Referat SLE
Referat SLE
Disusun oleh :
Nur Sri Syazana Binti Rahim
112016194
Dokter Pembimbing:
BAB I
PENDAHULUAN
1
Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun dengan pembentukan
antibodi antinukleus (ANA), terutama terhadap double-stranded DNA (anti ds-DNA). Pada LES
terjadi proses inflamasi, vaskulitis, deposisi kompleks imun, serta vaskulopati yang luas, dengan
manifestasi klinis yang bersifat episodik dan multisystem.1,2
Insidens LES pada anak sebesar 10-20 kasus/100.000 anak dan sangat jarang terjadi
sebelum usia 5 tahun, sedangkan pada perempuan umumnya terjadi pada usia sesudah pubertas
dan sebelum menopause.1-4 Perbandingan jumlah pasien perempuan dan laki-laki antara 5-10:1.
Hal ini diduga karena hormon estrogen yang berlebih dan aktivitas androgen yang inadekuat
mengganggu respons imun.2 Penyakit LES lebih sering terjadi pada keluarga dengan riwayat
LES atau penyakit autoimun lainnya.5,6 Peran faktor genetik pada LES terletak pada gen dalam
major histocompatibility complex, haplotipe yang rentan adalah DRB1*08 dan DRB1*03.1,6
Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES merupakan interaksi
antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan lingkungan (sinar UVB, obat),. Diagnosis
LES pada anak ditegakkan dengan terpenuhinya paling sedikit 4 dari 11 kriteria klasifikasi yang
dibuat oleh American College of Rheumatology 1982, dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas
100%. Demam intermiten atau menetap, lelah, berat badan turun, dan anoreksia merupakan
gejala LES yang aktif. Kelainan dapat terjadi pada mukokutan (ruam malar, lesi diskoid,
aloplesia, ulserasi mukosa mulut/ nasal), muskuloskeletal (artralgia, artritis), ginjal (hematuria,
proteinuria, hipertensi), susunan saraf pusat/SSP (kejang, psikosis, halusinasi), jantung
(perikarditis), pare (pleuritic), sindrom, antifosfolipid (tromboemboli), vaskulitis, mata (mata
kering), dan gastrointestinal (mual, hepatitis).1,5
Pemantauan jangka panjang yang teratur terhadap aktivitas penyakit penting untuk
mencegah timbulnya penyulit. Lupus Activity Index, SLE Disease Activity Index, Systemic Lupus
Activity Measure, dan British Isles Lupus Assessment Group Activity Index merupakan skor untuk
menilai aktivitas LES, sedangkan Systemic Lupus Intel-national Collaborating Clinics Damage
Index untuk mengukur akumulasi kerusakan organ.1
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Definisi
2
Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang
ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.7
Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan
menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat
menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli
reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan
adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi
sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit
SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita,
peradangan akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE
dapat bervariasi, mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan
kecacatan, tergantung dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang
terlibat.8
2.2 Epidemiologi
Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,10
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi
SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan
pasien di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin
Bandung terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik
reumatologi selama tahun 2010.8
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi,
darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan
bahwa pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis
terbanyak berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati
27,9%, fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6%
3
sedangkan manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid
7,8 %, anemia hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.8
2.3 Etiologi
Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa
faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang
berperan dalam timbulnya penyakit SLE:
2.3.1 Genetik9
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga
timbul produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk
menderita SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar.
Sekitar 2-5% anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada
kembar monozigot, risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE
pada individu yang memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih
tinggi dibandingkan pada populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)
kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko
4
menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari
struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2.3.2 Imunologi10
Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal
tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
Kelainan intrinsic sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B
akan teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki
reseptor untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan
sel B juga akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan
produksi imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal
Kelainan antibodi
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan
2.3.3 Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen
yang tinggi. Perbandingan jumlah pasien perempuan dan laki-laki antara 5-10:1
tampaknya hormon estrogen yang berlebih dan aktivitas androgen yang inadekuat
mengganggu respons imun.10
2.3.4 Lingkungan10
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
Infeksi virus dan bakteri
5
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV),
bakteri Streptococcus dan Clebsiella
Paparan sinar ultraviolet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga
terapi menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau
bertambah berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin
dan prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara
sistemik melalui peredaran pembuluh darah.
Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak
ada gangguan sejak awal.
Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat
yang dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
2.4 Patogenesis
6
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekuler
Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk kompleks
imun. Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.11
Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang nuklear
endogen yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh sel yang
mengalami apoptosis kemudian akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T. Sel T
mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang mengaktivasi sel B
untuk memproduksi antibodi. Nukleosome endogen dapat berikatan dengan molekular
patogen reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran interferon α (IFN α) sehingga
memicu terjadinya inflamasi. Selain itu juga nucleosome dapat berikatan dengan reseptor
7
permukaan sel seperti BCR (B cell antigen reseptor) dan TLR (Toll like reseptor). Pada
pasien dengan SLE yang aktif terdapat peningkatan ekspresi TLR9.11
Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung menyerang
kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar RNA,
spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke permukaan sel
dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T
dan sel limfosit B pada LES ditandai dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan
CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun
yang terdeposisi di jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang
diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3)
pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi
jaringan.11
2.5 Patofisiologi
Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a) meningkatnya
serum antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b) terbentuknya kompleks imun
pada organ target yang menyebabkan kerusakan organ. Defek mekanisme regulasi imun
seperti klirens apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor pada LES. LES
ditandai dengan adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi
komplemen yang tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen dan faktor
lingkungan sehingga menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri
dari hiperaktivitas sel T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan
mekanisme downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal.12
Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa gangguan
klirens kompleks imun, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati dan penurun
8
uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dan terjadi fiksasi komplemen pada organ
tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal,
sendi, pleura, kulit dan sebagainya.12
Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat
timbul mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat
juga menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala
terkenanya sistem imun.
Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun.
Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit
dapat spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari,
infeksi virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.
1. Gejala konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling sering adalah
anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable. Gejala
dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus.
2. Gejala muskuloskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia (90%) dan
sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi
interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal,
siku dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya
simetris, terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif
terhadap terapi dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada
tangan dapat menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat.
Osteonecrosis umum terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan
kortikosteroid.
9
3. Gejala mukokutan
a) Lesi kulit akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi.
Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi
dari merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam
mungkin akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari.
Lesi-lesi tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga
berbentuk ruam yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini
dapat sembuh tanpa bekas.
b) Lesi discoid
Sebesar 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid
akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil
pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid adalah
ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang
menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri.
Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya
tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk
sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih
sering sebagai manifestasi dari LES daripada sebagai diskoid lupus erythematosis
(DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak
c) Livido retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat
menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga
tampak perdarahan dan eritema periungual
d) Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara
klinis dan serologis
4. Kelainan pada ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus
nefritis akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES.
Berdasarkan klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah:
a) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
10
b) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
c) Kelas III: focal lupus nephritis
d) Kelas IV: diffuse lupus nephritis
e) Kelas V: membranous lupus nephritis
f) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis
Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering ialah proteinuria
dan atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus
dan nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling
berat. Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal
sedang sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan
sindroma nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif
11
11. Susunan saraf pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan
kejang sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus
SSP ini membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi,
dan metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid.
Bila diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan. Gangguan
susunan saraf pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-
kejang. Penyakit otak organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif LES
pada sistem-sistem lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping
gejala khas kelainan organik otak. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe
grandmal. Kelainan lain yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis
transversal, hemiplegia, afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, defisit
kognitif global, myelitis transversa, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme
terjadinya kelainan susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang
peranan antara lain vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus
12. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-positif
anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia, dan leukopenia
13. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi
karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen
lokal
14. Kardiovaskuler
LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina pektoris, valvulitis,
vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa manifestasi lainnya
2.7 Diagnosis
Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology 1997
yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11
kriteria yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut:8
12
Tabel 1. Kriteria Diagnosis SLE8
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes
ANA negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan
13
manifestasi klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang
diperlukan.8
14
Tabel 2. Sindrom neuropsikiatrik pada SLE menurut ACR.8
15
2. Tentukan apakah proses penyakit tersebut bersifat sementara (hilang
timbul) atau tampaknya (secara epidemiologi) menimbulkan
kerusakan yang ireversibel.
