Anda di halaman 1dari 24

REFERAT

Lupus Eritematosus Sistemik

Disusun oleh :
Nur Sri Syazana Binti Rahim
112016194

Dokter Pembimbing:

dr. Mustari Muhammad Sp.A

KEPANITERAAN ILMU KESEHATAN ANAK


FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS KRISTEN KRIDA WACANA
RUMAH SAKIT UMUM DAERAH TARAKAN, JAKARTA
PERIODE 8 JANUARI – 17 MARET 2018
BAB I

PENDAHULUAN

Lupus Eritematosus Sistemik merupakan penyakit autoimun dengan pembentukan antibodi


antinukleus (ANA), terutama terhadap double-stranded DNA (anti ds-DNA). Pada LES terjadi
proses inflamasi, vaskulitis, deposisi kompleks imun, serta vaskulopati yang luas, dengan
manifestasi klinis yang bersifat episodik dan multisystem.1,2
Insidens LES pada anak sebesar 10-20 kasus/100.000 anak dan sangat jarang terjadi
sebelum usia 5 tahun, sedangkan pada perempuan umumnya terjadi pada usia sesudah pubertas
dan sebelum menopause.1-4 Perbandingan jumlah pasien perempuan dan laki-laki antara 5-10:1
tampaknya hormon estrogen yang berlebih dan aktivitas androgen yang inadekuat mengganggu
respons imun.2 Penyakit LES lebih sering terjadi pada keluarga dengan riwayat LES atau penyakit
autoimun lainnya.5,6 Peran faktor genetik pada LES terletak pada gen dalam major
histocompatibility complex, haplotipe yang rentan adalah DRB1*08 dan DRB1*03.1,6
Etiologi LES masih belum jelas, namun telah terbukti bahwa LES merupakan interaksi
antara faktor genetik (disregulasi imun, hormon) dan lingkungan (sinar UVB, obat), yang berakibat
pada terbentuk limfosit T dan B autoreaktif yang persisten. Diagnosis LES pada anak ditegakkan
dengan terpenuhinya paling sedikit 4 dari 11 kriteria klasifikasi yang dibuat oleh American College
of Rheumatology 1982, dengan sensitivitas 96% dan spesifisitas 100%. Demam intermiten atau
menetap, lelah, berat badan turun, dan anoreksia merupakan gejala LES yang aktif. Kelainan dapat
terjadi pada mukokutan (ruam malar, lesi diskoid, aloplesia, ulserasi mukosa mulut/ nasal),
muskuloskeletal (artralgia, artritis), ginjal (hematuria, proteinuria, hipertensi), susunan saraf
pusat/SSP (kejang, psikosis, halusinasi), jantung (perikarditis), pare (pleuritic), sindrom,
antifosfolipid (tromboemboli), vaskulitis, mata (mata kering), dan gastrointestinal (mual,
hepatitis).1,5
Pemantauan jangka panjang yang teratur terhadap aktivitas penyakit penting untuk
mencegah timbulnya penyulit. Lupus Activity Index, SLE Disease Activity Index, Systemic Lupus
Activity Measure, dan British Isles Lupus Assessment Group Activity Index merupakan skor untuk
menilai aktivitas LES, sedangkan Systemic Lupus Intel-national Collaborating Clinics Damage
Index untuk mengukur akumulasi kerusakan organ.1
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi

Lupus Eritematosus Sistemik (LES) adalah penyakit reumatik autoimun yang


ditandai adanya inflamasi tersebar luas, yang mempengaruhi setiap organ atau sistem
dalam tubuh. Penyakit ini berhubungan dengan deposisi autoantibodi dan kompleks imun
sehingga mengakibatkan kerusakan jaringan.7

Lupus erythematosus (LE) terdiri dari Systemic Lupus Erythematosus (SLE) dan
Discoid Lupus Erythematosus (DLE). Berbeda dengan DLE yang hanya akan
menunjukkan manifestasi pada kulit, SLE merupakan tipe LE yang juga dapat
menunjukkan manifestasi pada organ tertentu selain pada kulit. Menurut para ahli
reumatologi Indonesia, SLE adalah penyakit autoimun sistemik yang ditandai dengan
adanya autoantibodi terhadap autoantigen, pembentukan kompleks imun, dan disregulasi
sistem imun, sehingga terjadi kerusakan pada beberapa organ tubuh. Perjalanan penyakit
SLE bersifat eksaserbasi yang diselingi periode sembuh. Pada setiap penderita, peradangan
akan mengenai jaringan dan organ yang berbeda. Beratnya penyakit SLE dapat bervariasi,
mulai dari penyakit yang ringan sampai penyakit yang menimbulkan kecacatan, tergantung
dari jumlah dan jenis antibodi yang muncul dan organ yang terlibat.8

