Anda di halaman 1dari 4

Realita Bumiputra, Sang Tunas Bangsa Masa Depan

Undang-undang No. 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak menjelaskan bahwa anak adalah
siapa saja yang belum berusia 18 tahun termasuk yang masih dalam kandungan, yang berarti segala
kepentingan akan pengupayaan perlindungan terhadap anak sudah dimulai sejak anak tersebut berada
didalam kandungan hingga berusia 18 tahun (Damayanti, 2008).

Damayanti (2008) juga menjelaskan kebutuhan dasar untuk tumbuh kembang anak secara umum
digolongkan menjadi 1) Kebutuhan fisik-biomedis (asuh) yang meliputi, pangan atau gizi, perawatan
kesehatan dasar, tempat tinggal yang layak, sanitasi, sandang, kesegaran jasmani atau rekreasi; 2)
kebutuhan emosi atau kasih sayang (asih), pada tahun-tahun pertama kehidupan, hubungan yang erat,
mesra dan selaras antara ibu atau pengganti ibu dengan anak merupakan syarat yang mutlak untuk
menjamin tumbuh kembang yang selaras baik fisik, mental maupun psikososial; 3) kebutuhan akan
stimulasi mental (asah), stimulasi mental merupakan cikal bakal dalam proses belajar (pendidikan dan
pelatihan) pada anak. Stimulasi mental ini mengembangkan perkembangan mental psikososial
diantaranya kecerdasan, keterampilan, kemandirian, kreaktivitas, agama, kepribadian dan sebagainya.

Menurut teori Havighurst (1961) tugas perkembangan anak digolongkan menjadi 4 (empat) kategori
berdasarkan usia, yaitu 1) Tugas perkembangan bayi 0-2 tahun adalah berjalan, berbicara, makan -
makanan padat, dan kestabilan jasmani. 2) Tugas perkembangan anak usia 3-5 tahun adalah mendapat
kesempatan bermain, bereksperimen dan bereksplorasi, meniru, mengenal jenis kelamin, membentuk
pengertian sederhana mengenai kenyataan sosial dan alam, belajar mengadakan hubungan emosional,
belajar membedakan salah dan benar serta mengembangkan kata hati juga proses sosialisasi.

Kemudian 3) Tugas perkembangan usia 6-12 tahun adalah belajar menguasai keterampilan fisik dan
motorik, membentuk sikap yang sehat mengenai diri sendiri, belajar bergaul dengan teman sebaya,
memainkan peranan sesuai dengan jenis kelamin, mengembangkan konsep yang diperlukan dalam
kehidupan sehari-hari, mengembangkan keterampilan yang fundamental, mengembangkan
pembentukan kata hati, moral dan sekala nilai, mengembangkan sikap yang sehat terhadap kelompok
sosial dan lembaga. 4) Tugas perkembangan anak usia 13-18 tahun adalah menerima keadaan fisiknya
dan menerima peranannya sebagai perempuan dan laki-laki, menyadari hubungan-hubungan baru
dengan teman sebaya dan kedua jenis kelamin, menemukan diri sendiri berkat refleksi dan kritik
terhadap diri sendiri, serta mengembangkan nilai-nilai hidup.

