Anda di halaman 1dari 29

KAJIAN TEKNIS BLASTING VIBRATION UNTUK

MEMPREDIKSI ZONA KERUSAKAN BATUAN


SETELAH PELEDAKAN DI PT.

PROPOSAL PENELITIAN TUGAS AKHIR


Diajukan untuk Penelitian Tugas Akhir Mahasiswa pada Jurusan Teknik
Pertambangan Fakultas Teknik Universitas Sriwijaya

Oleh:
Dwi Putri Suryani
03021181419035

JURUSAN TEKNIK PERTAMBANGAN


FAKULTAS TEKNIK
UNIVERSITAS SRIWIJAYA
2017
IDENTITAS DAN PENGESAHAN USULAN PENELITIAN
TUGAS AKHIR MAHASISWA

1. Judul : KAJIAN TEKNIS BLASTING VIBRATION UNTUK


MEMPREDIKSI ZONA KERUSAKAN BATUAN
SETELAH PELEDAKAN DI TAMBANG
BATUBARA PT.
2. Pengusul
a. Nama : Dwi Putri Suryani
b. Jenis Kelamin : Perempuan
c. NIM : 03021181419035
d. Semester : 8 (Delapan)
e. Email : dwiputrisuryani@gmail.com
f. Fakultas/Jurusan : Teknik/Teknik Pertambangan
g. Institusi : Universitas Sriwijaya
3. Lokasi Penelitian :
4. Waktu Penelitian : 8 Januari – 8 Maret 2018

Indralaya, Desember 2017


Pembimbing Proposal, Pengusul,

Dr. Ir. H. Marwan Asof, DEA Dwi Putri Suryani


NIP. 195811111985031007 NIM. 03021181419031

Menyetujui:
Ketua Jurusan Teknik Pertambangan

Dr. Hj. Rr. Harminuke Eko Handayani,ST.,MT


NIP.196902091997032001
A. JUDUL
KAJIAN TEKNIS BLASTING VIBRATION UNTUK MEMPREDIKSI JARAK
ZONA KERUSAKAN BATUAN SETELAH PELEDAKAN DI PT.

B. BIDANG ILMU
Teknik Pertambangan

C. LATAR BELAKANG

D. PERMASALAHAN
Adapun permasalahan yang diangkat dalam penelitian ini antara lain:
1. Bagaimana perubahan sifat dan perilaku batuan sebelum dan sesudah
peledakan?
2. Bagaimana besar getaran dan cepat rambat gelombang yang dihasilkan akibat
peledakan?
3. Bagaimana prediksi zona kerusakan batuan setelah peledakan?

E. TUJUAN PENELITIAN
Adapun tujuan penelitian ini adalah :
1. Mengetahui perubahan sifat dan perilaku batuan sebelum dan sesudah
peledakan.
2. Menghitung besar getaran dan cepat rambat gelombang yang dihasilkan akibat
peledakan.
3. Menganalisis prediksi zona kerusakan batuan setelah peledakan.

F. PEMBATASAN MASALAH
1. Pengamatan perubahan sifat fisik dan perilaku batuan pada saat sebelum dan
sesudah peledakan.
2. Pengamatan besar getaran dan cepat rambat gelombang yang terjadi pada saat
peledakan dengan cara melihat data yang dihasilkan oleh alat pengukur
3. Hasil yang diharapkan berupa analisis seberapa luas zona kerusakan batuan
yang terjadi setelah peledakan.

G. MANFAAT
Manfaat dari penelitian ini adalah:
1. Sebagai pembelajaran ilmu bagi penulis dan pembaca untuk bisa mengetahui
Mekanisme serta tahapan dalam proses perencanaan reklamasi
2. Sebagai masukan bagi perusahaan dalam proses peledakan agar dapat diketahui
zona kerusakan batuan.

H. METODE PENELITIAN
Metodologi penelitian yang diimplementasikan pada Tugas Akhir ini
meliputi:
1. Pengambilan data
a. Data Primer, yaitu data peledakan, data geometri peledakan, data
batasan indikasi kerusakan batuan dengan pengukuran seismik refraksi
dan Ground Penetration Radar (GPR), melakukan pengukuran getaran
sebelum dan sesudah peledakan. Selain itu dilakukan pula pengukuran
getaran pada saat peledakan, dan pengambilan data sekunder.
b. Data Sekunder, yaitu data yang dikumpulkan berdasarkan literatur dan
referensi, meliputi data curah hujan, data geologi, data geoteknik dan
data lain yang akan diperlukan.
c. Pengolahan data
Data yang telah diperoleh diolah dengan menggunakan perhitungan
dan penggambaran, selanjutnya disajikan dalam bentuk tabel, grafik, atau
perhitungan penyelesaian.
2. Analisa data
Pemecahan masalah dilakukan berdasarkan pada analisa pada data
yang diperoleh dilapangan yang didasari oleh literatur-literatur yang
berhubungan dengan masalah tersebut.
3. Hasil dan Kesimpulan
Data yang telah diolah dan dianalisis akan menghasilkan kesimpulan
berdasarkan hasil penelitian dilapangan sebagai jawaban dari rumusan
masalah dan tujuan penelitian

KAJIAN TEKNIS BLAST VIBRATION UNTUK MEMPREDIKSI JARAK


ZONA KERUSAKAN BATUAN DI PT.

Orientasi Lapangan

Permasalahan:
1. Bagaimana perubahan sifat dan perilaku batuan sebelum dan sesudah
peledakan?
2. Bagaimana besar getaran dan cepat rambat gelombang yang dihasilkan
akibat peledakan?
3. Bagaimana prediksi zona kerusakan batuan setelah peledakan?

