Anda di halaman 1dari 17

Jurnal Reading

Infeksi Virus Campak pada Anak yang Divaksinasi dan yang


Tidak Divaksinasi di Nigeria

Oleh :

Arifin Nur Setiawan G99162010/N12


Salma Romnalia Ashshofa G99171040/N14

Pembimbing :
dr. Husnia Auliyatul U, Sp.A, M.Kes

KEPANITERAAN KLINIK ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNS / RSUD Dr. MOEWARDI
SURAKARTA
2017
I. REVIEW JURNAL

Infeksi Virus Campak pada Anak yang divaksinasi dan yang Tidak Divaksinasi di
Nigeria
Adedayo O. Faneye, Johnson A. Adeniji, Babatunde A. Olusola, Babatunde O. Motayo,
dan Grace B. Akintunde

Abstrak
Latar belakang: Penelitian ini menyelidiki infeksi campak pada anak yang divaksinasi
dan yang tidak divaksinasi dengan gejala demam dan ruam makulopapular selama wabah
campak di bagian selatan dan barat Nigeria. Campak, sebuah penyakit akut yang
disebabkan virus dari famili Paramyxoviridae, yang mana dapat dicegah dengan vaksin.
Wabah campak biasa terjadi di Nigeria, meskipun telah masuk dalam program imunisasi
nasional. Anak-anak dengan gejala infeksi campak di rumah sakit umum dan puskesmas
pada bagian selatan dan barat Nigeria akan dimasukkan dalam penelitian ini. Riwayat
vaksinasi, catatan kesehatan, dan 5mL darah akan diambil dari anak-anak tersebut.
Sampel serum diskrining untuk antibodi imunoglobulin M (IgM) spesifik virus campak.

Temuan: Dari 234 anak-anak yang diuji (124 [53.2%] perempuan), 133 anak (56.8%)
sebelumnya telah divaksinasi virus campak, sementara 93 anak (39.7%) belum
mendapatkan vaksin. Informasi vaksin dari 8 anak tidak dapat diperoleh. 143 anak
(62.4%) memiliki IgM campak. Dari jumlah tersebut, 79 anak (55.3%) telah
mendapatkan vaksin campak, sementara 65 anak (44.7%) belum.

Simpulan: Meskipun program vaksinasi telah berlangsung di Nigeria, infeksi campak


pada anak-anak masih dalam jumlah yang besar. Oleh karena itu, penyebab rendahnya
tingkat perlindungan vaksin perlu dicari.

1
Latar belakang
Anak-anak divaksinasi campak pada usia 9 bulan di Nigeria dan hal ini
mengurangi nilai morbiditas dan kematian karena infeksi campak secara tajam (1). Meski
demikian, Nigeria masih berada di peringkat teratas negara dengan endemik dan angka
kasus campak di Sub Sahara Afrika (20). Pada 2008, 9.960 kasus campak dilaporkan
sebagai nilai kedua terbanyak setelah kejadian tahun 2011 dengan 18.843 kasus (14).
Meskipun terdapat program eliminasi infeksi campak yang diawali Expanded Program
on Immunization (EPI) pada 1989 di Nigeria, beberapa faktor menghambat keberhasilan
dari program tersebut. Diantara faktor - faktor tersebut adalah ketidakmampuan negara
untuk mencapai dan menopang nilai cakupan vaksin yang tinggi di setiap negara bagian,
sehingga meninggalkan sejumlah anak yang rentan akan infeksi (21,22). Selain itu
terdapat pertanyaan akan potensi dari vaksin itu sendiri, kemampuannya untuk
mempertahankan kekebalan, dan kebutuhan dosis kedua selain dari vaksinasi tambahan
dan kejar (15). Di samping kepentingan politik dan keuangan akan pemberantasan
campak, kemungkinan kejadian campak pada anak-anak sebelum jadwal imunisasi 9
bulan karena berkurangnya antibodi ibu pada bayi sebelum usia dari 6 bulan juga menjadi
tantangan. Begitu pula fakta bahwa banyak anak yang tervaksinasi masih dapat terinfeksi
campak juga menjadi perhatian.
Infeksi campak merupakan infeksi virus akut yang sangat menular dan disebabkan
virus campak (15). Virus ini adalah virus RNA berantai, terbungkus, single-stranded
dengan enam protein struktural yang teridentifikasi; tiga protein kompleks dengan virus
RNA-yaitu, nukleoprotein (N), polimerase (P), dan protein besar (L) - dan tiga protein
dalam protein envelope- hemaglutinin (H), matriks (M), dan fusi (F) (15). Semua protein
ini bersifat antigenik dan mampu merangsang respon antibodi. Sampai diperkenalkannya
vaksin virus yang dilemahkan pada awal 1960-an, campak merupakan epidemi di seluruh
dunia dengan lebih dari 130 juta kasus terjadi setiap tahunnya (4). Infeksi campak juga
menyebabkan kematian, tuli, kebutaan, dan kerusakan otak di antara anak-anak di bawah
5 tahun di seluruh dunia (6). Dengan adanya vaksin, jumlah kasus campak telah
berkurang secara global, dengan penurunan sejumlah 78% infeksi campak pada tahun
2000-2012 (14). Terlepas dari keberhasilan ini, diperkirakan ada sekitar 122.000
kematian akibat campak pada tahun 2012, sebagian besar terjadi pada negara
berkembang, terutama Afrika dan Asia Tenggara (10). Di negara-negara tersebut,
kejadian infeksi adalah salah satu alasan utama dari pencegahan morbiditas dan

