PEMBAHASAN
PEMBAHASAN
BAB 1. PENDAHULUAN
Manusia adalah makhluk yang mengenal makna. Jika seekor sapi dihargai
sesuai dengan besar kecilnya daging, maka manusia yang gemuk belum tentu
lebih bermakna dibanding yang kurus, orang besar belum tentu lebih bermakna
dibanding orang kecil, atasan belum tentu lebih bermakna dibanding bawahan.
Tinggi rendahnya makna disebut martabat. Orang yang bermartabat adalah orang
yang kehadirannya di pentas kehidupan memberi makna, meski boleh jadi
kehadirannya hanya sebentar. Sebaliknya orang yang kehadirannya tidak memberi
makna, meski mungkin umurnya panjang atau masa jabatannya lama, ia bukanlah
orang yang bermartabat. Hadirnya tidak membuat genap, absennya tidakmembuat
ganjil. Konsep makna dipengaruhi oleh ilmu,iman dan amal. Orang yang berilmu
langkahnya dipandu oleh teori, orang yang beriman langkahnya dipandu oleh
keyakinan, sedangkan orang yang banyak beramal langkahnya dipandu oleh
semangat.
2.3 Tujuan
2.3.1 Dapat mengetahui pengertian dari ilmu, iman dan amal;
2.3.2 Dapat mengetahui bagaimana jika ilmu tanpa iman dan amal atau
sebaliknya;
2.3.3 Dapat mengetahui bagaimana cara menyeimbangkan ketiganya.
2
BAB 2. PEMBAHASAN
Ilmu merupakan kata yang berasal dari bahasa Arab, masdar dari: alima
ya’lamu yang berarti tahu atau mengetahui. Dalam bahasa inggris ilmu biasanya
dipadankan dengan kata science. Indonesia kata science umumnya diartikan ilmu
tapi sering juga diartikan dengan ilmu pengetahuan. Ilmu adalah pengetahuan
sesuatu bidang yang disusun secara bersistem menurut metode-metode tertentu
yang dapat digunakan untuk menerangkan gejala-gejal di bidang itu.
Pertama
Imam Malik, Asy Syafi’i, Ahmad, Al Auza’i, Ishaq bin Rahawaih, dan segenap
ulama ahli hadits serta ahlul Madinah (ulama Madinah) demikian juga para
pengikut madzhab Zhahiriyah dan sebagian ulama mutakallimin berpendapat
bahwa definisi iman itu adalah : pembenaran dengan hati, pengakuan dengan
lisan, dan amal dengan anggota badan. Para ulama salaf menjadikan amal
3
termasuk unsur keimanan. Oleh sebab itu iman bisa bertambah dan berkurang,
sebagaimana amal juga bertambah dan berkurang.
Kedua
Banyak di antara ulama madzhab Hanafi yang mengikuti definisi sebagaimana
yang disebutkan oleh Ath Thahawi rahimahullah yang mengatakan bahwa iman
itu pengakuan dengan lisan dan pembenaran dengan hati.
Ketiga
Ada pula yang mengatakan bahwa pengakuan dengan lisan adalah rukun
tambahan saja dan bukan rukun asli. Inilah pendapat Abu Manshur Al Maturidi
rahimahullah, dan Abu Hanifah pun diriwayatkan memiliki sebuah pendapat
seperti ini.
Keempat
Sekte Al Karramiyah mengatakan bahwa iman itu hanya pengakuan dengan lisan
saja. Maka dari definisi mereka ini orang-orang munafiq itu dinilai sebagai orang-
orang beriman yang sempurna keimanannya, akan tetapi menurut mereka orang-
orang munafiq itu berhak mendapatkan ancaman yang dijanjikan oleh Allah untuk
mereka. Pendapat mereka ini sangat jelas kekeliruannya.
