Anda di halaman 1dari 9

Shalat Tahiyatul Masjid

Tahiyyatul Masjid adalah shalat yang dilakukan sebanyak dua Roka'at, dan dikerjakan
oleh seseorang ketika masuk ke masjid. Adapun hukumnya termasuk sunnah
berdasarkan konsensus karena hal itu merupakan hak setiap orang yang akan masuk
ke masjid

By Lilik Ibadurohman 9 November 2013


87 23818 13

Shalat tahiyatul masjid disyariatkan pada setiap saat, ketika seseorang masuk masjid
dan bermaksud duduk di dalamnya. Ini merupakan pendapat Imam Asy-Syafi’i & Ahmad bin
Hambal, yang dikuatkan oleh Ibnu Taimiyah, Ibnu Baz, & Ibnu Al-Utsaimin –rahimahumullah.

Dalam hadis yang diriwayatkanoleh Abu Qatadah radhiyallahu ‘anhu. Rasulullah shallallahu
‘alaihiwasallam bersabda,
َ ‫ِإذَا دَ َخ َل أ َ َحدُ ُك ْم ْال َمس ِْجدَ فَ ْليَ ْر َك ْع َر ْكعَتَي ِْن قَ ْب َل أ َ ْن يَجْ ِل‬
‫س‬

“Jika salah seorang dari kalian masuk masjid, maka hendaklah dia shalat dua rakaat sebelum
dia duduk.” (HR. Al-Bukhari no. 537 & Muslim no. 714)

Jabir bin Abdillah –radhiyallahu ‘anhu– berkata,

‫ار َك ْع‬ْ َ‫سلَيْكُ قُ ْم ف‬ ُ ‫ يَا‬:ُ‫ فَقَا َل لَه‬.‫س‬ َ َ‫ فَ َجل‬,‫ب‬ ُ ‫ط‬ُ ‫سله َم يَ ْخ‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ ِ ‫سو ُل ه‬ ُ ‫ي يَ ْو َم ْال ُج ُمعَ ِة َو َر‬ َ َ‫سلَيْكٌ ْالغ‬
ُّ ِ‫طفَان‬ ُ ‫َجا َء‬
‫ب فَ ْليَ ْر َك ْع َر ْكعَتَي ِْن َو ْليَت َ َج هو ْز ِفي ِه َما‬ ِ ْ ‫ ِإذَا َجا َء أ َ َحدُ ُك ْم يَ ْو َم ْال ُج ُمعَ ِة َو‬:َ‫َر ْكعَتَي ِْن َوت َ َج هو ْز ِفي ِه َما! ث ُ هم قَال‬
ُ ‫اْل َما ُم يَ ْخ‬
ُ ‫ط‬

Artinya,“Sulaik Al-Ghathafani datang pada hari Jum’at, sementara Rasulullah shallallahu


‘alaihi wasallam sedang berkhutbah, dia pun duduk. Maka beliau langsung bertanya padanya,
“Wahai Sulaik, bangun dan shalatlah dua raka’at, kerjakanlah dengan ringan.” Kemudian
beliau bersabda, “Jika salah seorang dari kalian datang pada hari Jum’at, sedangkan imam
sedang berkhutbah, maka hendaklah dia shalat dua raka’at, dan hendaknya dia mengerjakannya
dengan ringan.” (HR. Al-Bukhari no. 49 dan Muslim no. 875)

Para ulama sepakat tentang disyariatkannya shalat 2 rakaat bagi siapa saja yang masuk masjid &
mau duduk di dalamnya. Hanya saja mereka berbeda pendapat mengenai hukumnya. Mayoritas
ulama berpendapat shalat Tahiyatul Masjid adalah sunnah & sebagian berpendapat wajib. Yang
jelas tidak sepantasnya seorang muslim meninggalkan syariat ini.