Data Primer: Data Sekunder:

1. Jam kerja alat alat


Pengambilan Data 1. Data curah hujan 10 tahun
mekanis
2. Ketebalan top soil terakhir (2006-2016)
3. Dimensi saluran 2. Data luas area pada rencana
drainase reklamasi tahun 2016
4. Geometri lereng
3. Data jenis tanaman pada
Pengolahan Data
area rencana reklamasi
4. Data spesifikasi alat

Pembahasan mekanis
5. Data spreading top soil

Kesimpulan:
1. Didapatkan data perencanaan reklamasi Mined Out Area dengan menganalisis
sistem backfilling geometri lereng dan dimensi saluran drainase PT. Bukit Asam
(Persero) Tbk
2. Didapatkan analisa aspek ekonomis dari perencanaan teknis reklamasi PT. Bukit
Asam (Persero) Tbk
3.
I. TINJAUAN PUSTAKA
A. Pengertian Peledakan
Reklamasi adalah kegiatan yang bertujuan memperbaiki atau menata
kegunaan lahan yang terganggu sebagai akibat kegiatan usaha pertambangan
agar dapat berfungsi dan berdaya guna sesuai peruntukannya (Peraturan
Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral No. 18 Tahun 2008). Reklamasi
hutan adalah usaha untuk memperbaiki atau memulihkan kembali lahan dan
vegetasi yang rusak agar dapat berfungsi secara optimal sesuai
peruntukannya. (Peraturan Menteri Kehutanan No. 60 Tahun 2009).
B. Dasar Hukum Kegiatan Reklamasi
Dampak negatif dari kegiatan pertambangan mineral maupun batubara
terhadap lingkungan perlu dikendalikan untuk mencegah terjadinya kerusakan
lingkungan. Dasar hukum yang digunakan dalam upaya pengendalian dampak
negatif kegiatan pertambangan terhadap lingkungan hidup adalah sebagai
berikut:
1. Undang-Undang Nomor 4 Tahun 2009 Tentang Pertambangan Mineral
dan Batubara.
2. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 78 Tahun 2010 Tentang
Reklamasi dan Pascatambang
3. Peraturan Pemerintah Republik Indonesia Nomor 76 Tahun 2008 Tentang
Rehabilitasi dan Reklamasi Hutan
4. Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor. P.4/Menhut-
II/2011 Tentang Pedoman Reklamasi Hutan
5. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor.
SK.276/Menhut-II/2012 Tentang Izin Pinjam Pakai Kawasan Hutan untuk
Kegiatan Eksploitasi Batubara dan Sarana Penujangnya Atas Nama PT.
Beringin Jaya Abadi Seluas 314,58 Ha pada Kawasan Hutan Produksi
Tetap di Kabupaten Kutai Kartanegara, Provinsi Kalimantan Timur
6. Keputusan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor. P.60/Menhut-
II/2009 Tentang Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan
7. Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Republik Indonesia
Nomor 07 Tahun 2014 Tentang Pelaksanaan Reklamasi dan Pasca
Tambang pada kegiatan Usaha Pertambangan Mineral dan Batubara.
8. Peraturan Daerah Provinsi Kalimantan Timur Nomor 8 Tahun
2013 Tentang Penyelenggaraan Reklamasi dan Pasca Tambang
C. Tahapan Kegiatan Reklamasi
Tahapan kegiatan reklamasi pada kawasan hutan meliputi pengaturan
bentuk lahan/ penataan lahan, pengendalian erosi dan sedimentasi, revegetasi,
dan pemeliharaan.
1. Penimbunan Kembali Lahan Bekas Penambangan (Backfilling)
Backfill adalah tanah atau batuan yang dipakai untuk mengurangi
(mengisi) bekas galian tambang mineral, batubara atau bahan galian
lainnya. Kata ini juga dipakai sebagai kata kerja, yang berarti pekerjaan
pengisian bekas penggalian. Backfill lebih sering diartikan sebagai
pekerjaan mengisi galian bekas endapan beserta tanah penutupnya dengan
tanah kupasan. Cara ini sangat dianjurkan dari segi teknis, ekonomis, teknik
penambangan, maupun dari segi dampak lingkungan, karena jarak
pengangkutan kecil dan tanah buangan tidak memerlukan tambahan lahan
disekitarnya. (Indrianto, 2011).
Backfilling dengan sistem dumping yaitu diteruskan dengan
spreading, grading dan compacting. Alat yang digunakan untuk meratakan
dari dumping (spreading) adalah bulldozer, kemudian perataan yang lebih
halus (grading) dengan menggunakan motor grader, dan selanjutnya
dilakukan pemadatan (compacting) dengan menggunakan compactor
(Tenriajeng, 2003).
2. Kestabilan Lereng
Gerakan tanah (mass movement) ialah perpindahan massa tanah atau
batuan pada arah tegak, mendatar atau miring dari kedudukan semula.
Longsoran (landslide) adalah bagian gerakan tanah (Purbohadiwidjojo,
dalam Pangular, 1985).
Pada prinsipnya ada dua gaya yang mempengaruhi kestabilan suatu
lereng, yaitu gaya penahan dan gaya penggerak (Willey dan Mah, 2004).
𝐺𝑎𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑎ℎ𝑎𝑛
𝐹𝐾 = ·········· (C.1)
𝐺𝑎𝑦𝑎 𝑃𝑒𝑛𝑔𝑔𝑒𝑟𝑎𝑘

Tabel 1. Hubungan Nilai Faktor Keamanan Lereng dan Intensitas Longsor


(Bowles, 1989).

