Anda di halaman 1dari 9

Surat terbuka kepada Royal Dutch Shell

Shell Nederland

CEO

Tuan P. Vossen
Carel van Bylandtlaan 30
2596 HR DEN HAAG

Dengan hormat,

Pemerintah Republik Maluku Selatan (RMS) dalam pembuangan mengajukan hal ini yang berisi
seperti yang berikut.

Bulan July tahun 2011 Royal Dutch Shell, yang disebut dibawah ini Shell, memperoleh saham
dari 30 % dalam proyek eksploitasi gas di Masela. Shell membeli saham dari 30 % daripada
perusahaan Jepang yang bernama INPEX corporation, yang membeli 90 % hak dalam proyek
eksploitasi gas di Masela dari pemerintah Indonesia. PT energi mega persada memperoleh 10 %
hak-hak untuk ekploitasi gas.

Oleh karena daerah – Masela – di mana gas dieksploitasikan berada dalam wilayah Republik
Maluku Selatan, saya atas nama pemerintah RMS dalam pembuangan mengajukan yang
berikutnya atas perhatian Bapak.

Republik Maluku Selatan (RMS) diadakan dengan sah dan melanjutkan adanya menurut
hukum internasional

1. Untuk menempatkan sambungan tulisan ini maka penting menerangkan terjadinya dan
keberadaannya RMS. RMS diproklamasikan pada tanggal 25 April 1950 sebagai negara
merdeka. Sesudah proklamasi RMS, Republik Indonesia menganeksasikan Republik Maluku
Selatan dengan kekerasaan militer, walaupun berlawan dengan hukum internasional. Sejak itu
Republik Indonesia menjajah wilayah Republik Maluku Selatan. Bangsa Maluku Selatan sampai
sekarang ini ditekan oleh penjajah Indonesia. Pelanggaran hak asasi manusia yang hebat terjadi
sehari-hari. Saat ini kira-kira 90 pengikut RMS hidup didalam penjara. Mereka dijatuhkan
hukuman penjara berlangsung lama hanya oleh karena menunjukkan bendera nasional RMS.
Selanjutnya yang ditawan menjadi korban oleh karena penganiyayaan pasukan anti-teror
“Densus 88”.
Supaya mendapat keterangan lebih lanjut mengenai perlakuan yang tak berperikemanusiaan yang
dialami pejuang RMS ini, harus membaca isi laporan Amnesty International dan Human Right
Watch.

2. Sesudah perjuangan yang lama awal tahun 70-an penjajah Indonesia berhasil mengurangi
perlawanan militer dari tentara gerilya RMS yang sedikit. Sebelum kejadian ini presiden
Republik Maluku Selatan yang kedua, sehabis proses semu tanggal 12 April 1966, Mr. Dr.
Christiaan Soumokil dieksekusi oleh regu penembak.

Sejak bulan juni 1966 Pemerintah RMS dalam pembuangan diadakan. Presiden RMS pertama
dalam pembuangan adalah Ir. J.A. Manusama.

3. Republik Maluku Selatan diadakan dengan sah pada tanggal 25 April 1950. RMS
berfungsi sebagai kesatuan kenegaraan. Kenyataan, bahwa Republik Indonesia menganeksasikan
daerah RMS, tidak memecahkan kelangsungan keberadaan Republik Maluku Selatan. Aneksasi
ini ada berlawanan dengan pasal 2 ayat 4 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa dan oleh
karena itu sampai sekarang bersifat melanggar hukum. Kenyataan, bahwa pemerintah RMS
berada dalam pembuangan dan oleh sebab itu tidak dapat menjalankan kekuasaan terhadap
negara dan bangsa Maluku Selatan, tidak ada bedanya untuk posisi RMS dalam hukum
internasional.

Kelangsungan keberadaan RMS pun tidak dipecahkan oleh karena RMS tidak diakui. Pengakuan
oleh negara yang lain tidak menjadi syarat berdasarkan hukum internasional, untuk adanya dan
kelangsungan keberadaan Negara, seperti Republik Maluku Selatan. Maka itu pemerintah RMS
dalam pembuangan mempunyai hak untuk mewakili RMS.

