“Coass Bingung”
UNIVERSITAS TADULAKO
2016
Learning objective
SUMBER : Sudoyo A, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5,
Internal Publishing, Jakarta.
1) Proteinuria
Protenuria merupakan kelainan utama pada sindrom nefrotik. Apabila ekskresi
protein ≥ 40 mg/jam/m2 luas permukaan badan disebut dengan protenuria berat.
Hal ini digunakan untuk membedakan dengan protenuria pada pasien bukan
sindrom nefrotik.
2) Hipoalbuminemia
Abnormalitas sistemik yang paling berkaitan langsung dengan proteinuria adalah
hipoalbuminemia. Salah satu manifestasi pada pasien sindrom nefrotik pada anak
terjadi hipoalbuminemia apabila kadar albumin kurang dari 2,5 g/dL. Pada
keadaan normal, produksi albumin di hati adalah 12-14 g/hari (130-200 mg/kg)
dan jumlah yang diproduksi sama dengan jumlah yang dikatabolisme.
Katabolisme secara dominan terjadi pada ekstrarenal, sedangkan 10% di
katabolisme pada tubulus proksimal ginjal setelah resorpsi albumin yang telah
difiltrasi. Pada pasien sindrom nefrotik, hipoalbuminemia merupakan manifestasi
dari hilangnya protein dalam urin yang berlebihan dan peningkatan katabolisme
albumin.1Hilangnya albumin melalui urin merupakan konstributor yang penting
pada kejadian hipoalbuminemia. Meskipun demikian, hal tersebut bukan
merupakan satu-satunya penyebab pada pasien sindrom nefrotik karena laju
sintesis albumin dapat meningkat setidaknya tiga kali lipat dan dengan begitu
dapat mengompensasi hilangnya albumin melalui urin.
3) Edema
Terdapat beberapa teori yang menjelaskan tentang timbulnya edema pada sindrom
nefrotik. Underfilled theory merupakan teori klasik tentang pembentukan edema.
Teori ini berisi bahwa adanya edema disebabkan oleh menurunnya tekanan
onkotik intravaskuler dan menyebabkan cairan merembes ke ruang interstisial.
Adanya peningkatan permeabilitas kapiler glomerulus menyebabkan albumin
keluar sehingga terjadi albuminuria dan hipoalbuminemia. Sebagaimana diketahui
bahwa salah satu fungsi vital dari albumin adalah sebagai penentu tekanan
onkotik. Maka kondisi hipoalbuminemia ini menyebabkan tekanan onkotik koloid
plasma intravaskular menurun. Sebagai akibatnya, cairan transudat melewati
dinding kapiler dari ruang intravaskular ke ruang interstisial kemudian timbul
edem.a
4) Hiperkolesterolemia
Hampir semua kadar lemak (kolesterol, trigliserid) dan lipoprotein serum
meningkat pada sindrom nefrosis. Hal ini dapat dijelaskan dengan penjelasan
antara lain yaitu adanya kondisi hipoproteinemia yang merangsang sintesis protein
menyeluruh dalam hati, termasuk lipoprotein. Selain itu katabolisme lemak
menurun karena terdapat penurunan kadar lipoprotein lipase plasma, sistem enzim
utama yang mengambil lemak dari plasma.
Berdasarkan etiologinya, sindrom nefrotik dibagi menjadi tiga, yaitu kongenital, primer
atau idiopatik, dan sekunder.5
1) Kongenital
Penyebab dari sindrom nefrotik kongenital atau genetik adalah
Finnish-type congenital nephrotic syndrome (NPHS1, nephrin)
Denys-Drash syndrome (WT1)
Frasier syndrome (WT1)
Diffuse mesangial sclerosis (WT1, PLCE1)
Autosomal recessive, familial FSGS (NPHS2, podocin)
Autosomal dominant, familial FSGS (ACTN4, α-actinin-4; TRPC6)
Nail-patella syndrome (LMX1B)
Pierson syndrome (LAMB2)
Schimke immuno-osseous dysplasia (SMARCAL1)
Galloway-Mowat syndrome
Oculocerebrorenal (Lowe) syndrome
2) Primer
Berdasarkan gambaran patologi anatomi, sindrom nefrotik primer atau idiopatik
adalah sebagai berikut :
Sindrom Nefrotik Kelainan Minimal (SNKM)
Glomerulosklerosis fokal segmental (GSFS)
Mesangial Proliferative Difuse (MPD)
Glomerulonefritis Membranoproliferatif (GNMP)
Nefropati Membranosa (GNM)
3) Sekunder
Sindrom nefrotik sekunder mengikuti penyakit sistemik, antara lain sebagai berikut :
- lupus erimatosus sistemik (LES)
- keganasan, seperti limfoma dan leukemia
- vaskulitis, seperti granulomatosis Wegener (granulomatosis dengan poliangitis),
sindrom Churg-Strauss (granulomatosis eosinofilik dengan poliangitis), poliartritis
nodosa, poliangitis mikroskopik, purpura Henoch Schonlein
- Immune complex mediated, seperti post streptococcal (postinfectious)
glomerulonephritis
SUMBER : Price,A & Wilson,L.2011.Patofisiologi.Volume 2.Edisi 6.GC ; Jakarta
5. Rapidly progresif GN :
Berbagai bentuk dari glomerulonefritis pada bentuk kasus yang berat dapat
mencetuskan terjadinya GnGA dan RPGN. Gambaran klinis termasuk hipertensi,
edema, gross hematuria, dan peningkatan yang cepat dari nilai blood urea nitrogen
(BUN) dan kreatinin. Rapid progressive glomerulonephritis dihubungkan dengan post
infeksi glomerulonefritis,seperti antineutrophil cytoplasmic antibody (ANCA)-
positive glomerulonephritis, goodpasture’s syndrome, dan idiopathic RPGN, dapat
mencetuskan terjadinya GnGA dan dapat berubah menjadi chronic kidney disease
dengan atau tanpa terapi. Pemeriksaan serologi termasuk antinuclear antibody
(ANA), titer anti glomerular basement mambrane (GBM), dan komplemen dapat
digunakan untuk menilai etiologi dari RPGN. Karena terapi berdasarkan dari
gambaran patologi, biopsi harus dilakukan cepat ketika anak dengan gejala curiga
RPGN.