Nilai Faktor Keamanan Kejadian / Intensitas Longsor


F < 1,07 Longsor Terjadi Biasa/Sering (Lereng Labil)
1,07 < FK < 1,25 Longsor Pernah Terjadi (Lereng Kritis)
F > 1,25 Longsor Jarang Terjadi (Lereng Relatif Stabil)

Lereng dapat dianalisis dengan menggunakan perhitungan Faktor


Keamanan Lereng dengan melibatkan data sifat fisik tanah, mekanika tanah
(geoteknis tanah) dan bentuk geometri lereng (Pangular, 1985). Cara melakukan
analisis kestabilan lereng secara garis besar dapat dibagi menjadi tiga kelompok
yaitu cara pengamatan visual, cara komputasi (Rumus Fellenius, Bishop, Janbu,
Sarma, Bishop modified dan lain-lain) dan cara grafik (Pangular, 1985).
a. Metode Bishop
Metode bishop merupakan salah satu pendekatan analisis
Keseimbangan Batas yang digunakan untuk analisis kemantapan lereng.
Metode ini mengabaikan gaya geser antar irisan dan kemudian
mengasumsikan permukaan bidang gelincir berupa sirkular dan suatu gaya
normal cukup untuk mendefinisikan gaya-gaya antar irisan (Bishop, 1955
dalam Giani, 1992). Gaya normal pada dasar tiap irisan ditentukan dengan
menjumlahkan gaya-gaya dalam arah vertikal (Gambar 2.1). Faktor keamanan
ditentukan dari penjumlahan momem dengan titik pusat sama. Bentuk umum
persamaan metode Bishop adalah (Bishop, 1955 dalam Giani, 1992):

sec 
FK 
1
 cb  W  ub tan   tan ·········· (C.2)
W sin  1
 tan 
FK
Keterangan:
F = Faktor Keamanan
c = Kohesi tanah pada bidang gelincir (ton/m2)
b = Lebar horizontal segmen (m)
W = Berat segmen tanah (ton)
u = Tegangan air pori = ᵞwzw
ᵞw = Berat isi air (1 t/m3)
zw = Tinggi muka air diukur dari bidang gelincir
 = Sudut kemiringan segmen  (˚)
 = Sudut geser dalam (˚)
b. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Kestabilan Lereng
Faktor-faktor yang mempengaruhi kestabilan lereng antara lain
(Giani, 1992):
1) Geometri Lereng
Geometri lereng yang perlu diketahui adalah :
a) Orientasi (Jurus Dan Kemiringan) Lereng
b) Tinggi dan Kemiringan (Tiap-Tiap Jenjang)
c) Lebar Jenjang (Berm).
Dalam menentukan suatu geometri lereng (sudut/kemiringan,
tinggjenjang/lereng dan lebar teras/berm) pada suatu lereng
penambangan biasanya dihadapkan pada masalah peta topografi. Lereng
yang terlalu tinggi akan mengakibatkan kondisi yang tidak mantap dan
cenderung lebih mudah longsor, demikian juga untuk sudut lereng.
2) Sifat Fisik dan Mekanik Tanah/ Batuan
Sifat fisik dan mekanis batuan yang diperlukan sebagai data
menganalisis kemantapan lereng adalah:
a) Bobot Isi (ᵞ)
Semakin besar bobot isi suatu batuan, maka gaya penggerak yang
menyebabkan lereng longsor juga semakin besar. Dengan demikian
kestabilan lereng akan menjadi lebih labil atau semakin berkurang.
b) Porositas (n)
Batuan yang mempunyai porositas besar akan banyak menyerap air
sehingga bobot isinya menjadi lebih besar, sehingga memperkecil
kestabilan lereng. Adanya air dalam batuan juga akan menimbulkan
tekanan air pori yang akan memperkecil kuat geser batuan.

