Anda di halaman 1dari 26

PERAN MENTORING DALAM MEMBANGUN FT.

UNTIRTA

Disusun oleh:
Hendra Yusdar (3331150031)
Tonang Dwi Nugroho (3331150038)
Mochammad Agung P (3331150054)
Muhammad Fauzan A (3331150043)
Yudi Rahman (3331150041)
Inu Prasetya Putra (3331150040)

TEKNIK MESIN FAKULTAS TEKNIK


UNIVERSITAS SULTAN AGENG TIRTAYASA
CILEGON-BANTEN
2016
KATA PENGANTAR

Puji syukur kami panjatkan kehadirat Allah SWT, karena berkat rahmat dan
karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan makalah yang berjudul “Peran
Mentoring Dalam Membangun FT.UNTIRTA” tidak lupa sholawat serta salam
senantiasa penulis curahkan kepada jungjungan Nabi Muhammad SAW., beserta para
sahabat dan umatnya yang telah membawa kita dari zaman kebodohan ke zaman yang
berilmu pengetahuan.
Adapun tujuan penulisan penyusunan makalah ini adalah sebagai salah satu
syarat mengikuti malam bimbingan iman dan taqwa (MABIT). Tidak lupa kami
mengucapkan terimakasih kepada semua pihak yang telah membantu proses
penyelesaian makalah ini baik bantuan moril maupun bantuan materil. Sehingga
makalah ini dapat terlesaikan dengan baik dan sesuai dengan tenggang waktu yang
telah ditentukan.
Dalam penyusunan makalah ini, kami menyadari banyak kekurangan. Maka
dari itu kami mengharapkan saran dan kritik yang sifatnya membangun dari pembaca
untuk penyempurnaan dan perbaikan makalah selanjutnya.
Semoga maksud dan tujuan dapat tersampaikan kepada pembaca. Akhir kata
kami sampaikan terimakasih.

Cilegon, Mei 2016

Penulis
DAFTAR ISI

Halaman

HALAMAN JUDUL......................................................................................... i

KATA PENGANTAR........................................................................................ ii

DAFTAR ISI...................................................................................................... iii

BAB I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang.................................................................................. 1
1.2 Tujuan Masalah................................................................................. 1
1.3 Rumusan Masalah............................................................................. 2
1.3 Sistematika Penulisan........................................................................ 2
BAB II PEMBAHASAN
2.1 Uji Impak..................................................................................... 3
2.2 Metode Uji Impak........................................................................ 4
2.2.1 Metode Charpy.................................................................. 5
2.2.2 Metode Izod....................................................................... 5
2.3 Angka Hasil Pukulan Takik (impact).......................................... 6
2.4 Cara Pemukulan Dengan Mesin Charpy......................................7
2.5 Standar Specimen Uji Impact...................................................... 7
BAB III PENUTUP
Kesimpulan........................................................................................................... 17
Saran.................................................................................................................... 17

