Anda di halaman 1dari 49

BAB I

PENDAHULUAN

Kanker paru merupakan penyebab utama keganasan di dunia, mencapai


hingga 13 persen dari semua diagnosis kanker. Selain itu, kanker paru juga
menyebabkan 1/3 dari seluruh kematian akibat kanker pada laki-laki. Di Amerika
Serikat, diperkirakan terdapat sekitar 213.380 kasus baru pada tahun 2007 dan
160.390 kematian akibat kanker paru. Berdasarkan laporan profil kanker WHO,
kanker paru merupakan penyumbang insidens kanker pada laki- laki tertinggi di
Indonesia, diikuti oleh kanker kolorektal, prostat, hati dan nasofaring, dan
merupakan penyumbang kasus ke-5 pada perempuan, setelah kanker payudara,
serviks-uteri, kolorektal, ovarium. Kanker paru merupakan penyebab pertama
kematian pada kanker pada laki-laki (21.8%), dan penyebab kematian kedua
(9.1%) kanker pada perempuan setelah kanker payudara (21.4%).
Hasil penelitian berbasis rumah sakit dari 100 RS di Jakarta, kanker paru
merupakan kasus terbanyak pada laki-laki dan nomor 4 terbanyak pada
perempuan tapi merupakan penyebab kematian utama pada laki-laki dan
perempuan. Data hasil pemeriksaan di laboratorium Patalogi Anatomik RSUP
Persahabatan kanker paru merupakan lebih dari 50 persen kasus dari semua jenis
kanker yang didiagnosa. Data registrasi kanker Rumah Sakit Dharmais tahun
2003-2007 menunjukkan bahwa kanker trakea, bronkus dan paru merupakan
keganasan terbanyak kedua pada pria (13,4%) setelah kanker nasofaring (13,63%)
dan merupakan penyebab kematian akibat kanker terbanyak pada pria (28,94%).
Berdasarkan data dari Departemen Pulmonologi dan Kedokteran Respirasi
FKUI-RSUP Persahabatan, angka kasus baru kanker paru meningkat lebih dari 5
kali lipat dalam waktu 10 tahun terakhir, dan sebagian besar penderita datang pada
stage lanjut (IIIB/IV). Penderita kasus baru kanker paru yang berobat di RSUP
Persahabatan mencapai lebih dari 1000 kasus per tahun.
Sebagian besar kanker paru-paru didiagnosis pada stadium yang lanjut,
yang artinya menuju pada prognosis yang buruk. Kebutuhan untuk diagnosis
kanker paru secara dini dan pada stadium yang dapat disembuhkan meningkat.
Sebagai tambahan, sebagian besar pasien yang memiliki kanker paru adalah

1
perokok dan memiliki penyakit jantung dan paru, yang semakin membuat pilihan
operasi maupun terapi multimodalitas tidak dapat dilakukan.(1)
Kanker paru sering tidak dapat dideteksi, sifatnya asimtomatis hingga
penyakit itu sudah parah. Sekitar 7-10% kasus, kanker paru didiagnosis secara
tidak sengaja, pada pasien asimtomatis, ketika radiografi toraks dilakukan untuk
tujuan lainnya, yang menyatakan penyakitnya. Beberapa tanda berkaitan penyakit
paru mungkin dapat ditemukan pada Non-small cell lung cancer (NSCLC). Tanda
sistemik yang mungkin ditemukan adalah berat badan turun tanpa sebab dan
demam yang tidak terlalu tinggi.(1)
Karena penentuan stadium sangat menentukan terapi, maka setiap pasien
harus ditentukan stadiumnya secara adekuat. Terapi yang mungkin dilakukan
adalah operasi, kemoterapi, dan radiasi. Karena sebagian besar kanker paru sudah
tidak dapat disembuhkan dengan modalitas terapeutik, maka terapi paliatif sangat
diperlukan.(1)
Efusi pleura adalah akumulasi cairan tidak normal di rongga pleura yang
diakibatkan oleh transudasi atau eksudasi yang berlebihan dari permukaan pleura.
Efusi pleura selalu abnormal dan mengindikasikan terdapat penyakit yang
mendasarinya. Efusi pleura dapat terjadi sebagai komplikasi dari berbagai
penyakit. Penyakit jantung kongestif dan sirosis hepatis merupakan penyebab
tersering efusi transudatif sedangkan keganasan dan tuberkulosis (TB)
merupakan penyebab tersering efusi eksudatif.
Pada laporan kasus ini akan dibahas mengenai tumor paru dengan
komplikasi efusi pleura yang terjadi pada pasien ini.

2
TINJAUAN PUSTAKA

KANKER PARU

DEFINISI
Kanker paru adalah penyakit dengan ciri khas adanya pertumbuhan sel yang
tidak terkontrol pada jaringan paru-paru.

JENIS
Kanker paru secara umum dibagi menjadi dua kategori utama, yaitu small
cell lung cancer (SCLC) and non-small cell lung cancer (NSCLC). NSCLC
berkisar 85% dari seluruh kasus kanker paru. Secara histologi, NSCLC dibagi
menjadi adenokarsinoma, squamous cell carcinoma (SCC) dan large cell
carcinoma.

EPIDEMIOLOGI
Di Amerika Serikat, kanker paru merupakan kanker paling sering, setelah
kanker prostat pada pria dan kanker payudara pada wanita. American Cancer
Society memproyeksikan ada 221.220 kanker pada paru dan bronkus didiagnosis
di Amerika Serikat pada tahun 2014, dengan 158.040 kematian. Sekitar 85% dari
kanker ini adalah NSCLC. Di Amerika Serikat, insiden kanker paru semakin
menurun sejak pertengahan tahun 1980-an. Di Inggris prevalensi kejadiannya
mencapai 40.000/tahun, sedangkan Indonesia menduduki peringkat 4 kanker
terbanyak, di RS Dharmais Jakarta tahun 1998 menduduki peringkat ketiga
setelah kanker payudara dan rahim. Angka kematian akibat kanker paru di seluruh
dunia mencapai kurang lebih satu juta penduduk tiap tahunnya. Di negara
berkembang lain dilaporkan insidennya naik dengan cepat antara lain karena
konsumsi rokok berlebihan seperti di China yang mengkonsumsi 30% rokok
dunia. Sebagian besar kanker paru mengenai pria (65%).

ETIOLOGI
Penyebab dari kanker paru, adalah sebagai berikut:
1. Rokok

3
Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru
sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan Doering
telah melaporkan tingginya insiden kanker paru pada perokok
dibandingkan dengan yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara rata-
rata jumlah rokok yang dihisap per hari dengan tingginya insiden kanker
paru. Dikatakan bahwa, 1 dari 9 perokok berat akan menderita kanker
paru.
Rokok mengandung N-nitrosamin yang karsinogenik dan aromatik
polisiklik hidrokarbon yang dapat diinhalasi secara pasif oleh perokok
pasif. Kandungan karsinogen pada urin pada non-perokok adalah 1-5%.
Sebanyak 25% kanker paru pada non-perokok diidentifikasi sebagai
perokok pasif.
2. Paparan terhadap zat karsinogen :
- Asbestos, sering menimbulkan mesotelioma
- Radiasi ion pada pekerja tambang uranium
- Radon, arsen, kromium, nikel, polisiklik hidrokarbon, vinil klorida
Paparan terhadap asbes menunjukkan kontribusi yang kuat terhadap
kanker paru, mesotelioma malignant, dan fibrosis pulmonal. Paparan asbes
dapat meningkatkan resiko pertumbuhan kanker paru sebanyak 5 kali lipat.
Rokok dan paparan asbes bekerja secara sinergis dan jika terpapar
bersamaan, resiko terkena kanker paru 80-90 kali daripada populasi
kontrol.
3. Polusi udara
4. Faktor genetik
Terdapat perubahan/mutasi beberapa gen yang berperanan dalam kanker
paru, yakni : Proto oncogen, Tumor supressor gene, Gene encoding
enzyme
5. Teori onkogenesis
Terjadinya kanker paru didasari dari perubahan tampilnya gen supresor
tumor dalam genom (onkogen). Adanya inisiator mengubah gen supresor
tumor dengan cara menghilangkan (delesi/del) atau penyisipan
(insersi/inS) sebagian susunan pasangan basanya, tampilnya gen erbB1
dan atau neu/erbB2 berperan dalam anti apoptosis (mekanisme sel untuk