c) Kandungan Air
Semakin besar kandungan air dalam batuan, maka tekanan air pori
menjadi semakin besar juga. Dengan demikian berarti bahwa kuat geser
batuannya menjadi semakin kecil, sehingga kestabilannya berkurang.
d) Sudut Geser Dalam (φ) dan Kohesi (c)
Semakin besar sudut geser dalam dan kohesi batuan maka kuat geser
Batuan akan semakin besar, dengan demikian lereng akan semakin
mantap.
e) Kuat Geser Batuan dan Bidang Lemah
f) Kuat Tekan Uniaksial, Kuat Tarik, Modulus Deformasi, Poison Ratio.
3) Struktur Geologi
Struktur geologi dalam analisa kemantapan lereng berupa kekar dan
sesar. Struktur tersebut sangat berpengaruh terhadap kekuatan batuan
karena merupakan bidang-bidang lemah pada batuan tersebut. Besar
kecilnya pengaruh kondisi struktur geologi sangat tergantung pada
orientasi (dip dan dip direction), kerapatan, pelapukan dan penyebarannya.
4) Hidrogeologi
Air tanah dan air permukaan berpengaruh terhadap nilai kohesi,
sudut geser dalam dan density batuan, dimana nilai ini dipengaruhi oleh
porositas dan permeabilitasnya.
5) Morfologi Daerah
Morfologi daerah adalah keadaan fisik, karakteristik, dan bentuk
permukaan bumi. Morfologi ini sangat mempengaruhi laju erosi,
pengendapan, menentukan arah aliran air permukaan lebih besar dan
mengakibatkan pengikisan yang lebih banyak. Akibatnya adalah banyak
dijumpai singkapan-singkapan yang mempercepat proses pelapukan.
Batuan akan mudah lapuk dan mempengaruhi kekuatan batuan, sehingga
kekuatan batuan menjadi kecil sehingga kemantapan lereng berkurang.
6) Hasil Kerja Manusia
Hasil kerja manusia yang mempengaruhi kestabilan lereng antara
lain penggalian, pembuatan jalan tambang, bendungan, dan peledakan. Hal
ini akan menyebabkan perubahan geometri lereng dan menambah gaya
geser, sehingga akan mempengaruhi kestabilan lereng.
7) Faktor Gempa
Merupakan faktor luar yang sangat besar pengaruhnya terhadap
stabilitas lereng. Faktor ini merupakan resultan gaya vertikal dan
horizontal yang bekerja pada lereng tambang.
8) Penambahan beban akibat penimbunan
Timbunan material maupun bangunan di atas suatu lereng akan
memperbesar gaya penggerak dan dapat mengakibatkan longsoran.
9) Iklim
Iklim akan mempengaruhi perubahan temperatur dan curah hujan.
Perubahan temperatur yang cepat akan mempercepat proses pelapukan.
Sedangkan curah hujan akan mempengaruhi banyaknya air yang akan
masuk ke dalam tanah.
3. Penaburan Tanah Pucuk (Top Soil)
Tanah pucuk (top soil) adalah lapisan tanah bagian atas yang banyak
mengandung unsur hara yang sangat baik untuk pertumbuhan tanaman
(Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia No. 60 Tahun 2009).
Tanah pucuk mengandung banyak unsur hara yang diperlukan oleh tumbuh-
tumbuhan, oleh karena itu keberadaan tanah pucuk dalam kegiatan
reklamasi sangatlah dibutuhkan (Nova Scotia Environment, 2009).
Penggunaan tanah pucuk dapat dilakukan dengan cara (Minerals Council of
Australia, 1998):
a. Penyebaran
Cara ini dilakukan apabila jumlah lapisan tanah pucuk yang tersedia
cukup banyak. Sebelum di reklamasi areal terlebih dahulu diratakan
sehingga mempermudah penyebaran dan penanaman. Ketebalan sebaran
lapisan tanah pucuk diatur dengan merata sehingga diharapkan lahan
bekas penambangan dapat mendekati keadaan semula. Ketebalan lapisan
tanah pentutup yang dianjurkan minimal 0.15 m dan maksimal 2 m.
b. Timbunan
Penggunaan tanah pucuk dengan metode ini dilakukan apabila
persediaan tanah pucuk sedikit, sehingga tidak mencukupi untuk disebar
secara merata. Salah satu penanaman yang memakai cara tumpukan
adalah dengan sistem strip (penumpukan tanah pada barisan
penanaman).
c. Potting
Metode ini dilakukan apabila persediaan tanah pucuk sangan
sedikit Pada metode ini terlebih dahulu dibuat lubang dengan ukuran
tertentu (sesuai kebutuhan tanaman) yang kemudian lubang tersebut
diisi dengan top soil. Umumnya lubang untuk penghijauan berukuran
0.5x0.5x0.5 m.
4. Pengendalian Erosi dan Sedimentasi
Erosi adalah pengikisan atau kelongsoran yang sesungguhnya
merupakan proses penghanyutan tanah oleh desakan-desakan atau kekuatan
angin dan air, baik yang berlangsung secara alamiah ataupun sebagai akibat
tindakan atau perbuatan manusia (Kartasapoetra et al., 1991). Tanah dan
bagian-bagian tanah yang terangkut dari suatu tempat yang tererosi disebut
sedimen. Sedimentasi atau pengendapan adalah proses terangkutnya/
terbawanya sedimen oleh suatu limpasan/aliran air yang diendapkan pada
suatu tempat yang kecepatan airnya melambat atau terhenti seperti pada
saluran sungai, waduk, danau maupun kawasan tepi teluk/laut (Arsyad,
1989).
 Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Erosi
Pada dasarnya erosi disebabkan oleh interaksi kerja antara faktor
iklim, topografi, tumbuh-tumbuhan dan manusia terhadap lahan yang
dinyatakan dalam persamaan deskriptif berikut (Arsyad, 1989):

E= f (i, r, v, t, m) ·········· (C.3)


a. Iklim
Di daerah beriklim basah faktor yang mempengaruhi erosi adalah
hujan. Besarnya curah hujan adalah volume air yang jatuh pada suatu
areal tertentu. Besarnya curah hujan dinyatakan dalam mm, yang berarti
jumlah air hujan yang jatuh pada satu satuan luas.

b. Topografi
Kemiringan lereng dan panjang lereng adalah dua unsur topografi
yang paling berpengaruh terhadap aliran permukaan dan erosi. Makin
curamnya lereng juga memperbesar kecepatan aliran permukaan dengan
demikian mempebersar tenaga angkut air.
c. Vegetasi
Pengaruh vegetasi terhadap erosi adalah menghalangi air hujan agar
tidak jatuh langsung di permukaan tanah, sehingga kekuatan untuk
menghancurkan tanah sangat dikurangi. Pengaruh vegetasi penutup
tanah terhadap erosi adalah melalui fungsi melindungi permukaan tanah
dari tumbukan air hujan, menurunkan kecepatan air larian, menahan
partikel-partikel tanah pada tempatnya dan mempertahankan
kemantapan kapasitas tanah dalam menyerap air (Asdak, 1995).
d. Tanah
Tanah dalam ilmu teknik memiliki pengertian sebagai material yang
terdiri dari agregat (butiran) mineral–mineral padat yang tidak
tersementasi (terikat secara kimia) satu sama lain dan dari bahan bahan
organik yang telah melapuk disertai dengan zat cair dan gas yang mengisi
ruang – ruang kosong diantara partikel partikel tersebut. Tipe tanah
mempunyai kepekaan terhadap erosi yang berbeda-beda. Kepekaan erosi
tanah yaitu mudah tidaknya tanah tererosi adalah fungsi berbagai
interaksi sifat-sifat fisik dan kimia tanah.
e. Manusia
Manusialah adalah penentu apakah yang diusahakannya akan rusak
dan tidak produktif atau menjadi baik dan produktif secara lestari.
Perbuatan manusia yang mengelola tanahnya dengan cara yang salah
telah menyebabkan intensitas erosi semakin meningkat.
 Pendugaan Erosi dengan Metode Universal Soil Loss Equation (USLE)
Metode Universal Soil Loss Equation (USLE) digunakan untuk
menduga erosi aktual (Bukhari et al., 2014). Universal Soil Loss Equation
(USLE) memungkinkan perencana menduga laju rata-rata erosi suatu tanah
tertentu pada suatu kecuraman lereng dengan pola hujan tertentu untuk
setiap macam pertanaman dan tindakan pengelolaan (tindakan konservasi
tanah) yang mungkin dilakukan atau yang sedang dipergunakan (Arsyad,
1989). Prediksi tingkat erosi tanah dihitung dengan menggunakan 1989).
Prediksi tingkat erosi tanah dihitung dengan menggunakan persamaan
USLE (Asdak, 1995):