2
mortalitas pada anak-anak melalui vaksin. Sekitar 370.500 kematian akibat campak pada
tahun 2011, dengan 87% di antaranya terjadi di Afrika dan Asia Tenggara (10).
Ada beberapa laporan di bagian utara dan selatan Nigeria mengenai prevalensi
dan insidensi infeksi campak, terutama selama wabah. Namun, informasi tersebut
terbatas akan status vaksinasi dari anak yang terinfeksi dan tingkat keparahannya.
Dengan demikian, penelitian ini mencari infeksi campak dengan tingkat keparahannya
pada anak yang divaksinasi dan tidak divaksinasi pada Januari 2011 hingga Desember
2012 di negara bagian selatan Nigeria.

Metode
Desain penelitian dan definisi kasus
Penelitian ini merupakan penelitian cross-sectional investigatif. Anak-anak
dengan gejala demam dan ruam, batuk, atau kemerahan pada mata dimasukkan sebagai
objek penelitian. Anak-anak dicek antibodi HIV dan bila hasilnya seropositif akan
dikeluarkan dari penelitian ini. Kasus dikelompokkan menjadi tingkat parah dan ringan.
Kasus infeksi campak yang parah mencakup kasus pneumonia, ensefalitis, diare berat,
dan dehidrasi terkait, berdasarkan pedoman World Health Organization (WHO) (16).

Studi populasi
Dua ratus tiga puluh empat anak berusia 10 tahun atau lebih muda dengan gejala
infeksi campak (demam, ruam makulopapular dengan atau tanpa batuk) di rumah sakit
umum dan fasilitas kesehatan di bagian selatan dan barat Nigeria dijadikan sampel dalam
penelitian ini. Persetujuan diberikan pada pengasuh anak atau orangtua pasien.

Koleksi sampel
Sekitar 2 mL darah dikumpulkan dari setiap anak melalui venipuncture ke dalam
botol berlabel, steril, dan mengandung anti koagulan. Kuesioner semi terstruktur, rincian
demografis seperti riwayat imunisasi pada anak juga dicatat. Informasi tentang tingkat
keparahan infeksi juga didapat dari catatan kasus rawat inap anak-anak.

3
Analisis laboratorium
Darah yang dikumpulkan dikirim ke laboratorium dalam kotak dingin dengan
kantong es. Sementara di laboratorium, plasma dari darah dipisahkan dengan sentrifugasi
pada 500 g selama 5 menit dan disimpan dalam kriovial steril pada suhu -20°C hingga
penggunaan kembali. Plasma ini kemudian diuji dengan IgM antibodi campak melalui
campak IgM enzyme-linked immunosorbent assay test kit (DIA PRO ™; Diagnostic
Bioprobes, Milan, Italia), menurut petunjuk, dengan masing-masing nilai kontrol.
Kepadatan sumur ELISA juga dibaca melalui pembaca ELISA (BioTek Instruments, Inc.,
Winooski, VT). Hasil dihitung sesuai petunjuk. Sampel dengan hasil yang samar-samar
diuji ulang dan jika masih samar-samar dianggap sebagai negatif.