4
mati secara alamiah). Perubahan tampilan gen kasus ini menyebabkan sel
sasaran dalam hal ini sel paru berubah menjadi sel kanker dengan sifat
pertumbuhan yang otonom.
6. Diet
Beberapa penelitian melaporkan bahwa rendahnya konsumsi terhadap
betakarotene, selenium, dan vitamin A menyebabkan tingginya risiko
terkena kanker paru.
Tidak seperti keganasan lainnya, yang sebagian besar etiologinya tidak
diketahui, kanker paru dikenal sebagai penyakit yang disebabkan oleh rokok
sebanyak 90% pasien. Karena tidak semua perokok berkembang menjadi kanker
paru, dan tidak semua pasien kanker paru memiliki riwayat merokok, maka faktor
lain juga memiliki peran sebagai penyebab, baik secara mandiri ataupun berkaitan
dengan merokok. Studi oleh Bagnardi et al menemukan bahwa alkohol bukanlah
etiologi secara mandiri pada kanker paru. Faktor genetik mungkin berkontribusi
pada semua populasi, namun kontribusi faktor lain adalah spesifik pada populasi
tertentu.

PATOFISIOLOGI
Kedua paparan (secara lingkungan maupun okupasional) pada partikel agen
serta sensitivitas individu pada partikel ini berkontribusi terhadap terjadinya
kanker paru. Pada Amerika Serikat, merokok secara aktif bertanggung jawab
sekitar 90% pada terjadinya kasus kanker paru. Paparan okupasi yang bersifat
karsinogenik ada sekitar 9-15% penyebab karsinoma paru.
Rokok mengandung lebih dari 300 substansi berbahaya dengan sedikitnya
40 yang diketahui poten karsinogenik. Poliaromatik hidrokarbon dan nicotine-
derived nitrosamine ketone diketahui menyebabkan kerusakan DNA pada
binatang percobaan. Benzo-A-pyrine juga terlihat menyebabkan mutasi pada p53
dan gen supresor tumor lainnya. Sebagai tambahan, penyakit paru lain seperti
PPOK, fibrosis pulmonel idiopatik, dan tuberkulosis terlihat berhubungan dengan
meningkatnya frekuensi kanker.
Penelitian oleh Ito et al mengemukakan bahwa perubahan tipe histologik
pada kanker paru di Jepang dan Amerika berhubungan dengan perubahan tipe
rokok dari non-filter menjadi filter. Studi tersebut menyatakan bahwa perubahan

5
tipe sel terjadi sebagian besar pada kanker paru, yang berubah dari SCC menjadi
adenokarsinoma.
Teknik molekular yang canggih telah mengidentifikasi pembesaran onkogen
dan inaktivasi dari gen tumor supresor pada NSCLC. Penemuan yang paling
penting adalah mutasi melibatkan ras onkogen. Keluarga ras onkogen mempunyai
3 anggota: H-ras, K-ras, dan N-ras. Gen ini mengkode protein pada bagian dalam
dari membran sel dengan aktivitas guanosin trifosfat dan mungkin melibatkan
transduksi sinyal. Penelitian pada manusia menyatakan aktivasi tiga ras tersebut
berkontribusi pada progresivitas tumor pada kanker paru. Mutasi ras ini terjadi
terutama pada adenokarsinoma dan ditemukan pada 30% kasus tersebut. Namun
mutasi ini tidak ditemukan pada adenokarsinoma yang berkembang pada pasien
yang tidak merokok. Abnormalitas molekular ditemukan juga pada NSCLC
termasuk mutasi pada onkogen c-myc dan c-raf pada gen tumor supresor.
Penelitian Bruin dan kolega menemukan bahwa adalah periode yang lama
antara dimulainya mutasi dan gejala klinis, yang terlihat setelah mutasi baru
mengstimulasi perkembangan penyakit secara cepat. Pada beberapa perokok,
mutasi inisial terjadi ketika mereka sedang merokok sekitar 20 tahun yang lalu.
Semakin waktu berjalan, mutasi tersebut dikendalikan oleh protein yang disebut
APOBEC.
Kanker paru secara umum dibagi menjadi 2 kategori utama, yaitu SCLC dan
NSCLC. NSCLC berkisar antara 85% dari semua kanker paru. NSCLC dibagi lagi
menjadi adenokarsinoma dan SCC, dan karsinoma sel besar.
1. Adenokarsinoma: terbentuk dari kelenjar mukosa bronkus, adalah kanker
NSCLC yang paling sering di Amerika Serikat, merepresentasikan 35-
40% dari semua kanker paru. Tipe ini adalah subtipe yang ditemukan
lebih banyak pada orang yang tidak merokok, yang biasanya terjadi pada
lokasi perifer dari paru, pada beberapa kasus di tempat yang dulunya
memiliki jejas, atau inflamasi.
Karsinoma bronkoalveolar berasal dari pneumosit tipe II dan bertumbuh
sepanjang alveolar septa. Subtipe ini mungkin bermanifestasi sebagai
nodul perifer yang soliter, multifokal, atau bentuk pneumonik yang
berkembang cepat. Karakteristik yang ditemukan pada pasien dengan
penyakit yang sudah parah adalah sputum yang cair dan banyak

6
2. Karsinoma sel skuamosa: terdiri dari 25-30% dari semua kasus kanker
paru. Kalau adenokarsinoma adalah di tempat yang perifer, maka KSS ini
ditemukan pada bagian sentral dari paru. Manifestasi klasik adalah lesi
kavitas pada bronkus proksimal. Tipe ini secara histologis memiliki
karakteristik adanya mutiara keratin dan dapat dideteksi dengan uji
sitologi karena memiliki kecenderungan untuk mengelupas. Tipe ini
adalah tipe yang paling sering berhubungan dengan hiperkalsemia.
3. Karsinoma sel besar: sekitar 10-15% dari seluruh kasus kanker paru,
yang secara tipikal sebagai masa perifer yang besar pada rontgen toraks.
Secara histologis, ditemukan sel-sel yang atipik dengan nekrosis fokal,
dan tidak ditemukannya keratinisasi (seperti pada KSS) atau
pembentukan kelenjar (seperti pada adenokarsinoma).
Dengan prosedur histopatologis yang sudah berkembang dan penggunaan
mikroskop elektron, sebagian besar NSCLC yang sebelumnya dikategorikan
sebagai karsinoma sel besar, diidentifikasi sebagai adenokarsinoma tidak
teridentifikasi, atau lebih jarang lagi, sebagai KSS.(1)

GELAJA KLINIS
Gambaran klinik penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit
paru lainnya, terdiri dari keluhan subjektif dan gejala objektif. Dari anamnesis
akan didapatkan keluhan utama dan perjalanan penyakit, serta faktor-faktor lain
yang sering sangat membantu tegaknya diagnosis. Keluhan utama dapat berupa:
 Batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga purulen)
 Batuk darah
 Sesak napas
 Suara serak
 Nyeri dada
 Sulit / sakit menelan
 Benjolan di pangkal leher

Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak menunjukkan gejala-gejala


klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti sudah stadium lanjut.
Gejala-gejala dapat bersifat:

7
 Lokal (tumor tumbuh setempat):
o Batuk baru atau batuk lebih hebat pada batuk kronis
o Hemoptisis
o Mengi (wheezing, stridor) karena ada obstruksi saluran napas
o Kadang terdapat kavitas seperti abses paru
o Atelektasis
 Invasi lokal
o Nyeri dada
o Dispnoe karena efusi pleura
o Invasi ke perikardium.
o Sindroma vena kava superior
o Sindrom Horner
o Suara serak, karena penekanan pada nervus laringeal rekurer
 Gejala Penyakit Metastasis
o Pada otak, tulang, hati, adrenal
o Limfadenopati servikal dan supraklavikula
 Sindrom Paraneoplastik: terdapat pada 10% kanker paru dengan
gejala:
o Sistemik: penurunan BB, anoreksia, demam
o Hematologi: leukositosis, anemia, hiperkoagulasi
o Hipertrofi osteoartropati
o Neurologik: dementia, ataksia, tremor, neuropati perifer
o Endokrin: sekresi berlebihan pada hormon paratiroid
(hiperkalsemia)
o Dermatologik: eritema multiform, hiperkeratosis, jari tabuh
 Asimtomatis dengan kelainan radiologis:
o Sering terdapat pada perokok dengan PPOK/COPD yang
terdeteksi secara radiologis
o Kelainan berupa nodul soliter