4. Sebagai penjelasan pendirian Pemerintah RMS dalam pembuangan Bapak dapat


membaca isi kedua Legal opinions. Ini mengenai pendirian eksper dr. E. de Brabandere “ het
voortbestaan van de Republiek der Zuid-Molukken (RMS) naar internationaal recht“. Pun
pelajaran dr. Noelle Higgins: “Opinion on the Status of the RMS”. Dalam kedua nota digambar
panjang lebar, bahwa sesuai dengan penerapan aturan dalam hukum internasional, RMS sebagai
Negara masih berada. Kedua “legal opnions” terdapat di lampiran (lampiran 1 dan 2).

Kesimpulan

5. Republik Maluku Selatan masih berada sebagai Negara pada tahun 2012 menurut hukum
internasional, walaupun dianeksasikan oleh Republik Indonesia. Meskipun daerah RMS dengan
kekerasan termasuk kekuasaan Republik Indonesia, aneksasi ini pun tidak sah. Menurut undang-
undang, RMS masih berada menurut hukum internasional. RMS, menurut peraturan hukum,
didalam dan diluarnya, diwakili oleh Pemerintah dalam pembuangan, yang sekarang berdomisili
di negeri Belanda.

Republik Maluku Selatan menjadi pemilik sumber alamiah, yang ada dalam wilayah
Republik Maluku Selatan.
6. Oleh karena aneksasi wilayah RMS berlawanan dengan hukum internasional, terutama
pasal 2 syarat 4 dari Piagam Perserikatan Bangsa-Bangsa, sumber alamiah ini yang terdapat di
Maluku Selatan termasuk RMS dan bukan Republik Indonesia. Memiliki dan menjual sumber
alamiah dari Maluku Selatan dilaksanakan oleh Republik Indonesia adalah perbuatan yang
melanggar hukum. Perjanjian yang dibuat INPEX Corporation dengan Republik Indonesia tidak
sah. Indonesia bukan pemilik daerah eksploitasi gas di Masela dan juga tidak ada hak menjual
sumber alamiah ini kepada pihak yang lain. Oleh karena sekarang ternyata tidak dapat dipandang
sebagai pemilik yang sah dari sahamnya dari 90 % dalam proyek eksploitasi gas di Masela maka
Shell pun tidak dapat memperoleh sahamnya dari 30 % dalam proyek eksploitasi gas di Masela.
Maka itu baik INPEX Corporation maupun Shell tidak dapat dipandang sebagai pemilik yang
sah dari sahamnya dalam proyek eksploitasi gas di Masela ini.

Kesimpulan

7. Karena Indonesia menurut hukum internasional sebenarnya tidak mempunyai hak di


daerah Maluku Selatan, Negara itu pun tidak dapat menjual sumber alamiah, yang termasuk
wilayah Maluku Selatan kepada siapa pun. Indonesia, INPEX dan Shell yang
mengeksploitasikan sumber alamiah yang miliknya Republik Maluku, bertindak berlawanan
dengan peraturan hukum internasional. Semua perjanjian, yang dibuat berhubungan dengan
eksploitasi gas, tidak diadakan dengan sah. Ini berarti, bahwa selain dari Indonesia dan INPEX
Corporation, Shell pula bertanggung jawab atas segala kerugian yang akan dialami oleh nusa dan
bangsa Republik Maluku Selatan, berakibat perbuatan yang tidak sah dari pihak-pihak yang
tersebut.

Pendirian Pemerintah dalam pembuangan terhadap tuntutan hak dari saham 10 % dalam
proyek eksploitasi gas di Masela menurut undang-undang Indonesia

8. Menurut undang-undang penjajah Indonesia (PP. No 34 tentang kegiatan usaha hulu


minyak dan gas bumi) Maluku Selatan memperoleh saham 10 % proyek eksploitasi gas di
Masela. Memperoleh saham 10 % ini mempunyai syarat, bahwa sejumlah 14,5 triliun Rupiah,
kira-kira 1,5 milyar US dolar, harus disetor sebagai sumbangan dalam biaya pendayagunaan
daerah eksploitasi gas. “Tawaran” Republik Indonesia yang tersebut tidak dapat diterima oleh
RMS. Indonesia tidak menawarkan apapun mengenai daerah Maluku Selatan. Maluku Selatan
tidak usah beli apapun dari pihak - Republik Indonesia – yang juga curi sumber alamiah ini dari
Maluku Selatan.

