Anda di halaman 1dari 6

BAHAN MATERI BPJS

Home » BPJS Kesehatan » Apa Itu Sistem Pembayaran Kapitasi: Sistem Pembayaran Pada
FKTP BPJS

Apa Itu Sistem Pembayaran Kapitasi: Sistem Pembayaran Pada FKTP


BPJS

Posted by Sucipto Kuncoro at 10:49:00 PM0 Komentar

Apa itu sistem kapitasi BPJS Kesehatan? Saat ini banyak terdengar istilah kapitasi
terutama dikalangan sejawat pemberi pelayanan kesehatan. Hal ini bisa kita mengerti
karena kapitasi ini merupakan salah satu metode pembayaran fasilitas kesehatan yang
dipilih untuk membayar fasilitas kesehatan primer, atau disebut sebagai fasilitas
kesehatan tingkat pertama (FKTP).

Kapitasi adalah sebuah sistem pembayaran kepada provider. Sistem pembayaran


kapitasi adalah cara pembayaran oleh pengelola dana (BPJS Kesehatan) kepada
penyelenggara pelayanan kesehatan primer (primaryhealth provider) untuk pelayanan
yang diselenggarakannya, yang besar biayanya tidak dihitung berdasarkan jenis dan
ataupun jumlah pelayanan kesehatan yang diselenggarakan untuk tiap pasien,
melainkan berdasarkan jumlah pasien yang menjadi tanggungannya (Eastaugh 1981;
Weeks, 1979). Sistem pembayaran kapitasi ini populer ketika konsep Health
Maintenace Organizatioan (HMO) pada awal tahun 1970-an untuk pertama kali
diperkenalkan di Amerika Serikat. Pada masa itu sistem pembayaran kapitasi
dijadikan andalan utama pada pembiayan rawat jalan oleh banyak perusahaan asuransi
kesehatan, dengan hasil yang cukup memuaskan.

Konsep dasar sistem pembayaran kapitasi dikembangkan dari tiga prinsip pokok
yaitu:

 Prinsip kemungkinan timbulnya risiko (risk probability)


 Prinsip membagi risiko (risk sharing)
 Prinsip pelayanan yang profesional (professionalism)

Banyak sejawat yang memahami kapitasi ini sebagai cara pembayaran borongan,
dimana fasilitas kesehatan primer diberikan sejumlah nominal tertentu. Faskes primer
akan memberikan pelayanan bagi peserta untuk jenis dan jumlah pelayanan yag sudah
ditentukan diawal perjanjian. Dengan pembayaran kapitasi ini apabila kunjungan
rendah maka sisa dana kapitasi besar dan apabila kunjungan tinggi maka sisa dana
kapitasi sedikit.

Tiga prinsip risk probability, risk sharing dan professionalism ini yang terkadang
belum dipahami secara menyeluruh, sehingga dampak negative pembayaran kapitasi
bisa muncu yaitu, faskes akan mengurangi waktu pelayanan atau mempercepat waktu
pelayanan, faskes tidak berusaha memperbaiki kualitas pelayanan dan faskes akan
meningkatkan rujkan ke faskes sekunder atau faskes tingkat lanjut.

Padahal metode pembayaran kapitasi ini bertujuan untuk meningkatkan kualitas dan
peran pelayanan kesehatan primer sebagai gate keeper dalam mengendalikan mutu dan
mengendalikan biaya pelayanan kesehatan.Pembayara kapitasi diharapkan system
administrasi pengelola fasilitas pelayanan kesehatan menjadi lebih sederhana,
penghasilan faskes lebih stabil dan merata, pelayanan kesehatan lebih efemtif dan
efisien, dapat mencegah kunjungan pasien yang berulang atau berlebihan dengan
usaha promotif preventif.

Memang ada beberapa syarat dalam pembayaran kapitasi ini agar berjalan dengan
baik, yaitu kesiapan badan penyeenggara yang mengelola administrasi padat data,
pengumpulan iuran dan mengatur pembayaran ke faskes primer, adanya jaringan
pelayanan kesehatan yang memadai dalam jumlah maupun penyebarannya,
pembayarannya adalah dimuka (prepaid system), standar pelayanan yang ditentukan,
biaya per unit pelayanan (Unit cost) yang disepakati, angka utilisasi, minimum jumlah
peserta yang dikapitasikan dan faskes harus mampu melakukan pengendalian biaya.