Analisis statistik
Data yang diperoleh dikelompokkan dan ditabulasikan. Variabel diuji
menggunakan uji chi-square. Tingkat signifikansi ditetapkan dengan p < 0,05 untuk
semua analisis. SPSS for Windows v12.0 (SPSS, Inc., Chicago, IL) digunakan untuk
analisis.

Hasil
Sebanyak 234 anak (109 laki-laki) menjadi sampel dalam penelitian ini. Usia
anak-anak berkisar antara 5 bulan sampai 10 tahun dengan usia rata-rata 2,45 tahun (SD
= 0,976 tahun). Seratus tiga puluh tiga (56,8%) anak-anak memiliki riwayat vaksinasi,
sementara 93 (39,7%) anak-anak belum divaksinasi. Informasi vaksin untuk delapan
(3,4%) anak tidak dapat diperoleh. Tabel 1 menunjukkan karakteristik penelitian populasi
ini.
Dari 234 anak yang diuji IgM campak, 146 (62,4%) dinyatakan positif terhadap
antibodi IgM campak, sementara 88 (37,6%) negatif. Dari 146 anak yang dinyatakan
positif, 66 (45,2%) adalah laki-laki.
Anak-anak dalam kelompok usia 1-3 tahun memiliki tingkat positif tertinggi
terhadap antibodi campak (26,4%), diikuti oleh mereka yang berusia 3-5 tahun (13,4%),
dan yang terakhir berusia 0-1 tahun (10,4%). Laki-laki dan perempuan memiliki tingkat
positif yang sama di semua kelompok umur: laki-laki 59,6% (n = 65) dan perempuan

4
64,8% (n = 79). Dengan demikian, tidak ada perbedaan yang signifikan dalam prevalensi
campak pada anak laki-laki dan perempuan (p = 0,467).

Tabel 1. Karakter Populasi Penelitian


Karakter Frekuensi (%)
<1 38 (16.4)
> 1–3 94 (40.5)
> 3–5 57 (24.6)
>5 43 (18.5)
Tidak tahu 2 (0.9)
Total 234 (100)
Mean (SD) = 2.62 (1.008)
Jenis Kelamin:
Laki-laki 109 (46.6)
Perempuan 125 (53.4)
Total 234 (100)
Riwayat Vaksinasi:
Tervaksinasi 133 (56.8)
Belum Tervaksinasi 93 (39.7)
Tidak tahu 8 (3.4)
Total 234 (100)
Keparahan infeksi:
Ringan 155 (66.2)
Berat 79 (33.8)
Total 234 (100)

Tabel 2. Distribusi Tingkat Keparahan dan Riwayat Vaksinasi Campak pada Anak-
anak yang Terinfeksi Campak
Tingkat Keparahan Vaksinasi
Riwayat Ringan (%) Berat (%) Total (%)
Tervaksinasi 53 (37.1) 25 (17.5) 78 (54.5)
Belum Vaksin 24 (16.8) 41 (28.7) 65 (45.5)
Total 77 (53.8) 66 (46.2) 143 (100)
p < 0.001; Hal ini mewakili nilai signifikan statistik antara tingkat keparahan penyakit dengan
riwayat vaksinasi

Tabel 2 menunjukkan tingkat keparahan infeksi campak di antara anak-anak yang


divaksinasi dan tidak divaksinasi dalam populasi tersebut. Dari keseluruhan, 78 (54,5%)
telah memiliki antibodi IgM campak melalui vaksinasi, sementara 65 (45,5%) belum
divaksinasi. Selain itu, 44,1% anak yang tidak divaksinasi dengan antibodi IgM positif
campak memiliki tingkat keparahan infeksi yang lebih parah dibandingkan dengan 18,9%
anak yang telah divaksinasi. Tabel 3 dan 4 menunjukkan tingkat keparahan infeksi
campak kaitannya dengan jenis kelamin dan usia.
Negara bagian Ogun dan Lagos memiliki populasi anak-anak paling banyak yang
diuji dalam penelitian ini dengan nilai positif IgM campak. Gambar 1 menunjukkan
distribusi infeksi campak di seluruh negara bagian di Nigeria selatan. Tingkat prevalensi
tertinggi tercatat di negara bagian Ogun, dengan 87% (n = 29). Tingkat prevalensi

5
terendah tercatat di negara bagian Ekiti, dengan 28,6% (n = 2). Tingkat prevalensi yang
lebih tinggi tercatat di negara bagian selatan dan tenggara, dengan nilai > 60%.

