Anda di halaman 1dari 10

1. Jelaskan mengenai hipersensitivitas!

Reaksi hipersensitivitas adalah reaksi imun yang patologik, tidak normal, yang
terjadi akibat respon imun yang berlebihan terhadap suatu pajanan antigen yang sama
untuk kedua kalinya, sehingga menimbulkan kerusakan jaringan tubuh. Robert
Coombs dan Philip HH Gell (1963) membagi reaksi ini menjadi 4 tipe berdasarkan
kecepatan dan mekanisme imun yang terjadi, yaitu tipe I, II, III dan IV.

a. Reaksi Hipersensitivitas Tipe I

Reaksi tipe I disebut juga reaksi cepat, atau reaksi alergi, yang timbul
kurang dari 1 jam sesudah tubuh terpajan oleh alergen yang sama untuk kedua
kalinya. Pada reaksi tipe ini, yang berperan adalah antibodi IgE, sel mast ataupun
basofil, dan sifat genetik seseorang yang cendrung terkena alergi (atopi).

Ketika suatu alergen masuk ke dalam tubuh, pertama kali ia akan terpajan
oleh makrofag. Makrofag akan mempresentasikan epitop alergen tersebut ke
permukaannya, sehingga makrofag bertindak sebagai antigen presenting cells
(APC). APC akan mempresentasikan molekul MHC-II pada Sel limfosit Th2, dan
sel Th2 mengeluarkan mediator IL-4 (interleukin-4) untuk menstimulasi sel B
untuk berproliferasi dan berdiferensiasi menjadi sel Plasma. Sel Plasma akan
menghasilkan antibodi IgE dan IgE ini akan berikatan di reseptor FC-εR di sel
Mast/basofil di jaringan. Ikatan ini mampu bertahan dalam beberapa minggu
karena sifat khas IgE yang memiliki afinitas yang tinggi terhadap sel mast dan
basofil. Ini merupakan mekanisme respon imun yang masih normal.

Namun, ketika alergen yang sama kembali muncul, ia akan berikatan


dengan IgE yang melekat di reseptor FC-εR sel Mast/basofil tadi. Perlekatan ini
tersusun sedimikian rupa sehingga membuat semacam jembatan silang
(crosslinking) antar dua IgE di permukaan (yaitu antar dua IgE yang bivalen atau
multivalen, tidak bekerja jika igE ini univalen). Hal inilah yang akan menginduksi
serangkaian mekanisme biokimiawi intraseluler secara kaskade, sehingga terjadi
granulasi sel Mast/basofil. Degranulasi ini mengakibatkan pelepasan mediator-
mediator alergik yang terkandung di dalam granulnya seperti histamin, heparnin,
faktor kemotaktik eosinofil, dan platelet activating factor (PAF). Selain itu,
peristiwa crosslinking tersebut ternyata juga merangsang sel Mast untuk
membentuk substansi baru lainnya, seperti LTB4, LTC4, LTD4, prostaglandin
dan tromboksan. Mediator utama yang dilepaskan oleh sel Mast ini diperkirakan
adalah histamin, yang menyebabkan kontraksi otot polos, bronkokonstriksi,
vasodilatasi pembuluh darah, peningkatan permeabilitas vaskular, edema pada
mukosa dan hipersekresi.

Gejala yang ditimbulkan bisa berupa urtikaria, asma, reaksi anafilaksis,


angioedema dan alergi atopik.

b. Reaksi Hipersensitifitas Tipe II

Reaksi hipersensitifitas tipe II disebut juga dengan reaksi sitotoksik, atau


sitolisis. Reaksi ini melibatkan antibodi IgG dan IgM yang bekerja pada antigen
yang terdapat di permukaan sel atau jaringan tertentu. Antigen yang berikatan di
sel tertentu bisa berupa mikroba atau molekul2 kecil lain (hapten). Ketika pertama
kali datang, antigen tersebut akan mensensitisasi sel B untuk menghasilkan
antibodi IgG dan IgM. Ketika terjadi pemaparan berikutnya oleh antigen yang
sama di permukaan sel sasaran, IgG dan IgM ini akan berikatan dengan antigen
tersebut. Ketika sel efektor (seperti makrofag, netrofil, monosit, sel T cytotoxic
ataupun sel NK) mendekat, kompleks antigen-antibodi di permukaan sel sasaran
tersebut akan dihancurkan olehnya. Hal ini mungkin dapat menyebabkan
kerusakan pada sel sasaran itu sendiri, sehingga itulah kenapa reaksi ini disebut
reaksi sitotoksik/sitolisis (sito=sel, toksik=merusak, lisis=menghancurkan).