9. Lagipula daerah Maluku Selatan menjadi daerah termiskin yang kedua di Republik
Indonesia. Daerah, di mana eksploitasi gas di Masela terletak, dipandang sebagai daerah yang
paling miskin di Maluku Selatan. Tidak masuk akal, kalau Maluku Selatan, negara yang
dirampok habis berpuluhan tahun oleh Republik Indonesia dan oleh karena itu disebut daerah
termiskin yang kedua, harus membayar sejumlah 14,5 trilliun Rupiah, supaya bisa mendapat
hasil kekayaan alamiah sendiri.

10. Apalagi yang aneh, bahwa Menteri Energi dan sumber daya mineral Republik Indonesia,
Jero Wacik, sampai sekarang ini kecuali kepada Shell tidak memberi izin kepada “badan
pengurus” Maluku Selatan untuk memperoleh saham 10 % proyek eksploitasi gas ini.

Kesimpulan

11. Undang-undang Indonesia dalam mana Maluku Selatan dapat membeli kembali 10
% dari miliknya sendiri dengan membayar sejumlah 14,5 trilliun ternyata tidak sah dan tidak
berlaku pada daerah Republik Maluku Selatan. Undang-undang Indonesia ini berlawanan dengan
undang-undang dasar Republik Maluku Selatan dan hukum internasional. Maluku Selatan
mempunyai hak 100 % dari segala kekayaan alamiah, yang juga termasuk daerah eksploitasi gas
Masela. Mengizinkan saham 10 % dengan pembayaran sebesar 14,5 trilliun Rupiah sama sekali
tidak mempunyai dasar.

Posisi Shell dalam masalah ini

12. Pemerintah RMS dalam pembuangan yakin, bahwa Shell memaklumi dengan baik apa
yang dijelaskan disebelumnya. Bapak harus menyadari sebagai Shell, bahwa partisipasi dalam
pendayagunaan di daerah eksploitasi gas di Masela tidak sah. Kemudian nusa dan bangsa
Maluku Selatan tidak akan memperoleh hasil yang hebat dari daerah eksploitasi gas. Shell harus
bersadar, bahwa daerah Maluku Selatan sehabis 60 tahun dijajah oleh Indonesia masih menjadi
daerah termiskin yang kedua dari Republik Indonesia. Berpuluhan tahun Maluku Selatan
dirampok habis. Bukan mengejutkan, bahwa sebesar bahagian bangsa Maluku Selatan harus
hidup jauh dibawah batas kemiskinan.

13. Berpartisipasi dalam pendayagunaan gas di Masela bukan saja dicelakan secara yuridis,
melainkan juga berlawanan dengan dasar kebijakan Shell.

Menurut dasar kebijakannya Shell menyatakan, bahwa dimana beraktif undang-undang yang
berlaku dan hak asasi manusia harus dihargai.Sedangkan di Maluku Selatan, seperti dijelaskan
disebelumnya, itu sama sekali tidak ada.

14. Shell menghargai tinggi, bahwa dimana beroperasi, kesejahteraan umum masyarakat
setempat harus memanfaatkan. Nyata sekali, bahwa nusa dan bangsa Maluku Selatan, terutama
bangsa daerah dimana gas dieksploitasikan, tidak memperoleh hasil sama sekali dengan
pendayagunaan daerah eksploitasi gas. Menurut kunci pembagian pendayagunaan yang sekarang
ini INPEX, SHELL dan Republik Indonesia membagi hasilnya antara satu dengan yang lain.
Maka bangsa Maluku Selatan sekali lagi tinggal dengan tangan kosong.