A= R. K. Ls. C. P ·········· (C.4)

Keterangan:
A = Banyaknya tanah tererosi (Ton/Ha/Tahun)
R = Faktor erosivitas yaitu faktor curah hujan dan aliran permukaan
K = Faktor erodibilitas tanah yaitu laju erosi per indeks erosi hujan
LS = Faktor panjang dan kemiringan lereng
C = Faktor vegetasi penutup tanah dan pengelolaan tanaman
P = Faktor tindakan-tindakan khusus konservasi tanah
a. Erosivitas Hujan (R)
Erosivitas hujan adalah tenaga pendorong (driving force) yang
menyebabkan terkelupas dan terangkutnya partikel-partikel tanah ke tempat
yang lebih rendah (Asdak, 1995). Erosivitas hujan terjadi karena pengaruh
butir hujan yang jatuh langsung di atas tanah dan sebagian lagi karena aliran
air di atas permukaan tanah. Persamaan yang digunakan dalam menentukan
tingkat erosivitas hujan adalah (Bols, 1978 dalam Arsyad, 1989):
R = 6,119 (RAIN1,21) (DAYS-0,47) (MAXP0,53) ·········· (C.5)

Keterangan:
R = Indeks Erosivitas Rata-Rata Bulanan (MJ.mm/ha/jam)
RAIN = Curah Hujan Rata-Rata Bulanan (cm)
DAYS = Jumlah Hari Hujan Rata-Rata Perbulan (hari)
MAXP = Curah Hujan Maksimum Selama 24 Jam Dalam Bulan
Bersangkutan (MJ.mm/ha/jam)
b. Erodibilitas Tanah (K)
Faktor erodibilitas tanah menunjukan resisten partikel tanah terhadap
pengelupasan dan transportasi partikel-partikel tanah oleh adanya energi
kinetik air hujan. Besarnya erodibilitas atau resistensi tanah juga dibentuk
oleh karakteristik tanah seperti tekstur tanah, stabilitas agregat tanah,
kapasitas infiltrasi dan kandungan bahan organik (Asdak, 1995). Nilai K
untuk berbagai jenis tanah dapat dilihat pada Tabel 1.

Tabel 1. Jenis Tanah dan Nilai Faktor Erodibilitas Tanah (Kironoto, 2000)

Jenis Tanah Nilai K


Latosol Coklat Kemerahan dan Litosol 0,43
Latosol Kuning Kemerahan dan Litosol 0,36
Komplek Mediteran dan Litosol 0,46
Latoso Kuning Kemerahan 0,56
Grumusol 0,20
Alluvial 0,47
Regosol 0,40
Latosol 0,31

c. Faktor Panjang dan Kemiringan Lereng (Ls)


Panjang lereng merupakan panjang lokasi berlangsungnya erosi dan
kemungkinan terjadinya deposisi sedimen. Kemiringan lereng berpengaruh
terhadap kecepatan aliran permukaan,semakin curam atau besar kemiringan,
maka kecepatan aliran permukaan semakin besar pula. Tingkat kemiringan
lereng dinyatakan dengan perbandingan panjang horisontal dengan tinggi
vertical. Semakin besar perbandingan panjang horisontal dan tinggi vertikal
maka tingkat erosinya semakin kecil, sehingga semakin mudah untuk
dilakukan usaha reklamasi yang direncanakan. Kemiringan lereng dinyatakan
dalam derajat atau persen. Dua titik yang berjarak horizontal 100 m yang
mempunyai selisih tinggi 10 m membentuk lereng 10%. Kecuraman lereng
100% sama dengan kecuraman 45º. Nilai kombinasi LS dapat diperoleh
dengan menggunakan diagram untuk memperoleh nilai kombinasi LS Model
USLE (Gambar 1).

Gambar 1. Diagram untuk Memperoleh Nilai Kombinasi LS Model USLE


(Soemarto, 1999)

Komponen panjang dan kemiringan lereng (L dan S) diintegrasikan menjadi


faktor LS dan dihitung dengan menggunakan rumus (Asdak, 2001):

LS = L0,5 (0,00138 S2 + 0,00965 S + 0,0138) ·········· (C.6)

Keterangan :
L = Panjang lereng (m)
S = Kemiringan lereng (%)
Rumus tersebut digunakan untuk kemiringan lereng < 20%, sedangkan untuk
kemiringan lereng > 20% digunakan rumus (Asdak, 2001):

LS = (l/22)m.C(Cos α)1,50. [0,5(Sin α)1,25 + (Sin α)2,25] ·········· (C.7)

Keterangan :
m = 0,5 untuk lereng 5% atau lebih, 0,4 untuk lereng 3,5 – 4,9%,
 = Sudut lereng (º)
l = Panjang lereng (m) dan nilai C adalah 34,71 (Konstanta)

d. Pengelolaan Tanaman (C)


Faktor C menunjukan keseluruhan pengaruh vegetasi, keadaan
permukaan tanah dan pengelolaan lahan terhadap besarnya tanah yang
hilang (Tabel 2 ).Angka C tidak selalu sama dalam kurun waktu satu tahun.