Prosesnya ada 3 jenis mekanisme yang mungkin, yaitu:

1. Proses sitolisis oleh sel efektor. Antibodi IgG/IgM yang melekat dengan
antigen sasaran, jika dihinggapi sel efektor, ia (antibodi) akan berinteraksi
dengan reseptor Fc yang terdapat di permukaan sel efektor itu. Akibatnya, sel
efektor melepaskan semacam zat toksik yang akan menginduksi kematian sel
sasaran. Mekanisme ini disebut ADCC (Antibody Dependent Cellular
Cytotoxicity).
2. Proses sitolisis oleh komplemen. Kompleks antigen-antibodi di permukaan sel
sasaran didatangi oleh komplemen C1qrs, berikatan dan merangsang
terjadinya aktivasi komplemen jalur klasik yang akan berujung kepada
kehancuran sel.
3. Proses sitolisis oleh sel efektor dengan bantuan komplemen. Komplemen C3b
yang berikatan dengan antibodi akan berikatan di reseptor C3 pada pemukaan
sel efektor. Hal ini akan meningkatkan proses sitolisis oleh sel efektor.

Keseluruhan reaksi di atas terjadi dalam waktu 5-8 jam setelah terpajan
antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit yang ditimbulkan yaitu
reaksi transfusi, Rhesus Incompatibility, Mycoplasma pneumoniae related cold
agglutinins, Tiroiditis Hashimoto, Sindroma Goodpasture’s, Delayed transplant
graft rejection.

c. Reaksi Hipersensitifitas Tipe III

Reaksi hipersensitifitas tipe III ini mirip dengan tipe II, yang melibatkan
antibodi IgG dan IgM, akan tetapi bekerja pada antigen yang terlarut dalam serum.
Seperti tipe yang lainnya, ketika antigen pertama kali masuk, ia akan
mensensitisasi pembentukan antibodi IgG dan IgM yang spesifik. Ketika
pemaparan berikutnya oleh antigen yang sama, IgG dan IgM spesifik ini akan
berikatan dengan antigen tersebut di dalam serum membentuk ikatan antigen-
antibodi kompleks. Kompleks ini akan mengendap di salah satu tempat dalam
jaringan tubuh (misalnya di endotel pembuluh darah dan ekstraseluler) sehingga
menimbulkan reaksi inflamasi. Aktifitas komplemen pun akan aktif sehingga
dihasilkanlah mediator-mediator inflamasi seperti anafilatoksin, opsonin,
kemotaksin, adherens imun dan kinin yang memungkinkan makrofag/sel efektor
datang dan melisisnya. Akan tetapi, karena kompleks antigen antibodi ini
mengendap di jaringan, aktifitas sel efektor terhadapnya juga akan merusak
jaringan di sekitarnya tersebut. Inilah yang akan membuat kerusakan dan
menimbulkan gejala klinis, dimana keseluruhannya terjadi dalam jangka waktu 2-
8 jam setelah pemaparan antigen yang sama untuk kedua kalinya. Contoh penyakit
yang ditimbulkan yaitu Systemic Lupus Erythematosus, Erythema Nodosum,
Polyarteritis nodosa, Arthus Reaction, Rheumatoid Arthritis, Elephantiasis
(Wuchereria bancrofti reaction), Serum Sickness.
d. Reaksi Hipersensitifitas Tipe IV

Reaksi hipersensitifitas tipe IV berbeda dengan reaksi sebelumnya, karena


reaksi ini tidak melibatkan antibodi akan tetapi melibatkan sel-sel limfosit.
Umumnya reaksi ini timbul lebih dari 12 jam stelah pemaparan pada antigen,
sehingga reaksi tipe ini disebut reaksi hipersensitifitas tipe lambat. Antigen untuk
reaksi ini bisa berupa jaringan asing, mikroorganisme intraseluler (virus, bakteri),
protein, bahan kimia yang dapat menembus kulit, dan lain-lain.