15. Pemerintah RMS dalam pembuangan menyatakan, bahwa sampai sekarang ini tidak ada
penelitian yang mendasar secara apapun yang menunjukkan akibat pendayagunaan
daerah eksploitasi gas pada lingkungannya. Pemerintah dalam pembuangan tidak bisa
membayangkan, bahwa Shell demi kepentingan kesejahteraan dan kesehatan bangsa Maluku
Selatan, sebelum daerah eksploitasi gas dipendayagunakan, Shell tidak menuntut penjelasan
mengenai efek lingkungan pendayagunaannya.
16. Aspek yang sangat penting ya itu keamanan dan risiko bahwa hak asasi manusia di
Maluku Selatan akan dilanggar lebih hebat daripada masalah pendayagunaan proyek eksploitasi
gas di Masela. Dalam hubungan ini kami menyatakan yang berikut. Menteri Energi dan sumber
daya mineral yang bertanggung jawab – Jero Wacik – merundingkan pada tanggal 8 Februari
2012 dengan jenderal Pramono Edhie Wibono komandan angkatan darat tentara Indonesia. Yang
penting dalam perundingan ini ya itu mempertahankan keamanan dalam daerah Maluku Selatan
dimana gas dieksploitasikan. Ini berarti, bahwa tentara Indonesia memangkalkan pasukannya di
Maluku Selatan dan terutama di daerah gas dieksploitasikan. Menurut pengalaman sudah jelas,
bahwa tentara memperoleh hasil pendayagunaan daerah eksploitasi gas, oleh karena seolah-olah
menjamin pendayagunaan yang aman kepada pihak-pihak yang bersangkutan. Maka itu sudah
nyata bahwa, protes secara apapun dari bangsa Maluku Selatan melawan eksploitasi gas akan
ditekan dengan kekerasan. Lihatlah kepada Papua Barat. Oleh karena pendayagunaan tambangan
nikel Freeport di Papua Barat dan peranan tentara penindasan bangsa Papua Barat ditingkatkan
amat hebat. Sama saja dengan di Maluku Selatan. Republik Indonesia dan tentaranya akan harus
menyelamatkan kepentingan ekonomi di Maluku Selatan.

Pendirian Republik Maluku Selatan

17. Pasti ternyata, bahwa pemerintah RMS dalam pembuangan berpandangan bahwa
pendayagunaan setiap sumber alamiah, yang kepunyaan Maluku Selatan, dilaksanakan oleh
Republik Indonesia menjadi tidak sah. Perjanjian yang diakibatkan saham 30 % kepada Shell
melalui INPEX menunjukkan bahwa proyek eksploitasi gas di Masela tidak mempunyai dasar
yuridis yang sah.

18. Permerintah dalam pembuangan memikirkan sekarang ini untuk melaksanakan tindakan
yang yuridis, sehingga pendayagunaan daerah eksploitasi gas di Masela dilakukan oleh pihak-
pihak yang bersangkutan dapat dilarangkan.

Pemerintah dalam pembuangan menyatakan, bahwa nusa dan bangsa Maluku Selatan terlihat
keadaan sekarang ini tidak mendapat hasil secara apapun dari pendayagunaan daerah eksploitasi
gas di Masela. Pemerintah dalam pembuangan percaya, bahwa Shell tidak berpartisipasi dalam
proyek ekploitasi gas Masela, kalau kepentingan bangsa Maluku Selatan dengannya tidak
dihargai. Terlihat nilai dan norma, seperti terdapat di nota dasar kebijakan dari Shell, Shell tidak
boleh menerima, bahwa bangsa Maluku Selatan sama sekali tidak memperoleh hasil
pendayagunaan sumber alamiahnya.Yang tersebut disebelumnya perlu sekali karena yang
pentingdisini adalah kekayaan yang dimiliki oleh nusa dan bangsa Maluku Selatan dan bukan
Republik Indonesia. Kami berpendapat bahwa Bapak pun berpendapat bahwa saham hanya dari
10 % dengan membayar sejumlah 14,5 trilliun bukan saja secara yuridis tidak benar, melainkan
juga berlawanan dengan nilai dan norma dirumuskan oleh Shell tersendiri, yang harus dianggap
terhadap bangsa Maluku Selatan.