BAB II

PEMBAHASAN
2.1. Tujuan Pendidikan Agama Islam

Tujuan pendidikan islam merupakan hal yang dominan dalam pendidikan,


rasanya penulis perlu mengutif ungkapan breiter, bahwa pendidikan adalah persoalan
tujuan dan fokus. Mendidika anak berarti bertindak dengan tujuan agar
mempengaruhi perkembangan anak sebagai seseorang secara utuh. Pendidikan agama
islam di sekolah bertujuan untuk menumbuhkan dan meningkatkan keimanan melalui
pemberian dan pemupukan pengetahuan, penghayatan, pengamalan, serta
pengalaman peserta didik tentang agama islam sehingga menjadi manusia
muslimyang terus berkembang dalam hal keimanan, ketakwaannya, berbangsa dan
bernegara, serta untuk dapat melanjutkan pada jenjang pendidikan yang lebih tinggi.
Secara umum, tujuan pendidikan agama islam terbagi kepada: tujuan umum, tujuan
sementara, tujuan akhir, dan tujuan operasional, tujuan umum adalah tujuan yang
akan dicapai denagan semua kegiatan pendidikan baik dengan pengajaran atau
dengan cara lain. Tujuan sementara adalah tujuan yang akan dicapai setelah anak
didik diberi sejumlah pengalaman tertentu yang direncanakan dalam sebuah
kurikulum. Tujuan akhir adalah tujuan yang dikehendaki agar peserta didik manusia-
manusia yang sempurna (insane kamil). Sedangkan tujuan operasional adalah tujuan
praktis yang akan dicapai dengan sejumlah kegiatan pendidikan tertentu.Tujuan
pendidikan agama islam dalam perspektif para ulama muslim.
Menurut abdul rahman shaleh mengatakan mengatakan bahwa pendidikan
islam bertujuan untuk membentuk kepribadian sebagai khalifah Allah swt, sekurang-
kurangnya mempersiapklan diri kepada tujuan akhir, yakni beriman kepada Allah dan
tunduk serta patuh secara total kepadanya.
Menurut Imam Al-Gazali mengatakan ada dua tujuan utama yakni, membentuk insan
purna yang pada akhirnya dapat mendekatkan diri kepada Allah swt. Dan membentuk
insane purna untuk memperoleh kebahagiaan dunia maupun akhirat.
Menurut Hasan Lagulung dalan bukunya asas-asas pendidikan islam, hasan lagulung
mnjelaskan, bahwa tujuan pendidikan harus dikaitkan dengan tujuan hidup manusia,
atau lebih tegasnya, tujuan hidup untuk menjawab persoalan, untuk apa kita hidup
yakni semata-mata hanya untuk menyembah kepada Allah swt.
Dari beberapa pendapat diatas tujuan pendidikan islam dapat disimpulkan
bahwa tujuan pendidikan islam adalah sesuatu yang diharapkan tercapai setelah
proses pendidikan berakhir. Tujuan ini diklasifikan kepada: tujuan umum, tujuan
sementara, tujuan akhir dan tujuan operasional.
Banyak sekali konsep dan teori tujuan pendidikan islam yang telah
dikemukakan oleh para ahli pendidikan, baik pada zaman klazik, pertengahan
maupun dewasa ini. Namun dapat difahami, bahwa beragamnya konsep dan teori
tujuan pendidikan agama islam tersebut merupakan bukti adanya usaha dari para
intelektual muslim dan masyarakat muslim umumnya untuk menciptakan suatu
system pendidikan yang baik bagi masyarakatnya. Namun demikian berkembangnya
pemikiran tentang tujuan pendidikan islam tidak pernah melenceng dari prinsip dasar
yang menjadi asas berpijak dalam pengembangan tujuan pendidikan yang dimaksud.

Oleh karena itu berbicara pendidikan agama islam, baik makna maupun tujuannya
haruslah mengacuh pada penanaman nilai-nilai islam dan tidak dibenarkan
melupakan etika sosial atau moralitas sosial. Penanaman nilai-nilai ini juga dalam
rangka menuai keberhasilan hidup di dunia bagi anak didik yang kemudian akan
mampu membuahkan kebaikan diakhirat kelak.

Fungsi Pendidikan Agama Islam di sekolah atau madrasah Abdul Majid, dan
Dian Andayani, dalam bukunya Pendidikan Agama Islam Berbasis Kompotensi,
yakni sebagai berikut:
Pengembangan, yaitu meningkatkan keimanan dan ketakwaan peserta didik kepada
Allah swt yang telah ditanamkan dalam lingkungan keluarga. Pada dasarnya
kewajiban menanamkan keimanan dan ketakwaan di lakukan oleh setiap orang tua
dalam keluarga. Sekolah berfungsi untuk menumbuh kembangkan lebih lanjut dalam
diri anak melalui bimbingan, pengajaran dan pelatihan agar keimanan dan ketakwaan
tersebut dapat berkembang secara optimal sesuai dengan tingkat perkembangannya.
Penanaman nilai, sebagai pedoman hidup untuk mencari kebahagian hidup didunia
dan di akhirat. Penyesuaian mental, yaitu untuk menyesuaikan diri dengan
lingkungannya baik lingkungan fisik maupun lingkungan sosial dan dapat mengubah
lingkungannya sesuai dengan ajaran agama islam. Perbaikan, yaitu untuk
memperbaiki kesalahan-kesalahan, kekurangan-kekurangan dan kelemahan-
kelemahan peserta didik dalam keyakinan, pemahaman dan pengalaman ajaran dalam
kehidupan sehari-hari. Pencegahan, yaitu untuk menangkal, hal-hal negatif dari
lingkungannya atau dari budaya lain yang dapat membahayakan dirinya dan
menghambat perkembangannya menuju manusia Indonesia seutuhnya. Pengajaran,
tentang ilmu pengetahuan keagamaan secara umum system dan fungsional.
Penyaluran, yaitu untuk menyalurkan anak-anak yang memiliki bakat khusus di
bidang agama islam agar bakat tersebut dapat berkembangsecara optimal sehingga
dapat dimanfaatkan untuk dirinya sendiri dan bagi orang lain.