Indikasi resiko biopsi ginjal selalu harus dipetimbangka,demikian juga pada tia
pasien.Biopsi ginjal berguna untuk diagnosis dan perencanaan pengobatan,termaksud
sebagai pegangan untuk menghentikan pengobatan dan prognosis penyakit.
SUMBER : Sudoyo A, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5,
Internal Publishing, Jakarta.
7.
2. Kelainan tubulus
a. Nekrosis Tubular Akut (NTA) akibat iskemia
Tipe iskemia merupakan kelanjutan dari GGA prarenal yang tidak teratasi.
Iskemia ginjal berat dapat diakibatkan oleh syok sirkulasi atau gangguan lain
apapun
yang sangat menurunkan suplai darah ke ginjal. Jika iskemia berlangsung
cukup berat
sampai menyebabkan penurunan yang serius terhadap pengangkutan zat
makanan dan
oksigen ke sel-sel epitel tubulus ginjal dan jika gangguan ini terus berlanjut,
kerusakan atau penghancuran sel-sel epitel dapat terjadi. Jika hal ini terjadi,
sel-sel
tubulus hancur terlepas dan menempel pada banyak nefron, sehingga tidak
terdapat
pengeluaran urin dari nefron yang tersumbat, nefron yang terpengaruh sering
gagal
mengekskresi urin bahkan ketika aliran darah ginjal kembali pulih normal,
selama
tubulus masih baik
a. USG
USG klasik ( tanpa kontras ).USG klasik ( tanpa kontras )
relatif murah,tak tergantung fungsi ginjal,dan sangat mudah dilakukan dan
dapat menentukan lokasi,bentuk dan ukuran.
Kelebihan USG Ginjal :
1) Sensitif mendeteksi penimbunan cairan dilatasi
pelviokalises dan kista
2) Dapat membedakan korteks dan medulla
3) Dapat membedakan kista dan massa padat
4) Dapat melihat seluruh ginjal dan ruangan sekitar ginjal
5) Secara doppler dapat melihat aliran darah gnjal
6) Tidak memakai kontras dan radiasi
Kelemahan USG :
1) Tidak dapat menunjukkan pelviokalises secara teliti
2) Tidak dapat melihat ureter normal
3) Tidak dapat melihat retroperitoneum jelas
4) Batu kecil dan batu ureter tak dapat dideteksi
5) Bergantung kepada operator
USG Kontras.Tindakan ini memerlukan gas perflurooctyl
bromide.Metode ini masih dalam riset dan belum dikomersilkan untuk
pemakaian klinis.
f. Sistografi
Sistografi bertujuan untuk mempelajari lebih rinci misalnya menentukan refluks
ureter,fungsi anatomi kandung kemih.Pada kasus trauma sistografi dapat dilakukan
untuk evaluasi perforasi kandung kencing yang sulit didiagnosis dengan cara lain.
g. Angiografi Renalis dan Venografi Renalis
Dewasa ini angiografi paling sering dilakukan untuk riset penyakit
vaskular,mencari penyebab hipertensi dan renal insufisiensi.Bermacam-macam
penyakit terkait dengan arteri renalis seperti aterosklerosis,penyakit
fibrosis,aneurism,emboli,fistula AV,vaskulitis,trombosis dan nefroskelerosis.Pada
trauma,angiografi bermanfaat untuk menilai patensi a.renalis atau perdarahan traktus
urinarius.Selain itu angiografi dapat dipakai untuk mendiagnosis massa ginjal seperti
karsinoma,angiomiolipoma,onkositoma,kista dan abses.
h. Tomografi Komputer ( CT )
Pemeriksaan CT berguna untuk memeriksa lebih lanjut kelainan yang terdapat
pada USG atau PIV.CT dipakai untuk evaluasi massa ginjal,melokasi ginjal
ektopok,meneliti batu,mencari massa retroperitoneal.