2.2 Epidemiologi

Insiden tahunan SLE di Amerika serikat sebesar 5,1 per 100.000 penduduk,
sementara prevalensi SLE di Amerika dilaporkan 52 kasus per 100.000 penduduk,10
dengan rasio jender wanita dan laki-laki antara 9-14:1. Belum terdapat data epidemiologi
SLE yang mencakup semua wilayah Indonesia. Data tahun 2002 di RSUP Cipto
Mangunkusumo (RSCM) Jakarta, didapatkan 1.4% kasus SLE dari total kunjungan pasien
di poliklinik Reumatologi Penyakit Dalam, sementara di RS Hasan Sadikin Bandung
terdapat 291 Pasien SLE atau 10.5% dari total pasien yang berobat ke poliklinik
reumatologi selama tahun 2010.8
Manifestasi klinis SLE sangat luas, meliputi keterlibatan kulit dan mukosa, sendi,
darah, jantung, paru, ginjal, susunan saraf pusat (SSP) dan sistem imun. Dilaporkan bahwa
pada 1000 pasien SLE di Eropa yang diikuti selama 10 tahun, manifestasi klinis terbanyak
berturut-turut adalah artritis sebesar 48,1%, ruam malar 31,1%, nefropati 27,9%,
fotosensitiviti 22,9%, keterlibatan neurologik 19,4% dan demam 16,6% sedangkan
manifestasi klinis yang jarang dijumpai adalah miositis 4,3%, ruam diskoid 7,8 %, anemia
hemolitik 4,8%, dan lesi subkutaneus akut 6,7%.8

Morbiditas dan mortalitas pasien SLE masih cukup tinggi. Berturut-turut kesintasan
(survival) SLE untuk 1-5, 5-10, 10-15, 15-20, dan 20 tahun adalah 93-97%15-17, 84- 95%,
70-85%, 64-80% dan 53-64%. Kesintasan 5 tahun pasien SLE di RSCM adalah 88% dari
pengamatan terhadap 108 orang pasien SLE yang berobat dari tahun 1990-2002. Angka
kematian pasien dengan SLE hampir 5 kali lebih tinggi dibandingkan populasi umum. Pada
tahun-tahun pertama mortalitas SLE berkaitan dengan aktivitas penyakit dan infeksi
(termasuk infeksi M. tuberculosis, virus, jamur dan protozoa, sedangkan dalam jangka
panjang berkaitan dengan penyakit vaskular aterosklerosis.8

2.3 Etiologi

Etiologi utama SLE sampai saat ini belum diketahui, namun beberapa faktor
predisposisi dapat berperan dalam patogenesis terjadinya penyakit ini. Diantara beberapa
faktor predisposisi tersebut, sampai saat ini belum diketahui faktor yang paling dominan
berperan dalam timbulnya penyakit ini. Berikut ini beberapa faktor predisposisi yang
berperan dalam timbulnya penyakit SLE:

2.3.1 Genetik9
Berbagai gen dapat berperan dalam respon imun abnormal sehingga timbul
produk autoantibodi yang berlebihan. Kecenderungan genetik untuk menderita
SLE telah ditunjukkan oleh studi yang dilakukan pada anak kembar. Sekitar 2-5%
anak kembar dizigot berisiko menderita SLE, sementara pada kembar monozigot,
risiko terjadinya SLE adalah 58%. Risiko terjadinya SLE pada individu yang
memiliki saudara dengan penyakit ini adalah 20 kali lebih tinggi dibandingkan pada
populasi umum.
Studi mengenai genome telah mengidentifikasi beberapa kelompok gen
yang memiliki korelasi dengan SLE. MHC (Major Histocompatibility Complex)
kelas II khususnya HLA- DR2 (Human Leukosit Antigen-DR2), telah dikaitkan
dengan timbulnya SLE. Selain itu, kekurangan pada struktur komponen
komplemen merupakan salah satu faktor risiko tertinggi yang dapat menimbulkan
SLE. Sebanyak 90% orang dengan defisiensi C1q homozigot akan berisiko
menderita SLE. Di Kaukasia telah dilaporkan bahwa defisiensi varian S dari
struktur komplemen reseptor 1, akan berisiko lebih tinggi menderita SLE.
2.3.2 Imunologi10
 Antigen
Dalam keadaan normal, makrofag yang berupa APC (Antigen Presenting
Cell) akan memperkenalkan antigen kepada sel T. Pada penderita lupus,
beberapa reseptor yang berada di permukaan sel T mengalami perubahan
pada struktur maupun fungsinya sehingga pengalihan informasi normal
tidak dapat dikenali. Hal ini menyebabkan reseptor yang telah berubah di
permukaan sel T akan salah mengenali perintah dari sel T.
 Kelainan intrinsic sel T dan sel B
Kelainan yang dapat terjadi pada sel T dan sel B adalah sel T dan sel B akan
teraktifasi menjadi sel autoreaktif yaitu limfosit yang memiliki reseptor
untuk autoantigen dan memberikan respon autoimun. Sel T dan sel B juga
akan sulit mengalami apoptosis sehingga menyebabkan produksi
imunoglobulin dan autoantibodi menjadi tidak normal
 Kelainan antibody
Ada beberapa kelainan antibodi yang dapat terjadi pada SLE, seperti
substrat antibodi yang terlalu banyak, idiotipe dikenali sebagai antigen dan
memicu limfosit T untuk memproduksi autoantibodi, sel T mempengaruhi
terjadinya peningkatan produksi autoantibodi, dan kompleks imun lebih
mudah mengendap di jaringan
2.3.3 Hormonal
Peningkatan hormon dalam tubuh dapat memicu terjadinya LE. Beberapa
studi menemukan korelasi antara peningkatan risiko lupus dan tingkat estrogen
yang tinggi. Perbandingan jumlah pasien perempuan dan laki-laki antara 5-10:1
tampaknya hormon estrogen yang berlebih dan aktivitas androgen yang inadekuat
mengganggu respons imun.10
2.3.4 Lingkungan10
Beberapa faktor lingkungan dapat bertindak sebagai antigen yang bereaksi dalam
tubuh dan berperan dalam timbulnya SLE. Faktor lingkungan tersebut terdiri dari:
 Infeksi virus dan bakteri
Agen infeksius, seperti virus dan bakteri, dapat berperan dalam timbulnya
SLE. Agen infeksius tersebut terdiri dari Epstein Barr Virus (EBV), bakteri
Streptococcus dan Clebsiella
 Paparan sinar ultraviolet
Sinar ultra violet dapat mengurangi penekanan sistem imun, sehingga terapi
menjadi kurang efektif dan penyakit SLE dapat kambuh atau bertambah
berat. Hal ini menyebabkan sel pada kulit mengeluarkan sitokin dan
prostaglandin sehingga terjadi inflamasi di tempat tersebut secara sistemik
melalui peredaran pembuluh darah.
 Stress
Stres berat dapat memicu terjadinya SLE pada pasien yang sudah memiliki
kecenderungan akan penyakit ini. Hal ini dikarenakan respon imun tubuh
akan terganggu ketika seseorang dalam keadaan stres. Stres sendiri tidak
akan mencetuskan SLE pada seseorang yang sistem autoantibodinya tidak
ada gangguan sejak awal.
 Obat-obatan
Obat pada pasien SLE dan diminum dalam jangka waktu tertentu dapat
menyebabkan Drug Induced Lupus Erythematosus (DILE). Jenis obat yang
dapat menyebabkan DILE diantaranya kloropromazin, metildopa,
hidralasin, prokainamid, dan isoniazid
2.4 Patogenesis