Mayoritas ulama berpendapat bahwa shalat tahiyatul masjid adalah sunnah karena ada indikasi
lain yang menyoal pada status hukum sunnah dan tidak wajib. Di antaranya,

Pertama, hadis Abdullah bin Busr,

‫ أجلس فقد‬:‫ أن رجالً تخطى رقاب الناس والنبي صلى هللا عليه وسلم يخطب فقال له‬:‫حديث أبي داود والنسائي‬
‫آذيت‬
Artinya,“Sesungguhnya ada seorang laki-laki yang melangkahi pundak-pundak manusia
sedangkan Rasulullah Shallallahu Alaihi Wasallam berkhutbah, maka beliau
berkata, “Duduklah, sungguh engkau telah menyakiti mereka.” (Shahih, HR Abu Dawud (1118),
di shahihkan oleh Syeikh Al-Albani)

Kedua, hadis Thalhah bin Ubaidullah radhiyallahu Anhu, beliau berkata,

‫ص ْوتِ ِه َو ََل نَ ْفقَهُ َما يَقُو ُل َحتهى‬ َ ‫ي‬ ‫الرأْ ِس نَ ْس َم ُع دَ ِو ه‬


‫سله َم ِم ْن أ َ ْه ِل نَجْ ٍد ثَائِ ُر ه‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ِ ‫سو ِل ه‬ ُ ‫َجا َء َر ُج ٌل إِلَى َر‬
‫س‬ُ ‫سله َم خ َْم‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫سو ُل ه‬
َ ‫َّللا‬ ِ ْ ‫سله َم فَإِذَا ه َُو يَسْأ َ ُل َع ْن‬
ُ ‫اْلس َْال ِم فَقَا َل َر‬ َ ‫علَ ْي ِه َو‬ ‫صلهى ه‬
َ ُ‫َّللا‬ ِ ‫سو ِل ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫دَنَا ِم ْن َر‬
‫ع‬ ‫ي َغي ُْره هُن قَا َل ََل إِ هَل أَ ْن ت ه‬
َ ‫َط هو‬ ‫ت فِي ْاليَ ْو ِم َوالله ْيلَ ِة فَقَا َل ه َْل َعلَ ه‬ ٍ ‫صلَ َوا‬
َ

Artinya, “Seorang laki-laki dari penduduk Nejd yang rambutnya berdiri datang kepada
Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam, kami mendengar gumaman suaranya, namun kami tidak
dapat memahami sesuatu yang dia ucapkan hingga dia dekat dari Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam, ternyata dia bertanya tentang Islam. Maka Rasulullah shallallahu ‘alaihi
wasallam menjawab,‘Islam adalah shalat lima waktu siang dan malam.‘ Dia bertanya
lagi, ‘Apakah saya masih mempunyai kewajiban selain-Nya? ‘ Beliau menjawab, ‘Tidak, kecuali
kamu melakukan shalat sunnah.” (HR. Bukhari (46), Muslim (11/76))

Ketiga, hadis AbuWaqid Al Laitsi radhiyallahu Anhu, beliau berkata,

ُ ‫س فِي ْال َمس ِْج ِد َوالنه‬


‫اس َمعَهُ ِإ ْذ أ َ ْقبَ َل ث َ َالثَةُ نَفَ ٍر‬ ٌ ‫سله َم بَ ْينَ َما ه َُو َجا ِل‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ ِ ‫سو َل ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫ي أ َ هن َر‬ ِِّ ِ‫َع ْن أ َ ِبي َواقِ ٍد الله ْيث‬
‫سله َم فَأ َ هما‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬‫صلهى ه‬ ِ ‫سو ِل ه‬
َ ‫َّللا‬ ُ ‫احد ٌ قَا َل فَ َوقَفَا َعلَى َر‬ ِ ‫َب َو‬ َ ‫سله َم َوذَه‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ ‫َّللا‬ ِ ‫سو ِل ه‬ ُ ‫فَأ َ ْقبَ َل اثْنَا ِن إِلَى َر‬
ِ ‫سو ُل ه‬
‫َّللا‬ ُ ‫غ َر‬َ ‫ث فَأَدْبَ َر ذَا ِهبًا فَلَ هما فَ َر‬ ُ ‫س خ َْلفَ ُه ْم َوأ َ هما الثها ِل‬َ َ‫س فِي َها َوأ َ هما ْاْلخ َُر فَ َجل‬ َ َ‫أ َ َحدُ ُه َما فَ َرأَى فُ ْر َجةً فِي ْال َح ْلقَ ِة فَ َجل‬
‫َّللاُ َوأ َ هما ْاْلخ َُر فَا ْستَحْ يَا فَا ْستَحْ يَا‬‫َّللا فَ َآواهُ ه‬ِ ‫سله َم قَا َل أ َ ََل أ ُ ْخبِ ُر ُك ْم َع ْن النهفَ ِر الث ه َالث َ ِة أ َ هما أ َ َحدُ ُه ْم فَأ َ َوى إِلَى ه‬ ‫صلهى ه‬
َ ‫َّللاُ َعلَ ْي ِه َو‬ َ
ُ‫َّللاُ َع ْنه‬
‫ض ه‬ َ ‫ض فَأع َْر‬َ َ ْ َ
َ ‫َّللاُ ِم ْنهُ َوأ هما اْلخ َُر فَأع َْر‬ ‫ه‬