i. Angiografi CT
Salah satu kencanggihan scan helical adalah kemampuan angiografi CT dapat
memberi gambaran serupa angiografi konvensioanal akan tetapi kurang
invasif.Dengan metode ini dapat dievaluasi suplai darah ke ginjal pada pasieng
cangkok.Angiografi CT dapat untuk skrining stenosis arteri renalis dengan sensitivitas
96% dan spesifisitas 99%.
k. Renogram
Metode ini akan memberi informasi aliran darah uptake ginjal dan ekskresi dengan
DTPA,MAG3 dan OIH.
l. MRI
MRI sangat jarang menjadi pemeriksaan pertama untuk evaluasi ginjal,namun MRI
dapat menjadi pemeriksaan pelengkap.Hilangnya batas medula korteks meberi
gambaran yang nonspesifik pada MRI.Kista ginjal mudah terlihat dengan MRI akan
tetapi kurang akurat menentukan fokus klasifikasi,dan lebih jelas dengan CT.Untuk
staging lesi renal yang padat,MRI lebih superior dibandingkan dengan CT karena
dapat mendeteksi trombus tumor pada pembuluh darah besar dan membedakan hilus
kolateral pembuluh dari nodul limfa.
SUMBER : Effendi,I & Markum,2009. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam.Jilid II.Edisi V.
Interna Pubhlishing ; Jakarta
Penatalaksanaan GGA
Sekalipun GGA sudah terjadi (menetap), setiap faktor prarenal harus dikoreksi
dengan maksud memperbaiki sirkulasi dan mencegah keterlambatan
penyembuhan
faal ginjal.
Defisit volume sirkulasi oleh sebab apapun harus segera diatasi. Sebagai
parameter dapat digunakan pengukuran tekanan vena sentralis jika fasilitas ada,
dengan demikian over hidrasi bisa dicegah.
Terhadap infeksi sebagai penyakit dasar harus diberikan pengobatan yang
spesifik sesuai dengan penyebabnya, jika obat-obatan, misalnya antibiotika diduga
menjadi penyebabnya, maka pemakaian obat-obatan ini harus segera dihentikan.
Terhadap GGA akibat nefrotoksin harus segera diberikan antidotumnya,
sedangkan
zat-zat yang dapat dialisis harus dilakukan dialisis secepatnya
Pemeriksaan GGK
Gagal ginjal kronik biasanya tidak menampakkan gejala-gejala pada tahap awal
penyakit. Untuk menegakkan diagnosa GGK, anamnesis merupakan petunjuk
yang sangat penting untuk mengetahui penyakit yang mendasari. Namun
demikian pada beberapa keadaan memerlukan pemeriksaan-pemeriksaan khusus.
Dengan hanya melakukan pemeriksaan laboratorium bisa dikesan kelainan-
kelainan yang berlaku. Individu-individu yang mempunyai risiko besar untuk
terpajannya penyakit harus melakukan pemeriksaan rutin untuk mengesan
penyakit ini. Menurut Suyono (2001), untuk menentukan diagnosa pada GGK
dapat dilakukan dengan pemeriksaan laboratorium yaitu untuk menentukan
derajat kegawatan GGK, menentukan gangguan sistem dan membantu
menegakkan etiologi. Pemeriksaan ultrasonografi (USG) dilakukan untuk
mencari apakah ada batuan, atau massa tumor, dan juga untuk mengetahui
beberapa pembesaran ginjal. Pemeriksaan elektrokardiogram (EKG) dilakukan
untuk melihat kemungkinan hipertrofi ventrikel kiri, tanda-tanda perikarditis,
aritmia dan gangguan elektrolit.
Pemeriksaan urin termasuk di dalam pemeriksaan laboratorium. Antara
pemeriksaan urin yang dilakukan adalah urinalisa dan juga kadar filtrasi
glomerulus. Analisis urin dapat mengesan kelainan-kelainan yang berlaku pada
ginjal. Yang pertama dilakukan adalah dipstick test. Tes ini mengguanakan
reagen tertentu untuk mengesan sunstansi yang normal maupun abnormal
termasuk protein dalam urin. Kemudian urin diperiksa di bawah mikroskop untuk
mencari eritrosit dan leukosit dan juga apakah adanya kristal dan silinder.
Bisanya dijumpai hanya sedikit protein albumin di dalam urin. Hasil positif pada
pemeriksaan dipstick menunjukkan adanya kelainan.
SUMBER : Sudoyo A, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5,
Internal Publishing, Jakarta.
11. Transplantasi Ginjal telah menjadi pengganti utama pada pasien gagal ginjal
tahap akhir hampir di seluruh dunia.manfaat transplantasi sudah jelas terbukti
lebih baik dibandingkan dengan dialisis terutama dalam hal perbaikan kualitas
hidup.salah satu diantarnya adalah yercapainya tingkat kesegaran jasmaniyang
lebih baik.Misalnya,seorang perempuan yang muda menerima ginjal transplan
bisa hamil dan melahirkan bayi yang sehat.
SUMBER : Sudoyo A, 2009, Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid 2 Edisi 5,
Internal Publishing, Jakarta.