Tidak jarang yang pertama terlihat adalah gejala atau keluhan akibat
metastasis di luar paru, seperti kelainan yang timbul akibat kompresi hebat

8
di otak, pembesaran hepar, atau patah tulang kaki. Gejala dan keluhan yang
tidak khas, seperti:
 Berat badan berkurang
 Nafsu makan hilang
 Demam hilang timbul
 Sindrom paraneoplastik, seperti “Hypertropic pulmonary
osteoartheopathy”, trombosis vena perifer dan neuropatia

PEMERIKSAAN FISIK
Pemeriksaan fisik harus dilakukan secara menyeluruh dan teliti. Hasil yang
didapat sangat bergantung pada kelainan saat pemeriksaan dilakukan. Tumor paru
ukuran kecil dan terletak di perifer dapat memberikan gambaran normal pada
pemeriksaan. Tumor dengan ukuran besar, terlebih bila disertai atelektasis sebagai
akibat kompresi bronkus, efusi pleura atau penekanan vena kava akan meberikan
hasil yang lebih informatif. Pemeriksaan ini juga dapat memberikan data untuk
penentuan stage penyakit, seperti pembesaran KGB atau tumor di luar paru.
Metastasis ke organ lain juga dapat dideteksi dengan perabaan hepar, pemeriksaan
funduksopi untuk mendeteksi peninggian tekanan intrakranial dan terjadinya
fraktur sebagai akibat metastasis ke tulang.

PEMERIKSAAN PENUNJANG
1. Gambaran Radiologis
Hasil pemeriksaan radiologis adalah salah satu pemeriksaan penunjang
yang mutlak dibutuhkan untuk menentukan lokasi tumor primer dan
metastasis, serta penentuan stadium penyakit berdasarkan sistem TNM.
Pemeriksaan radiologi paru yaitu foto toraks PA/lateral, bila mungkin
CT-scan toraks, bone scan, Bone survey, USG abdomen dan Brain-CT
dibutuhkan untuk menentukan letak kelainan, ukuran tumor dan
metastasis.
a. Foto toraks : Pada pemeriksaan foto toraks PA/lateral akan dapat
dilihat bila masa tumor dengan ukuran tumor lebih dari 1 cm.
Tanda yang mendukung keganasan adalah tepi yang ireguler,
disertai identasi pleura, tumor satelit tumor, dll. Pada foto tumor

9
juga dapat ditemukan telah invasi ke dinding dada, efusi pleura,
dan metastasis intrapulmoner. Sedangkan keterlibatan KGB untuk
menentukan N agak sulit ditentukan dengan foto toraks saja.
Seorang penderita yang tergolong dalam golongan resiko tinggi
(GRT) dengan diagnosis penyakit paru, harus disertai di follow
up yang teliti. Pemberian OAT yang tidak menunjukan perbaikan
atau bahkan memburuk setelah 1 bulan harus menyingkirkan
kemungkinan kanker paru, tetapi lain masalahnya pengobatan
pneumonia yang tidak berhasil setelah pemberian antibiotik
selama 1 minggu juga harus menimbulkan dugaan kemungkinan
tumor dibalik pneumonia tersebut. Bila foto toraks menunjukkan
gambaran efusi pleura yang luas harus diikuti dengan
pengosongan isi pleura dengan pungsi berulang atau pemasangan
WSD dan ulangan foto toraks agar bila ada tumor primer dapat
diperlihatkan. Keganasan harus dipikirkan bila cairan bersifat
produktif, dan/atau cairan serohemoragik.
b. CT-Scan toraks : Teknik pencitraan ini dapat menentukan
kelainan di paru secara lebih baik daripada foto toraks. CT-scan
dapat mendeteksi tumor dengan ukuran lebih kecil dari 1 cm
secara lebih tepat. Demikian juga tanda-tanda proses keganasan
juga tergambar secara lebih baik, bahkan bila terdapat penekanan
terhadap bronkus, tumor intra bronkial, atelektasis, efusi pleura
yang tidak masif dan telah terjadi invasi ke mediastinum dan
dinding dada meski tanpa gejala. Lebih jauh lagi dengan CT-scan,
keterlibatan KGB yang sangat berperan untuk menentukan stage
juga lebih baik karena pembesaran KGB (N1 s/d N3) dapat
dideteksi. Demikian juga ketelitiannya mendeteksi kemungkinan
metastasis intrapulmoner.
c. Pemeriksaan radiologik lain : Kekurangan dari foto toraks dan
CT-scan toraks adalah tidak mampu mendeteksi telah terjadinya
metastasis jauh. Untuk itu dibutuhkan pemeriksaan radiologik
lain, misalnya Brain-CT untuk mendeteksi metastasis di tulang
kepala / jaringan otak, bone scan dan/atau bone survey dapat

10
mendeteksi metastasis diseluruh jaringan tulang tubuh. USG
abdomen dapat melihat ada tidaknya metastasis di hati, kelenjar
adrenal dan organ lain dalam rongga perut.
2. Pemeriksaan Histopatologi
a. Bronkoskopi
Bronkoskopi adalah pemeriksaan dengan tujuan diagnostik
sekaligus dapat dihandalkan untuk dapat mengambil jaringan atau
bahan agar dapat dipastikan ada tidaknya sel ganas. Pemeriksaan
ada tidaknya masa intrabronkus atau perubahan mukosa saluran
napas, seperti terlihat kelainan mukosa tumor misalnya,
berbenjol-benjol, hiperemis, atau stinosis infiltratif, mudah
berdarah. Tampakan yang abnormal sebaiknya di ikuti dengan
tindakan biopsi tumor/dinding bronkus, bilasan, sikatan atau
kerokan bronkus. Modifikasi dari bronkoskopi serat optik dapat
berupa :
- Trans-bronchial Needle-Aspiration (TBNA)
Dikerjakan terhadap nodul getah bening dihilus atau mediastinum.
Hasilnya akan lebih baik bila dituntun dengan CT-Scan.
- Trans bronchial Lung Biopsy (TBLB)
Jika lesi kecil dan lokasi agak di perifer serta ada sarana untuk
fluoroskopi maka biopsi paru lewat bronkus (TBLB) dapat
dilakukan.
- Fluorescence bronchoscopy
- Ultrasound bronchoscopy
b. Biopsi Transtorakal (Transthoraxic Biopsy, TTB)
Jika lesi terletak di perifer dan ukuran lebih dari 2 cm,
sensitivitasnya mencapai 90-95%. TTB dengan bantuan
flouroscopic angiography. Namun jika lesi lebih kecil dari 2 cm
dan terletak di sentral dapat dilakukan TTB dengan tuntunan CT-
scan. Komplikasi pneumothorax dapat mencapai 20-25% dan
hemoptisis sampai 20%, namun dengan persiapan yang lebih baik
komplikasi bisa diperkecil.