19. Pemerintah dalam pembuangan menyerukan Shell memikirkan akibat pendayagunaan


terhadap lingkungan dan kesehatan bangsa Maluku Selatan. Penelitian lingkungan yang
mendasar sampai sekarang ini belum ada. Lagipula, pendayagunaan daerah eksploitasi gas di
Masela, tanpa memperoleh hasil terhadap bangsa Maluku Selatan, akan mengakibatkan
perlawanan dari bangsa Maluku Selatan. Republik Indonesia pasti berdukungan tentaranya akan
menekankan perlawanan ini dengan kekarasan. Hak asasi manusia yang berdasar dari bangsa
Maluku Selatan akan dilanggarkan lebih daripada kesudahannya. Kami tidak bisa
membayangkan, bahwa Shell harus menerima akibat dramatis ini.

20. Pemerintah dalam pembuangan memohonkan Shell dengan tegas menjaminkan, bahwa
bangsa Maluku Selatan memperoleh hasil sepenuh-penuhnya dari proyek eksploitasi gas di
Masela. Kami menekankan sekali lagi, bahwa bangsa Maluku Selatan lebih dari 60 tahun harus
hidup dalam ketakutan dan kemiskinan yang besar. Proyek eksploitasi gas di Masela, yang
diharapkan mengakibatkan pendayagunaan dalam masa puluhan tahun dengan keuntungan dolar
milyar,sehingga bangsa Maluku Selatan pada akhirnya dapat hidup dalam kemakmuran dan
kebebasan. Sudah 60 tahun lebih kekayaan di Maluku Selatan dirampok habis oleh Republik
Indonesia dan dijual kepada perusahaan luar negeri. Bangsa Maluku Selatan tidak menerima lagi
bahwa generasi di masa depan juga hidup dalam ketakutan dan kemiskinan, sedangkan negara
mempunyai kekayaan alamiah yang banyak.

21. Pemerintah dalam pembuangan menyerukan bangsa di Maluku Selatan untuk melawan
pendayagunaan dalam cara sekarang ini.

Kami percaya memberikan penerangan yang pantas dan jika perlu kami sedia menjelaskan lebih
lanjut.

Menunggui jawaban, kami minta terima kasih atas perhatian.

Salam dan Hormat,

Presiden Pemerintah dalam Pembuangan


Republik Maluku Selatan

Mr. J.G.Wattilete.

-----------------

Catatan:

[1](a) Rapport Amnesty International Indonesia jailed for waiving a flag, 26 maart 2009.

(b) Rapport Human Rights Watch. Prosecuting Political Aspirations, june 23, 2010.

Ditempatkan pada: 29-3-2012 13:33 Perubahan terakhir: 29-3-2012 13:38


Republik Maluku Selatan atau RMS adalah sebuah republik di Kepulauan Maluku yang
didirikan tanggal 25 April 1950. Pulau-pulau terbesarnya adalah Seram, Ambon, dan Buru.[butuh
rujukan]
RMS di Ambon dikalahkan oleh militer Indonesia pada November 1950, tetapi konflik di
Seram masih berlanjut sampai Desember 1963. Kekalahan di Ambon berujung pada pengungsian
pemerintah RMS ke Seram, kemudian mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda
pada tahun 1966. Ketika pemimpin pemberontak Dr. Chris Soumokil ditangkap militer Indonesia
dan dieksekusi tahun 1966, presiden dalam pengasingan dilantik di Belanda. Pemerintahan
terasing ini masih berdiri dan dipimpin oleh John Wattilete, pengacara berusia 55 tahun, yang
dilantik pada April 2010.