Hipersensitivitas ini diinisiasi oleh antigen yang mengaktivasi limfosit T,


termasuk sel T CD4+ dan CD8+. Sel T CD4+ yang memediasi hipersensitivitas ini
dapat mengakibatkan inflamasi kronis. Banyak penyakit autoimun yang diketahui
terjadi akibat inflamasi kronis yang dimediasi oleh sel T CD4+ ini. Dalam
beberapa penyakit autoimun sel T CD8+ juga terlibat tetapi apabila terjadi juga
infeksi virus maka yang lebih dominan adalah sel T CD8+.

Reaksi inflamasi disebabkan oleh sel T CD4+ yang merupakan kategori


hipersensitivitas reaksi lambat terhadap antigen eksogen. Reaksi imunologis yang
sama juga terjadi akibat dari reaksi inflamasi kronis melawan jaringan sendiri. IL1
dan IL17 keduanya berkontribusi dalam terjadinya penyakit organ-spesifik yang
dimana inflamasi merupakan aspek utama dalam patologisnya. Reaksi inflamasi
yang berhubungan dengan sel TH1 akan didominasi oleh makrofag sedangkan
yang berhubungan dengan sel TH17 akan didominasi oleh neutrofil.

Reaksi yang terjadi di hipersensitivitas ini dapat dibagi menjadi beberapa 2


tahap yaitu proliferasi dan diferensiasi sel T CD4+ . Sel T CD4+ mengenali
susunan peptida yang ditunjukkan oleh sel dendritik dan mensekresikan IL2 yang
berfungsi sebagai autocrine growth factor untuk menstimulasi proliferasi antigen-
responsif sel T. Perbedaan antara antigen-stimulated sel T dengan TH1 atau Th17
adalah terlihat pada produksi sitokin oleh APC saat aktivasi sel T. APC (sel
dendritik dan makrofag) terkadang akan memproduksi IL12 yang menginduksi
diferensiasi sel T menjadi TH1. IFN-γ akan diproduksi oleh sel TH1 dalam
perkembangannya. Jika APC memproduksi sitokin seperti IL1, IL6, dan IL23
yang akan berkolaborasi dengan membentuk TGF- β untuk menstimulasi
diferensiasi sel T menjadi TH17. Beberapa dari diferensiasi sel ini akan masuk
kedalam sirkulasi dan menetap di memory pool selama waktu yang lama.

Respon terhadap diferensiasi sel T efektor apabila terjadi pajanan antigen


yang berulang akan mengaktivasi sel T akibat dari antigen yang dipresentasikan
oleh APC. Sel TH1 akan mensekresikan sitokin (umumnya IFN-γ) yang
bertanggung jawab dalam banyak manifestasi dari hipersensitivitas tipe ini. IFN-γ
mengaktivasi makrofag yang akan memfagosit dan membunuh mikroorganisme
yang telah ditandai sebelumnya. Mikroorganisme tersebut mengekspresikan
molekul MHC II, yang memfasilitasi presentasi dari antigen tersebut. Makrofag
juga mensekresikan TNF, IL1 dan kemokin yang akan menyebabkan inflamasi.
Makrofag juga memproduksi IL12 yang akan memperkuat respon dari TH1.
Semua mekanisme tersebut akan mengaktivasi makrofag untuk mengeliminasi
antigen. Jika aktivasi tersebut berlangsung secara terus menerus maka inflamasi
kan berlanjut dan jaringan yang luka akan menjadi semakin luas.

TH17 diaktivasi oleh beberapa antigen mikrobial dan bisa juga oleh self-
antigen dalam penyakit autoimun. Sel TH17 akan mensekresikan IL17, IL22,
kemokin, dan beberapa sitokin lain. Kemokin ini akan merekrut neutrofil dan
monosit yang akan berlanjut menjadi proses inflamasi. TH17 juga memproduksi
IL12 yang akan memperkuat proses Th17 sendiri.

Reaksi sel T CD8+ akan membunuh sel yang membawa antigen.