Artinya, “Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam ketika sedang duduk bermajelis di Masjid
bersama para sahabat datanglah tiga orang. Yang dua orang menghadap Nabi shallallahu ‘alaihi
wasallam dan yang seorang lagi pergi, yang dua orang terus duduk bersama Nabi shallallahu
‘alaihi wasallam dimana satu diantaranya nampak berbahagia bermajelis bersama
Nabi shallallahu ‘alaihi wasallam (di depan), sedang yang kedua duduk di belakang mereka,
sedang yang ketiga berbalik pergi, Setelah Rasulullah shallallahu ‘alaihi wasallam selesai
bermajelis, Beliau bersabda: “Maukah kalian aku beritahu tentang ketiga orang tadi?”Adapun
salah seorang diantara mereka, dia meminta perlindungan kepada Allah, maka Allah lindungi
dia. Yang kedua, dia malu kepada Allah, maka Allah pun malu kepadanya. Sedangkan yang
ketiga berpaling dari Allah maka Allah pun berpaling darinya.”(HR. Bukhari (66)
Muslim (2176))

Pengertian Shalat Tahiyatul Masjid

Ibnu Hajar rahimahullah berkata, “Tahiyyatul Masjid adalah shalat yang dilakukan sebanyak dua
Roka’at, dan dikerjakan oleh seseorang ketika masuk ke masjid. Adapun hukumnya termasuk
sunnah berdasarkan konsensus karena hal itu merupakan hak setiap orang yang akan masuk ke
masjid, sebagaimana dalil-dalil yang telah disebutkan.” (Fathul Bari: 2/407)

Siapa Yang Dikecualikan Untuk Tidak Mengerjakan Shalat Tahiyatul Masjid?

Ibnu Hajar juga berkata, “Dikecualikan bagi khotib masjid, yang akan masuk ke masjid untuk
shalat, dan berkhutbah di hari jum’at, maka seorang khotib tidak perlu melakukan shalat
Tahiyatul Masjid. Dikecualikan juga bagi pengurus masjid, karena ia diberi amanah untuk
senantiasa keluar masuk masjid, jika setiap keluar masuk di perintahkan untuk shalat tahiyatul
masjid, tentu hal itu akan memberatkan baginya. Sebagaimana pula tidak disunnahkan bagi
seseorang yang masuk ke masjid sedangkan imam telah menegakkan shalat fardhu atau telah
selesai dikumandangkan iqamat, karena sesungguhnya shalat fardhu telah cukup walaupun
tidak shalat tahiyatul Masjid.” (Subulus Salam: 1’/320)

Namun sebagian Ulama’ berpendapat disunnahkan melakukan tahiyatul Masjid setiap kali masuk
ke Masjid. Hal ini sebagaimana pendapat imam Nawawi, dan ini pendapat yang dipilih oleh ibnu
Taimiyyah, dan Ahmad bin Hambal. (Al-Majmu’: 4/75)

Imam Syaukani rahimahullah berpendapat, “Bahwa shalat Tahiyatul Masjid disyari’atkan,


meskipun berkali-kali masuk ke masjid, sebagaimana secara ekplisit dinyatakan dalam
hadits. (Nailul Authar: 3/70)
Tahiyatul masjid tergolong sebagai penghormatan terhadap masjid. Hal itu sepadan
dengan ungkapan salam ketika masuk ke suatu tempat, sebagaimana seorang yang memberi
salam kepada sahabatnya ketika bertemu.