11
c. Biopsi lain
Biopsi jarum halus dapat dilakukan bila terdapat pembesaran
KGB atau teraba masa yang dapat terlihat superfisial. Biopsi
KBG harus dilakukan bila teraba pembesaran KGB
supraklavikula, leher atau aksila, apalagi bila diagnosis
sitologi/histologi tumor primer di paru belum diketahui. Biopsi
Daniels dianjurkan bila tidak jelas terlihat pembesaran KGB
suparaklavikula dan cara lain tidak menghasilkan informasi
tentang jenis sel kanker. Pungsi dan biopsi pleura harus dilakukan
jika ada efusi pleura.
d. Torakoskopi
Dengan tindakan ini massa tumor di bagian perifer paru, pleura
viseralis, pleura parietal dan mediastinum dapat dibiopsi dengan
cara Video Assisted Thorascoscopy yang memiliki sensitivitas dan
spesifisitas hingga 100% dengan komplikasi yang terjadi amat
kecil.
e. Sitologi sputum
Sitologi sputum adalah tindakan diagnostik yang paling mudah
dan murah. Kekurangan pemeriksaan ini terjadi bila tumor ada di
perifer, penderita batuk kering dan teknik pengumpulan dan
pengambilan sputum yang tidak memenuhi syarat. Dengan
bantuan inhalasi NaCl 3% untuk merangsang pengeluaran sputum
dapat ditingkatkan. Semua bahan yang diambil dengan
pemeriksaan tersebut di atas harus dikirim ke laboratorium
Patologi Anatomik untuk pemeriksaan sitologi/histologi. Bahan
berupa cairan harus dikirim segera tanpa fiksasi, atau dibuat
sediaan apus, lalu difiksasi dengan alkohol absolut atau minimal
alkohol 90%. Semua bahan jaringan harus difiksasi dalam
formalin 4%.
3. Pemeriksaan Invasif Lain
Pada kasus yang rumit terkadang tindakan invasif seperti torakoskopi dan
tindakan bedah mediastinoskopi, torakotomi eksplorasi dan biopsi paru
terbuka dibutuhkan agar diagnosis dapat ditegakkan. Tindakan ini

12
merupakan pilihan terakhir bila dari semua cara pemeriksaan yang telah
dilakukan, diagnosis histologis / patologis tidak dapat ditegakkan.
Semua tindakan diagnosis untuk kanker paru diarahkan agar dapat
ditentukan :
1. Jenis histologis.
2. Derajat (staging).
3. Tampilan (tingkat tampil, "performance status").
Sehingga jenis pengobatan dapat dipilih sesuai dengan kondisi
penderita.(2)
4. Pemeriksaan Lain
a. Petanda Tumor
Petanda tumor seperti CEA, Cyfra 21-1, NSE dan lainnya tidak dapat
digunakan untuk mendiagnosis tetapi masih digunakan evaluasi hasil
pengobatan.
CEA (Carcinoembryonic Antigen)
CEA adalah tumor marker yang paling sering digunakan untuk
mendeteksi tumor paru, namun CEA sendiri juga berhubungan
dengan tumor yang lainnya. Tidak ada tumor marker spesifik untuk
kanker paru. Penggunaan tumor marker untuk kanker paru jarang
dilakukan karena kurang sensitivitasnya dan spesifitasnya, namun
kegunaan pada monitoring penyakit dapat diandalkan. Beberapa
peneliti merekomendasikan penggunaan beberapa tumor marker
sebagai kombinasi untuk follow-up pasien kanker paru, namun
kombinasi yang paling berguna sekalipun masih dalam pembahasan.
Beberapa tumor marker yang dapat digunakan adalah CEA, CA-125,
SCC, Cyfra 21-1 dan NSE, dengan sensitivas masing-masing adalah:
Cyfra 21-1: 50%, CA 125: 55%, CEA 52%, dan NSE 52%. Khusus
untuk CEA sendiri, nilai rujukannya adalah < 2,5ng/ml untuk non-
perokok, dan <5ng/ml untuk perokok. Jika nilai CEA >10ng/ml,
mengindikasikan kemungkinan adanya metastasis.
b. Pemeriksaan biologi molekuler. Pemeriksaan biologi molekuler
semakin berkembang, cara paling sederhana dapat menilai ekspresi
beberapa gen atau produk gen yang terkait dengan kanker paru,

13
seperti protein p53, bcl2, dan lainya. Manfaat utama dari pemeriksaan
biologi molekuler adalah menentukan prognosis penyakit.
5. Jenis histologis
Untuk menentukan jenis histologis, secara lebih rinci dipakai klasifikasi
histologis menurut WHO tahun 1999, tetapi untuk kebutuhan klinis
cukup jika hanya dapat diketahui:
1. Karsinoma skuamosa (karsinoma epidermoid)
2. Karsinoma sel kecil (small cell carcinoma)
3. Adenokarsinoma (adenocarcinoma)
4. Karsinoma sel besar (large cell carcinoma)
Berbagai keterbatasan sering menyebabkan dokter specialis Patologi
Anatomi mengalami kesulitan menetapkan jenis sitologi/histologis yang
tepat.
Karena itu, untuk kepentingan pemilihan jenis terapi, minimal harus
ditetapkan, apakah termasuk kanker paru karsinoma sel kecil (SCLC)
atau kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil (NSCLC).
5. Penderajatan
Penderajatan untuk NSCLC ditentukan menurut International System For
Lung Cancer 1997, berdasarkan sistem TNM. Pengertian T adalah tumor
yang dikategorikan atas Tx, To s/d T4, N untuk keterlibatan kelenjar
getah bening (KGB) yang dikategorikan atas Nx, No s/d N3, sedangkan
M adalah menunjukkan ada atau tidaknya metastasis jauh.

TNM
Stage
T N M

Occult Carcinoma Tx N0 M0

0 Tis N0 M0

IA T1 N0 M0

IB T2 N0 M0

II A T1 N1 M0

14
TNM
Stage
T N M

II B T2 N1 M0

III A T1-3 N2 M0
T3 N1 M0

III B T4 N1-3 M0
T1-4 N3 M0

IV T1-4 N1-3 M1

Keterangan:
T : Tumor Primer
T0 : Tidak ada bukti adanya tumor primer.
Tx : Tumor primer sulit dinilai, atau tumor primer terbukti dari
penemuan sel tumor ganas pada sekret bronkopulmoner tetapi tidak
tampak secara radiologis atau bronkoskopi.
Tis : Karsinoma in situ
T1 : Tumor dengan garis tengah terbesar tidak lebih dari 3 cm,
dikelilingi oleh jaringan paru atau pleura visceral dan secara
bronkoskopik invasi tidak lebih proksimal dari bronkus lobus
(belum sampai ke bronkus utama). Tumor supervisial sebarang
ukuran dengan komponen invasif terbatas pada dinding bronkus
yang meluas ke proksimal bronkus utama.
T2 : Setiap tumor dengan ukuran atau perluasan sebagai berikut:
 Garis tengah terbesar lebih dari 3 cm
 Mengenai bronkus utama sejauh 2 cm atau lebih distal
 Berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis
obstruktif yang meluas ke daerah hilus, tetapi belum
mengenai seluruh paru
T3 : Tumor ukuran apapun, dengan perluasan langsung pada dinding
dada (termasuk tumor sulkus superior), diafragma, pleura
mediastinum, atau tumor dalam bronkus utama yang jaraknya

15
kurang dari 2 cm sebelah distal karina atau tumor yang
berhubungan dengan atelektasis atau pneumonitis obstruktif
seluruh paru
T4 : Tumor sebarang ukuran yang mengenai mediastinum atau
jantung, pembuluh besar, trakea, esofagus, korpus vertebra, karina,
tumor yang disertai dengan efusi pleura ganas atau satelit tumor
nodul ipsilateral pada lobus yang sama dengan tumor primer.

N : Kelenjar getah bening regional (KGB)


Nx : Kelenjar getah bening tak dapat dinilai
N0 : Tak terbukti keterlibatan kelenjaar getah bening
N1 : Metastasis pada kelenjar peribronkial dan/atau hilus ipsilateral,
termasuk perluasan tumor secara langsung
N2 : Metastasis pada kelenjar getah bening mediastinum ipsilateral
dan/atau KGB subkarina
N3 : Metastasis pada hilus atau mediastinum kontralateral atau KGB
skalenus/supraklavikula ipsilateral/ kontralateral

M : Metastasis
Mx : Metastasis tak dapat dinilai
M0 : Tak ditemukan metastasis jauh
M1 : Ditemukan metastasis jauh

6. Tampilan
Tampilan penderita kanker paru berdasarkan keluhan subyektif dan
obyektif yang dapat dinilai oleh dokter. Ada beberapa skala international
untuk menilai tampilan ini, antara lain berdasarkan Karnofsky Scale yang
banyak dipakai di Indonesia, tetapi juga dapat dipakai skala tampilan
WHO. Tampilan inilah yang sering jadi penentu dapat tidaknya
kemoterapi atau radioterapi kuratif diberikan.