[Tulisan sistem tarif kapitasi ini disadur dari catatan FB dr. Husen Prabowo]
Norma kapitasi puskesmas yang ditetapkan BPJS Kesehatan

Contoh perhitungan sistem tarif kapitasi BPJS Kesehatan

 Misal di bulan September 2015 di Puskesmas X jumlah peserta BPJS


Kesehatan ada 10.000 jiwa (kepala/kapita) terdaftar.
 Besaran kapitasi: Rp 6.000,-
 Maka dana kapitasi yang diterima Puskesmas X untuk bulan September 2015
adalah : 10.000 jiwa × Rp 6.000 = Rp 60.000.000,-.

Sistem kapitasi ini tidak memperhitungkan jumlah pasien yang berobat. Sakit atau
tidak sakit peserta BPJS-nya, akan tetap dibayar di awal bulan September 2015
sebesar Rp 60 juta tadi.

Jumlah dana kapitasi tiap puskesmas tiap bulan bisa berbeda tergantung jumlah
peserta terdaftar di puskesmas tersebut dan besaran kapitasinya (norma kapitasi).

Kemudian dari 60 juta itu dokternya dapat berapa? Tergantung pengelola faskesnya.
Yang jelas tidak ada peraturan BPJS Kesehatan yang menentukan gaji setiap dokter.
Undang2

Inilah Perpres Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan


Perpres Tentang Jaminan Kesehatan
Oleh: Humas ; Diposkan pada: 14 Mar 2016 ; 58809 ViewsKategori: Berita

Pemerintah memandang beberapa


ketentuan dalam Peraturan Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan sebagaimana diubah dengan Peraturan Presiden Nomor 111 Tahun 2013
perlu disesuaikan dengan kebutuhan penyelenggaraan jaminan kesehatan nasional.
Atas dasar pertimbangan tersebut, Presiden Joko Widodo pada tanggal 29 Februari
2016 telah menandatangani Peraturan Presiden (Perpres) Nomor 19 Tahun 2016
tentang Perubahan Kedua atas Presiden Nomor 12 Tahun 2013 tentang Jaminan
Kesehatan.

Dalam Perpres itu disebutkan, peserta bukan PBI (Penerima Bantuan Iuran) merupakan
peserta yang tidak tergolong fakir miskin dan orang tidak mampu yang terdiri atas: a.
Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya; b. Pekerja Bukan Penerima Upah
dan anggota keluarganya; dan c. bukan pekerja dan anggota keluarganya.

“Pekerja Penerima Upah itu terdiri atas: a. Pegawai Negeri Sipil; b. Anggota TNI; c.
Anggota Polri; d. Pejabat Negara; e. Pimpinan dan anggota DPRD; f. Pegawai
Pemerintah non Pegawai Negeri; g. Pegawai Swasta; dan h. Pekerja yang tidak
termasuk huruf a sampai g yang menerima upah,” bunyi Pasal 4 ayat (2) Perpres
tersebut.

Yang dimaksud pekerja bukan penerima upah adalah: a. Pekerja di luar hubungan kerja
atau Pekerja Mandiri; dan b. Pekerja yang tidak termasuk huruf a yang bukan penerima
upah.

Adapun yang dimaksud bukan Pekerja adalah: a. Investor; b. Pemberi Kerja; c.


penerima pensiun; d. Veteran; e. Perintis Kemerdekaan; f. Janda, duda, atau anak yatim
piatu dari Veteran atau Perintis Kemerdekaan; dan g. Bukan pekerja yang tidak
termasuk huruf a sampai f yang mampu membayar iuran.
Menurut Perpres ini, Pekerja Penerima Upah dan anggota keluarganya meliputi: Pekerja
Penerima Upah, istri/suami yang sah, anak kandung, anak tiri dari perkawinan yang sah,
dan anak angka yang sah, sebanyak-banyaknya 5 (lima) orang.

Wajib Daftar

Perpres ini menegaskan, Pemberi Kerja wajib mendaftarkan dirinya dan Pekerjanya
sebagai Peserta Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan dengan membayar iuran.
Dalam hal Pemberi Kerja secara nyata-nyata tidak mendaftarkan Pekerjanya kepada
BPJS Kesehatan, Pekerja yang bersangkutan berhak mendaftarkan dirinya sebagai
Peserta Jaminan Kesehatan.

