orang pertahun. SGB sering sekali berhubungan dengan infeksi akut non spesifik.
Insidensi kasus SGB yang berkaitan dengan infeksi ini sekitar antara 56% - 80%,
yaitu 1 sampai 4 minggu sebelum gejala neurologi timbul seperti infeksi saluran
pernafasan atas atau infeksi gastrointestinal. Kelainan ini juga dapat menyebabkan
kematian, pada 3 % pasien, yang disebabkan oleh gagal napas dan aritmia.
Gejala yang terjadinya biasanya hilang 3 minggu setelah gejala pertama
kali timbul. Sekitar 30 % penderita memiliki gejala sisa kelemahan setelah 3
tahun. Tiga persen pasien dengan SGB dapat mengalami relaps yang lebih ringan
beberapa tahun setelah onset pertama. Bila terjadi kekambuhan atau tidak ada
perbaikan pada akhir minggu IV maka termasuk Chronic Inflammantory
Demyelinating Polyradiculoneuropathy (CIDP). Sampai saat ini belum ada terapi
spesifik untuk SGB. Pengobatan secara simtomatis dan perawatan yang baik dapat
memperbaiki prognosisnya.

Belum diketahui angka kejadian penyakit ini di Indonesia. Insidens


Sindrom ini termasuk jarang kira-kira 1 orang dalam 100.000. SGB jarang terjadi
pada anak-anak, khususnya selama 2 tahun pertama kehidupan dan setelah umur
tersebut frekuensinya cenderung meningkat. Frekuensi puncak pada usia dewasa
muda. SGB tampil sebagai salah satu penyebab kelumpuhan yang utama di negara
maju atau berkembang seperti Indonesia.
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

1. DEFINISI
Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan
tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengan karekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnya progresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom,maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat
simetris dan ascenden, yang biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8
minggu setelah suatu infeksi akut.
 SGB merupakan Polineuropati pasca infeksi yang menyebabkan terjadinya
demielinisasi saraf motorik kadang juga mengenai saraf sensorik.
 SGB adalah polineuropati yang menyeluruh, dapat berlangsung akut atau
subakut, mungkin terjadi spontan atau sesudah suatu infeksi
SGB mempunyai banyak sinonim, antara lain :
 Polineuritis akut pasca infeksi
 Polineuritis akut toksik
 Polineuritis febril
 Poliradikulopati,dan
 Acute Ascending Paralysis

2. EPIDEMIOLOGI
Penyakit ini terjadi di seluruh dunia, kejadiannya pada semua musim.
Dowling dkk mendapatkan frekwensi tersering pada akhir musism panas dan
musim gugur dimana terjadi peningkatan kasus influenza. Pada penelitian Zhao
Baoxun didapatkan bahwa penyakit ini hampir terjadi pada setiap saat dari setiap
bulan dalam setahun, sekalipun demikian tampak bahwa 60% kasus terjadi antara
bulan Juli s/d Oktober yaitu pada akhir musim panas dan musim gugur.

Insidensi sindroma Guillain-Barre bervariasi antara 0.6 sampai 1.9 kasus


per 100.000 orang pertahun. Selama periode 42 tahun Central Medical Mayo
Clinic melakukan penelitian mendapatkan insidensi rate 1.7 per 100.000 orang.
Terjadi puncak insidensi antara usia 15-35 tahun dan antara 50-74 tahun. Jarang
mengenai usia dibawah 2 tahun. Usia termuda yang pernah dilaporkan adalah 3
bulan dan paling tua usia 95 tahun. Laki-laki dan wanita sama jumlahnya.
Dari pengelompokan ras didapatkan bahwa 83% penderita adalah kulit
putih, 7% kulit hitam, 5% Hispanic, 1% Asia dan 4% pada kelompok ras yang
tidak spesifik. Data di Indonesia mengenai gambaran epidemiologi belum banyak.
Penelitian Chandra menyebutkan bahwa insidensi terbanyak di Indonesia adalah
dekade I, II, III (dibawah usia 35 tahun) dengan jumlah penderita laki-laki dan
wanita hampir sama. Sedangkan penelitian di Bandung menyebutkan bahwa
perbandingan laki-laki dan wanita 3 : 1 dengan usia rata-rata 23,5 tahun. Insiden
tertinggi pada bulan April s/d Mei dimana terjadi pergantian musim hujan dan
kemarau.