16
Karnofsky WHO Batasan

90-100 0 Aktivitas normal

70-80 1 Ada keluhan, tapi masih aktif, dapat mengurus sendiri

50-60 2 Cukup aktif, namun kadang memerlukan bantuan

30-40 3 Kurang aktif, perlu perawatan

10-20 4 Tidak dapat meninggalkan tempat tidur, perlu dirawat


di RS

0-10 - Tidak sadar

Diagnosis banding kanker paru:

 Tumor mediastinum
 Tuberculosis paru
 Bronkopneumoni
 PPOK
 Metastasis tumor di paru
 Tuberkuloma

DIAGNOSIS
Untuk mendiagnosis kanker paru berdasarkan hasil dari anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang radiologi dengan menentukan
apakah lesi intra torakal tersebut sebagai tumor jinak atau ganas. Kemudian
tentukan staging penyakit serta letak lesi sentral atau perifer, yang bertujuan untuk
menentukan cara pengambilan jaringan tumor.

PENATALAKSANAAN
Pengobatan kanker paru adalah combined modality therapy (multi-modaliti
terapi). Kenyataannya pada saat pemilihan terapi, sering bukan hanya diharapkan
pada jenis histologis, derajat dan tampilan penderita saja tetapi juga kondisi non-

17
medis seperti fasilitas yang dimiliki rumah sakit dan ekonomi penderita juga
merupakan faktor yang amat menentukan. Indikasi pembedahan pada kanker paru
adalah untuk NSCLC stadium I dan II. Pembedahan juga merupakan bagian dari
“combine modality therapy”, misalnya kemoterapi neoadjuvan untuk NSCLC
stadium IIIA. Indikasi lain adalah bila ada kegawatan yang memerlukan intervensi
bedah, seperti kanker paru dengan sindroma vena kava superiror berat. Prinsip
pembedahan adalah sedapat mungkin tumor direseksi lengkap berikut jaringan
KGB intrapulmoner, dengan lobektomi maupun pneumonektomi. Segmentektomi
atau reseksi baji hanya dikerjakan jika faal paru tidak cukup untuk lobektomi.
Tepi sayatan diperiksa dengan potong beku untuk memastikan bahwa batas
sayatan bronkus bebas tumor. KGB mediastinum diambil dengan diseksi
sistematis, serta diperiksa secara patologi anatomis.

PROGNOSIS
Angka kematian karena kanker paru tinggi. Di Eropa, survival rate 5 years
sekitar 11%. Angka survival rate 5 years yang paling tinggi yang dilaporkan
terdapat di Amerika Serikat. Amerika Serikat mencatat dari tahun 2004-2010
bahwa angka survival rate 5 years dari kanker paru sekitar 16,8%, yang
merefleksikan perkembangan yang membaik walaupun lambat. Namun, tingkat
survival seseorang tergantung dari stage kanker paru yang dideritanya. Estimasi
survival rate 5 years berdasarkan stage penyakit adalah sebagai berikut:

 Stage IA - 75%
 Stage IB - 55%
 Stage IIA - 50%
 Stage IIB - 40%
 Stage IIIA - 10-35%
 Stage IIIB - kurang dari 5%
 Stage IV - kurang dari 5%

18
EFUSI PLEURA

DEFINISI
Efusi pleura adalah suatu keadaan dimana terdapat penumpukan cairan
dari dalam kavum pleura diantara pleura parietalis dan pleura viseralis dapat
berupa cairan transudat atau cairan eksudat. Efusi pleura adalah jumlah cairan ion
purulen yang berlebihan dalam rongga pleura, antara lain visceral dan parietal.
Efusi pleura merupakan akumulasi cairan di dalam rongga pleura.

ANATOMI DAN FISIOLOGI KAVUM PLEURA


Kavum thoraks adalah ruangan bagian tubuh yang terletak diantara leher
dan abdomen, dibatasi oleh sternum dan costa bagian depan didepannya, columna
vertebralis dibelakang, lengkung costa dilateral, apertura thoraks superior diatas
dan diafragma dibawah. Didalam kavum thoraks terdapat : kavum pleura (paru-
paru kanan dan kiri beserta pleuranya masing-masing) dan mediastinum.
Pleura terletak dibagian terluar dari paru-paru dan mengelilingi paru. Pleura
disusun oleh jaringan ikat fibrosa yang didalamnya terdapat banyak kapiler limfa
dan kapiler darah serta serat saraf kecil. Pleura disusun juga oleh sel-sel (terutama
fibroblast dan makrofag). Pleura paru ini juga dilapisi oleh selapis mesotel. Pleura
merupakan membran tipis, halus, dan licin yang membungkus dinding
anteriortoraks dan permukaan superior diafragma. Lapisan tipis ini mengandung
kolagen dan jaringan elastis.

Ada 2 macam pleura yaitu pleura parietalis dan pleura viseralis. Pleura
parietalis melapisi toraks atau rongga dada sedangkan pleura viseralis melapisi
paru-paru. Kedua pleura ini bersatu pada hilus paru. Dalam beberapa hal terdapat

19
perbedaan antara kedua pleura ini yaitu pleura viseralis bagian permukaan luarnya
terdiri dari selapis sel mesotelial yang tipis (tebalnya tidak lebih dari 30 𝜇𝑚 )
Diantara celah-celah sel ini terdapat beberapa sel limfosit. Di bawah sel-sel
mesotelia ini terdapat endopleura yang berisi fibrosit dan histiosit. Seterusnya
dibawah ini (dinamakan lapisan tengah) terdapat jaringan kolagen dan serat-serat
elastik. Pada lapisan terbawah terdapat jaringan interstitial subpleura yang sangat
banyak mengandung pembuluh darah kapiler dari A. Pulmonalis dan A.
Brankialis serta pembuluh getah bening. Keseluruhan jaringan pleura viseralis ini
menempel dengan kuat pada jaringan parenkim paru. Pleura parietalis mempunyai
lapisan jaringan lebih tebal dan terdiri dari sel-sel mesotelial juga dan jaringan
ikat (jaringan kolagen dan serat-serat elastic). Dalam jaringan ikat, terdapat
pembuluh kapiler dari A.Interkostalis dan A. Mammaria interna, pembuluh getah
bening dan banyak reseptor saraf-saraf sensorik yang peka terhadap rasa sakit dan
perbedaan temperatur. Sistem persarafan ini berasal dari nervus intercostalis
dinding dada. Keseluruhan jaringan pleura parietalis ini menempel dengan mudah,
tapi juga mudah dilepaskan dari dinding dada di atasnya.
Di antara pleura terdapat ruangan yang disebut spasium pleura, yang
mengandung sejumlah kecil cairan yang melicinkan permukaan dan
memungkinkan keduanya bergeser secara bebas pada saat ventilasi. Cairan
tersebut dinamakan cairan pleura. Cairan ini terletak antara paru dan thoraks.
Tidak ada ruangan yang sesungguhnya memisahkan pleura parietalis dengan
pleura viseralis sehingga apa yang disebut sebagai rongga pleura atau kavitas
pleura hanyalah suatu ruangan potensial. Tekanan dalam rongga pleura lebih
rendah daripada tekanan atmosfer sehingga mencegah kolaps paru. Jumlah normal
cairan pleura adalah 10-20 cc.
Cairan pleura berfungsi untuk memudahkan kedua permukaan pleura
parietalis dan pleura viseralis bergerak selama pernapasan dan untuk mencegah
pemisahan toraks dan paru yang dapat dianalogkan seperti dua buah kaca objek
yang akan saling melekat jika ada air. Kedua kaca objek tersebut dapat bergeseran
satu dengan yang lain tetapi keduanya sulit dipisahkan. Cairan pleura dalam
keadaan normal akan bergerak dari kapiler di dalam pleura parietalis ke ruang
pleura kemudian diserap kembali melalui pleura viseralis. Hal ini disebabkan
karena perbedaan tekanan antara tekanan hidrostatik darah yang cenderung

20
mendorong cairan keluar dan tekanan onkotik dari protein plasma yang cenderung
menahan cairan agar tetap di dalam. Selisih perbedaan absorpsi cairan pleura
melalui pleura viseralis lebih besar daripada selisih perbedaan pembentukan
cairan oleh pleura parietalis dan permukaan pleura viseralis lebih besar dari pada
pleura parietalis sehingga dalam keadaan normal hanya ada beberapa mililiter
cairan di dalam rongga pleura.