Tabel 3. Tingkat Keparahan Infeksi Berdasarkan Jenis Kelamin dan Status Vaksinasi

Tervaksinasi Belum Tervaksinasi

Sex
Ringan Berat Total Ringan Berat Total p-Value

Laki-laki 23 (29.5%) 14 (17.9%) 37 (47.4%) 10 (15.6%) 16 (25%) 26 (40.6%) 0.064

Perempuan 30 (38.5%) 11 (14.1%) 41 (52.6%) 14 (21.9%) 24 (37.5%) 38 (59.4%) 0.01

Tabel 4. Tingkat Keparahan di Seluruh Kelompok Umur dengan Status Vaksinasi


Sudah divaksinasi Belum divaksinasi

Rentang umur Ringan Parah Total Ringan Parah Total Nilai-p


<1 8 (10.5%) 3 (3.9%) 11 (14.5%) 4 (6.5%) 9 (14.5%) 13 (21%) 0.04
> 1–3 21 (27.6%) 13 (17.1%) 34 (44.7%) 9 (14.5%) 12 (19.4%) 21 (33.9%) 0.13
> 3–5 11 (14.5%) 3 (3.9%) 14 (18.4%) 6 (9.7%) 10 (16.1%) 16 (25.8%) 0.024
>5 11 (14.5%) 6 (7.9%) 17 (22.4%) 5 (8.1%) 7 (11.3%) 12 (19.4%) 1.0

Gambar 1. Distribusi Infeksi Virus Campak di Berbagai Negara Bagian di Nigeria


Selatan.

Diskusi
Penelitian ini menyelidiki infeksi campak pada anak yang sudah divaksin dan
belum divaksin dengan gejala demam dan ruam makulopapular di Nigeria menggunakan
deteksi spesifik IgM campak melalui uji ELISA. Deteksi dari IgM campak tetap menjadi
baku standar dalam mendiagnosis campak, seperti yang direkomendasikan oleh WHO
(16).

6
Hal yang penting bahwa total sampel yang dikumpulkan mungkin tidak
memberikan gambaran asli dari infeksi ruam makulopapular yang terjadi dalam periode
ini, karena banyak infeksi ruam yang tidak dilaporkan di beberapa negara bagian dan
hanya mereka yang menunjukan ruam di rumah sakit umum dan dasilitas kesehatan yang
diambil untuk penelitian ini meskipun jumlah sampel yang diambil memberikan
gambaran dari infeksi campak yang sedang terjadi pada komunitas ini. Tingginya
prevalensi dari infeksi campak dewasa ini (62,4%) yang tercatat dalam penelitian ini
menguatkan fakta bahwa beban penyakit di negara ini masih sangat tinggi (9,13,20).
Vaksin campak di Nigeria adalah bagian dari EPI yang mana dikampanyekan vaksinasi
rutin yang diberikan kepada anak-anak pada usia 9 bulan khususnya vaksin campak.
Kampanye vaksinasi campak tambahan juga diselenggarakan oleh Kementerian
Kesehatan menggunakan kerangka kerja program surveillans polio yang ada. Dalam
kampanye ini, anak-anak divaksinasi di rumah, sekolah, dan lembaga sosial lainnya.
Meskipun demikian, penyebab lain dari infeksi ruam pada anak-anak antara lain seperti
virus rubella, virus dengue, parvovirus B19, dan herpesvirus 6, perlu diselidiki (5,16,23).
Banyak anak (54,5%) yang mendapat tes positif terhadap spesifik IgM campak
telah menerima setidaknya satu dosis vaksinasi campak. Di Nigeria, vaksin campak yang
digunakan adalah strain Edmonston-Zagreb; yang diimpor dalam bentuk terliofilisasi, dan
dibentuk kembali tepat sebelum vaksinasi. Setelah direkonstruksi, vaksin disimpan pada
suhu 4°C dan diberikan dalam satu hari pemulihan. Infeksi campak di antara anak yang
sudah divaksinasi sebelumnya dikaitkan dengan kegagalan vaksin. Tidak dapat diketahui
dari penelitian ini apakah penyebab utama kegagalan vaksin ini berupa primer atau
sekunder, karena tidak ada data mengenai status serokonversi anak setelah divaksinasi.
Penyebab kegagalan vaksin primer bisa gagal karena sistem rantai dingin, dosis virus
yang tidak memadai, atau faktor imun inang seperti persistensi kekebalan ibu (2,9).
Status gizi anak-anak serta adanya penyakit lain antara lain seperti malaria dan HIV,
dapat menyebabkan kegagalan vaksin sekunder. Endemik malaria di Nigeria dan infeksi
diketahui berinteraksi dengan vaksin EPI. Terapi dengan obat yang berinteraksi dengan
vaksin campak juga bisa menyebabkan kegagalan vaksin (22). Oleh karena itu,
diperlukan penelitian lebih lanjut tentang interaksi antara pengobatan HIV dan vaksinasi
campak di negara ini. Semua interaksi ini dapat meningkatkan kemungkinan kegagalan
vaksin, sehingga mengurangi kekebalan dan meningkatkan kejadian endemi campak di
negara ini.

