Anda di halaman 1dari 5

LATAR BELAKANG

Kualitas sumber daya manusia di tentukan oleh faktor kecukupan


gizi dan pangan, sebagai indikator keberhasilan pembangunan suatu
bangsa. Dalam hal ini gizi ternyata sangat berpengaruh terhadap
kecerdasan dan produktivitas kerja manusia. Agar perencanaan upaya
peningkatan status gizi penduduk dapat dilakukan dengan baik maka
semua aspek yang berpengaruh perlu dipelajari termasuk aspek pola
pangan. Sosial-budaya dan pengaruh konsumsi makanan terhadap status
gizi (Alinea Dwi Elisanti, 2017).
Balita merupakan kelompok yang rawan sehingga gizi masih
merupakan masalah kesehatan terutama anak balita. Sebuah riset
menunjukkan setidaknya 3,5 juta anak dibawah lima tahun didunia
meninggal disebabkan oleh kurang gizi. WHO memperkirakan 54%
kematian bayi dan balita disebabkan oleh keadaan gizi yang buruk. Risiko
meninggal pada anak gizi buruk 13 kali lebih besar dibandingkan anak
yang normal (Suzanna, 2017).
Rendahnya status kesehatan balita merupakan pencerminan
kondisi perinatal yang kurang sehat mulai dari masa ANC (Antenatal
care), INC (Intranatal care) serta PNC (Postnatal care) dari segi ibu dan
bayi atau merupakan akibat dari faktor lingkungan yang buruk pada awal
usia anak (Alinea Dwi Elisanti, 2017).
Kematian Ibu dan Bayi masih merupakan masalah utama di Tingkat
Internasional sehingga kematian Ibu dan Bayi dijadikan prioritas utama
yang harus diupayakan pemecahan masalahnya di bidang kesehatan
(Novian Aldo, 2014). Bentuk upaya pemecahan masalah kesehatan ibu
dan bayi telah dituangkan dalam Sustainable Development Goals (SDGs)
untuk menurunkan angka kematian ibu dari 216 per 100.000 kelahiran
hidup tahun 2015 menjadi 70 per 100.000 kelahiran hidup tahun 2030,
sedangkan kematian balita dari 43 per 1.000 kelahiran hidup tahun 2015
menjadi 25 per 1.000 kelahiran hidup tahun 2030 (World Health 2016).
Penurunan Angka Kematian Bayi (AKB) merupakan salah satu
indikator utama dalam peningkatan status derajat kesehatan masyarakat
di suatu daerah. Indikator ini menggambarkan secara umum situasional
pelayanan kesehatan secara umum di suatu wilayah tersebut. Banyak
faktor yang terkait dalam pencapaian indikator ini, menyangkut faktor
pelayanan kesehatan, perilaku masyarakat terhadap kesehatan, pola
sistem rujukan pelayanan dasar, dan kualitas Sumber Daya Manusia
Kesehatan di wilayah tersebut. Angka Kematian Bayi (AKB) selalu
menggambarkan kualitas pembangunan daerah karena sedikit banyaknya
angka ini juga turut menyumbang perhitungan Umur Harapan Hidup
(UHH) yang pada gilirannya juga berperan dalam perhitungan Indeks
Pembangunan Manusia (IPM) di wilayah tersebut (Abdiana, 2017).
Secara global pada tahun 2015 diperkiran 5,9 juta anak meninggal
dibawah usia 5 tahun, dengan tingkat kematian balita sebesar 42,5 per
kelahiran hidup. Kematian anak tertinggi di Sub-Sahara Afrika, dimana 1
dari 12 anak meninggal sebelum berusia 5 tahun, kemudian di ikuti oleh
Asia Tenggara dimana 1 dari 19 anak meninggal sebelum mencapai usia
5 tahun. 1 dari 4 anak dibawah usia 5 tahun (23% atau 156 juta anak)
terkena dampak stunting, dengan prevalensi tertinggi yang diamati di
wilayah Afrika (38%), diikuti oleh wilayah Asia Tenggara (33%). Anak-
anak beresiko lebih besar mengalami stunting jika mereka lahir didaerah
pedesaan dengan status ekonomi menengah kebawah dan ibu yang tidak
memperoleh pendiidikan dasar (World Health 2016).