Kelima
Jahm bin Shafwan dan Abul Hasan Ash Shalihi berpendapat bahwa iman itu
cukup dengan pengetahuan yang ada di dalam hati. Pendapat ini jauh lebih jelas
kerusakannya daripada pendapat sebelumnya, sebab kalau pendapat ini
dibenarkan maka konsekuensinya Fir’aun beserta kaumnya menjadi termasuk
golongan orang-orang yang beriman, karena mereka telah mengetahui kebenaran
Musa dan Harun ‘alaihimash sholatu was salam dan mereka tidak mau beriman
kepada keduanya. Karena itulah Musa mengatakan kepada Fir’aun, ”Sungguh
kamu telah mengetahui dengan jelas bahwa tidaklah menurunkan itu semua
melainkan Rabb pemilik langit dan bumi.” (QS. Al Israa’ [17] : 102). Allah Ta’ala
berfirman (yang artinya), ”Mereka telah menentangnya, padahal diri mereka pun
4
meyakininya, hal itu dikarenakan sikap zalim dan perasaan sombong. Maka
perhatikanlah bagaimana kesudahan orang-orang yang melakukan kerusakan
itu.” (QS. An Naml [27] : 14). Bahkan iblis pun dalam pengertian Jahm ini juga
termasuk kaum beriman yang sempurna imannya. Karena ia tidaklah bodoh
tentang Rabbnya, bahkan dia adalah sosok yang sangat mengenal Allah (yang
artinya), ”Iblis berkata,’Rabbku, tundalah kematianku hingga hari mereka
dibangkitkan nanti.’.” (QS. Al Hijr [15] : 36). Dan hakekat kekufuran dalam
pandangan Jahm ini adalah ketidaktahuan tentang Allah ta’ala, padahal tidak ada
yang lebih bodoh tentang Rabbnya daripada dia.
Imam Asy Syafi’i rahimahullah berkata, “Iman itu meliputi perkataan dan
perbuatan. Dia bisa bertambah dan bisa berkurang. Bertambah dengan sebab
ketaatan dan berkurang dengan sebab kemaksiatan”. Imam Ahmad bin Hanbal
rahimahullah berkata, “Iman bisa bertambah dan bisa berkurang. Ia bertambah
dengan melakukan amal, dan ia berkurang dengan sebab meninggalkan amal”.
Bahkan Imam Bukhari rahimahullah mengatakan, “Aku telah bertemu dengan
lebih dari seribu orang ulama dari berbagai penjuru negeri, aku tidak pernah
melihat mereka berselisih bahwasanya iman adalah perkataan dan perbuatan, bisa
bertambah dan berkurang.”
‘Iman itu berupa pembenaran hati’ artinya hati menerima semua ajaran yang
dibawa oleh Rasul shallallahu ‘alahi wa sallam. ‘Pengakuan dengan lisan’ artinya
mengucapkan dua kalimat syahadat ‘asyhadu an la ilaha illallah wa asyhadu
anna Muhammadar rasulullah’. Sedangkan ‘perbuatan dengan anggota badan’
artinya amal hati yang berupa keyakinan-keyakinan dan beramal dengan anggota
badan yang lainnya dengan melakukan ibadah-ibadah sesuai dengan
kemampuannya.
Dan salah satu pokok penting dari aqidah Ahlus sunnah wal jama’ah ialah
keyakinan bahwa iman itu bertambah dan berkurang. Hal ini telah ditunjukkan
5
oleh dalil-dalil dari Al Kitab maupun As Sunnah. Salah satu dalil dari Al Kitab
yaitu firman Allah ta’ala (yang artinya), “Agar bertambah keimanan mereka di
atas keimanan mereka yang sudah ada.” (QS. Al Fath [48] : 4).
Maka ayat di atas menunjukkan penetapan bahwa iman itu bisa bertambah,
sedangkan di dalam hadits tersebut terdapat penetapan tentang berkurangnya
agama. Sehingga masing-masing dalil ini menunjukkan adanya pertambahan
iman. Dan secara otomatis hal itu juga mengandung penetapan bisa berkurangnya
iman, begitu pula sebaliknya. Sebab pertambahan dan pengurangan adalah dua hal
yang tidak bisa dipisah-pisahkan.