Tabel 2. Nilai Faktor Pengelolaan Tanaman (Arsyad, 1989)

Macam Pengelolaan Tanaman Nilai faktor C


Tanah terbuka/ tanpa tanaman 1,0
Padi Sawah 0,01
Tegalan tidak dispesifikasikan 0,7
Ubikayu 0,8
Jagung 0,7
Kedelai 0,399
Kacang tanah 0,2
Padi Lahan kering 0,561
Tebu 0,2
Pisang 0,6
Kebun campuran: a. Kerapatan tinggi 0,1
b. Kerapatan sedang 0,2
c. Kerapatan rendah 0,5
Perladangan 0,4
Hutan alam: a. Serasah banyak 0,001
b. Serasah kurang 0,005
Semak belukar/ padang rumput 0,3
Ubikayu + kedelai 0,181
Ubikayu + kacang tanah 0,195
Pola tanam tumpang gilir*) + mulsa jerami 0,079
Pola tanam berurutan**) + mulsa sisa tanaman 0,357
Alang-alang murni subur 0,001

e. Faktor Konservasi Tanah (P)


Pengaruh konservasi tanah (P) terhadap besarnya erosi dianggap
berbeda dari pengaruh yang ditimbulkan oleh aktivitas pengelolaan tanaman
(C), sehingga dalam rumus USLE kedua variable tersebut dipisahkan. Nilai
P dapat ditentukan melalui tabel faktor pengelolaan dan konservasi
Tanah (Tabel 3).

Tabel 3. Indeks Faktor P (Teknik Konservasi Tanah) (Arsyad, 1989)

Teknik Konservasi Tanah Nilai P


Teras bangku*
a. Baik 0,04
b. Sedang 0,15
c. Jelek 0,35
Teras tak sempurna 0,40
Vegetasi penutup/ permanent:
a. Baik
b. Jelek 0,40
Hill side ditch 0,30
Pertanaman dalam strip:
a. Kemiringan lereng 0-8% 0,50
b. Kemiringan lereng 9-20% 0,75
c. Kemiringan lereng > 20% 0,90
Mulsa jerami:
a. 6 ton/ ha/ th 0,30
b. 3 ton/ ha/ th 0,50
c. 1 ton/ ha/ th 0,80
Reboisasi awal 0,30
Tanpa tindakan konservasi tanah* 1,00

5. Pengaturan Saluran Pembuangan Air atau Saluran Drainase


Saluran Pembuangan Air (SPA) adalah saluran air yang dibuat tegak
lurus arah kontur dengan ukuran tertentu (sesuai dengan keadaan curah
hujan, kemiringan lahan, kecepatan air meresap ke dalam tanah/jenis tanah)
yang diperkuat dengan gebalan rumput (Peraturan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia No. 60 Tahun 2009). Saluran pembuangan air (saluran
drainase) pada lahan reklamasi sangat diperlukan untuk mengalirkan air ke
kolam pengendapan dan juga menampung sedimen (sediment trap). Saluran
pembuangan air dapat dibuat seperti pembuatan selokan pada kaki lereng.
Penampang saluran pembuangan air yang dianjurkan berpenampang
trapesium atau parabolic, sedangkan untuk penampang segi empat tidak
dianjurkan (Minerals Council of Australia,1998). Bentuk penampang
saluran dapat dilihat pada Gambar 2
Gambar 2. Penampang Saluran Air (Minerals Council of Australia,1998)

Beberapa faktor yang mempengaruhi perencanaan saluran drainase


adalah sebagai berikut :
a. Curah Hujan
Curah hujan adalah banyaknya air hujan yang jatuh ke bumi persatu
satuan luas permukaan pada suatu jangka waktu tertentu. Curah hujan
merupakan salah satu faktor penting dalam suatu sistem drainase, karena
besar kecilnya curah hujan akan mempengaruhi besar kecilnya air limpasan.
Curah hujan 10 mm berarti tinggi hujan yang jatuh pada areal seluas 1 m 2
adalah 10 liter. Angka-angka curah hujan yang diperoleh, sebelum diterapkan
dalam rencana pengendalian air permukaan harus diolah terlebih dahulu.
Pengolahan data curah hujan meliputi :
1) Curah Hujan Rencana untuk Periode Ulang Hujan Tertentu
Periode ulang hujan adalah hujan maksimum yang diharapkan terjadi pada
setiap n tahun. Perhitungan curah hujan rencana dapat menggunakan meto
metode Gumbel (Suripin, 2003):

X T = x + (K × SX ) ·········· (C.8)

Keterangan:
X T = Besarnya curah hujan rencana untuk periode ulang T
(mm/bulan)
x = Curah hujan rata-rata (mm/bulan)
K = Variabel Reduksi
SX = Standar Deviasi
Curah hujan rata-rata (x) dapat ditentukan dengan menggunakan rumus
berikut:

x=
 Xi ·········· (C.9)
n

Nilai variabel reduksi dapat ditentukan dengan menggunakan rumus


berikut:

Yt  Yn
K= ·········· (C.10)
Sn
Keterangan:
Yn = Reduced mean sebagai fungsi dari banyak data (n) (Tabel 4)
YT = Reduced variate sebagai fungsi dari periode ulang T (Tabel 5)

Tabel 4. Reduced Mean (Yn) untuk Distribusi Gumbel (Suripin, 2003)