7
Distribusi jenis kelamin tidak signifikan (p = 0,497), walaupun persentase anak
perempuan yang lebih tinggi (64,8%) dibandingkan dengan laki-laki (56,9%). Hal ini
sejalan dengan laporan sebelumnya dimana hubungan yang signifikan ditemukan di
antara anak perempuan yang memiliki tingkat infeksi lebih tinggi dibandingkan dengan
laki-laki (3,7).
Tingkat infeksi campak meningkat di seluruh kelompok usia sampai usia 5
tahun, setelah itu terjadi penurunan tajam jumlah anak yang terinfeksi. Hal ini sesuai
dengan temuan lain di Afrika bahwa infeksi campak terutama mempengaruhi anak-
anak di bawah usia 5 tahun (3,5,11,13,14,17). Pada kelompok usia ini, anak-anak
memiliki kemungkinan terkena virus karena sifat endemik virus di belahan dunia ini.
Pada anak-anak yang berusia lebih dari 5 tahun, sudah memiliki kekebalan yang baik
pada hampir semua anak sehingga membuat anak berusia di bawah 5 tahun menjadi
sasaran populasi infeksi campak karena kekebalan yang masih kurang (15). Juga
dicatat bahwa kelompok usia 1-3 tahun memiliki tingkat positif tertinggi. Hal ini bisa
dikarenakan kebanyakan anak mulai dititipkan di tempat penitipan anak dan anak
tersebut bermain bersama sehingga terpapar infeksi. Jumlah anak yang kurang dari 9
bulan, yang merupakan usia vaksinasi campak, didapatkan terinfeksi campak
(10,4%) dalam penelitian ini. Hal ini mungkin dikarenakan berkurangnya antibodi
ibu. Kliring awal antibodi maternal bisa terjadi karena banyak ibu menyusui di
Nigeria yang saat ini terlindungi dari infeksi campak karena sudah tervaksinasi
dibandingkan dengan riwayat infeksi alami. Vaksinasi tidak diketahui memberikan
efek seumur hidup (12). Oleh karena itu, kemungkinan antibodi yang didapat secara
maternal akan berkurang lebih cepat dibandingkan dengan yang dilindungi melalui
infeksi alami. Karena infeksi itu endemik di Nigeria, vaksinasi lebih awal dari 9
bulan mungkin tidak banyak bedanya, karena anak-anak cenderung terkena virus
segera setelah vaksinasi.
Distribusi di seluruh negara bagian (Gambar 1) menunjukkan distribusi
infeksi virus campak yang lebih tinggi di negara bagian tenggara dan selatan.
Misalnya, Enugu, Cross River, dan Ebonyi mencatat tingkat prevalensi> 70%,
sedangkan negara Ogun di barat daya Nigeria adalah satu-satunya negara dengan
tingkat> 60% (Tabel 4). Pengamatan ini tidak dilakukan secara independen, namun
mungkin dapat lebih baik bila dilakukan dengan metode kontrol dan pencegahan
yang lebih agresif oleh otoritas kesehatan pemerintah negara bagian barat daya.