Kelainan mendasar pada LES adalah kegagalan mempertahankan toleransi-diri.


Akibatnya terdapat autoantibodi dalam jumlah besar yang dapat merusak jaringan secara
langsung ataupun dalam bentuk endapan kompleks imun. Antibodi tersebut melawan
komponen nuclear dan sitoplasma sel host yang tidak spesifik terhadap organ. Proses ini
diawali dengan faktor pencetus yang ada dilingkungan, dapat berupa infeksi, sinar
ultraviolet atau bahan kimia. Hal ini menimbulkan abnormalitas respon imun di dalam
tubuh yaitu:11

1. Sel T dan sel B menjadi autorektif


2. Pembentukan sitokin yang berlebihan
3. Hilangnya regulasi kontrol pada sistem imun, antara lain:
a. Hilangnya kemampuan membersihkan antigen di kompleks imun maupun
sitokin di dalam tubuh
b. Menurunnya kemampuan mengendalikan apoptosis
c. Hilangnya toleransi imun dimana sel T mengenali molekul tubuh sebagai
antigen karena adanya mimikri molekuler

Gambar 1. Patogenesis LES12


Akibat proses tersebut, maka terbentuk berbagai macam antibodi di dalam tubuh
yang disebut autoantibodi. Selanjutnya antibodi tersebut akan membentuk kompleks imun.
Kompleks imun tersebut akan terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.11

Karakteristik patogenesis dari LES yaitu sistem imun yang menyerang nuklear
endogen yang dianggap sebagai autoantigen. Autoantigen dikeluarkan oleh sel yang
mengalami apoptosis kemudian akan dipresentasikan oleh sel dendritik ke sel T. Sel T
mensekresikan sitokin yaitu interleukin 10 (IL10) dan IL23 yang mengaktivasi sel B untuk
memproduksi antibodi. Nukleosome endogen dapat berikatan dengan molekular patogen
reseptor dan dapat menstimulus pengeluaran interferon α (IFN α) sehingga memicu
terjadinya inflamasi. Selain itu juga nucleosome dapat berikatan dengan reseptor
permukaan sel seperti BCR (B cell antigen reseptor) dan TLR (Toll like reseptor). Pada
pasien dengan SLE yang aktif terdapat peningkatan ekspresi TLR9.11

Pada LES sebagian besar autoantibodi yang dihasilkan akan langsung menyerang
kompleks DNA/protein atau RNA/protein seperti nukleosome, nukleolar RNA,
spliceosomal RNA. Saat terjadi apoptosis, antigen tersebut bermigrasi ke permukaan sel
dan mengaktivasi sistem imun untuk produksi autoantibodi. Hiperreaktivitas dari sel T dan
sel limfosit B pada LES ditandai dengan meningkatnya ekspresi molekul HLA-D dan
CD40L. Hasil akhir dari ini yaitu produksi autoantibodi dan pembentukan kompleks imun
yang terdeposisi di jaringan sehingga membuat (1) sequestrasi dan destruksi sel-sel yang
diselubungi Ig yang beredar di sirkulasi, (2) fiksasi dan cleaving komplemen, (3)
pengeluaran kemotoksin, peptide vasoaktif, dan enzim-enzim yang mendestruksi
jaringan.11
2.5 Patofisiologi

Abnormalitas imun pada LES terbagi menjadi 2 fase yaitu (a) meningkatnya serum
antinuklear dan autoantibodi anti-glomerular, (b) terbentuknya kompleks imun pada organ
target yang menyebabkan kerusakan organ. Defek mekanisme regulasi imun seperti klirens
apoptosis dan kompleks imun merupakan kontributor pada LES. LES ditandai dengan
adanya produksi autoantibodi, terbentuknya kompleks imun, dan aktivasi komplemen yang
tidak terkendali. LES disebabkan oleh interaksi antara gen dan faktor lingkungan sehingga
menghasilkan respon imun yang abnormal. Respon tersebut terdiri dari hiperaktivitas sel
T helper sehingga terjadi hiperaktivitas sel B. Terjadi gangguan mekanisme
downregulating yang menimbulkan respon imun abnormal.13