Amal adalah
1) perbuatan (baik atau buruk); seseorang akan dihormati orang karena amalnya
yang baik (bukan karena kedudukan atau kekayaan).
3) Segala sesuatu yang dilakukan dengan tujuan untuk berbuat kebaikan terhadap
masyarakat atau sesama manusia (memberi derma, mengumpulkan dana untuk
membantu korban bencana alam, penderita cacat, orang jompo, anak yatim piatu,
dsb).
o Jika amal tanpa iman, maka kita akan menjadi orang yang sedang
mengembara tanpa petunjuk. Karena jika kita beramal dengan ilmu, maka
kita akan bertindak sesuatu dengan yakin dan tenang.
Umat Islam dalam hidupnya harus bisa menyeimbangkan antara ilmu dan amal.
Tidak boleh - umpamanya - hanya menekankan pada ilmu saja, tanpa diimbangi
dengan amal perbuatan yang nyata dalam kehidupan ini.
7
Sifat seperti ini adalah sifat yang dimurkai oleh Allah swt, sebagaimana firman-
Nya :
Ini adalah sifat orang-orang Yahudi, dimana mereka dikarunia oleh Allah
ilmu yang sangat banyak, tetapi perbuatan mereka tidak mencerminkan ilmu yang
mereka miliki, bahkan justru ilmu karunia Allah tersebut, mereka gunakan untuk
membuat kerusakan di muka bumi ini dengan menipu dan membodohi orang lain
demi kepentingan dunia mereka. Orang-orang Yahudi inilah yang dimurkai Allah
di banyak tempat dalam Al Qur’an.
Di sisi lain, umat Islam juga tidak boleh hanya menekankan amal ibadah
saja, tanpa diimbangi dengan ilmu yang cukup. Sebelum beramal harus diketahui
dulu teori dan ilmunya, sehingga diharapkan amal yang dilakukan tersebut benar
dan tidak menyeleweng, sehingga dia akan berjalan pada jalan yang lurus dan
benar yang akan mengantarkannya pada tujuan. Beramal tanpa disertai ilmu yang
cukup akan menyebabkan seseorang tersesat di jalan, sehingga tujuannyapun tidak
akan tercapai. Inilah yang dilakukan oleh orang-orang Nashrani yang bersemangat
di dalam beribadah, tetapi malas menuntu ilmu sehingga dicap oleh Allah semoga
umat yang sesat.
8
“Tunjukilah kami jalan yang lurus, (yaitu) Jalan orang-orang yang telah Engkau
beri nikmat kepada mereka; bukan (jalan) mereka yang dimurkai dan bukan (pula
jalan) mereka yang sesat. “ ( Qs Al Fatihah : 6-7 )
Jalan yang lurus adalah jalannya umat Islam, yaitu umat yang
menggabungkan antara ilmu dan amal secara bersamaan. Sedang jalan orang-
orang yang dimurkai oleh Allah adalah jalannya umat Yahudi yang hanya
menekankan keilmuan tapi kosong dari pengamalan. Sedang jalan orang-orang
yang sesat adalah jalannya umat Nashara yang hanya semangat di dalam
beribadah, tapi tidak punya bekal ilmu yang cukup.
Ilmu diperlukan bukan untuk ketahanan hati tetapi untuk merancang sistem
pengawasan hingga logis, komprehensip, efektip dan efisien.
• Iman diperlukan terutama untuk memberi keteladanan hidup bersih oleh aparat
eselon, karena bagi masyarakat Indonesia yang paternalistik, keteladan sangat
efektip dan murah biaya dalam pengawasan aparat negara.
9
BAB 3. PENUTUP
3.1 Kesimpulan
DAFTAR PUSTAKA
http://id.shvoong.com/books/2083263-definisi-ilmu/#ixzz2BMcccNGV