Indonesia terdiri dari lebih dari 17.000 pulau. Jajahan Belanda mencapai jumlah tersebut pada
abad ke-19 dengan didirikannya Hindia Belanda. Perbatasan Indonesia saat ini terbentuk melalui
ekspansi kolonial yang berakhir pada abad ke-20. Pasca-pendudukan oleh Kekaisaran Jepang
tahun 1945, para pemimpin nasionalis di Pulau Jawa menyatakan kemerdekaan Indonesia. Tidak
semua wilayah dan suku di Indonesia yang langsung bergabung dengan Negara Kesatuan
Republik Indonesia.[1] Pemberontakan pribumi pertama yang terorganisasi muncul di Maluku
Selatan dengan bantuan pemerintah dan militer Belanda. Kontra-revolusioner Maluku Selatan
awalnya bergantung pasa perjanjian pascakolonial yang menjanjikan bentuk negara federal. Saat
perjanjian yang disepakati antara pemerintah Belanda dan Indonesia pada Desember 1949 ini
dianulir, mereka langsung memproklamasikan kemerdekaan Republik Maluku Selatan pada
April 1950 dengan harapan mendirikan negara sendiri. Para pemimpin Maluku Selatan
mendasarkan keputusan mereka pada perjanjian yang menjamin otonomi untuk setiap negara
dalam federasi.

Pengasingan
Pertahanan utama RMS di Pulau Ambon dipatahkan oleh militer Indonesia pada November
1950, sedangkan perjuangan gerilya kecil-kecilan masih berlanjut di Pulau Seram sampai 1962.
Kekalahan di Ambun berujung pada pengungsian pemerintahan RMS dari pulau-pulau tersebut
dan mendirikan pemerintahan dalam pengasingan di Belanda.[2] Tahun berikutnya, 12.000
tentara Maluku bersama keluarganya berangkat ke Belanda dan mendirikan pemerintahan dalam
pengasingan "Republik Maluku Selatan".

Di sana, sebagian gerakan RMS melakukan serangan teror di Belanda. Sejumlah penelitian
berpendapat bahwa serangan ini muncul akibat frustrasi tidak adanya dukungan dari pemerintah
Belanda.[3]

Serangan pertama dilancarkan tahun 1970 di rumah Duta Besar Indonesia di Wassenaar. Seorang
polisi Belanda ditembak dan tewas. Serangan ini diikuti oleh pembajakan kereta api di Wijster
tahun 1975. Pembajakan tersebut dibarengi oleh serangan buatan lain di konsulat Indonesia di
Amsterdam. Tiga sandera dieksekusi di kereta dan seorang berkebangsaan Indonesia cedera
parah saat mencoba kabur dari konsulat. Pada tahun 1977, terjadi pembajakan kereta di De Punt
yang dibarengi oleh penyanderaan sekolah dasar di Bovensmilde. Aksi-aksi ini diakhiri secara
paksa melalui serbuan marinir Bijzondere Bijstands Eenheid (BBE) yang menewaskan enam
teroris dan dua sandera. Aksi RMS terakhir terjadi tahun 1978 ketika balai provinsi di Assen
diduduki anggota RMS. Aksi ini juga digagalkan oleh pasukan BBE.
Sejak 1980-an sampai sekarang, belum ada serangan baru yang dilancarkan RMS.

Presiden
Presiden pertama RMS dalam pengasingan adalah Prof. Johan Manusama (1966–1993).

Dr. Chris Soumokil J.D. adalah Presiden RMS yang pada tahun 1954 bersembunyi dan
memimpin perjuangan gerilya di Pulau Seram. Ia ditangkap ABRI di Seram pada tanggal 2
Desember 1962. Soumokil diadili di pengadilan militer di Jakarta dan dihukum mati. Ia
dieksekusi pada tanggal 12 April 1966.

Pemerintah RMS dalam pengasingan masih berdiri di bawah pimpinan Frans Tutuhatunewa
M.D. pada tahun 1993–2010. Mereka tetap tidak menyerukan aksi kekerasan terhadap Belanda
maupun Indonesia. Presiden dalam pengasingan menyatakan bahwa generasi muda harus
berfokus pada pendidikan dan pengembangan diri mereka di Belanda jika benar-benar ingin
mendukung dan membangun Maluku Selatan.

Duta besar Indonesia untuk Belanda Junus Effendi Habibie, adik presiden ketiga Indonesia,
mengatakan bahwa ia akan mengusahakan sebisanya untuk membantu pemulangan generasi
pertama suku Maluku ke tanah airnya jika mereka berhenti menuntut kemerdekaan.[4][5]

John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama yang
berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis ketimbang
presiden-presiden sebelumnya.