Pada LES penanganan pada komplek imun terganggu, dapat berupa gangguan
klierens kompleks imun, gangguan pemprosesan kompleks imun dalam hati dan penurun
uptake kompleks imun pada limpa. Gangguan-gangguan ini memungkinkan terbentuknya
deposit kompleks imun di luar sistem fagosit mononuklear. Kompleks imun ini akan
mengendap pada berbagai macam organ dan terjadi fiksasi komplemen pada organ
tersebut. Peristiwa ini menyebabkan aktivasi komplemen yang menghasilkan substansi
penyebab timbulnya reaksi inflamasi. Reaksi inflamasi inilah yang menyebabkan
timbulnya keluhan atau gejala pada organ atau tempat yang bersangkutan seperti ginjal,
sendi, pleura, kulit dan sebagainya.13

2.6 Manifestasi klinis14

Gejala klinis dan perjalanan penyakit SLE sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Dapat juga
menahun dengan gejala pada satu sistem yang lambat laun diikuti oleh gejala terkenanya
sistem imun.

Waktu yang dibutuhkan antara onset penyakit dan diagnosis adalah 5 tahun.
Penyakit ini mempunyai ciri khas terdapatnya eksaserbasi dan remisi. Onset penyakit dapat
spontan atau didahului oleh faktor presipitat seperti kontak dengan sinar matahari, infeksi
virus/bakteri, obat misalnya golongan sulfa.
1. Gejala konstitusional
Manifestasi yang timbul dapat bervariasi. Pada anak-anak yang paling sering adalah
anorexia, demam, kelelahan, penurunan berat badan, limfadenopati dan irritable. Gejala
dapat berlangsung intermiten atau terus-menerus.
2. Gejala musculoskeletal
Pada anak-anak gejala yang paling sering ditemukan dapat berupa athralgia (90%) dan
sering mendahului gejala-gejala lainnya. Yang paling sering terkena adalah sendi
interfalangeal proksimal diikuti oleh lutut, pergelangan tangan, metakarpophalangeal, siku
dan pergelangan kaki. Artritis dapat terjadi pada lebih dari 90% anak, umumnya simetris,
terjadi pada beberapa sendi besar maupun kecil. Biasanya sangat responsif terhadap terapi
dibandingkan dengan kelainan organ yang lain pada LES. Arthritis pada tangan dapat
menyebabkan kerusakan ligament dan kekakuan sendi yang berat. Osteonecrosis umum
terjadi dan dapat timbul belakangan setelah dalam pengobatan kortikosteroid.
3. Gejala mukokutan
a) Lesi kulit akut
Ruam kulit yang paling dianggap khas adalah ruam kulit berbentuk kupu-kupu
(butterfly-rash) berupa eritema yang sedikit edematus pada hidung dan kedua pipi.
Karakteristik malar atau ruam kupu-kupu termasuk jembatan hidung dan bervariasi dari
merah pada erythematous epidermis hingga penebalan scaly patches. Ruam mungkin
akan fotosensitif dan berlaku untuk semua daerah terkena sinar matahari. Lesi-lesi
tersebut penyebarannya bersifat sentrifugal dan dapat bersatu sehingga berbentuk ruam
yang tidak beraturan. Dengan pengobatan yang tepat, kelainan ini dapat sembuh tanpa
bekas.
b) Lesi discoid
Sebesar 2% lesi discoid terjadi pada usia di bawah 15 tahun. Sekitar 7 % lesi discoid
akan menjadi LES dalam waktu 5 tahun, sehingga perlu di monitor secara rutin. Hasil
pemeriksan laboratorium menunjukkan adanya antibodi antinuclear (ANA) yang
disertai peningkatan kadar IgG yang tinggi dan lekopeni ringan. Ruam diskoid adalah
ruam pada kulit leher, kepala, muka, telinga, dada, punggung, dan ekstremitas yang
menimbul dan berbatas tegas, dengan diameter 5-10 mm, tidak gatal maupun nyeri.
Berkembangnya melalui 3 tahap, yaitu erithema, hiperkeratosis dan atropi. Biasanya
tampak sebagai bercak eritematosa yang meninggi, tertutup oleh sisik keratin disertai
oleh adanya penyumbatan folikel. Kalau sudah berlangsung lama akan terbentuk
sikatrik. Lesi diskoid tidak biasa di masa kanak-kanak. Namun, mereka terjadi lebih
sering sebagai manifestasi dari LES daripada sebagai diskoid lupus erythematosis
(DLE) saja; 2-3% dari semua DLE terjadi di masa kanak-kanak
c) Livido retikularis
Suatu bentuk vaskulitis ringan, sering ditemukan pada SLE. Vaskulitis kulit dapat
menyebabkan ulserasi dari yang berbentuk kecil sampai yang besar. Sering juga
tampak perdarahan dan eritema periungual
d) Urtikaria
Biasanya menghilang perlahan-lahan beberapa bulan setelah penyakit tenang secara
klinis dan serologis
4. Kelainan pada ginjal
Pada sekitar 2/3 dari anak dan remaja LES akan timbul gejala lupus nefritis. Lupus nefritis
akan diderita sekitar 90% anak dalam tahun pertama terdiagnosanya LES. Berdasarkan
klasifikasi WHO, jenis lupus nefritis adalah:
a) Kelas I: minimal mesangial lupus nephritis
b) Kelas II: mesangial proliferative lupus nephritis
c) Kelas III: focal lupus nephritis
d) Kelas IV: diffuse lupus nephritis
e) Kelas V: membranous lupus nephritis
f) Kelas VI: advanced sclerotic lupus nephritis