Secara global pada 2016, ada 155 juta anak di bawah usia lima
tahun yang kerdil (terlalu pendek untuk umur mereka), 52 juta yang ceking
(terlalu ringan untuk tinggi badannya) dan 41 juta kelebihan berat badan
(terlalu berat untuk tinggi badan mereka). Stunting prevalensi tertinggi
(34%) di WHO Wilayah Afrika dan WHO Wilayah Asia Tenggara.
Keduanya tertinggi prevalensi terhadap kelebihan berat badan (15,3%)
dan jumlah anak-anak yangmengalami kekurangan berat badan (27 juta)
ditemukan di WHO Kawasan Asia Tenggara. Antara tahun 2000 dan
2016, jumlah anak yang kelebihan berat badan di bawah usia lima tahun
meningkat secara global sebesar 33% (World Health 2017).
United Nations Children’s Fund (UNICEF) menyatakan bahwa
Indonesia berada diperingkat ke lima dunia untuk negara dengan jumlah
anak terhambat pertumbuhan paling besar yaitu sebanyak 7,7 juta balita
(Suzanna, 2017). Data Riskesdas tahun 2013 menunjukan 37,2% balita
bertubuh pendek, 19,6% memiliki berat badan kurang, 12,1% berbadan
kurus, sementara 11,9% kelebihan berat badan. Selama enam tahun
belum ada perkembangan dalam upaya pengurangan jumlah anak
dengan berat badan kurang ataupun anak kurus. Riset Kesehatan Dasar
(Riskesdas) tahun 2013 menunjukkan prevalensi gizi kurang sebesar
19,6% dan tahun 2010 prevalensi gizi kurang sebesar 17,9%. Hal ini
menunjukkan adanya kenaikan prevalensi gizi kurang sebesar 1,7%.
Hasil pengukuran status gizi PSG Profil kesehatan Indonesia tahun
2016 dengan indeks BB/U pada balita 0-59 bulan, mendapatkan
persentase gizi buruk sebesar 3,4%, gizi kurang sebesar 14,4% dan gizi
lebih sebesar 1,5%. Angka tersebut tidak jauh berbeda dengan hasil PSG
2015, yaitu gizi buruk sebesar 3,9%, gizi kurang sebesar 14,9% dan gizi
lebih sebesar 1,6%. Provinsi dengan gizi buruk dan kurang tertinggi tahun
2016 adalah Nusa Tenggara Timur sebesar 28,2% dan terendah Sulawesi
Utara sebesar 7,2% (Profil kesehatan Indonesia, 2016).
Gizi kurang adalah suatu kondisi dimana seseorang dinyatakan
kekurangan gizi atau status gizinya berada di bawah standar rata-rata.
Tingginya angka kematian bayi dan anak banyak ditemukan di negara-
negara berkembang termasuk Indonesia (Ruth Luvita Monica,dkk, 2014).
Tingginya angka kematian bayi dan kematian balita tersebut
dikarenakan masih ditemukan beberapa masalah kesehatan di
masyarakat. Masalah tersebut salah satunya adalah kurang energi protein
(KEP) pada balita. KEP merupakan salah satu masalah gizi utama pada
balita di Indonesia. Ada dua jenis tingkatan KEP yaitu KEP ringan atau gizi
kurang dan KEP berat atau gizi buruk (Alinea Dwi Elisanti, 2017).