3. Pasien SLE dengan manifestasi NP mayor (neuritis optikus, acute
confusional state/ koma, neuropati kranial atau perifer, psikosis dan
mielitis transverse/ mielopati) mungkin disebabkan oleh inflamasi,
pertimbangkan pemberian terapi imunosupresif.
16
Tabel 3. Klasifikasi Lupus Nefritis oleh WHO8
Bila biopsi tidak dapat dilakukan oleh karena berbagai hal, maka
klasifikasi lupus nefritis dapat dilakukan penilaian berdasarkan panduan
WHO. Pemeriksaan patologi memperlihatkan hubungan antara respon
klinis dan hasil akhir. Difus proliferatif glomerulonefritis (kelas IV)
mempunyai prognosis terburuk, 11-48% pasien akan mengalami gagal
ginjal dalam 5 tahun.
Pemeriksaan penepis lupus nefritis penting dilakukan karena gejala
sering tidak diketahui oleh pasien, misalnya terdapat hematuria,
proteinuria atau hipertensi. Pemeriksaan penepis dan pemantauan lupus
nephritis tersebut adalah pemeriksaan urin analisis, proteinuria, serum
kreatinin, serologi anti dsDNA dan C3.
Terdapat beberapa variabel klinis yang dapat mempengaruhi
prognosis. Faktor-faktor yang dapat mempengaruhi hasil akhir buruk
tersebut adalah ras hitam, azotemia, anemia, sindroma antiphospholipid,
gagal terhadap terapi imunosupresi awal, kambuh dengan fungsi ginjal
yang memburuk.
17
Semua pasien lupus nefritis seyogyanya menjalani biopsi ginjal
bila tidak terdapat kontra indikasi (trombositopeni berat, reaksi penolakan
terhadap komponen darah, koagulopati yang tidak dapat dikoreksi) dan
tersedianya dokter ahli dibidang biopsi ginjal, oleh karena terapi akan
sangat berbeda pada kelas histopatologi yang berbeda. Pengulangan biopsi
ginjal diperlukan pada pasien dengan perubahan gambar klinis dimana
terapi tambahan agresif diperlukan.
Pemantauan aktivitas ginjal melalui pemeriksaan urin rutin
terutama sedimen, kadar kreatinin, tekanan darah, albumin serum, C3
komplemen, anti-ds DNA, proteinuria dan bersihan kreatinin. Monitor
tergantung situasi klinis. Pada penyakit rapidly progressive
glomerulonephritis diperlukan pemeriksaan kreatinin serum harian, untuk
parameter lain diperlukan waktu 1 sampai 2 minggu untuk berubah.
Obati hipertensi seagresif mungkin. Target tekanan darah pada
pasien dengan riwayat glomerulonefritis adalah < 120/80 mmHg.
Beberapa obat antihipertensi banyak digunakan untuk pasien lupus, tetapi
pemilihan angiotensin-converting enzim (ACE) inhibitor lebih diutamakan
terutama untuk pasien dengan proteinuria menetap. Pemberian ACE
inhibitor saja atau dengan kombinasi. Diet rendah garam
direkomendasikan pada seluruh pasien hipertensi dengan lupus nefritis
aktif. Bila diperlukan loop diuretik dipakai untuk mengurangi edema dan
mengontrol hipertensi dengan monitor elektrolit yang baik.
Hiperkolesterolemia harus dikontrol untuk mengurangi risiko
premature aterosklerosis dan mencegah penurunan fungsi ginjal. Asupan
lemak juga harus dikurangi bila terdapat hiperlipidemia atau pasien
nefrotik. Target terapi menurut Guidelines American Heart Association
(AHA) adalah kolesterol serum < 180 mg/ dL, risiko kardiovaskular pada
pasien dengan SLE masih meningkat pada kolesterol serum 200 mg/dL.