N 0 1 2 3 4 5 6 7 8 9
0,49 0,49 0,50 0,50 0,51 0,51 0,51 0,51 0,52 0,55
10
52 96 35 70 00 28 57 81 02 20
0,52 0,52 0,52 0,52 0,52 0,53 0,53 0,53 0,53 0,53
20
36 52 68 83 96 09 20 32 43 53
0,53 0,53 0,53 0,53 0,53 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54
30
62 71 80 88 96 03 10 18 24 36
0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54 0,54
40
36 42 48 53 58 63 68 73 77 81
0,54 0,54 0,54 0,54 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55
50
85 89 93 97 01 04 08 11 15 18
0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55
60
21 24 27 30 33 35 38 40 43 45
0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55
70
48 50 52 55 57 59 61 63 65 67
0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55
80
69 70 72 74 76 78 80 81 83 85
0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55 0,55
90
86 87 89 91 92 93 95 96 98 99
10 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56 0,56
0 00 02 03 04 06 07 08 09 10 11

Tabel 5. Reduced Variate YT Sebagai Fungsi Periode Ulang Gumbel (Suripin,


2003)

Periode Ulang (Tahun) Reduksi Variansi (YT)


2 0,3668
5 1,5004
10 2,2510
20 2,9709
25 3,1993

50 3,9028
75 4,3117
100 4,6012
200 5,2969
250 5,5206
500 6,2149
1000 6,9087
5000 8,5188
10000 9,2121

Nilai S dapat ditentukan dengan menggunakan rumus berikut:


S=  ( xi  x) 2
·········· (C.11)
n 1

2) Intensitas Hujan Rata-Rata (I)


Intensitas curah hujan adalah ketinggian curah hujan yang terjadi
pada suatu kurun waktu. Analisa intensitas curah hujan dapat diproses dari
data curah hujan yang terjadi pada masa lampau. Sebelum menghitung
intensitas hujan, maka perlu dihitung besarnya curah hujan harian
maksimum 24 jam (mm/24 jam) dengan menggunakan rumus distribusi
Gumbel sebagai berikut:

X (mm / bulan)
Rt  ·········· (C.12)
30 x24 jam
60.Rt
It  ·········· (C.13)
t

Keterangan :
It = Intensitas hujan (mm/jam)
X = Curah hujan rencana (mm/bulan)
Rt = Curah hujan dalam t menit (mm)
t = Lama hujan (menit)
3) Daerah Tangkapan Hujan
Daerah tangkapan hujan (catchment area) adalah luasnya
permukaan yang apabila terjadinya hujan, maka air hujan tersebut akan
mengalir ke daerah yang lebih rendah menuju titik pengaliran. Air yang
jatuh ke permukaan sebagian akan meresap ke dalam tanah (infiltrasi),
sebagian ditahan oleh tumbuhan (intersepsi), dan sebagian lagi akan
mengisi liku-liku permukaan bumi dan akan mengalir ke tempat yang lebih
rendah.
b. Debit Limpasan (Run Off)
Air limpasan adalah bagian dari curah hujan yang mengalir diatas
permukaan tanah menuju sungai, danau atau laut. Debit limpasan dapat
dihitung dengan persamaan rasional berikut:

1
Q xC xI xA ·········· (C.14)
360

Keterangan:
Q = Debit limpasan (m3/detik)
C = Koefisien limpasan (Tabel 2.9)
I = Intensitas curah hujan (m/jam)
A = Luas catchment area (Ha)
Koefisien limpasan merupakan bilangan yang menunjukkan perbandingan
besarnya limpasan permukaan dengan intensitas curah hujan yang terjadi
pada daerah tangkapan hujan (Tabel 2.9).

Tabel 6. Koefisien Limpasan pada Berbagai Kondisi (Soewarno, 1995)

Kemiringan Tata Guna Lahan Nilai C


Datar a. sawah dan rawa 0,2
<3% b. hutan dan kebun 0,3
c. pemukiman dan taman 0,4
a. hutan dan kebun 0,4
Menengah b. pemukiman dan taman 0,5
3% - 5% c. alang-alang, sedikit tanaman 0,6
d. tanah gundul, jalan aspal 0,7
a. hutan dan kebun 0,6
b. pemukiman dan taman 0,7
Curam
c. alang-alang, sedikit tanaman 0,8
>15%
d. tanah gundul,jalan aspal, areal 0,9-1
penggalian & penimbunan tambang
c. Kapasitas Saluran
Kapasitas Saluran adalah daya tampung suatu saluran untuk
menampung Run Off pada suatu daerah. Hal yang perlu diketahui dalam
pembuatan saluran penyaliran adalah lebar dasar saluran (b), tinggi Saluran
(H), lebar permukaan saluran (L), tinggi air (h), dan tinggi Jagaan (F).
Kapasitas saluran dapat ditentukan dengan rumus Manning.
Perhitungan kapasitas rencana pengaliran suatu saluran berdasarkan rumus
Manning adalah sebagai berikut:

Q=A×V ·········· (C.13)

V = 1/n × R2/3 × S1/2 ·········· (C.14)

Q = A × 1/n × R2/3 × S1/2 ·········· (C.15)

A
R= ·········· (C.16)
P

Keterangan:
Q = Debit aliran dalam saluran (m3/detik)
A = Luas penampang saluran (m2)
V = Kecepatan aliran rata-rata dalam saluran (m/det),
n = Koefisien kekasaran manning (Tabel 2.10)
R = Jari-jari hidraulik (m)
S = Kemiringan dasar saluran
P = Keliling basah

Tabel 7. Koefiisien Manning (Soewarno, 1995)

Tipe Saluran Nilai n


Saluran tanah lurus dan teratur 0,023
Saluran tanah gali dengan excavator 0,028
Saluran pada batuan lurus dan teratur 0,033
Saluran pada batuan tidak lurus dan tidak teratur 0,045

Perhitungan dimensi saluran dapat ditentukan menggunakan rumus sebagai


berikut.