a. Pendidikan Agama dalam Lingkup Pendidikan Nasional


Kita sebagai warga Negara Indonesia yang beriman dan bertakwa, patriotic
(cinta tana air) menjadikan falsafah pancasila sebagai pedoman hidup bernegara dan
bermasyarakat. Sepakat bahwa pendidikana gama (khususnya islam) harus kita
sukseskan dalam pelaksanaan pada semua jenis, jenjang, dan jalurnya. Sesuai dan
sejalan dengan aspirasi bangsa seperti telah digariskan dalam tap-tap MPR, dan
undang-undang telah menjabarkan aspirasi tersebut yang telah disetujui oleh DPR
dan disahkan oleh presiden. Sehingga menjadi dasar yuridis nasional kita mengikat
seluruh warga Negara Indonesia ke dalam satu system pendidikan nasional.
Permasalahan yang perlu kita bahas adalah bagaimana cara pelaksanaannya
agar pendidikan agama kita lebih berguna dalam mewujudkan generasi bangsa yang
berkualitas unggul, lahiriah, dan batiniah. Berkemampuan tinggi dalam kehidupan
akliah dan akidah serta berbobot dalam perilaku amaliah dan muamalah. Sehingga
survive dalam arus dinamika perubahan sosial budaya pada masa hidupnya.
Ketahanan mental sprtitual dan fisik berkat pendidikan agama kita benar-benar
berfungsi efektif bagi kehidupan generasi bangsa dari waktu kewaktu. Idealitas
tersebut baru dapat terlakasana dengan tepat sasaran jika kita mampu melaksanakan
strategi dasar yang berwawan jauh kemasa depan kehidupan bangsa, kehidupan yang
dihadapkan kepada kemajuan ilmu dan teknologi canggih yang semakin sekularistik
arahnya.
Orientasi pendidikan agama islam ialah pendidikan ini secara tidak langsung
mengharuskan kita untuk menyelenggarakan proses pendidikan nasional yang
konsisten dan secara integralistik menuju kearah pencapaian tujuan akhir.
Terbentuknya manusia Indonesia seutuhnya yang berkualitas unggul yang
berkembang dan tumbuh di atas pola kehidupan yang seimbang antara lahiriah dan
batiniah, antara jasmania dan rohaniah atau antara kehidupan mental spiritual dan
fisik material. Dalam bahasa islam, membentuk insan kamil yang secara homeostatic
dapat mengembangkan dirinya dalam pola kehidupan yang kahasanah fiddunnya dan
khasanah fil akhirat terhindar dari siksaan api neraka, secara simultan tidak terpisah-
pisah antara kedua unsurnya. Jalan menuju ketujuan itu, tidak lain adalah melalui
proses pendidikan yang berorientasi kepada hubungan tiga arah yaitu hubungan anak
didik dengan tuhannya, dengan masyarakat dan dengan alam sekitarnya. Hubungan
dengan tuhannya menghendaki adanya konsepsi ketuhanan yang telah mapan dan
secara pasti dijabarkan dalam bentuk norma-norma ubudiyah mahdzab yang wajib
ditaati oleh anak didik secara syar’i.
Hubungan dengan masyarakatnya memerlukan adanya aturan-aturan dan
norma-norma yang mengarahkan proses hubungan antar sesame manusia bersifat
lentur dalam komfigurasi rentangan tata nilainya, tapi tidak melanggar atau merusak
prinsif-prinsif dasarnya yang absolute, dalam arti tidak cultural relativistik. Seluruh
lapangan hidup manusia adalah merupakan arena di mana hubungan sosial dan inter
personal terjadi sepanjang hayat, termasuk lapangan hidup iptek. Hubungan dengan
alam sekitar menurut adanya kaida-kaida yang mengatur dan mengarahkan kegiatan
manusia didik dengan bekal ipteknya dalam penggalian, pemanfaatan, dan
pengolahan kekayaan yang menyejahterahkan kesadaran terhadap bahaya arus balik
sanksi alam, akibat pengurasan habis-habisan terhadap kekayaan alam
melebihikapasitas alamiahnya.
Jika kita mengetahui keutamaan ilmu ini, pasti akan semakin semangat untuk
belajar Islam. Jika keutamaannya semakin membuat seseorang dekat dengan Allah,
diridhoi malaikat dan membuat penduduk langit, juga bumi tunduk, maka itu sudah
jadi keutamaan yang luar biasa.