3. KLASIFIKASI
1. Acute Motor-Sensory Axonal Neuropathy (AMSAN)
Sering muncul cepat dan mengalami paralisis yang berat dengan perbaikan
yang lambat dan buruk. Seperti tipe AMAN yang berhubungan dengan infeksi
saluran cerna C jejuni. Patologi yang ditemukan adalah degenerasi akson dari
serabut saraf sensorik dan motorik yang berat dengan sedikir demielinisasi.

2. Acute Motor-Axonal Neuropathy (AMAN)


Berhubungan dengan infeksi saluran cerna C jejuni dan titer antibody
gangliosid meningkat (seperti, GM1, GD1a, GD1b). Penderita tipe ini memiliki
gejala klinis motorik dan secara klinis khas untuk tipe demielinisasi dengan
asending dan paralysis simetris. AMAN dibedakan dengan hasil studi
elektrodiagnostik dimana didapatkan adanya aksonopati motorik. Pada biopsy
menunjukkan degenerasi ‘wallerian like’ tanpa inflamasi limfositik. Perbaikannya
cepat, disabilitas yang dialami penderita selama lebih kurang 1 tahun.

3. Miller Fisher Syndrome


Variasi dari SGB yang umum dan merupakan 5 % dari semua kasus SGB.
Sindroma ini terdiri dari ataksia, optalmoplegia dan arefleksia. Ataksia terlihat
pada gaya jalan dan pada batang tubuh dan jarang yang meliputi ekstremitas.
Motorik biasanya tidak terkena. Perbaikan sempurna terjadi dalam hitungan
minggu atau bulan
4. Chronic Inflammatory Demyelinative Polyneuropathy (CIDP)
CIDP memiliki gambaran klinik seperti AIDP, tetapi perkembangan gejala
neurologinya bersifat kronik. Pada sebagian anak, kelainan motorik lebih
dominant dan kelemahan otot lebih berat pada bagian distal.
5. Acute pandysautonomia
Tanpa sensorik dan motorik merupakan tipe SGB yang jarang terjadi.
Disfungsi dari sistem simpatis dan parasimparis yang berat mengakibatkan
terjadinya hipotensi postural, retensi saluran kemih dan saluran cerna, anhidrosis,
penurunan salvias dan lakrimasi dan abnormalitas dari pupil.

4. ETIOLOGI
Mikroorganisme penyebab belum pernah ditemukan pada penderita dan bukan
merupakan penyakit yang menular juga tidak diturunkan secara herediter.
Penyakit ini merupakan proses autoimun. Tetapi sekitar setengah dari seluruh
kasus terjadi setelah penyakit infeksi virus atau bakteri seperti dibawah ini :
 Infeksi virus : Citomegalovirus (CMV), Ebstein Barr Virus (EBV),
enterovirus, Human Immunodefficiency Virus (HIV).
 Infeksi bakteri : Campilobacter Jejuni, Mycoplasma Pneumonie.
 Pascah pembedahan dan Vaksinasi.
 50% dari seluruh kasus terjadi sekitar 1-3 minggu setelah terjadi penyakit
Infeksi Saluran Pernapasan Atas (ISPA) dan Infeksi Saluran Pencernaan.
Myelinated nerve Damaged (demyelinated) nerve
in healthy individual in individual
with Guillain-Barré syndrome

Myelin sheath

Damage to
myelin sheath
(demyelination)

Nerve axon

5. PATOGENESIS
Mekanisme bagaimana infeksi, vaksinasi, trauma, atau faktor lain yang
mempresipitasi terjadinya demielinisasi akut pada SGB masih belum diketahui
dengan pasti. Banyak ahli membuat kesimpulan bahwa kerusakan saraf yang
terjadi pada sindroma ini adalah melalui mekanisme imunlogi. Bukti-bukti bahwa
imunopatogenesa merupakan mekanisme yang menimbulkan jejas saraf tepi pada
sindroma ini adalah:

1. Didapatkannya antibodi atau adanya respon kekebalan seluler (cell mediated


immunity) terhadap agen infeksius pada saraf tepi.
2. Adanya auto antibodi terhadap sistem saraf tepi.
3. Didapatkannya penimbunan kompleks antigen antibodi dari peredaran pada
pembuluh darah saraf tepi yang menimbulkan proses demielinisasi saraf tepi
Proses demielinisasi saraf tepi pada SGB dipengaruhi oleh respon imunitas
seluler dan imunitas humoral yang dipicu oleh berbagai peristiwa sebelumnya.
Pada SGB, gangliosid merupakan target dari antibodi. Ikatan antibodi dalam
sistem imun tubuh mengaktivasi terjadinya kerusakan pada myelin. Alasan
mengapa komponen normal dari serabut mielin ini menjadi target dari sistem
imun belum diketahui, tetapi infeksi oleh virus dan bakteri diduga sebagai
penyebab adanya respon dari antibodi sistem imun tubuh. Hal ini didapatkan dari
adanya lapisan lipopolisakarida yang mirip dengan gangliosid dari tubuh manusia.
Campylobacter jejuni, bakteri patogen yang menyebabkan terjadinya diare,
mengandung protein membran yang merupakan tiruan dari gangliosid GM1. Pada
kasus infeksi oleh Campylobacter jejuni, kerusakan terutama terjadi pada
degenerasi akson. Perubahan pada akson ini menyebabkan adanya cross-reacting
antibodi ke bentuk gangliosid GM1 untuk merespon adanya epitop yang sama.
Berdasarkan adanya sinyal infeksi yang menginisisasi imunitas humoral maka sel-
T merespon dengan adanya infiltrasi limfosit ke spinal dan saraf perifer. Terbentuk
makrofag di daerah kerusakan dan menyebabkan adanya proses demielinisasi dan
hambatan penghantaran impuls saraf.
6. GEJALA KLINIS
 SGB hiperefleks
Biasanya ditemukan hiperefleksia atau arefleksia
 Pharyngeal-cervical-brachyal weakness
Kelemahan pada otot faring, leher dan ekstremitas akut yang disertai areflexia
 SGB paraparesis
Kelemahan motorik dengan hiporefleksia atau arefleksia akut hanya terjadi
pada ekstremitas bawah saja, sementara ekstremitas atas normal
 Kelemahan bifasial dengan parestesia
Gejala klinis khas kelemahan pada nervus fasialis bilateral akut tanpa disertai
oftalmoplegia dan kelemahan pada ekstremitas
 Oftalmoplegia/ptosis/midriasis akut
Gejala klinis SMF tanpa disertai ataksia
 Neuropati ataksia akut
Gejala klinis SMF dengan ataksia akut tanpa oftalmoplegia
 Bickerstaff’s Brainstem encephalitits
Gejala klinis trias SMF disertai dengan gangguan kesadaran dan
hipersomnolen.

7. PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Pemeriksaan LCS
Dari pemeriksaan LCS didapatkan adanya kenaikan kadar protein ( 1 – 1,5 g/dl
) tanpa diikuti kenaikan jumlah sel. Keadaan ini oleh Guillain (1961) disebut
sebagai disosiasi albumin sitologis. Pemeriksaan cairan cerebrospinal pada 48
jam pertama penyakit tidak memberikan hasil apapun juga. Kenaikan kadar
protein biasanya terjadi pada minggu pertama atau kedua. Kebanyakan
pemeriksaan LCS pada pasien akan menunjukkan jumlah sel yang kurang dari
10/mm3 (albuminocytologic dissociation).

2. Pemeriksaan EMG
Gambaran EMG pada awal penyakit masih dalam batas normal, kelumpuhan
terjadi pada minggu pertama dan puncaknya pada akhir minggu kedua dan
pada akhir minggu ke tiga mulai menunjukkan adanya perbaikan.
3. Pemeriksaan MRI
Pemeriksaan MRI akan memberikan hasil yang bermakna jika dilakukan kira-
kira pada hari ke-13 setelah timbulnya gejala. MRI akan memperlihatkan
gambaran cauda equina yang bertambah besar.