An-Nawawi rahimahullah berkata, “Sebagian yang lain mengilustrasikan dengan memberi salam
kepada pemilik masjid (Allah subhanahu wata’ala). Karena maksud dilakukannya tahiyatul
masjid adalah mendekatkan diri kepada Allah, bukan kepada masjid, sebab seseorang yang
masuk ke rumah orang lain, yang diberi salam adalah pemiliknya bukan rumahnya.
(Hasyiyah Ibnul Qasim: 2/252)

Beberapa Masalah/Hukum Yang Berkaitan Dengan Shalat Tahiyatul Masjid

Masalah Pertama:

Disyari’atkannya untuk shalat Tahiyatul Masjid di setiap waktu (tidak ada waktu yang terlarang),
karena ia termasuk shalat yang berkaitan dengan sebab (yaitu karena masuk ke masjid). Inilah
pendapat yang dipilih oleh Syeikhul islam ibnu Thaimiyyah, majduddin Abul Barakat, Ibnul
Jauzi, dan yang lain. (Al-inshof : 2/802, Al-Muharrar : 1/86, Nailul Authar : 3/62, Fatawa li ibni
Thaimiyyah : 23/219)

Pendapat ini juga dipilih oleh Syeikh Muhammad bin Utsaimin (Syarah Mumthi’ ” (4/179)) dan
juga Syeikh Ibnu Baz dalam kitab fatawa.

Masalahan Kedua:

Waktu/pelaksanaan shalat Tahiyatul Masjid adalah ketika masuk ke masjid dan sebelum duduk.
Adapun jika ia sengaja duduk, maka tidak di syari’atkan untuk mengerjakan shalat tahiyatul
masjid. Hal itu dikarenakan telah kehilangan kesempatan (yaitu ketika masuk masjid dan
sebelum duduk). (Ahkam Tahiyatul Masjid, 5)

Masalah Ketiga:

Adapun jikalau ia masuk masjid dan langsung duduk karena tidak tahu atau lupa dan belum
mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, maka ia tetap disyari’atkan untuk mengerjakan shalat
tahiyatul masjid, karena orang yang diberi uzur (karena lupa atau tidak tahu) tidak hilang
kesempatan untuk megerjakan shalat tahiyatul masjid, dengan syarat jarak antara duduk dengan
waktunya tidak terlalu lama. (Fathul Bari, 2/408)

Masalah Keempat:

Apabila ada orang yang masuk ke Masjid sedangkan azan dikumandangkan, maka yang sesuai
syari’at adalah menjawab adzan dan menunda sebentar untuk shalat Tahiyatul Masjid, karena
saat itu menjawab adzan lebih penting. Kecuali kalau ia masuk ke masjid pada hari jum’at,
sedangkan adzan untuk khutbah tengah dikumandangkan, maka dalam kondisi seperti ini
mendahulukan shalat tahiyatul masjid daripada menjawab azan (agar bisa mendengarkan
khutbah). Karena mendengarkan khutbah lebih penting.” (Al-Inshaf, 1/427)

Masalah Kelima:

Apabila ada orang yang masuk ke masjid sedangkan imam saat itu sedang berkhutbah, maka
tetap disunnahkan untuk mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, dan hendaknya
meringankannya/mempercepatnya (Al-Fatawa li Ibni Taimiyyah, 23/219). Hal ini sebagaimana
dalam hadits Nabi, “Maka janganlah ia duduk kecuali telah mengerjakan dua raka’at” (HR
Bukhari (1163) dan Muslim (714)). Begitu pula dalam hadits yang lain,´“Hendaklah ia kerjakan
dua raka’at, dan hendaklah meringankanya.” (HR Bukhari (931), Muslim (875)). Jika seorang
khatib hampir selesai khutbah, dan menurut dugaan kuat jika ia mengerjakan shalat Tahiyatul
Masjid akan ketinggalan shalat wajib (shalat jum’at), maka hendaknya ia berdiri untuk
mengerjakan shalat jum’at, dan setelah selesai shalat Jumat hendaknya ia jangan sampai
langsung duduk tanpa mengerjakan shalat tahiyatul masjid.