Bendera
Bendera RMS terdiri dari warna biru, putih, hijau, dan merah (1:1:1:6) dan memiliki proporsi
2:3. Bendera ini pertama kali dikibarkan tanggal 2 Mei 1950 pukul 10.00. Dua hari kemudian,
pemerintah merilis penjelasan tentang arti bendera. Warna biru melambangkan laut dan
kesetiaan, putih kesucian, perdamaian, dan pantai putih, hijau tumbuh-tumbuhan, dan merah
nenek moyang dan darah rakyat.

Perkembangan RMS saat ini


Perkembangan politik di Belanda

Duta besar Indonesia untuk Belanda, Yunus Effendi Habibie, memberitah Radio Netherlands
Worldwide bahwa Indonesia senang mengetahui bahwa pemerintahan terasing Maluku tidak lagi
memperjuangkan kemerdekaan. Menurut Habibie, penduduk Maluku sudah diberikan hak
otonomi, sehingga situasi masa kini tidak perlu diubah lagi. Ia menolak kemerdekaan Maluku.
Komentar Habibie muncul setelah Presiden Maluku dalam pengasingan, John Wattilete,
mengatakan bahwa negara Maluku tidak lagi menjadi prioritas utamanya. Meski kemerdekaan
masih menjadi tujuan terakhir, ia menyatakan puas dengan otonomi yang juga diberlakukan di
Aceh. Katanya, "Hal paling penting adalah penduduk Maluku bisa memimpin daerahnya
sendiri."[7][8]

John Wattilete menjadi Presiden RMS pada bulan April 2010. Ia adalah presiden pertama yang
berasal dari generasi kedua suku Maluku di Belanda dan dianggap lebih pragmatis ketimbang
presiden-presiden sebelumnya. Akan tetapi, sehari sebelum kunjungan kenegaraan Presiden
Indonesia Susilo Bambang Yudhoyono ke Belanda, pertama kali sejak 1970,[9] Wattilete
mengeluarkan perintah hukum agar Presiden ditahan setelah menginjakkan kaki di Belanda.
Meski sejumlah pakar hukum menyebut aksi ini tidak berperasaan dan gagal, Presiden
Yudhoyono membatalkan kunjungannya keesokan harinya.[10]

Perkembangan politik di Indonesia

Penduduk Maluku Selatan mayoritas beragama Kristen, tidak seperti wilayah-wilayah lain di
Indonesia yang didominasi Muslim. Republik Maluku Selatan juga didukung oleh Muslim
Maluku pada masa-masa awalnya. Saat ini, meski mayoritas penganut Kristen di Maluku tidak
mendukung separatisme,[butuh rujukan] ingatan akan RMS dan tujuan-tujuan separatisnya masih
bergaung di Indonesia. Umat Kristen Maluku, saat kekerasan sekte 1999-2002 di Maluku,
dituduh memperjuangkan kemerdekaan oleh umat Islam Maluku. Tuduhan ini berhasil
membakar semangat umat Islam untuk melawan dengan mendirikan Laskar Jihad. Situasi
tersebut tidak diperparah oleh fakta bahwa umat Kristen Maluku di luar negeri memang
memperjuangkan berdirinya RMS.

Di Maluku, Perjanjian Malino II ditandatangani untuk mengakhiri konflik dan menciptakan


perdamaian di Maluku. Penduduk Maluku mengaku "menolak dan menentang segala jenis
gerakan separatis, termasuk Republik Maluku Selatan (RMS), yang mengancam kesatuan dan
kedaulatan Negara Kesatuan Republik Indonesia". Akan tetapi, saat presiden Indonesia
berkunjung ke Ambon pada musim panas 2007, sejumlah simpatisan RMS melancarkan
provokasi dengan menari Cakalele dan mengibarkan bendera RMS.[11]

Sejak 1999, sebuah organisasi baru bernama Front Kedaulatan Maluku (FKM) beroperasi di
Ambon, mengumpulkan senjata, dan mengibarkan bendera RMS di tempat-tempat umum.
Pemimpin FKM, Alex Manuputty, mengungsi ke Amerika Serikat dan terus memperjuangkan
kemerdekaan.[12]

Anda mungkin juga menyukai