PATOFISIOLOGI
Patofisiologi terjadinya efusi pleura tergantung pada keseimbangan antara
cairan dan protein dalam rongga pleura. Dalam keadaan normal cairan pleura
dibentuk secara lambat sebagai filtrasi melalui pembuluh darah kapiler. Filtrasi
yang terjadi karena perbedaan tekanan osmotic plasma dan jaringan interstitial
submesotelial kemudian melalui sel mesotelial masuk ke dalam rongga pleura.
Selain itu cairan pleura dapat melalui pembuluh limfe sekitar pleura. Pada kondisi
tertentu rongga pleura dapat terjadi penimbunan cairan berupa transudat maupun
eksudat. Transudat terjadi pada peningkatan tekanan vena pulmonalis, misalnya
pada gagal jantung kongestif. Pada kasus ini keseimbangan kekuatan
menyebabkan pengeluaran cairan dari pembuluh darah. Transudasi juga dapat
terjadi pada hipoproteinemia seperti pada penyakit hati dan ginjal. Penimbunan
transudat dalam rongga pleura disebut hidrotoraks. Cairan pleura cenderung
tertimbun pada dasar paru akibat gaya gravitasi. Penimbunan eksudat disebabkan
oleh peradangan atau keganasan pleura, dan akibat peningkatan permeabilitas
kapiler atau gangguan absorpsi getah bening. Jika efusi pleura mengandung
nanah, keadaan ini disebut empiema. Empiema disebabkan oleh perluasan infeksi
dari struktur yang berdekatan dan dapat merupakan komplikasi dari pneumonia,
abses paru atau perforasi karsinoma ke dalam rongga pleura. Bila efusi pleura
berupa cairan hemoragis disebut hemotoraks dan biasanya disebabkan karena
trauma maupun keganasan. Efusi pleura akan menghambat fungsi paru dengan
membatasi pengembangannya. Derajat gangguan fungsi dan kelemahan
bergantung pada ukuran dan cepatnya perkembangan penyakit. Bila cairan
tertimbun secara perlahan-lahan maka jumlah cairan yang cukup besar mungkin
akan terkumpul dengan sedikit gangguan fisik yang nyata. Kondisi efusi pleura
yang tidak ditangani, pada akhirnya akan menyebabkan gagal nafas. Gagal nafas

21
didefinisikan sebagai kegagalan pernafasan bila tekanan partial oksigen (Pa O2) <

60 mmHg atau tekanan partial karbondioksida arteri (Pa Co2) > 50 mmHg

melalui pemeriksaan analisa gas darah. Dalam keadaan normal, selalu terjadi
filtrasi cairan ke dalam rongga pleura melalui kapiler pada pleura parietalis tetapi
cairan ini segera direabsorpsi oleh saluran limfe, sehingga terjadi keseimbangan
antara produksi dan reabsorpsi, tiap harinya diproduksi cairan kira-kira 16,8 ml
(pada orang dengan berat badan 70 kg). Kemampuan untuk reabsorpsinya dapat
meningkat sampai 20 kali. Apabila antara produk dan reabsorpsinya tidak
seimbang (produksinya meningkat atau reabsorpsinya menurun) maka akan
timbul efusi pleura. Diketahui bahwa cairan masuk kedalam rongga melalui
pleura parietal dan selanjutnya keluar lagi dalam jumlah yang sama melalui
membran pleura parietal melalui sistem limfatik dan vaskular. Pergerakan cairan
dari pleura parietalis ke pleura visceralis dapat terjadi karena adanya perbedaan
tekanan hidrostatik dan tekanan koloid osmotik. Cairan kebanyakan diabsorpsi
oleh sistem limfatik dan hanya sebagian kecil yang diabsorpsi oleh sistem kapiler
pulmonal. Hal yang memudahkan penyerapan cairan pada pleura visceralis adalah
terdapatnya banyak mikrovili di sekitar sel-sel mesothelial. Akumulasi cairan
pleura dapat terjadi bila: 1. Meningkatnya tekanan intravaskuler dari pleura
meningkatkan pembentukan cairan pleura melalui pengaruh terhadap hukum
Starling. Keadaan ini dapat terjadi pada gagal jantung kanan, gagal jantung kiri
dan sindroma vena kava superior. 2. Tekanan intra pleura yang sangat rendah
seperti terdapat pada atelektasis, baik karena obstruksi bronkus atau penebalan
pleura visceralis 3. Meningkatnya kadar protein dalam cairan pleura dapat
menarik lebih banyak cairan masuk ke dalam rongga pleura 4. Hipoproteinemia
seperti pada penyakit hati dan ginjal bisa menyebabkan transudasi cairan dari
kapiler pleura ke arah rongga pleura 5. Obstruksi dari saluran limfe pada pleura
parietalis. Saluran limfe bermuara pada vena untuk sistemik. Peningkatan dari
tekanan vena sistemik akan menghambat pengosongan cairan limfe.

22
BAB III

LAPORAN KASUS

A. Identitas Pasien
Nama : WW
Jenis Kelamin : Laki-laki
Umur : 55 tahun
Alamat : Sawangan Jaga III
Pekerjaan : Petani
Agama : Kristen Protestan
No. CM : 49.63.65
Masuk Tanggal : 31 Agustus 2017

B. Anamnesis
Keluhan utama : Nyeri dada kiri

Riwayat Penyakit Sekarang :


Pasien datang dengan keluhan utama nyeri dada kiri yang dirasakan sejak ± 1
bulan SMRS dan memberat sejak 1 hari SMRS. Pasien juga mengeluh sesak
namun hilang-timbul sejak ± 6 bulan yang lalu. Nyeri dada yang dirasakan tidak
menjalar ke tangan maupun leher penderita. Pasien mengeluh batuk (+) dan
demam (-), mual dan muntah (-), BAB dan BAK biasa. Pasien mengalami
penurunan napsu makan (+), keringat malam dirasakan pasien disertai dengan
penurunan berat badan (+) sejak ± 3 bulan terakhir.
Riwayat Penyakit Dahulu
 Riwayat penyakit sebelumnya :
Riwayat penyakit paru sebelumnya : Efusi pleura sinistra
Hipertensi (+)
 Riwayat penyakit jantung, hati, ginjal disangkal
 Riwayat trauma sebelumnya disangkal
 Riwayat operasi sebelumnya disangkal
 Riwayat alergi obat disangkal

23
Riwayat Penyakit Keluarga
Tidak ada keluarga yang menderita penyakit seperti ini.

Riwayat Kehidupan Sosial


Riwayat merokok (+) sejak ± 30 tahun yang lalu (1-2 batang/hari)

C. Pemeriksaan Fisik
Keadaan Umum : Pasien tampak sakit sedang
Kesadaran / GCS : Compos mentis (E4V6M5)
Tanda Vital : T : 130/70 mmHg
N : 78 x/menit
RR : 30 x/menit
Suhu : 36.0oC (Axilla)
Status Generalis :
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
Kulit
Turgor kulit (+) normal
D. Diagnosis kerja
Susp. Tumor paru sinistra

24
E. Penatalaksanaan
- IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
- Ketorolac inj 3x1 amp IV
- Ranitidin inj 2x1 amp IV
- Konsul bedah TKV :
Torakosintesis sinistra
F. Pemeriksaan penunjang
Laboratorium (12-9-2017)

Leukosit 7900 /uL

Eritrosit 4,02 x 106 / uL

Hemoglobin 9,8 g/dL

Hematokrit 31,3 %

Trombosit 433000

MCH 24,4 pg

MCHC 31,3 g/dL

MCV 77,9 fL

Ureum 13 mg/dL

Creatinin 0,7 mg/dL

GDS 68 mg/dL

SGOT 19 U/L

SGPT 12 U/L

Albumin 3.17 g/dL

Na 136 mEq/L

K 3.84 mEq/L

25
Cl 97.7 mEq/L

 X- foto thorax tanggal 30-8-2017

Kesan:

- Tumor paru sinistra + efusi pleura sinistra

26
 X- foto thorax tanggal 28-9-2017

27
 CT-Scan thorax tanggal 5-9-2017

28
Kesimpulan :

- Pemadatan disertai gambaran nekrosis sentral (suspect massa


maligna) pulmo sinistra dengan pembesaran KGB supraclavicular
sinistra. Terdapat efusi pleura lama yang sebagian sudah ada
organisasi sinistra.