Pasien lupus dengan hiperlipidemia yang menetap diobati dengan obat
penurun lemak seperti HMG Co-A reductase inhibitors.
Deteksi dini dan terapi agresif terhadap infeksi pada pasien lupus,
karena infeksi merupakan penyebab 20% kematian pada pasien SLE.
18
Pasien lupus yang mendapat kortikosteroid, diperlukan penilaian risiko
osteoporosis. Pemberian kalsium bila memakai kortikosteroid dalam dosis
lebih dari 7,5 mg/hari dan diberikan dalam jangka panjang (lebih dari 3
bulan). Suplemen vitamin D, latihan pembebanan yang ditoleransi, obat-
obatan seperti calcitonin bila terdapat gangguan ginjal, bisfosfonat
(kecuali terdapat kontraindikasi) atau rekombinan PTH perlu diberikan.
Memonitor toksisitas kortikosteroid, dan agen sitotoksik dengan
parameter tekanan darah, pemeriksaan darah lengkap, trombosit, kalium,
gula darah, kolesterol, fungsi hati, berat badan, kekuatan otot, fungsi
gonad, dan densitas massa tulang. Hal ini dimonitor sesuai dengan situasi
klinis dimana dapat diperkirakan dampak buruk dari kortikosteroid. Pasien
dianjurkan untuk menghindari obat antiin lamasi non steroid, karena dapat
mengganggu fungsi ginjal, mencetuskan edema dan hipertensi serta
meningkatkan risiko toksisitas gastrointestinal (apalagi bila dikombinasi
dengan kortikosteroid dan obat imunosupresan lainnya). Bila sangat
diperlukan, maka diberikan dengan dosis rendah dan dalam waktu singkat,
dengan pemantauan yang ketat.
Kehamilan pada pasien lupus nefritis aktif harus ditunda
mengingat risiko morbiditas dan mortalitas bagi ibu dan janin, termasuk
kejadian gagal ginjal juga meningkat.
Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia nomositer,
leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat, hiperglobulinemia dan bila
terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah. Biasanya kelainan faal hepar dan
penurunan komplemen serum juga ada. Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria,
merupakan gejala penting. Faktor rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa
untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk
menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES.
Berikut pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
LES:
19
1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)
2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan pemeriksaan
kreatinin darah
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)
4. PT dan aPTT
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE
6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)
Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium
yang serupa dengan LES yaitu:
2.10 Penatalaksanaan8
Baik untuk SLE ringan atau sedang dan berat, diperlukan gabungan strategi pengobatan
atau disebut pilar pengobatan. Pilar pengobatan SLE ini seyogyanya dilakukan secara
bersamaan dan berkesinambungan agar tujuan pengobatan tercapai. Perlu dilakukan
upaya pemantauan penyakit mulai dari dokter umum di perifer sampai ke tingkat dokter
konsultan, terutama ahli reumatologi. Pilar pengobatan LES termasuk edukasi dan
konseling, program rehabilitasi dan pengobatan medikamentosa.
1. Edukasi/ konseling
20
Pada dasarnya pasien SLE memerlukan informasi yang benar dan dukungan dari
sekitarnya dengan maksud agar dapat hidup mandiri. Perlu dijelaskan akan perjalanan
penyakit dan kompleksitasnya. Pasien memerlukan pengetahuan akan masalah
aktivitas fisik, mengurangi atau mencegah kekambuhan antara lain melindungi kulit
dari paparan sinar matahari (ultra violet) dengan memakai tabir surya, payung atau
topi; melakukan latihan secara teratur. Pasien harus memperhatikan bila mengalami
infeksi. Perlu pengaturan diet agar tidak kelebihan berat badan, osteoporosis atau
terjadi dislipidemia. Diperlukan informasi akan pengawasan berbagai fungsi organ,
baik berkaitan dengan aktivitas penyakit ataupun akibat pemakaian obat-obatan
2. Program rehabilitasi
Terdapat berbagai modalitas yang dapat diberikan pada pasien dengan SLE tergantung
maksud dan tujuan dari program ini. Salah satu hal penting adalah pemahaman akan
turunnya masa otot hingga 30% apabila pasien dengan SLE dibiarkan dalam kondisi
immobilitas selama lebih dari 2 minggu. Disamping itu penurunan kekuatan otot akan
terjadi sekitar 1-5% per hari dalam kondisi imobilitas. Berbagai latihan diperlukan
untuk mempertahankan kestabilan sendi. Modalitas fisik seperti pemberian panas atau
dingin diperlukan untuk mengurangi rasa nyeri, menghilangkan kekakuan atau
spasme otot. Demikian pula modalitas lainnya seperti transcutaneous electrical nerve
stimulation (TENS) memberikan manfaat yang cukup besar pada pasien dengan nyeri
atau kekakuan otot.