Kelainan ginjal ditemukan 68% kasus LES. Manifestasi paling sering ialah proteinuria dan
atau hematuria. Ada 2 macam kelainan patologis pada ginjal yaitu nefritis lupus difus dan
nefritis lupus membranosa. Nefritis lupus difus merupakan kelainan yang paling berat.
Klinis tampak sebagai sindrom nefrotik, hipertensi, serta gangguan fungsi ginjal sedang
sampai berat. Nefritis membranosa lebih jarang ditemukan. Ditandai dengan sindroma
nefrotik, gangguan fungsi ginjal ringan serta perjalanan penyakit yang mungkin
berlangsung cepat atau lambat tapi progresif
5. Serositis (pleuritis dan pericarditis)
Gejala klinisnya berupa nyeri waktu inspirasi dan pemeriksaan fisik dan radiologis
menunjukkan efusi pleura atau efusi parikardial. Efusi pleura lebih sering unilateral,
mungkin ditemukan sel LE dalam cairan pleura. Biasanya efusi menghilang dengan
pemberian terapi yang adekuat
6. Pneumonitis interstitial
Merupakan hasil infiltrasi limfosit. Kelainan ini sulit dikenali dan sering tidak dapat
diidentifikasi. Biasanya terdiagnosa setelah mencapai tahap lanjut.
7. Gastrointestinal
Dapat berupa rasa tidak enak di perut, mual ataupun diare. Nyeri akut abdomen, muntah
dan diare mungkin menandakan adanya vaskulitis intestinalis. Gejala menghilang dengan
cepat bila gangguan sistemiknya mendapat pengobatan yang adekuat
8. Hati dan limpa
Hepatosplenomegali mungkin ditemukan pada anak-anak, tetapi jarang disertai ikterus.
Umumnya dalam beberapa bulan akan menghilang atau kembali normal
9. Kelenjar getah bening dan kelenjar parotis
Pembesaran kelenjar getah bening ditemukan pada 50% kasus. Biasanya berupa
limfadenopati difus dan lebih sering pada anak-anak. Kelenjar parotis membesar pada 60%
kasus LES.
10. Susunan saraf tepi
Neuropati perifer yang terjadi berupa gangguan sensorik dan motorik. Biasanya bersifat
sementara
11. Susunan saraf pusat
Gejala SSP bervariasi mulai dari disfungsi serebral global dengan kelumpuhan dan kejang
sampai gejala fokal seperti nyeri kepala dan kehilangan memori. Diagnosa lupus SSP ini
membutuhkan evaluasi untuk mengeksklusi ganguan psikososial reaktif, infeksi, dan
metabolik. Trombosis vena serebralis bisanya terkait dengan antibodi antifosfolipid. Bila
diagnosa lupus serebralis sudah diduga, CT Scan perlu dilakukan. Gangguan susunan saraf
pusat terdiri dari 2 kelainan utama, yaitu psikosis organik dan kejang-kejang. Penyakit otak
organik biasanya ditemukan bersamaan dengan gejala aktif LES pada sistem-sistem
lainnya. Pasien menunjukkan gejala delusi/halusinasi disamping gejala khas kelainan
organik otak. Kejang-kejang yang timbul biasanya termasuk tipe grandmal. Kelainan lain
yang mungkin ditemukan ialah korea, paraplegia karena mielitis transversal, hemiplegia,
afasia, psikosis, pseudotumor cerebri, aseptic meningitis, chorea, defisit kognitif global,
melintang myelitis, neuritis perifer dan sebagainya. Mekanisme terjadinya kelainan
susunan saraf pusat tidak selalu jelas. Faktor-faktor yang memegang peranan antara lain
vaskulitis, deposit gamma globulin di pleksus koroideus
12. Hematologi
Kelainan hematologi yang sering terjadi adalah limfopenia, anemia, Coombs-positif
anemia hemolitik, anemia penyakit kronis trombositopenia, dan leukopenia
13. Fenomena Raynaud
Ditandai oleh keadaan pucat, disusul oleh sianosis, eritema dan kembali hangat. Terjadi
karena disposisi kompleks imun di endotelium pembuluh darah dan aktivasi komplemen
lokal
14. Kardiovaskuler
LES dapat menyebabkan terjadinya aterosklerosis yang pada akhirnya dapat
mengakibatkan terjadi infark miokard. Gagal jantung dan angina pektoris, valvulitis,
vegetasi pada katup jantung merupakan beberapa manifestasi lainnya

2.7 Diagnosis

Kriteria diagnosis yang digunakan adalah dari American College of Rheumatology 1997
yang terdiri dari 11 kriteria, dikatakan pasien tersebut SLE jika ditemukan 4 dari 11 kriteria
yang ada. Berikut ini adalah 11 kriteria tersebut:8
Bila dijumpai 4 atau lebih kriteria diatas, diagnosis LES memiliki sensitifiitas 85% dan
spesifisitas 95%. Sedangkan bila hanya 3 kriteria dan salah satunya ANA positif, maka
sangat mungkin LES dan diagnosis bergantung pada pengamatan klinis. Bila hasil tes ANA
negatif, maka kemungkinan bukan LES. Apabila hanya tes ANA positif dan manifestasi
klinis lain tidak ada, maka belum tentu LES, dan observasi jangka panjang diperlukan.8