2.1 Pengertian Mentoring


Secara bahasa, mentoring berasal dari bahasa Inggris mentor yang
artinya penasehat. Mentor adalah seorang yang penuh kebijaksanaan,
pandaimengajar, mendidik, membimbing, membina, melatih, dan menangani
oranglain, maka perkataan mentor hingga kini digunakan dalam kontekspendidikan,
bimbingan, pembinaan, dan latihan. Secara istilah, ada beberapa definisi mentoring
yang berbeda satusama lain, diantaranya adalah Shahizan Hasan dan Tsai Chen Chien
mendefinisikan mentoring sebagai proses yang menggunakan berbagai
aspektermasuk kemahiran oleh orang yang berpengalaman melalui
bimbingan,pendidikan dan latihan kepada remaja bagi tujuan pembelajaran. Parsloe
dan Wray, mendefinisikan mentoring sebagai proses yang menyokong
danmenggalakkan seseorang supaya pembelajaran berlaku.
Clutterbuck mengatakan, mentoring juga mencakup aspek melatih,
membimbing,konseling dan ikatan kerjasama dengan individu lain. Anderson dan
Russell, menyatakan bahwa mentoring merupakan pembentukan komunitas yang
memerlukan kepercayaan dan perasaan ambil berat mengenai masa depan remaja. Ia
juga adalah perkongsian antara pengetahuan dan kemahiran pribadidengan remaja. M.
Ruswandi dan Rama Adeyasa, menyatakan bahwa mentoring merupakan salah satu
sarana pembinaan Islami (TarbiyahIslamiyah) yang di dalamnya ada proses belajar
mengajar yang berorientasi pada pembentukan karakter dan kepribadian Islam. Jadi
secara umummentoring merupakan kegiatan pendidikan yangmencakup di dalamnya
tentang mengajar, mendidik, melatih, dan membinayang dilakukan dengan
pendekatan saling nasehat-menasehati yang didalamnya terdapat rasa saling
mempercayai satu sama lain antara dua pelakuutama yaitu mentor (penasehat utama
dalam kelompok mentoring) dan mentee(peserta mentoring). Arti saling nasehat-
menasehati itu adalah saling memberikan perhatianhati terhadap yang dinasehati yang
bertujuan untuk kebaikan dan dilakukandengan cara mengikuti apa-apa yang dicintai
Allah. Pendekatan saling nasehat-menasehati tersebut sesuai dengan apa yang
diperintahkan Allah dalam firmanNya yang berbunyi :
“Demi masa. Sesungguhnya manusia itu benar-benar dalam kerugian.Kecuali
orang-orang yang beriman dan mengerjakan amal saleh dan nasehatmenasehati
supaya mentaati kebenaran dan nasehat menasehati supayamenetapi kesabaran”
(QS. Al-Ashr : 1-3)