8
Penelitian ini juga menyelidiki tentang tingkat keparahan infeksi campak pada
anak yang divaksinasi dan tidak divaksinasi. Infeksi tanpa komplikasi tergolong
ringan, sementara yang mengalami komplikasi seperti pneumonia, ensefalitis, diare
berat, dan dehidrasi terkait termasuk dalam golongan parah. Dapat diamati bahwa
infeksi lebih parah (p = 0,01) pada anak yang tidak divaksinasi. Secara keseluruhan,
tidak ada perbedaan yang signifikan dalam tingkat keparahan infeksi campak pada
jenis kelamin (p> 0,05). Namun bila status vaksinasi mereka dikaitkan dengan
tingkat keparahan infeksi mereka maka anak perempuan yang tidak divaksinasi
memiliki komplikasi yang lebih parah (p = 0,01) dibandingkan dengan anak laki-laki
yang tidak divaksinasi (p = 0,064). Secara keseluruhan, tidak ada perbedaan
signifikan dalam tingkat keparahan infeksi pada kelompok umur. Ketika status
vaksinasi anak-anak dikaitkan dengan tingkat keparahan infeksi mereka maka anak-
anak yang tidak divaksinasi pada kelompok usia 0-1 tahun dan 3-5 tahun memiliki
infeksi yang lebih parah (p = 0,041 dan 0,024; table 4).
Telah dilaporkan bahwa vaksinasi campak mungkin tidak mencegah
perkembangan gejala dari virus campak wild type, namun penelitian ini telah
menunjukkan bahwa vaksinasi melindungi anak-anak, terutama di daerah endemik,
dari infeksi campak sehingga mengurangi kemungkinan kematian terkait campak
(8,17-20). Meskipun penelitian melaporkan rendahnya kekebalan antibodi pada
populasi sasaran setelah vaksinasi di Nigeria, laporan ini mungkin tidak memberikan
gambaran sebenarnya tentang memori kekebalan dan kesiapan setelah infeksi, karena
hanya antibodi HA yang diukur (4,24). Peran protektif antibodi lain dan respon
kekebalan yang dimediasi oleh sel terhadap infeksi campak perlu dipertimbangkan
saat mengukur efikasi vaksin, terutama di negara seperti Nigeria dimana infeksi lain
cenderung hadir pada saat vaksinasi.

Kesimpulan
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa beban infeksi campak masih tinggi
di antara anak-anak yang divaksinasi dan tidak divaksinasi di Nigeria, walaupun infeksi
pada anak yang divaksinasi tidak separah pada anak-anak yang tidak divaksinasi.
Keterbatasan dari penelitian ini adalah kemampuan untuk menentukan titer netralisasi
sampel penelitian, karena ini akan memberi lebih banyak cahaya pada titer rata-rata
geometris pada anak-anak dengan campak positif yang divaksinasi dan tidak divaksinasi.

9
Namun, secara kualitatif IgM campak melalui ELISA digunakan untuk mendeteksi
infeksi, sebagaimana ditetapkan dalam protokol WHO. Meskipun titer serupa di antara
anak-anak yang divaksinasi dan tidak divaksinasi tidak mengubah fakta bahwa anak yang
divaksinasi dapat terinfeksi dan sama sekali tidak menentukan tingkat keparahan infeksi.
Pengembangan kerangka kerja berkelanjutan untuk mencapai cakupan vaksinasi yang
tinggi di kalangan anak-anak yang berusia di bawah 5 tahun di negara ini
direkomendasikan. Imunisasi tambahan di antara kelompok sasaran selama wabah serta
jadwal vaksinasi rutin kedua juga dianjurkan.

Daftar Pustaka

1. Aaby P, Bukh J, Leerhoy J, et al. Vaccinated children get milder measles


infection: a community study from Guinea- Bissau. J Infect Dis 1986;154:858–
863.

2. Aylward RB, Clements J, and Olive´ JM. The impact of im- munization control
activities on measles outbreaks in middle and low income countries. Int J
Epidemiol 1987;26:662–669.

3. Crawley J, Sismanidis C, Goodman T, et al. Effect of inter- mittent preventive


treatment for malaria during infancy on serological responses to measles and
other vaccines used in the Expanded Programme on Immunization: results from
five randomised controlled trials. Lancet 2012;380:1001–1010.

4. Davidkin I, Jokinen S, Broman M, et al. Persistence of mea- sles, mumps, and


rubella antibodies in an MMR-vaccinated cohort: a 20-year follow-up. J Infect
Dis 2008;197:950–956.

5. Dossetor J, Whittle HC, and Greenwood BM. Persistent measles infection in


malnourished children. Br Med J 1977; 1:1633–1635.