G. Diagnosis
Tumor paru sinistra susp. malignancy + Efusi pleura sinistra
H. Tatalaksana
- Torakosintesis sinistra (31/8/017)
- Transthorakal biopsi paru sinistra (core biopsi) (14/9/2017)
Hasil PA : Sulit ditentukan karena yang menonjol hanya jaringan
ikat fibrokolagen (mungkin biopsi kurang dalam)
I. Laporan Operasi
- Penderita tidur terlentang di atas meja operasi
- Cek saturasi 100%, dilakukan disign tempat core biopsi

29
- Identifikasi tumor paru dengan menggunakan USG
- Dilakukan A dan Antisepsis lapangan operasi
- Dilakukan anestesi infiltrasi dengan Lidocain Hcl 2%
- Puncture jarum core biopsi dengan tuntunan USG, dilakukan biopsi
pengambilan sebanyak 2 kali
- Kontrol pendarahan
- Operasi selesai
J. Hasil pemeriksaan sebelumnya
Sitologi cairan pleura (17/2/2017) : Metastase adenokarsinoma

K. Follow up 30-08-2017
S: nyeri dada (+), sesak (+), demam (-), batuk(+)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 120/70 mmHg, N : 80x/m, RR: 28 x/m, SB: 36oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra + efusi pleura sinistra
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV

30
Follow up 31-08-2017
S: nyeri dada (+), sesak (+), demam (-), batuk(+)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 130/70 mmHg, N : 76x/m, RR: 28 x/m, SB: 36,3oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra + efusi pleura sinistra
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Post pungsi pleura paru sinistra

Follow up 04-09-2017
S: nyeri dada kiri(+), sesak (-)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 120/80 mmHg, N : 82x/m, RR: 24 x/m, SB: 36,4oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)

31
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV

Follow up 05-09-2017
S: sesak (-)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 120/80 mmHg, N : 80x/m, RR: 24 x/m, SB: 36,1oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)

32
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Pro CT-Scan Thoraks + Kontras

Follow up 07-09-2017
S: -
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 130/80 mmHg, N : 87x/m, RR: 24 x/m, SB: 36,2oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra
Adenocarsinoma
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV

33
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Kesimpulan hasil CT-Scan Thoraks :
Pemadatan disertai gambaran nekrosis sentral (suspect massa maligna)
pulmo sinistra dengan pembesaran KGB supraclavicular sinistra. Terdapat
efusi pleura lama yang sebagian sudah ada organisasi sinistra.

Follow up 10-09-2017
S: nyeri dada kiri (+), sesak (+)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 120/80 mmHg, N : 80x/m, RR: 24 x/m, SB: 36,1oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra
Adenocarsinoma
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV

34
Follow up 12-09-2017
S: nyeri dada kiri (+), sesak (+)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 120/80 mmHg, N : 80x/m, RR: 24 x/m, SB: 36,1oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Cek lab lengkap
Konsul poli nyeri
Laboratorium (12-9-2017)

Leukosit 7900 /uL

Eritrosit 4,02 x 106 / uL

Hemoglobin 9,8 g/dL

Hematokrit 31,3 %

35
Trombosit 433000

MCH 24,4 pg

MCHC 31,3 g/dL

MCV 77,9 fL

Ureum 13 mg/dL

Creatinin 0,7 mg/dL

GDS 68 mg/dL

SGOT 19 U/L

SGPT 12 U/L

Albumin 3.17 g/dL

Na 136 mEq/L

K 3.84 mEq/L

Cl 97.7 mEq/L

Follow up 13-09-2017
S: nyeri dada kiri (+), sesak (+)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 120/70 mmHg, N : 83x/m, RR: 24 x/m, SB: 36,oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :

36
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Laboratorium (13-9-2017)

Leukosit 8874 /uL

Eritrosit 4,23 x 106 / uL

Hemoglobin 10,2 g/dL

Hematokrit 32,8 %

Trombosit 418000

MCH 24,2 pg

MCHC 31,1 g/dL

MCV 77,6 fL

Ureum 21 mg/dL

Creatinin 0,7 mg/dL

37
GDS 118 mg/dL

SGOT 52 U/L

SGPT 11 U/L

Albumin 2,78 g/dL

Na 131 mEq/L

K 4.81 mEq/L

Cl 95.5 mEq/L

Follow up 14-09-2017
S: sesak (-)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 120/70 mmHg, N : 83x/m, RR: 24 x/m, SB: 36,oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra dd malignancy

38
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Pro transthorakal biopsi hari ini
Analgetik adekuat dari poli nyeri

Follow up 15-09-2017
S: sesak (-)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 130/70 mmHg, N : 85x/m, RR: 24 x/m, SB: 36,4oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra dd malignancy
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Post transthorakal biopsi (menunggu hasil)
Analgetik adekuat dari poli nyeri

39
Cek lab lengkap
Laboratorium (15-9-2017)

Leukosit 8054 /uL

Eritrosit 4,04 x 106 / uL

Hemoglobin 9,5 g/dL

Hematokrit 32,3 %

Trombosit 386000

MCH 23,4 pg

MCHC 29,2 g/dL

MCV 80 fL

Ureum 18 mg/dL

Creatinin 0,6 mg/dL

GDS 80 mg/dL

SGOT 12 U/L

SGPT 8 U/L

Albumin 2,78 g/dL

Na 131 mEq/L

K 3.81 mEq/L

Cl 98.0 mEq/L

Follow up 20-09-2017
S: sesak (-), nyeri (+)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 130/80 mmHg, N : 89x/m, RR: 28 x/m, SB: 36,1oC

40
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra dd malignancy
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Post transthorakal biopsi (menunggu hasil)
Hasil PA : Sulit ditentukan karena yang menonjol hanya jaringan ikat
fibrokolagen (mungkin biopsi kurang dalam)
Pro Open Thoracostomy

Follow up 22-09-2017
S: sesak (-), nyeri (+)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 130/80 mmHg, N : 89x/m, RR: 28 x/m, SB: 36,1oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :

41
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra dd malignancy
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Tramadol dalam 500 cc NaCl 0,9%

Follow up 26-09-2017
S: sesak (-), nyeri dada (-)
O: Ku tampak sakit sedang, Kes: CM
TD : 120/80 mmHg, N : 76x/m, RR: 24 x/m, SB: 36,1oC
Kepala : Konjungtiva anemis (+/+), pupil bulat isokor, ɸ 3 mm
kiri=kanan, RC+/+ normal.
Leher : Trakea letak tengah, pembesaran KGB (-)
Thoraks :
Paru
Inspeksi : Pergerakan dinding dada kiri tertinggal
dibandingkan kanan.
Palpasi : Stem fremitus kiri ꜜ dibandingkan kanan
Auskultasi : Kiri : Suara napas menurun
Perkusi : Kiri : redup Kanan : sonor
Jantung

42
BJ I-II regular, murmur (-), gallop (-)
Abdomen : datar, NT (-), bising usus (+) normal, timpani.
Ekstremitas superior : tidak ada kelainan
Ekstremitas inferior : tidak ada kelainan
A: Tumor paru sinistra dd malignancy
P: IVFD NaCl 0,9 %  14 gtt/m
Ketorolac inj 3x1 amp IV
Ranitidin inj 2x1 amp IV
Ceftriaxone inj 2x1 gr IV
Pro Open Thoracostomy
Rawat jalan kontrol poli bedah