A = (b + m h ) h = (h + 1,5 h) h = 2,5 h2 ·········· (C.17)


P = b + 2h V (1 + 1,52) = 4,606 h ·········· (C.18)
R = A/P = 2,5 h2/ 4,606 h = 0,543 h ·········· (C.19)
B = 1,5 × h ·········· (C.20)
F = 25% h ·········· (C.21)
H =h + F ·········· (C.22)
L = B + h (z1 + z2) ·········· (C.23)

Keterangan:
A = Luas Penampang
P = Keliling Basah
R = Jari – Jari Hidrolis
b = Lebar Dasar Saluran
F = Tinggi Jagaan
L = Lebar permukaan saluran
H = Perhitungan Tinggi Saluran
Gambar 3. Penampang Saluran Trapesium (Soewarno, 1995)

6. Revegetasi
Revegetasi adalah usaha untuk memperbaiki dan memulihkan
vegetasi yang rusak melalui kegiatan penanaman dan pemeliharaan pada
lahan bekas penggunaan kawasan hutan (Peraturan Menteri Kehutanan
Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2009). Pemilihan jenis tanaman pada
lahan reklamasi tambang dapat dilakukan dengan menyesuaikan kondisi
lahan terhadap syarat tumbuh tanaman tersebut.
7. Pemeliharaan
Berdasarkan Peraturan Pemerintah Nomor 78 Tahun 2010 tentang
Reklamasi dan Pascatambang. pemeliharaan hasil reklamasi meliputi
pemupukan tanaman, perawatan tanaman, dan pemberian obat – obatan
(pestisida). Hal ini dilakukan agar kondisi tanaman dapat selalu baik sampai
dengan terakhir saat penyerahan hasil reklamasi terhadap pemerintah.

J. JADWAL PELAKSANAAN
Rencana pelaksanaan penelitian tugas akhir ini adalah mulai tanggal 8
Januari 2017 sampai dengan 8 Maret 2017 dengan jadwal pelaksanaan terurai pada
tabel J.1 sebagai berikut:

Tabel J.1. Uraian Jadwal Kegiatan Penelitian

Bulan 1 2
Minggu 1 2 3 4 1 2 3 4
Studi literatur
Observasi Lapangan
Pengambilan Data
Pengolahan Data
Konsultasi dan Penyusunan Draft

K. PENUTUP
Demikianlah proposal pengajuan ini di buat sebagai bahan pertimbangan bagi
Bapak/Ibu agar dapat menerima untuk melaksanakan Tugas Akhir di PT. Bukit
Asam (Persero), Tbk. Tanjung Enim Sumatera Selatan. Selanjutnya penulis sangat
mengharapkan bimbingan serta arahan dari Bapak/Ibu dalam pelaksanaan
penelitian ini nantinya.

I. DAFTAR PUSTAKA
Arsyad, S. 1989. Konservasi Tanah dan Air. IPB Press. Bogor.

Asdak, C. 1995. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah Aliran Sungai. Gadjah Mada
University Press. Yogyakarta.

Asdak, C. 2001. Hidrologi dan Pengelolaan Daerah aliran Sungai. Universitas


Padjajaran. Bandung.

Bowles, J., E. 1989. Sifat-sifat Fisik & Geoteknis Tanah. Erlangga. Jakarta.

Bukhari, I., K. S. Lubis, dan A. Lubis. 2014. Pendugaan Erosi Aktual Berdasarkan
Metode USLE Melalui Pendekatan Vegetasi, Kemiringan Lereng dan
Erodibilitas di Hulu Sub DAS Padang. Jurnal Agroekoteknologi
Universitas Sumatera Utara 3(1): 160-167.

Giani, G., P. 1992. Rock Slope Stability Analisis. Taylor & Francis. UK.
Kartasapoetra, A. G., 1989. Kerusakan Tanah Pertanian dan Usaha untuk
Merehabilitasinya. Bina Aksara. Jakarta.

Minerals Council of Australia. 1998. Mine Rehabilitation Hand Book. Minerals


Council of Australia. Australia.

Nova Scotia Environment. 2009. Guide for Surface Coal Mine Reclamation
Plan. September. Nova Scotia Environment. Kanada.
Pangular, D. 1985. Petunjuk Penyelidikan & Penanggulangan Gerakan Tanah.
Pusat Penelitian dan Pengembangan Pengairan, Balitbang Departemen
Pekerjaan Umum. Jakarta.

Parluhutan, O. C., dan S. Monintja. 2014. Analisis Kestabilan Lereng dengan


Metode Bishop (Studi Kasus: Kawasan Citraland STA.1000m). Jurnal
Sipil Statik Universitas Sam Ratulangi Manado 2(2): 139-147.

Peraturan Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral Nomor 18 Tahun 2008.
Reklamasi Dan Penutupan Tambang. 29 Mei 2008. Jakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 60 Tahun 2009.


Pedoman Penilaian Keberhasilan Reklamasi Hutan. 17 September 2009.
Berita Negara Republik Indonesia Tahun 2009 Nomor 317. Jakarta.

Peraturan Menteri Kehutanan Republik Indonesia Nomor 4 Tahun 2011. Pedoman


Reklamasi Hutan. 14 Januari 2011. Berita Negara Republik Indonesia
Tahun 2011 Nomor 23. Jakarta.

Rathore, S.S., S. Bhandary, 2007. Controlled fracture growth by blasting while


protecting damages to remaining rock, Rock Mechanic. Rock Engineering,
hal. 63 - 67.

Soemarto, C., D. 1999. Hidrologi Teknik. Erlangga. Jakarta.

Soewarno. 1995. Hidrologi Aplikasi Metode. Statistik Jilid 1. Nova. Bandung.

Suripin. 2004. Sistem Drainase Perkotaan yang Berkelanjutan.ANDI.Yogyakarta.

Wyllie, D., C, dan C. W. Mah. 2004. Rock Slope Engineering: Civil and Mining
(4th edition). Spon Press. New York.

Anda mungkin juga menyukai