6. Isa MB, Martinez L, Passegi C, et al. Comparism of im- munoglobulin sub class
profiles induced by measles virus in vaccinated and naturally infected individuals.
Clin Diagn Lab Immunol 2002;9:693–697.

7. Magalha˜es Ide M, Martins RV, Vianna RO, et al. Detection of human herpesvirus
7 infection in young children pre- senting with exanthema subitum. Mem Inst
Oswaldo Cruz 2011;106:371–373.

8. Kremer JR, Nkwembe E, Bola Oyefolu AO, et al. Measles virus strain diversity,
Nigeria and Democratic Republic of the Congo. Emerg Infect Dis 2010;16:1724–
1730.

9. Yermolvich MA, Hubschen JM, Semeiko GV, et al. Human parvovirus B19
surveillance in patients with rash and fever from Belarus. J Med Virol
2012;84:973–978.

10
10. Mohammed A, Nguku P, Abanida E, Sabitu K. Evaluation of measles case-based
surveillance system in Nigeria, 2010. Available at
http://ecdc.europa.eu/en/ESCAIDE/Materials/
Presentations/ESCAIDE2011_Session_9_5_Mohammed.pdf.

11. Moss WJ. Measles control and the prospect of erradication. Curr Top Microbiol
Immunol 2009;330:173–189.

12. Onoja Bernard A, and Adeniji Johnson A. Kinetics of measles antibody by


hemagglutination inhibition assay in children in south-west and north-central
Nigeria. Int J In- fect Dis 2013;17:e552–e555.

13. Ogundiji OT, Okonko IO, and Adu FD. Determination of measles
hemagglutination inhibiting antibody levels among school children. J
Immunoassay Immunochem 2013;34:208– 217.

14. Pomerai KW, Mudyiradima RF, and Gombe NT. Measles outbreak investigation
in Zaka, Masvingo. BMC Res Notes 2012;5:1.

15. Onoja AB, Adeniji AJ, and Faneye A. Measles complica- tions in a Nigerian
hospital setting. Clin Rev Opin 2013; 5:18–23.

16. World Health Organization. Surveillance Guidelines for Measles, Rubella and
Congenital Rubella Syndrome in the WHO European Region, 2009. WHO
reference no:EUR/ 08/5082738. Available at www.who.int/immunization/
documents/measles_rubella_eur_08_5082738/en/

17. Siennicka J, Stefanoff P, Rogalska J, et al. Etiology of rash among measles


suspected cases reported in 2006–2007 in Poland. Przegl Epidemiol 2011;65:39–
44.

18. Ushile BA, Fyeun OA, and Ugal DB. Trends and patterns of under 5
vaccinations in Nigeria, 1990–2008. What manner of progress. Child Care
Health Dev 2014;40:267–274.

19. Sheppeard V, Forssman B, Ferson MJ, et al. Vaccine fail- ures and vaccine
effectiveness in children during measles outbreaks in New South Wales, March–
May 2006. Com- mun Dis Intell Q Rep 2009;33:21–26.

20. World Health Organization. Measles fact sheet no. 286. Updated Feb 2014.
Available at www.who.int/mediacentre/ factsheets/fs286/en/

21. World Health Organization. Guidelines for epidemic pre- paredness and
response to measles outbreaks. Geneva: WHO, 1999.

22. World Health Organization. Measles vaccines. Wkly Epi- demiol Rec
2004;79:130–142.

23. World Health Organization. Manual for the laboratory diag- nosis of measles and
rubella virus infection. 2nd ed. Geneva: WHO, 2007.

11
24. WHO in Action. World Health Forum 1998;19:162–173.

12
II. CRITICAL APPRAISAL

A. Metode Penelitian
1. Desain Studi : Cross sectional
2. Subjek : Anak usia 5 bulan sampai 10 tahun
a. Kriteria Inklusi:
1. Anak-anak dengan gejala infeksi campak (demam, ruam
makulopapular dengan atau tanpa batuk) di rumah sakit umum dan
fasilitas kesehatan di bagian selatan dan barat Nigeria
b. Kriteria Eksklusi:
1. Anak-anak dengan seropositif anti HIV
3. Tempat : Rumah sakit umum dan fasilitas kesehatan di bagian
selatan dan barat Nigeria
4. Analisis Statistik : Variabel di uji dengan uji chi square dan di analisis
menggunakan SPSS for Windows v12.0