Kerusakan jaringan oleh CTLs merupakan komponen penting dari banyak
penyakit yang dimediasi oleh sel T, seperti diabetes tipe I. CTLs langsung
melawan histocompatibilitas dari antigen tersebut yang merupakan masalah utama
dalam penolakan pencakokan. Mekanisme dari CTLs juga berperan penting untuk
melawan infeksi virus. Pada infeksi virus, peptida virus akan memperlihatkan
molekul MHC I dan kompleks yang akan diketahui oleh TCR dari sel T CD8+.
Pembunuhan sel yang telah terinfeksi akan berakibat eliminasinya infeksi tersebut
dan juga akan berakibat pada kerusakan sel.

Prinsip mekanisme pembunuhan sel yang terinfeksi yang dimediasi oleh


sel T melibatkan perforins dan granzymes yang merupakan granula seperti
lisosom dari CTLs. CTLs yang mengenali sel target akan mensekresikan
kompleks yang berisikan perforin , granzymes, dan protein yang disebut serglycin
yang dimana akan masuk ke sel target dengan endositosis. Di dalam sitoplasma
sel target perforin memfasilitasi pengeluaran granzymes dari kompleks.
Granzymes adalah enzim protease yang memecah dan mengaktivasi caspase, yang
akan menginduksi apoptosis dari sel target. Pengaktivasian CTLs juga
mengekspresikan Fas Ligand, molekul yang homolog denga TNF, yang dapat
berikatan dengan Fas expressed pada sel target dan memicu apoptosis.

 Subowo. 2013. Imunologi Klinik. Jakarta: Sagung Seto.

2. Jelaskan mengenai shock anafilaktik !


Reaksi anafilaksis merupakan sindrom klinis akibat reaksi imunologis (reaksi
alergi) yang bersifat sistemik, cepat dan hebat yang dapat menyebabkan gangguan
respirasi, sirkulasi, pencernaan dan kulit. Jika reaksi tersebut cukup hebat sehingga
menimbulkan syok disebut sebagai syok anafilaktik yang dapat berakibat fatal.

Patofisiologi
Reaksi anafilaksis timbul bila sebelumnya telah terbentuk IgE spesifik terhadap
alergen tertentu. Alergen yang masuk kedalam tubuh lewat kulit, mukosa, sistem pernafasan
maupun makanan, terpapar pada sel plasma dan menyebabkan pembentukan IgE spesifik
terhadap alergen tertentu. IgE spesifik ini kemudian terikat pada reseptor permukaan
mastosit dan basofil. Pada paparan berikutnya, alergen akan terikat pada Ige spesifik dan
memicu terjadinya reaksi antigen antibodi yang menyebabkan terlepasnya mediator yakni
antara lain histamin dari granula yang terdapat dalam sel. Ikatan antigen antibodi ini juga
memicu sintesis SRS-A ( Slow reacting substance of Anaphylaxis ) dan degradasi dari asam
arachidonik pada membrane sel, yang menghasilkan leukotrine dan prostaglandin. Reaksi ini
segera mencapai puncaknya setelah 15 menit. Efek histamin, leukotrine (SRS-A) dan
prostaglandin pada pembuluh darah maupun otot polos bronkus menyebabkan timbulnya
gejala pernafasan dan syok.
Efek biologis histamin terutama melalui reseptor H1 dan H2 yang berada pada
permukaan saluran sirkulasi dan respirasi. Stimulasi reseptor H1 menyebabkan peningkatan
permeabilitas pembuluh darah, spasme bronkus dan spasme pembuluh darah koroner
sedangkan stimulasi reseptor H2 menyebabkan dilatasi bronkus dan peningkatan mukus
dijalan nafas. Rasio H1 – H2 pada jaringan menentukan efek akhirnya.
Aktivasi mastosit dan basofil menyebabkan juga respon bifasik dari cAMP intraselluler.
Terjadi kenaikan cAMP kemudian penurunan drastis sejalan dengan pelepasan mediator dan
granula kedalam cairan ekstraselluler. Sebaliknya penurunan cGMP justru menghambat
pelepasan mediator. Obat-obatan yang mencegah penurunan cAMP intraselluler ternyata
dapat menghilangkan gejala anafilaksis. Obat-obatan ini antara lain adalah katekolamin
(meningktakan sintesis cAMP) dan methyl xanthine misalnya aminofilin (menghambat
degradasi cAMP). Pada tahap selanjutnya mediator-mediator ini menyebabkan pula
rangkaian reaksi maupun sekresi mediator sekunder dari netrofil,eosinofil dan
trombosit,mediator primer dan sekunder menimbulkan berbagai perubahan patologis pada
vaskuler dan hemostasis, sebaliknya obat-obat yang dapat meningkatkan cGMP (misalnya
obat cholinergik) dapat memperburuk keadaan karena dapat merangsang terlepasnya
mediator.