Anak dalam beberapa waktu terakhir cukup banyak mendapat sorotan oleh media massa, bukan
karena suatu hal yang positif melainkan karena hal – hal negatif yang menimpa anak tersebut seperti
kurangnya asupan gizi atau stunting khususnya pada usia 3 – 12 tahun. Namun jika lebih diteliti, kalimat
“kurangnya asupan gizi” pada anak bukanlah faktor utama. Karena di era modern dengan kemajuan
teknologi dan pengetahuan, orang tua dewasa ini sudah sangat mengerti bagaimana pemenuhan gizi
untuk tumbuh kembang sang anak. Lalu pertanyaan yang muncul adalah apa yang menyebabkan anak
mendapat predikat kurang asupan gizi padahal orang tua sudah sangat peduli terhadap hal tersebut?
Benar, sanitasi lingkungan dan perilaku higiene dari anak adalah salah satu faktor kunci mengapa
anak “seperti” mengalami kekurangan asupan gizi. Karena dengan sanitasi lingkungan dan higiene yang
tidak memadai akan menimbulkan infeksi kecacingan pada anak. Dampak dari infeksi ini telah diteliti
oleh Siregar (2006) dan menyatakan bahwa infeksi kecacingan pada usus berpengaruh terhadap
pemasukan, pencernaan, penyerapan, serta metabolisme makanan, yang dapat berakibat hilangnya
protein, karbohidrat, lemak, vitamin dan darah dalam jumlah yang besar. Juga dapat menimbulkan
ganguan respon imun, menurunnya plasma insulin like growth factor (IGF)- 1, kadar serum tumor
necrosis factor a (TNF) meningkat, konsentrasi rerata hemoglobin rendah, sintesis kolagen menurun.
Disamping itu, juga menimbulkan berbagai gejala penyakit seperti anemi, diare, sindroma disentri dan
defisiensi besi. Sehingga anak penderita infeksi kecacingan usus merupakan kelompok resiko tinggi
untuk mengalami malnutrisi.

Lebih dalam lagi, penelitian yang dilakukan oleh Fitri dkk. (2012) di Kabupaten Tapanuli Selatan
menunjukkan bahwa hubungan sanitasi lingkungan dan perilaku higiene anak. Dari 100 responden anak
yang dijadikan objek penelitian, komponen - komponen sanitasi lingkungan seperti ketersediaan air
bersih, jamban, Sistem Pembuangan Air Limbah (SPAL), tempat sampah, dan kondisi halaman secara
garis besar tidak memenuhi syarat kesehatan sehingga infeksi kecacingan pada anak begitu nyata .

Infeksi kecacingan tertinggi disebabkan oleh kondisi halaman dengan peluang sebesar 19,78 kali
diikuti kondisi jamban sebesar 16,34 kali, SPAL sebesar 8,15 kali, air bersih 4,52 kali dan tempat sampah
4,09 kali. Kemudian perilaku higiene anak yang komponen – komponennya terdiri dari kebersihan kuku,
penggunaan alas kaki, dan kebiasaan cuci tangan juga memberikan pengaruh yang nyata. Dimana anak
yang tidak memiliki kebiasaan cuci tangan dengan baik berpeluang 31,00 kali terinfeksi kecacingan,
diikuti kebersihan kuku sebesar 25,18 kali, dan penggunaan alas kaki sebesar 5,52 kali.

Lalu mengapa dan bagaimana hal – hal diatas muncul dan menjadi penyebab infeksi kecacingan?
Ditinjau dari sanitasi lingkungan Fitri dkk. (2012) menyatakan bahwa pertama, infeksi kecacingan
disebabkan oleh tanah halaman yang menjadi tempat anak beraktivitas merupakan tanah berlumpur,
dimana tekstur tanah berlumpur menguntungkan telur Cacing Gelang (Ascaris lumbricoides) dan Cacing
Cambuk (Trichuris trichiura) untuk berkembang biak dengan baik. Kedua, jamban yang ada walaupun
telah memenuhi syarat kesehatan (berbentuk leher angsa) kondisinya tidak bersih dan tidak terdapat
sabun. Ketiga, SPAL yang ada walaupun memiliki kondisi tertutup dan kedap air namun limbah yang
mengalir tidaklah lancar, dimana keadaan yang demikian menjadikan cacing dan mikrooganisme
patogen lain berkembang biak dengan baik dan dapat mencemari air permukaan dan tanah.