B. Deskripsi Umum
1. Desain apakah yang digunakan?
Cross sectional
2. Manakah populasi target, populasi terjangkau?
Anak-anak berusia 5 bulan sampai 10 tahun yang dirawat di Rumah sakit dan
fasilitas kesehatan di bagian selatan dan barat Nigeria.
3. Bagaimanakah cara pemilihan sampel?
Berdasar kriteria inklusi dan eksklusi
4. Manakah variabel bebas?
Virus campak
5. Manakah variabel tergantung?
Rentang Umur, jenis kelamin, riwayat vaksinasi, dan derajat keparahan infeksi
6. Apakah hasil utama penelitian?
Hasil dari penelitian ini menunjukkan bahwa beban infeksi campak masih
tinggi di antara anak-anak yang divaksinasi dan tidak divaksinasi di
Nigeria, walaupun infeksi pada anak yang divaksinasi tidak separah pada
anak-anak yang tidak divaksinasi

C. PICO (Problem, Intervention, Comparison, Outcome)


1. Problem : Anak-anak berusia 5 bulan hingga 10 tahun
2. Intervensi : Anak-anak yang divaksinasi campak
3. Comparation : Anak-anak yang tidak divaksinasi campak
4. Outcome : Beban infeksi campak masih tinggi di antara anak-anak
yang divaksinasi dan tidak divaksinasi di Nigeria, walaupun infeksi pada
anak yang divaksinasi tidak separah pada anak-anak yang tidak
divaksinasi

13
D. Validity, Importance and Applicability (VIA)
1. Validity

Apakah pertanyaan penelitian jelas? Ya, penelitian ini membandingkan


infeksi campak pada anak yang telah
divaksinasi dan yang belum
divaksinasi campak.
Apa desain penelitiannya? Cross sectional dengan satu kali
Bagaimana data dikumpulkan (satu pengambilan data
kali (cross-sectional) atau diulang
dari waktu ke waktu (longitudinal)?
Bagaimana sampel yang dipilih Anak-anak berusia 5 bulan sampai 10
(kriteria kelayakan)? tahun yang dirawat di Rumah sakit
dan fasilitas kesehatan di bagian
selatan dan barat Nigeria dengan hasil
pemeriksaan serum anti-HIV negatif
Pada variabel apa sajakah kelompok Rentang Umur, jenis kelamin, riwayat
yang dibandingkan? vaksinasi, dan derajat keparahan
infeksi
Apakah ukuran sampel cukup besar Ya, jumlah sampel yang diambil
untuk mendeteksi hubungan atau sebanyak 234 subjek dengan 226
perbedaan yang signifikan secara subjek yang memiliki informasi
statistik? riwayat vaksinasi.
Apakah ada sumber bias potensial? Ya, adanya perbedaan strain virus
campak di vaksin dan di alam yang
dapat menyebabkan infeksi

2. Importance

Apa temuannya? Beban infeksi campak masih tinggi di


antara anak-anak yang divaksinasi
dan tidak divaksinasi di Nigeria,
walaupun infeksi pada anak yang
divaksinasi tidak separah pada anak-

14
anak yang tidak divaksinasi
Apakah ada signifikansi klinis? Secara keseluruhan, tidak ada
perbedaan yang signifikan dalam
tingkat keparahan infeksi campak
pada jenis kelamin, kelompok
umur. Namun terdapat
signifikansi pada anak dengan
riwayat vaksinasi campak nihil
dibandingkan dengan yang sudah
divaksinasi.
Apakah penulis menempatkan Tidak
temuan mereka dalam konteks
literatur yang lebih luas tentang topik
ini?

3. Applicability

Apakah ada hubungan antara temuan Ya, imunisasi campak dimana di


terhadap praktik kesehatan? Indonesia sedang digalakkan program
imunisasi campak dan rubella
bertujuan untuk mengeliminasi
campak dan mengendalikan penyakit
rubella serta kecacatan bawaan akibat
rubella.
Bagaimana temuan tersebut bisa Dengan mencari tahu penyebab
diterapkan pada praktik? rendahnya kekebalan antibodi pada
populasi sasaran vaksinasi di Nigeria,
praktik kesehatan diharapkan bisa
mencegah hal-hal yang dapat
mengurangi efektivitas vaksin.

E. Level of Evidence

IV Penelitian observasional tanpa kontrol

15
16

Anda mungkin juga menyukai