8. Tatalaksana

Guillian-Baree Syndrome Disability Score (GBS Disability Score)

0 = Sehat
1 = tanda dan gejala minimal serat mampu berlari
2 = mampu berjalan 10 meter atau lebih tanpa bantuan namun tidak
mampu berlari
3 = mampu berjalan 10 meter dengan bantuan tongkat lari
4 = aktivitas terbatas pada tempat tidur atau kursi roda
5 = Membutuhkan ventilator mekanik untuk bernafas
6 = kematian

1. Sistem pernapasan
Gagal nafas merupakan penyebab utama kematian pada penderita SGB.
Pengobatan lebih ditujukan pada tindakan suportif dan fisioterapi. Bila perlu
dilakukan tindakan trakeostomi, penggunaan alat Bantu pernapasan (ventilator)
bila vital capacity turun dibawah 50%.

2. Fisioterapi
Fisioterapi dada secara teratur untuk mencegah retensi sputum dan kolaps
paru. Gerakan pasif pada kaki yang lumpuh mencegah kekakuan sendi. Segera
setelah penyembuhan mulai (fase rekonvalesen), maka fisioterapi aktif dimulai
untuk melatih dan meningkatkan kekuatan otot.
3. Imunoterapi
Tujuan pengobatan SGB ini untuk mengurangi beratnya penyakit dan
mempercepat kesembuhan ditunjukan melalui system imunitas.
a. Plasma exchange therapy (PE)
Plasmaparesis atau plasma exchange bertujuan untuk mengeluarkan faktor
autoantibodi yang beredar. Pemakaian plasmaparesis pada SGB memperlihatkan
hasil yang baik, berupa perbaikan klinis yang lebih cepat, penggunaan alat bantu
nafas yang lebih sedikit, dan lama perawatan yang lebih pendek. Waktu yang
paling efektif untuk melakukan PE adalah 5 kali dalam 2 minggu setelah
munculnya gejala. Jumlah plasma yang dikeluarkan per exchange adalah 200-250
ml/kg dalam waktu 7-10 hari dilakukan empat sampai lima kali exchange.
b. Imunoglobulin IV
Intravenous inffusion of human Immunoglobulin (IVIg) dapat
menetralisasi autoantibodi patologis yang ada atau menekan produksi auto
antibodi tersebut. Pengobatan dengan gamma globulin intravena lebih
menguntungkan dibandingkan plasmaparesis karena efek samping/komplikasi
lebih ringan. Pemberian IVIg ini dilakukan dalam 2 minggu setelah gejala muncul
dengan dosis 2 g/ kgBB /hari selama 5 hari.
c. Kortikosteroid
Kebanyakan penelitian mengatakan bahwa penggunaan preparat steroid
tidak mempunyai nilai/tidak bermanfaat untuk terapi SGB.

9. DIAGNOSIS BANDING
 Poliomielitis
Pada poliomyelitis ditemukan kelumpuhan disertai demam, tidak ditemukan
gangguan sensorik, kelumpuhan yang tidak simetris, dan Cairan cerebrospinal
pada fase awal tidak normal dan didapatkan peningkatan jumlah sel.
 Myositis Akut
Pada miositis akut ditemukan kelumpuhan akut biasanya proksimal,
didapatkan kenaikan kadar CK (Creatine Kinase), dan pada Cairan
serebrospinal normal.
 Myastenia gravis (didapatkan infiltrate pada motor end plate, lelumpuhan
tidak bersifat ascending)

10. PROGNOSIS

Erasmus GBS Outcome Score (EGOS)

Adanya riwayat diare sebelumnya


Usia > 60 tahun
Nilai GBS disability score pada minggu kedua sejak onset

Semakin besar nilai EGOS dari penderita SGB, semakin kecil


kemungkinan penderita SGB dapat berjalan seperti biasa.
Pada umumnya penderita mempunyai prognosis yang baik, tetapi pada
sebagian kecil penderita dapat meninggal atau mempunyai gejala sisa. Penderita
SGB dapat sembuh sempurna (75-90%) atau sembuh dengan gejala sisa berupa
dropfoot atau tremor postural (25-36%). Penyembuhan dapat memakan waktu
beberapa minggu sampai beberapa tahun.