2.7.1 Derajat berat ringannya LES8


 SLE ringan
a. Secara klinis tenang
b. Tidak terdapat tandaatau gejala yang mengancam nyawa
c. Fungsi organ normal atau stabil yaitu ginjal, paru, jantung,
gastrointestinal, susunan saraf pusat, sendi, hematologi dan kulit
 SLE sedang
a. Nefritis ringan sampai sedang ( Lupus nefritis kelas I dan II)
b. Trombositopenia (trombosit 20-50x103/mm3)
c. Serositis mayor
 SLE berat atau mengancam nyawa
a. Jantung: endokarditis Libman-Sacks, vaskulitis arteri koronaria,
miokarditis,tamponade jantung, hipertensi maligna.
b. Paru-paru: hipertensi pulmonal, perdarahan paru, pneumonitis, emboli
paru,infark paru, ibrosis interstisial, shrinking lung.
c. Gastrointestinal: pankreatitis, vaskulitis mesenterika.
d. Ginjal: nefritis proliferatif dan atau membranous.
e. Kulit: vaskulitis berat, ruam difus disertai ulkus atau melepuh (blister)
f. Neurologi: kejang, acute confusional state, koma, stroke, mielopati
transversa, mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis, sindroma
demielinasi. mononeuritis, polineuritis, neuritis optik, psikosis,
sindroma demielinasi.
g. Hematologi: anemia hemolitik, neutropenia (leukosit <1.000/mm3),
trombositopenia < 20.000/mm3 , purpura trombotik trombositopenia,
thrombosis vena atau arteri.

2.8 Pemeriksaan penunjang8

Kelainan laboratorium pada LES diantaranya anemia hemolitik dan anemia nomositer,
leukopenia, trombositopenia, laju endap darah yang cepat, hiperglobulinemia dan bila
terdapat sindrom nefrotik, albumin akan rendah. Biasanya kelainan faal hepar dan
penurunan komplemen serum juga ada. Proteinuria, biasanya bersifat gross proteinuria,
merupakan gejala penting. Faktor rematoid positif kira-kira 33% kasus. Urin diperiksa
untuk mengetahui adanya protein, leukosit, eritrosit dan silinder. Uji ini dilakukan untuk
menentukan adanya komplikasi ginjal dan untuk memantau perkembangan penyakit LES.
Berikut pemeriksaan penunjang minimal yang diperlukan untuk diagnosis dan monitoring
LES:

1. Hemoglobin. Leukosit, hitung jenis sel, laju endap darah (LED)


2. Urin rutin dan mikroskopik protein kuantitatif 24 jam, bila diperlukan pemeriksaan
kreatinin darah
3. Kimia darah (ureum, kreatinin, fungsi hati dan profil lipid)
4. PT dan aPTT
5. Serologi ANA, anti-dsDNA, komplemen C3 C4
- Test ANA merupakan test yang sensitif, namun tidak spesifik untuk SLE
- Test ANA dikerjakan hanya jika terdapat kecurigaan terhadap SLE
- Test Anti dsDNA positif menunjang diagnosis SLE, namun jika negatif tidak
menyingkirkan diagnosis SLE
6. Foto polos toraks (pemeriksaan hanya untuk awal diagnosis)

2.9 Diagnosis banding8

Beberapa penyakit dengan gambaran klinis yang mirip atau beberapa tes laboratorium yang
serupa dengan LES yaitu:

a. Undifferentiated connective tissue disease


b. Sindroma Sjögren
c. Sindroma antibodi antifosfolipid (APS)
d. Fibromialgia (ANA positif)
e. Purpura trombositopenik idiopatik
f. Lupus imbas obat
g. Artritis reumatoid dini
h. Vaskulitis

2.10 Penatalaksanaan8

1. Pengobatan LES ringan


 Penghilang nyeri seperti paracetamol 3 x 500 mg, bila diperlukan.
 Obat anti inflamasi non steroidal (OAINS), sesuai panduan diagnosis dan
pengelolaan nyeri dan inflamasi.
 Glukokortikoid topikal untuk mengatasi ruam (gunakan preparat dengan
potensi ringan)
 Klorokuin basa 3,5-4,0 mg/kg BB/hari (150-300 mg/hari) (1 tablet
klorokuin 250 mg mengandung 150 mg klorokuin basa) catatan periksa
mata pada saat awal akan pemberian dan dilanjutkan setiap 3 bulan,
sementara hidroksiklorokuin dosis 5- 6,5 mg/kg BB/ hari (200-400 mg/hari)
dan periksa mata setiap 6-12 bulan.
 Kortikortikosteroid dosis rendah seperti prednison < 10 mg / hari atau yang
setara .
 Tabir surya: Gunakan tabir surya topikal dengan sun protection faktor
sekurang-kurangnya 15 (SPF 15)
2. Pengobatan LES sedang
Pilar penatalaksanaan LES sedang sama seperti pada LES ringan kecuali pada
pengobatan. Pada LES sedang diperlukan beberapa rejimen obat-obatan tertentu serta
mengikuti protokol pengobatan yang telah ada. Misal pada serosistis yang refrakter: 20
mg / hari prednison atau yang setara.
3. Pengobatan LES berat atau mengancam nyawa
Pilar pengobatan sama seperti pada LES ringan kecuali pada penggunaan obat-
obatannya. Pada LES berat atau yang mengancam nyawa diperlukan obat-obatan
sebagaimana tercantum dibawah.