Manifestasi Klinik
Walaupun gambaran atau gejala klinik suatu reaksi anafilakis berbeda-
beda gradasinya sesuai berat ringannya reaksi antigen-antibodi atau tingkat
sensitivitas seseorang, namun pada tingkat yang berat barupa syok anafilaktik gejala
yang menonjol adalah gangguan sirkulasi dan gangguan respirasi. Kedua gangguan
tersebut dapat timbul bersamaan atau berurutan yang kronologisnya sangat bervariasi
dari beberapa detik sampai beberapa jam. Pada dasarnya makin cepat reaksi timbul
makin berat keadaan penderita.

 Sistem Pernafasan
Gangguan respirasi dapat dimulai berupa bersin, hidung tersumbat atau
batuk saja yang kemudian segera diikuti dengan udema laring dan
bronkospasme. Kedua gejala terakhir ini menyebabkan penderita nampak
dispnue sampai hipoksia yang pada gilirannya menimbulkan gangguan
sirkulasi, demikian pula sebaliknya, tiap gangguan sirkulasi pada gilirannya
menimbulkan gangguan respirasi. Umumnya gangguan respirasi berupa
udema laring dan bronkospasme merupakan pembunuh utama pada syok
anafilaktik.

 Sistem Sirkulasi
Biasanya gangguan sirkulasi merupakan efek sekunder dari gangguan
respirasi, tapi bisa juga berdiri sendiri, artinya terjadi gangguan sirkulasi tanpa
didahului oleh gangguan respirasi. Gejala hipotensi merupakan gejala yang
menonjol pada syok anafilaktik. Hipotensi terjadi sebagai akibat dari dua
faktor, pertama akibat terjadinya vasodilatasi pembuluh darah perifer dan
kedua akibat meningkatnya permeabilitas dinding kapiler sehingga selain
resistensi pembuluh darah menurun, juga banyak cairan intravaskuler yang
keluar keruang interstitiel (terjadi hipovolume relatif). Gejala hipotensi ini
dapat terjadi dengan drastis sehingga tanpa pertolongan yang cepat segera
dapat berkembang menjadi gagal sirkulasi atau henti jantung.

 Gangguan Kulit.
Merupakan gejala klinik yang paling sering ditemukan pada
reaksi anafilaktik. Walaupun gejala ini tidak mematikan namun gejala ini amat
penting untuk diperhatikan sebab ini mungkin merupakan gejala prodromal
untuk timbulnya gejala yang lebih berat berupa gangguan nafas dan gangguan
sirkulasi. Oleh karena itu setiap gangguan kulit berupa urtikaria, eritema, atau
pruritus harus diwaspadai untuk kemungkinan timbulnya gejala yang lebih
berat. Dengan kata lain setiap keluhan kecil yang timbul sesaat sesudah
penyuntikan obat,harus diantisipasi untuk dapat berkembang kearah yang
lebih berat.

 Gangguan Gastrointestinal
Perut kram,mual,muntah sampai diare merupakan manifestasi dari
gangguan gastrointestinal yang juga dapat merupakan gejala prodromal untuk
timbulnya gejala gangguan nafas dan sirkulasi.
Skema Perubahan Patofisiologi pada Syok Anafilaktik

Pengelolaan Anafilaksis dan Syok Anafilaksis


Secara umum terapi anafilaksis bertujuan :
1. Mencegah efek mediator

 Menghambat sintesis dan pelepasan mediator


 Blokade reseptor

2.Mengembalikan fungsi organ dari perubahan patofisiologik akibat efek


mediator.

 Abdul K Abbas, MBBS. 2006. Basic Immunology 2nd edition. Hypersensitivity Disease.
Pg 193-208. Saunders: China
 Koury SI, Herfel LU . 2008. Anaphylaxis and acute allergic reactions. In :International
edition Emergency Medicine. Eds :Tintinalli, Kellen,Stapczynski 5th ed McGrraw-Hill
New York-Toronto. pp 242-6

Anda mungkin juga menyukai