BAB III
KESIMPULAN

Guillain Barre syndrome ( GBS ) adalah suatu kelainan sistem kekebalan


tubuh manusia yang menyerang bagian dari susunan saraf tepi dirinya sendiri
dengankarekterisasi berupa kelemahan atau arefleksia dari saraf motorik yang
sifatnyaprogresif. Kelainan ini kadang kadang juga menyerang saraf sensoris,
otonom,maupun susunan saraf pusat. SGB merupakan Polineuropati akut, bersifat
simetris dan ascenden, yang,biasanya terjadi 1 – 3 minggu dan kadang sampai 8
minggu setelah suatu infeksi akut.
Pada Sindrom ini sering dijumpai adanya kelemahan yang cepat atau bisa
terjadi paralysis dari tungkai atas, tungkai bawah, otot-otot pernafasan dan wajah.
Sindrom ini dapat terjadi pada segala umur dan tidak bersifat herediter dan
dikenal sebagai Landry’s Paralisis ascending. Pertama dideskripsikan oleh Landry,
1859 menyebutnya sebagai suatu penyakit akut, ascending dan paralysis motorik
dengan gagal napas.
Gejala klinis SGB berupa kelemahan, gangguan saraf kranial, perubahan
sensorik, nyeri, perubahan otonom, gangguan pernafasan. Sampai saat ini belum
ada pengobatan spesifik untuk SGB, pengobatan terutama secara simptomatis.
Tujuan utama penatalaksanaan adalah mengurangi gejala, mengobati komplikasi,
mempercepat penyembuhan dan memperbaiki prognosisnya. Penderita pada
stadium awal perlu dirawat di rumah sakit untuk terus dilakukan observasi tanda-
tanda vital. Penderita dengan gejala berat harus segera di rawat di rumah sakit
untuk memdapatkan bantuan pernafasan, pengobatan dan fisioterapi
Pemeriksaan penunjang untuk Sindroma Guillain-Barre adalah pemeriksaan
LCS, EMG dan MRI. Penyakit ini memiliki prognosis yang baik. Komplikasi
yang dapat menyebabkan kematian adalah gagal nafas dan aritmia.

DAFTAR PUSTAKA

1. Arnason B.G.W. 1985. Inflammatory polyradiulopathy in Dick P.J. et al


Peripheral neuropathy. Philadelphia : WB. Sounders.
2. Asbury A.K. 1990. Gullain-Barre Syndrome : Historical aspects. Annals of
Neurology (27): S2-S6
3. Asbury A.K. and David R. Crnblath. 1990. Electrophysiology in Guillain-Barre
Syndrome. Annals of Neurology (27): S17
4. Bosch E.P.. 1998. Guillain-Barre Syndrome : an update of acute immuno-
mediated polyradiculoneuropathies. The Neurologist (4); 211-226
5. Chandra B. 1983. Pengobatan dengan cara baru dari sindroma gullain-barre.
Medika (11); 918-922
6. Guillain-Barre Syndrome, an overview for the Layperson, 9th ed. Guillain-
Barre Syndrome Foundation International 2000.
7. Hurwitz E.S. Guillain-Barre Syndrome and the 1978-1979 influenza vaccine.
The New England Med. (304); 1557-1561
8. Morariu M.A. 1979. major Neurological syndrome. Illinois : Charles C.
Thomas Publisher.
9. Parry G.J. 1993. Guillain-Barre Syndrome . New York : Theime Medical
Publisher
10. Van der Meche et all. 1992. A randomized trial comparing intravenous
globulin and plasma exchange injury Guillain-Barre Syndrome. The New
England Journal of Med. 326(April 23); 1123-1129
11. Van Doom P.A. and Van der Meche. 1990. Guillain-Barre Syndrome,
optimum management. Clin. Immunother. 2(2): 89-99
12. Visser L.H. et all. 1995. Guillain-Barre Syndrome without sensory loss (acute
motor neuropathy). A subgroup with specific clinical, electrodiagnostic and
laboratory features. Brain (118); 841-847

Anda mungkin juga menyukai