Gambar 2. Algoritme Penatalaksanaan LES berdasarkan derajat beratnya.8


 Kortikosteroid8
Kortikortikosteroid digunakan sebagai pengobatan utama pada pasien
dengan SLE. Meski dihubungkan dengan munculnya banyak laporan efek samping,
kortikosteroid tetap merupakan obat yang banyak dipakai sebagai anti inflamasi
dan imunosupresi. Dosis kortikosteroid yang digunakan juga bervariasi
Pembagian dosis kortikosteroid membantu kita dalam menatalaksana kasus
rematik. Dosis rendah sampai sedang digunakan pada SLE yang relatif tenang.
Dosis sedang sampai tinggi berguna untuk SLE yang aktif. Dosis sangat tinggi dan
terapi pulse diberikan untuk krisis akut yang berat seperti pada vaskulitis luas,
nephritis lupus, lupus cerebral.Efek samping kortikortikosteroid tergantung kepada
dosis dan waktu, dengan meminimalkan jumlah kortikortikosteroid, akan
meminimalkan juga risiko efek samping.

Tabel 1. Terminologi Pembagian Kortikosteroid8


Dosis rendah ≤7.5mg prednisone atau setara perhari
Dosis sedang >7.5mg tetapi ≤30 mg prednisone atau setara perhari
Dosis tinggi >30 mg tetapi ≤ 100mg prednisone atau setara perhari
Dosis sangat tinggi >100mg prednisone atau setara per hari
Terapi pulse ≥250 mg prednisone atau setara perhari untuk 1 hari atau beberapa hari

Tabel 2. Farmakodinamik Pemakaian Kortikosteroid8


 Obat imunosupresan atau sitotoksik
Sparing agen kortikoteroid adalah obat yang diberikan untuk memudahkan
menurunkan dosis KS dan berfungsi juga mengontrol penyakit dasarnya. Terdapat
beberapa obat kelompok imunosupresan / sitotoksik yang sering digunakan sebagai
sparing agen yang biasa digunakan pada SLE, yaitu azatioprin, siklofosfamid,
metotreksat, siklosporin, mikofenolat mofetil. Pada keadaan tertentu seperti lupus
nefritis, lupus serebritis, perdarahan paru atau sitopenia, seringkali diberikan
gabungan antara kortikortikosteroid dan imunosupresan /sitotoksik karena
memberikan hasil pengobatan yang lebih baik dan mengurangi efek samping KS8
Tabel 3. Obat Imunosupresan/ Sitotoksik8
 Terapi lain8
Beberapa obat lain yang dapat digunakan pada keadaan khusus SLE mencakup:
a. Intra vena imunoglobulin terutama IgG, dosis 400 mg/kgBB/hari selama 5 hari,
terutama pada pasien SLE dengan trombositopenia, anemia hemilitik, nefritis,
neuropsikiatrik SLE, manifestasi mukokutaneus, atau demam yang refrakter
dengan terapi konvensional.
b. Thalidomide 25-50 mg/hari pada lupus diskoid.
c. Danazol pada trombositopenia refrakter.
d. Dehydroepiandrosterone (DHEA) dikatakan memiliki steroid-sparring effect
pada SLE ringan.
e. Dapson dan derivat retinoid pada SLE dengan manifestasi kulit yang refrakter
dengan obat lainnya.
f. Rituximab suatu monoklonal antibodi kimerik dapat diberikan pada SLE yang
berat.
g. Belimumab suatu monoklonal antibodi yang menghambat aktivitas stimulator
limfosit sel B telah dilaporkan efektif dalam terapi SLE42 (saat ini belum
tersedia di Indonesia)
h. Terapi eksperimental diantaranya antibodi monoklonal terhadap ligan CD40
(CD40LmAb).
i. Dialisis, transplantasi autologus stem-cell.

2.11 Pencegahan

Penderita harus menghindarkan trauma fisik, sinar matahari, lingkungan yang sangat dingin
dan stress emosional. Antara pencegahan yang dapat dilakukan adalah:15

1. Memakai krim (sunscreen) apabila keluar dari rumah


2. Memakai pakaian yang menutup ekstremitas
3. Mengelakkan pemberhentian penggunaan kortikosteroid secara tiba-tiba.
4. Istirahat
5. Jika penderita menderita demam atau ada tanda-tanda infeksi maka harus diobati
dengan segera.
6. Mengkonsumsi vitamin antioksidan untuk mengurangkan efek daripada stress oksidatif
7. Perubahan gaya hidup untuk meningkatnya daya imun.
8. Kelelahan bisa karena sakitnya atau penyakit lain, seperti anemi, demam infeksi,
gangguan hormonal, komplikasi pengobatan, atau stres emosional. Upaya mengurangi
kelelahan disamping obat ialah cukup istirahat, pembatasan aktivitas yang berlebih, dan
mampu mengubah gaya hidup.
9. Hindari Merokok
10. Hindari perubahan cuaca karena mempengaruhi proses inflamasi
11. Hindari stres dan trauma fisik
12. Diet sesuai kelainan, misalnya hyperkolestrolemia
13. Hindari pajanan sinar matahari, khususnya UV pada pukul 10.00 sampai 15.00
14. Hindari pemakaian kontrasespsi atau obat lain yang mengandung hormon estrogen.