Masalah Keenam:

Penghormatan di Masjidil Haram adalah Thawaf, hal ini sebagaimana dikemukakan Jumhur
Fuqaha’. Imam Nawawi berkata, “Shalat Tahiyyatul Masjidil untuk Masjidil Haram adalah
Thawaf, yang dikhususkan bagi pendatang. Adapun orang yang Muqim/menetap disitu maka
hukumnya sama seperti masjid-masjid yang lain (yaitu disunnahkan shalat Tahiyatul Masjid)”
(Fathul Bari: 2/412)

Namun sebagai catatan, hadits yang dijadikan rujukan dalam masalah ini adalah hadits yang
tidak shahih/benar. Bahkan tidak ada asalnya dari Nabi. Lafaz hadits tersebut adalah:
‫تحية البيت الطواف‬

“Tahiyat bagi Al-Bait (Ka’bah) adalah thawaf,” (Lihat Adh-Dhaifah no. 1012 karya Al-Albani –
rahimahullah-),

Jadi kesimpulannya shalat Tahiyatul Masjid berlaku untuk semua masjid, termasuk masjidil
haram. Sehingga orang yang masuk masjidil haram tetap dianjurkan baginya untuk melakukan
tahiyatul masjid jika dia ingin duduk.

Masalah Ketujuh:

Shalat qabliyah dapat menggantikan tahiyatul masjid, karena maksud dari shalat tahiyatul masjid
adalah agar orang yang masuk masjid memulai dengan shalat, sedangkan ia telah melaksanakan
shalat sunnah rawatib. Jika ia berniat shalat sunnah rawatib sekaligus shalat tahiyatul masjid atau
berniat shalat fardhu maka ia telah mendapat pahala secara bersamaan. (Kasyful Qana’: 1/423)

Masalah Kedelapan:

Adapun seorang imam, maka cukup baginya untuk mendirikan shalat fardhu tanpa shalat
Tahiyatul Masjid. Hal itu dikarenakan imam datang di akhir dan kedatangannya dijadikan
sebagai tanda untuk mengumandangkan iqamat. (Subulus Salam: 1329)

Adapun jikalau imam telah datang sejak awal waktu, maka tetap disyari’atkan bagi imam untuk
mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, sebagaimana makmum. Hal itu sebagaimana keumuman
dalil, “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid, maka janganlah duduk sehingga ia
shalat dua raka’at terlebih dahulu.” (HR Bukhari (444), Muslim (764))

Mengenai shalat di tanah lapang (seperti shalat ied, istisqa’), maka tidak disyari’atkan untuk
mengerjakan shalat Tahiyatul Masjid, (Al-Fawakihul Adidah : 1/99)

Namun sebagian ulama’ ada yang membolehkan shalat tahiyatul Masjid di tanah lapang karena
di tinjau dari segi hukumnya sama seperti shalat berjama’ah di dalam masjid. (Al-inshaf: 1/246).
Namun yang lebih rajih insya Allah pendapat yang pertama, karena berbeda dari sisi tempatnya
dan juga dzahirnya hadits : “Jika salah seorang dari kalian masuk ke Masjid…. (HR Bukhari
dan Muslim)

Masalah Kesembilan:

Tidak dipungkiri bahwa shalat tahiyatul masjid berlaku utk siapa saja, laki-laki & perempuan
yang hendak melakukan shalat berjama’ah di masjid. Hanya saja para ulama mengecualikan
darinya khatib Jum’at, dimana tak ada satupun dalil yang menunjukkan bahwa Nabi –shallallahu
Alaihi wassalam- shalat tahiyatul masjid sebelum beliau khutbah. Akan tetapi beliau datang &
langsung naik ke mimbar (Al-Majmu’: 4/448).

Hikmah dari Shalat Tahiyatul Masjid

Hikmah dari mengerjakan Shalat Tahiyatul Masjid adalah sebagai penghormatan terhadap
Masjid, sebagaimana seseorang masuk ke rumahnya dengan mengawali ucapan salam, dan juga
sebagaimana seseorang yang mengucapkan salam kepada sahabatnya disaat keduanya bertemu.

Semoga Allah memberi pertolongan kepada kita agar kita senantiasa dimudahkan dalam
memahami agama Islam yang benar, dan dimudahkan dalam mengamalkannya dan
mendakwahkannya.

‫والصالة والسالم على نبينا محمد وآله وصحبه أجمعين‬

Referensi:

 Ahkam Tahiyyatul Masjid, karya Muhammad bin Shalih Al-Khuzaim


 Ahkam Tahiyatul Masjid fil Fiqh Islami, karya Adil Mubarok Al-Muthirat

Penulis : Lilik Ibadurrohman


Morajaah: Ust. Muhsan Syarafudin, Lc, M.H.I

Artikel Muslim.Or.Id

Sumber: https://muslim.or.id/18829-shalat-tahiyatul-masjid.html

Anda mungkin juga menyukai