Keempat, sarana air bersih yang diperoleh dari sungai dan/atau sumur gali tertutup memiliki kualitas
yang cukup baik, namun di beberapa tempat kualitasnya masih buruk sehingga berkontribusi
menyebabkan infeksi kecacingan. Kelima, tempat sampah bersifat terbuka dan sampah yang ada
berserakan, dimana hal tersebut menimbulkan efek tidak langsung berupa penyakit bawaan vektor yang
berkembangbiak di dalam sampah dan apabila dibuang sembarangan dapat menjadi sarang lalat yang
merupakan salah satu vektor dari cacing.
Kemudian ditinjau dari perilaku higiene, pertama, kebiasaan cuci tangan memiliki pengaruh paling
besar. Hasil penelitian menunjukkan bahwa anak – anak melakukan cuci tangan namun tidak
menggunakan sabun. Kedua, kuku jemari tangan yang kotor dan panjang sering tersimpan telur cacing.
Jika kuku jemari tangan tidak dicuci dengan bersih maka telur cacing yang tersimpan di kuku akan ikut
tertelan sewaktu makan. Ketiga, tidak menggunakan alas kaki ketika bermain dan/atau melakukan
aktifitas – aktifitas lain belum menjadi kebiasaan, padahal berdasarkan penelitian yang dilakukan oleh
Departemen Kesehatan Republik Indonesia (2006) dan Nelson (1992) menyatakan bahwa penularan
cacingan melalui tanah pun sebetulnya bisa saja terjadi karena cacing yang hidupnya didalam tanah
dapat menembus kulit dan akan mengikuti aliran darah dan bisa masuk ke paru – paru serta ke dalam
usus dan akan menjadi cacing dewasa. Cacing yang ada di dalam tanah tersebut disebabkan karena
kebiasaan pembuangan tinja yang sembarangan. Hal ini dapat menyebabkan terkontaminasinya
lingkungan seperti tanah, oleh telur cacing dan tinja. Sehingga orang yang pernah terinfeksi akan
terinfeksi lagi atau dapat menginfeksi orang lain (Rudolph, 2006).

Dari hal – hal diatas dapat kita simpulkan bahwa sanitasi lingkungan dan perilaku higiene anak
memilik dampak yang nyata terhadap infeksi kecacingan yang menyebabkan stunting. Lalu apa yang
seharusnya kita lakukan? Jelas, marilah kita menjadikan diri sendiri sebagai teladan untuk selalu
menjaga kebersihan lingkungan dan menjalani perilaku hidup bersih dan sehat. Karena kita tentu tidak
menginginkan masa depan Indonesia yang kita cintai ini menjadi suram hanya karena suatu hal yang
sebenarnya sangat mudah untuk kita cegah dan lakukan, sehingga pada akhirnya Indonesia sebagai
Negara yang raya dan sejahtera bukanlah angan – angan belaka melainkan suatu hal yang nyata didepan
mata.
Daftar Pustaka

Direktorat Penanggulangan dan Pencegahan Diare, Cacingan dan ISPL, Departemen Kesehatan. 2006.
Cacingan Turunkan Kualitas Hidup, Akibatnya Kebodohan dan Anemia. Tersedia di :
http://raffesia.wwf.or.id. Diakses 1 Maret 2018 Pukul 13.24 WIB.

Damayanti, Ayu Dutika. 2008. Cara Pintar Mengatasi Kegemukan Anak. Yogyakarta : Curvaksara.

Fitri, J., dkk. 2012. Analisis Faktor-Faktor Risiko Infeksi Kecacingan Murid Sekolah Dasar di Kecamatan
Angkola Timur Kabupaten Tapanuli Selatan Tahun 2012. Tersedia di : http://ejournal.unri.ac.id/inde
x.php/JIL/ article/download/964/957. Diakses 2 Maret 2018 Pukul 07.53 WIB.

Havighurst. 1961. Human Development & Education. New York : David Mckay Co.

Nelson. 1992. Ilmu Kesehatan Anak Bagian 2. Penerjemah Moelia Radja Siregar. Jakarta : EGC.

Rudolph. 2006. Buku Ajar Pediatri. Penerjemah Wahab S., Prasetyo A., Sugiarto. Edisi 20 Volume 1,
Jakarta : EGC.

Siregar, Charles D. 2006. Pengaruh Infeksi Cacing Usus yang Ditularkan Melalui Tanah pada
Pertumbuhan Fisik Anak Usia Sekolah Dasar. Tersedia di : Sari Pediatri, Vol. 8, No. 2, September
2006; 112 – 117. Diakses 2 Maret 2018 Pukul 07.53 WIB.

Anda mungkin juga menyukai