2.12 Prognosis

Saat ini, tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir rata-rata
melebihi 90% dan tingkat kelangsungan hidup penderita pada 15 tahun terakhir adalah
sekitar 80%. Tingkat kelangsungan hidup penderita pada 10 tahun terakhir di Asia dan
Afrika secara signifikan lebih rendah, mulai dari 60-70%. Penurunan angka kematian yang
berhubungan dengan LES dapat dikaitkan dengan diagnosis yang terdeteksi secara dini,
perbaikan dalam pengobatan penyakit LES, dan kemajuan dalam perawatan medis umum.8
BAB III

KESIMPULAN

Lupus Eritematosus Sistemik didefinisikan sebagai penyakit inflamasi autoimun sistemik,


dimana sistem tubuh menyerang jaringannya sendiri. Etiologi penyakit LES merupakan interaksi
antara faktor genetik, faktor imunologis, faktor lingkungan, dan faktor hormonal. Pada LES
interaksi antar keempat faktor tersebut merespon tubuh untuk membentuk autoantibodi,
selanjutnya membentuk kompleks imun yang terdeposisi pada jaringan atau organ yang akhirnya
menimbulkan gejala inflamasi atau kerusakan jaringan.
Gejala klinis dan perjalanan penyakit LES sangat bervariasi. Penyakit dapat timbul
mendadak disertai tanda-tanda terkenanya berbagai sistem dalam tubuh. Diagnosis LES menurut
American College of Rheumatology (ACR) ditegakkan bila terdapat paling sedikit 4 dari 11
kriteria ACR tersebut, meliputi butterfly rash, bercak diskoid, fotosensitf, ulkus mulut, arthritis,
serositif, gangguan ginjal, gangguan saraf, gangguan darah, gangguan imunologi dan gangguan
antinuklear.
Pengelolaan SLE tidak hanya terbatas pada pemakaian obat saja, namun perlu pendekatan
yang lebih holistik yaitu berlandaskan pendekatan bio-psiko-social yang meliputi edukasi dan
konseling, rehabilitasi medik dan medika mentosa yang bertujuan untuk meningkatkan kesintasan
dan kualitas hidup pasien SLE melalui pengenalan dini dan pengobatan yang paripurna. Tujuan
khusus pengobatan SLE adalah mendapatkan masa remisi yang panjang, menurunkan aktivitas
penyakit seringan mungkin, mengurangi rasa nyeri dan memelihara fungsi organ agar aktivitas
hidup keseharian tetap baik sehingga mencapai kualitas hidup yang optimal.
DAFTAR PUSTAKA

1. Petty RE, Laxer RM. Systemic Lupus Erythematosus. Dalam : Cassidy JT, Petty RE,
penyunting. Textbook of pediatric rheumatology. Edisi ke-5. Philadelphia: Elsevier
Saunders; 2005.h.342-91.
2. Tucker LB. Making the diagnosis of systemic erythematosus in children and adolescent.
Lupus 2007,16:546-9.
3. Font J, Cervera R, Espinosa G. Systemic lupus erythematosus (SLE) in childhood: analysis
of clinical and immunological findings in 34 patients and comparison with SLE
characteristics in adults. Ann Rheum Dis 1998;57:456-9.
4. Schriber L, Neill SO. Systemic lupus erythematosus : an overview for GPs. Medical
Progress 2005, 557-62.
5. Sestak AL, O'Neil KM. Familial lupus and antiphospholipid syndrome. Lupus
2007:16;556-63.
6. Ramoya AS, Finholt C, Lilleby V. Systemic lupus erythematosus and the extended major
histocompatibility complex-evidence for several predisposing loci. Rheumatology
2005:44;1368-73.
7. Waluyo S, Putra MB. 100 question & answers lupus. Jakarta: Gramedia, 2012: 1-57
8. Perhimpunan Reumatologi Indonesia. Diagnosis dan pengelolaan lupus eritematosus
sistemik: Perhimpunan Reumatologi Indonesia, 2011: 1-9
9. Wallace DJ. The lupus book, panduan lengkap bagi penderita lupus dan keluarganya. Alih
bahasa. Wiratama C. Yogyakarta: B – First, 2007: 1-170
10. Akib AAP, Soepriadi M, Setiabudiawan B. Lupus eritematosus sistemik. Dalam: Arwin
AAP, Munasir Z, Kurniati N, penyunting. Buku ajar alergi – imunologi anak. Edisi ke-2.
Jakarta: Ikatan Dokter Anak Indonesia; 2007.h.346-73.
11. Bertsias G, et al. Systemic lupus erythematosus : pathogenesis and clinical features. Eular
textbook of rheumatic disease 2012; 20: 476-505.
12. Kumar V, Cotran RS, Robbins SL. Buku ajar patologi robbins. 7th ed. Jakarta: EGC; 2009.
13. Hahn B.H. Systemic Lupus Erythematosus. In Longo D.L, Fauci A.S., Kasper D.L, Hauser
S.L, Jameson J.L, Loscalzo J. Harrison’s Principles of Internal Medicine. Edisi 18. United
States of America; Mc Graw Hill Companies; 2012. H 2724-35.
14. Marisa S. Klein-Gitelman, Michael L. Miller, Chapter 148 - Systemic Lupus
Erythematosus : Nelson Textbook of Pediatrics 17th edition. W.B Saunders, Philadelphia.
2003. p810-813.
15. Fritzpatrick’s. Systemic Lupus Erythematosus. Colour Atlas and Synopsis of Clinical
Dermatology. Wolf, Johnson, Suurmond. McGraw Hill. 5th edition. 2005. h 384-7.

Anda mungkin juga menyukai