43
BAB IV

PEMBAHASAN

Kanker paru adalah penyakit dengan ciri khas adanya pertumbuhan sel yang
tidak terkontrol pada jaringan paru-paru. Kanker paru secara umum dibagi
menjadi dua kategori utama, yaitu small cell lung cancer (SCLC) and non-small
cell lung cancer (NSCLC). NSCLC berkisar 85% dari seluruh kasus kanker paru.
Secara histologi, NSCLC dibagi menjadi adenokarsinoma, squamous cell
carcinoma (SCC) dan large cell carcinoma. Angka kematian akibat kanker paru
di seluruh dunia mencapai kurang lebih satu juta penduduk tiap tahunnya. Di
negara berkembang lain dilaporkan insidennya naik dengan cepat antara lain
karena konsumsi rokok berlebihan seperti di China yang mengkonsumsi 30%
rokok dunia. Sebagian besar kanker paru mengenai pria (65%).
Dari beberapa kepustakaan telah dilaporkan bahwa etiologi kanker paru
sangat berhubungan dengan kebiasaan merokok. Lombard dan Doering telah
melaporkan tingginya insiden kanker paru pada perokok dibandingkan dengan
yang tidak merokok. Terdapat hubungan antara rata-rata jumlah rokok yang
dihisap per hari dengan tingginya insiden kanker paru. Dikatakan bahwa, 1 dari 9
perokok berat akan menderita kanker paru.
Gejala klinis penyakit kanker paru tidak banyak berbeda dari penyakit paru
lainnya. Dari anamnesis akan didapatkan keluhan utama dan perjalanan penyakit,
serta faktor-faktor lain yang sering sangat membantu tegaknya diagnosis. Keluhan
utama seperti : batuk-batuk dengan / tanpa dahak (dahak putih, dapat juga
purulen), batuk darah, sesak napas, suara serak, nyeri dada, sulit / sakit menelan,
benjolan di pangkal leher. Pada fase awal kebanyakan kanker paru tidak
menunjukkan gejala-gejala klinis. Bila sudah menampakkan gejala berarti
mungkin sudah stadium lanjut.
Pada pasien ini penderita adalah seorang laki-laki berumur 55 tahun yang
memiliki riwayat penyakit efusi pleura sinistra beberapa bulan yang lalu, dan
dijumpai manifestasi klinis berupa nyeri dada kiri, sesak napas, batuk, serta
penurunan berat badan sejak ± 3 bulan yang lalu. Riwayat merokok sejak ± 30
tahun yang lalu (1-2 batang/hari). Pada pemeriksaan fisik ditemukan pergerakan
dinding dada kiri tertinggal, stem fremikus kiri menurun dibandingkan kanan,

44
suara pernapasan paru kanan vesikuler, sedangkan suara napas di paru kiri
menghilang. Pada perkusi didapatkan redup pada paru kiri dan sonor pada paru
kanan.

Pemeriksaan awal darah lengkap pada pasien ini tidak didapatkan


leukositosis.
Secara radiologi, foto rontgen thoraks PA/lateral merupakan pemeriksaan
awal sederhana yang dapat mendeteksi adanya kanker paru. Studi dari Mayo
Clinic USA menemukan 61% tumor paru terdeteksi dalam pemeriksaan rutin
dengan foto rontgen thoraks biasa. Namun pemeriksaan dengan CT-Scan lebih
sensitif daripada foto rontgen biasa, karena bisa mendeteksi kelainan atau nodul
dengan diameter minimal 3 mm. Untuk pemeriksaan yang lebih akurat, Positron
Emission Tomography (PET-Scanner) dapat membedakan tumor jinak dan ganas
berdasarkan perbedaan biokimia dalam metabolisme zat-zat seperti glukosa,
oksigen, protein, dan asam nukleat. Pemeriksaan histopatologi adalah gold
standart diagnosis kanker paru, untuk mendapatkan spesimennya dapat dengan
cara biopsi melalui bronkoskopi, transthorakal biopsi, torakoskopi,
mediastinoskopi, dan torakotomi.
Pada pemeriksaan foto rontgen thorax pasien ini, didapatkan gambaran
tumor paru sinistra dengan efusi pleura sinistra, sedangkan pemeriksaan CT-Scan
dengan kesimpulan pemadatan disertai gambaran nekrosis sentral (suspect massa
maligna) pulmo sinistra dengan pembesaran KGB supraclavicular sinistra.
Terdapat efusi pleura lama yang sebagian sudah ada organisasi sinistra. Pada
pasien juga dilakukan pemeriksaan histopatologi yaitu transthorakal biopsi untuk
menentukan secara pasti jenis jaringan tumor paru namun hasil pemeriksaan
masih sulit ditentukan oleh karena itu pasien direncanakan akan dilakukan
thorakotomy.
Pada dasarnya tujuan pengobatan kanker yaitu kuratif, paliatif, suportif,
dan rawat rumah (hospice care) pada kasus terminal. Penatalaksanaan tumor paru
sangat bergantung pada staging tumor. Untuk tipe NSCLC, terapi bedah adalah
pilihan pertama pada stadium I atau II pada pasien dengan sisa cadangan
parenkim parunya yang adekuat. Pada stadium IIIA masih ada kontroversi
mengenai keberhasilan operasi bila kelenjar mediastinum ipsilateral atau dinding

45
torak terdapat metastasis. Pasien stadium IIIB dan IV tidak dioperasi, Combined
modality therapy yaitu gabungan radiasi, kemoterapi dengan operasi (dua atau
tiga modalitas) yang dilaporkan dapat memperpanjang survival rate berdasarkan
studi-studi yang masih berlangsung. Pada kasus ini, pasien masih dalam tahap
penentuan staging dan histopatologi, tetapi berdasarkan hasil pemeriksaan fisik
dan penunjang lainnya sudah mengarah ke malignancy serta adanya pembesaran
KGB supraclavicular, pada pasien juga dilakukan pungsi pleura untuk mengurangi
penumpukan cairan dari dalam kavum pleura serta mendapatkan antibiotik yang
adekuat dan obat pereda simptomatik.

46
BAB V

KESIMPULAN

Seorang laki-laki umur 55 tahun dengan keluhan nyeri dada kiri. Pasien di
diagnosis dengan tumor paru sinistra susp. malignancy, berdasarkan anamnesis,
pemeriksaan fisik dan pemeriksaan penunjang. Penatalaksanaan pada pasien ini
belum dapat dilakukan secara pasti karena harus menunggu hasil dari pemeriksaan
penunjang untuk diagnosis pasti. Prognosis pada pasien ini adalah dubia.

47
DAFTAR PUSTAKA

1. Jusuf A, Haryanto A, Syahruddin E, Endart S, Mudjiantoro S, Sutantio N.


Kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil. Pedoman diagnosis dan
penatalaksanaan kanker paru jenis karsinoma bukan sel kecil di Indonesia.
PDPI &POI, Jakarta. 2015.
2. Fact sheets by population, estimated age-standardised incidence and
mortality rates: both sexes [World]. International Agency for Research on
Cancer, World Health Organization [Internet]. Diunduh dari:
http://globocan.iarc.fr/Pages/ fact_sheets_population.aspx. Diakses tanggal
5 April 2015.
3. Fact sheets by population, incidence, mortality and 5-year prevalence:
both sexes [Indonesia]. International Agency for Research on Cancer,
World Health Organization [Internet]. Diunduh dari:
http://globocan.iarc.fr/Pages/f act_sheets_population.aspx. Diakses tanggal
5 April 2015.
4. Laporan Tahunan 2014. Departemen Pulmonologi dan Kedokteran
Respirasi FKUI-RSUP Persahabatan,
5. Siegel RL, Miller KD, Jemal A. Cancer Statistics 2015. CA Cancer J Clin
2015;65(1):5-29.
6. World Health Organization-Cancer Country Profiles, 2014. Diunduh dari:
www.who.int/cancer/country-profiles/idn_en.pdf. Diakses pada 9 Juni
2016.
7. Gaga M, Powell CA, Schraufnagel DE, Schonfeld N, Rabe K, Hill NS et
al. An official American Thoracic Society/European Respiratory Society
Statement: the Role of the Pulmonologist in the Diagnosis and
Management of Lung Cancer. Am J Respir Crit Care Med 2013;188:503-
7
8. Winston W. Non-Small Cell Lung Cancer. Medscape 2015 [updated: 16
July 2015, cited: 30 September 2015] Aveailable from:
http://emedicine.medscape.com/article/279960-overview#a5
9. Perhimpunan Dokter Paru Indonesia. Kanker Paru Pedoman Diagnosis dan
Penatalaksanaan di Indonesia. 2003.

48
10. Kemeterian Kesehatan Republik Indonesia. Panduan Nasional Penanganan
Kanker Paru versi 1,0 2015. Komite Penanggulangan Kanker. 2015.
11. Molina R, Fillella X, Auge J, Fuentes R, Bover I, Rifa J, et al. Tumor
Markers (CEA, CA 125, CYFRA 21-1, SCC dan NSE) in Patients with
Non-Small Cell Lung Cancer as an Aid in Histological Diagnosis and
Prognosis. Tumor Biology 2003;24 (4): 209-18

49

Anda mungkin juga menyukai