Penyebab gizi buruk dan gizi kurang di Indonesia bermula dari
krisis ekonomi, politik dan sosial menimbulkan dampak negatif seperti
kemiskinan, pendidikan dan pengetahuan rendah, kesempatan kerja
kurang, pola makan, ketersediaan bahan pangan pada tingkat rumah
tangga rendah, pola asuh anak yang tidak memadai, pendapatan keluarga
yang rendah, sanitasi dan air bersih serta pelayanan kesehatan dasar
yang tidak memadai. Berdasarkan uraian dan permasalahan yang ada
dapat di lihat dengan indeks kesehatan bayi, balita dan ibu hamil di
wilayah pesisir dan pegunungan dimana kondisi lingkungan memegang
peranan penting dalam menentukan status kesehatan. Lingkungan yang
baik akan memberikan dampak yang baik bagi kesehatan guna
menciptakan manusia yang berkualitas. Sebaliknya lingkungan yang
kumuh akan berdampak buruk pada status kesehatan (Sasmiyanto,
2016).
Kekurangan gizi pada anak usia muda bahkan sejak dalam
kandungan dapat menyebabkan pertumbuhan dan perkembangan sel
otak tidak optimal dan tidak terpulihkan akhirnya mempengaruhi kualitas
sumber daya manusia dimasa yang akan datang. Kekurangan gizi pada
balita tidak terjadi secara tiba-tiba tetapi diawali dengan kenaikan berat
badan yang tidak cukup. Masalah gizi disebabkan oleh beberapa faktor
baik secara langsung maupun tidak langsung. Secara langsung
dipengaruhi konsumsi makanan yang tidak seimbang dan keadaan
kesehatan individu. Kedua faktor tersebut dipengaruhi oleh masalah
ekonomi, pelayanan kesehatan, pendidikan, pengetahuan yang rendah.
Rendahnya pendapatan masyarakat menyebabkan kebutuhan paling
mendasar sering kali tidak terpenuhi (Suzanna, 2017).
Peran serta masyarakat dalam penimbangan balita menjadi sangat
penting dalam deteksi dini kasus gizi kurang dan gizi buruk. Dengan rajin
menimbang balita, maka pertumbuhan balita dapat dipantau secara
intensif. Sehingga bila berat badan anak tidak naik ataupun jika ditemukan
penyakit akan dapat segera dilakukan upaya pemulihan dan pencegahan
supaya tidak menjadi gizi kurang atau gizi buruk. Semakin cepat
ditemukan, maka penanganan kasus gizi kurang atau gizi buruk akan
semakin baik. Penanganan yang cepat dan tepat sesuai tata laksana
kasus anak gizi buruk akan mengurangi risiko kematian sehingga angka
kematian akibat gizi buruk dapat ditekan (Profil kesehatan Indonesia,
2016).
Tindak lanjut dari hasil penimbangan selain penyuluhan juga
pemberian makanan tambahan dan pemberian suplemen gizi. Gizi buruk
dapat terjadi pada semua kelompok umur, tetapi yang perlu lebih
diperhatikan yaitu pada kelompok bayi dan balita. Pada usia 0-2 tahun
merupakan masa tumbuh kembang yang optimal (golden period) terutama
untuk pertumbuhan janin sehingga bila terjadi gangguan pada masa ini
tidak dapat dicukupi pada masa berikutnya dan akan berpengaruh negatif
pada kualitas generasi penerus (Profil kesehatan Indonesia, 2016).
Keberhasilan pembangunan suatu bangsa ditentukan oleh
ketersediaan sumber daya manusia (SDM) yang berkualitas yang sangat
ditentukan oleh status gizi yang baik. Status gizi yang baik ditentukan oleh
jumlah asupan pangan yang dikonsumsi. Masalah gizi kurang dan buruk
dipengaruhi langsung oleh faktor konsumsi pangan dan penyakit infeksi.
Secara tidak langsung dipengaruhi oleh pola asuh, ketersediaan pangan,
faktor sosial ekonomi, budaya dan politik. Apabila gizi kurang dan gizi
buruk terus terjadi dapat menjadi faktor penghambat dalam pembangunan
nasional. Kekurangan gizi akan berdampak pada tingginya angka
kematian ibu, bayi, dan balita, serta rendahnya umur harapan hidup.
Selain itu, dampak kekurangan gizi terlihat juga pada rendahnya
partisipasi sekolah, rendahnya pendidikan, serta lambatnya pertumbuhan
ekonomi (Sasmiyanto, 2016).

Anda mungkin juga menyukai