3. Terapi medikamentosa
a. Pengobatan LES ringan
Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa
mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,
sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400
mg/hari) dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
21
Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau
yang setara .
Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)
b. Pengobatan LES sedang
Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter:
20 mg / hari prednison atau yang setara.
c. Pengobatan LES berat atau mengancam nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum dibawah.
22
23
Tabel 5. Jenis dan Dosis Obat yang Dapat Dipakai pada SLE8
Kortikosteroid8
24
Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek
samping, kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti
inflamasi dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi
Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana
kasus rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif
tenang. Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat
tinggi dan terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada
vaskulitis luas, nephritis lupus, lupus cerebral.Efek samping kortikortikosteroid
tergantung kepada dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah
kortikortikosteroid, akan meminimalkan juga risiko efek samping.
25
sebagai sparing agen yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin,
siklofosfamid, metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan
tertentu seperti lupus nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia,
seringkali diberikan gabungan antara kortikortikosteroid dan imunosupresan
/sitotoksik karena memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dan mengurangi
efek samping KS8
26
b. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
c. Danazol pada trombositopenia refrakter.
d. Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect
pada SLE ringan.
e. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya.
f. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang
berat.
g. Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator
limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum
tersedia di Indonesia)
h. Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
i. Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.
2.11 Pencegahan
Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang sangat
dingin dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan adalah:14
27
2.12 Prognosis
Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata
melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah
sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan
Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian
yang berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara
dini, perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis
umum.8
BAB III
KESIMPULAN
DAFTAR PUSTAKA
1. Petty RE, Laxer RM. Systemic Lupus Erythematosus. Dalam : Cassidy JT, Petty RE,
penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2005.h.342-91.
2. Tucker LB. Making the diagnosis of systemic erythematosus in children and adolescent.
Lupus 2007,16:546-9.
3. Font J, Cervera R, Espinosa G. Systemic lupus erythematosus (SLE) in childhood:
analysis of clinical and immunological findings in 34 patients and comparison with SLE
characteristics in adults. Ann Rheum Dis 1998;57:456-9.
4. Schriber L, Neill SO. Systemic lupus erythematosus : an overview for GPs. Medical
Progress 2005, 557-62.
5. Sestak AL, O'Neil KM. Familial lupus and antiphospholipid syndrome. Lupus
2007:16;556-63.
29
6. Ramoya AS, Finholt C, Lilleby V. Systemic lupus erythematosus and the extended major
histocompatibility complex-evidence for several predisposing loci. Rheumatology
2005:44;1368-73.
7. Waluyo S, Putra MB. 100 question & answers lupus. Jakarta: Gramedia, 2012: 1-57
8. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus
sistemik: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011: 1-9
9. Wallace DJ. The lupus book, panduan lengkap bagi penderita lupus dan keluarganya. Alih
bahasa. Wiratama C. Yogyakarta: B – First, 2007: 1-170
10. Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Arwin
AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi – imunologi anak. Edisi ke-2.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2007.h.346-73.
11. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical features. Eular
textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
12. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper D.L,
Hauser S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi
18. United States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H 2724-35.
13. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders, Philadelphia.
2003. p810-813.
14. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5th edition. 2005. h 384-7.
30