“Dalam hal Pekerja belum terdaftar pada BPJS Kesehatan, Pemberi Kerja wajib
bertanggung jawab pada saat Pekerjanya membutuhkan pelayanan kesehatan sesuai
dengan Manfaat yang diberikan oleh BPJS Kesehatan,” bunyi Pasal 11 ayat (5) Perpres
No. 19 Tahun 2016 itu.

Menurut Perpres ini, Setiap Pekerja Bukan Penerima Upah wajib mendaftarkan dirinya
dan anggota keluarganya secara sendiri-sendiri atau berkelompok sebagai Peserta
Jaminan Kesehatan pada BPJS Kesehatan dengan membayar iuran.

Selain itu, setiap orang bukan Pekerja wajib mendaftarkan dirinya dan anggota
keluarganya secara sendiri-sendiri atau berkelompok sebagai Peserta Jaminan
Kesehatan pada BPJS Kesehatan dengan membayar iuran.

Selanjutnya, setiap Peserta yang telah terdaftar pada BPJS Kesehatan berhak
mendapatkan identitas Peserta, berupa Kartu Indonesia Sehat, yang diberikan kepada
Peserta secara bertahap.

“Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta PBI Jaminan Kesehatan serta pendudukan
yang didaftarkan oleh Pemerintah Daerah sebesar Rp 23.000,-, yang berlaku mulai
pada tanggal 1 Januari 2016,” bunyi Pasal 16a ayat (1,2) Perpres tersebut.

Iuran Jaminan Kesehatan bagi Pekerja Penerima Upah yang terdiri atas Pegawai Negeri
Sipil; Anggota TNI; Anggota Polri; Pejabat Negara; Pimpinan dan anggota DPRD;
Pegawai Pemerintah non Pegawai Negeri sebesar 5% dari Gaji atau Upah per bulan.

Iuran sebagaimana dimaksud dibayar dengan ketentuan: 3% dibayar oleh Pemberi


Kerja, dan 2% dibayar oleh Peserta.

Adapun batas batas paling tinggi Gaji atau Upah per bulan yang digunakan sebagai
dasar perhitungan besaran Iuran Jaminan Kesehatan bagi Peserta dan Pegawai
Pemerintah non Pegawai Negeri adalah sebesar Rp 8.000.000 (delapan juta rupiah).

Iuran Jaminan Kesehatan bagi Pekerja Bukan Penerima Upah

Menurut Perpres Nomor 19 Tahun 2016 itu, Iuran Jaminan Kesehatan bagi Pekerja
Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja adalah: a. Sebesar Rp 30.000 per
orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas III; b. Sebesar Rp
51.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang perawatan Kelas II;
dan c. Sebesar Rp 80.000 per orang per bulan dengan Manfaat pelayanan di ruang
perawatan Kelas III.

“Ketentuan besaran Iuran sebagaimana dimaksud mulai berlaku pada tanggal 1 April
2016,” bunyi Pasal 16F ayat (2) Perpres tersebut.

Menurut Perpres tersebut, Pemberi Kerja wajib memungut iuran dari Pekerjanya,
membayar iuran yang menjadi tanggung jawabnya, dan menyetor iuran tersebut kepada
BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 setiap bulan.

Adapun Peserta Bukan Penerima Upah dan Peserta bukan Pekerja wajib membayar
Iuran Jaminan Kesehatan kepada BPJS Kesehatan paling lambat tanggal 10 setiap
bulan. Selain itu, Iuran Jaminan Kesehatan dapat dibayarkan untuk lebih dari 1 (satu)
bulan yang dilakukan di awal.

“Dalam hal terdapat keterlambatan lebih dari 1 (satu) bulan sejak tanggal 10
sebagaimana dimaksud, penjaminan Peserta diberhentikan sementara,” bunyi Pasal
17A.1 Perpres tersebut.

Pemberhentian sementara penjaminan Peserta sebagaimana dimaksud berakhir dan


kepesertaan aktif kembali apabila Peserta: a. Membayar Iuran bulan tertunggak paling
banyak untuk waktu 12 bulan; dan b. Membayar Iuran pada bulan saat Peserta ingin
mengakhiri pemberhentian sementara jaminan.

“Peraturan Presiden ini mulai berlaku pada tanggal diundangkan,” bunyi Pasal II
Peraturan Presiden Nomor 19 Tahun 2016 yang telah diundangkan oleh Menteri Hukum
dan HAM, Yasonna H. Laoly, pada tanggal 1 Maret 2016 itu.

(Pusdatin/ES)

Anda mungkin juga menyukai