Dari penjelasan di atas, maka nasehat-manasehati merupakan hal yangharus


dilakukan oleh setiap muslim, oleh karena itu saling menasehatiditerapkan dalam
kegiatan mentoring. Pendekatan saling menasehati dalam kegiatan mentoring
bertujuan untuk menciptakan suasana saling belajar, saling mempercayai, serta saling
memberi pengalaman dan kebaikan yangnantinya akan memberikan perubahan ke
titik yang lebih baik yakni sebuahkepribadian Islam yang menyatu dalam kehidupan
sehari- hari para remaja.
Prinsip-prinsip yang digunakan dalam pelaksanaan mentoring agama Islam
menurutYuwono (dalam Maryadi, 2012: 7)adalah sebagai berikut:
1)Pelaksanaan mentoring harus menarik (fun)
Mentoring tidak boleh serem dan terkesan horor, mengkaji islam juga perlu
menyenangkan. Agar mentoring tidak membosankan, sesekali sesekali mentoring
diadakan di luar atau bisa berkeliling sesama anggota mentoring. Hal tersebut agar
lebih akrab, lebih dekat satu sama lain. Dapat juga mengadakan lomba dari tiap
kelompok mentoring (Az-zahidda,2009 :52).
2)Pelaksanaan metoring harus selalu segar (fresh)
Mentoring harus selalu segar, dalam melaksanakan proses mentoring, senantiasa
menyuguhkan materi-
materi yang baru berdasarkan kurikulum yang ada, sehingga proses mentoring selalu
segar dan tidak membosankan karena setiap pertemuan materi yang disampaikan
berbeda dengan materi.
3)Peserta mencurahkan perhatian sepenuhnya pada proses pelaksanaan mentoring
(focus)
4)Hubungan mentor dan peserta mentoring selayaknya teman sebaya (friendly)
Pertemuan yang berlanjut persaudaraan atas dasar keimanan menurut Umar Bin
Khattab ra. adalah karunia Allah yang sangat besar setelah anugerah keimanan.
Dalam mentoring antara pementor dan anggotanya selalu bertemu minimal sepekan
sekali. Dari intensitas pertemuan inilah yang akan menumbuhkan cintakarena Allah
melebihi cinta karena pertalian darah. Dan rasa cinta itulah yang akan menumbuhkan
kekeluargaan yang kuat (Az-zahidda, 2009:52).Disinilah menunjukkan bahwa Islam
adalah agama yang rahmatan lil „alamin, rahmat bagi semua. Kesan keras dan tak
berperikemanusiaan akan lenyap ketika proses mentoring ini berjalan dengan
sebagaimana mestinya. Mentoring merupakan sebuah cara untuk belajarmenjadi
muslim yang seutuhnya. Sebagaimana sang Rosul mencontohkan kepada umat
manusia dalam Firman Allah QS. Al-Ahzab 21 yang berbunyi:
“Sesungguhnya telah ada pada (diri) Rasulullah itu suri teladan yang baik bagimu
(yaitu) bagi orang yang mengharap (Rahmat) Allah dan (kedatangan) hari kiamat
dan Dia banyak menyebut Allah.(QS.Al-Ahzab: 21)”

2.2 Landasan Mentoring


Agama islam mempunyai sumber hukum yang pokok yaitu Al-Qur‟an dan
Sunnah. Begitu juga dengan seluruh aktivitas dakwah manusia, harus berdasarkan
dengan dua sumber tersebut. Mentoring agama islam merupakan bagian yang tak
dapat terpisahkan dari aktivitas dakwah, maka dalam menjalankan mentoring pun
tetap berlandasan pada dua sumber pokok yang menjadi pedoman hidup manusia
yaitu Al-Qur‟an dan Sunnah.
Landassan operasional merupakan patokan yang digunakan dalam
merumuskan tujuan intruksional umum dalam mengarahkan proses mentoring.
Adapun yang dijadikan landasan pembuatan program dan kurikulum mentoring
adalah sebagai berikut (Maryadi dkk, 2012: 9) :
a) Tujuan Pendidikan Nasional
Pendidikan nasional bertujuan untuk “mengembangkan potensi peserta didik agar
menjadi manusia yang beriman dan bertaqwa kepada Tuhan Yang Maha Esa,
berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri dan menjadi warga negara
yang demokratis serta bertanggung jawab” (UU Sisdiknas Bab II pasal 3)
b) Tujuan dakwah kampus
(1) Adanya suplai alumni yang berkontribusi dalam islam dan optimalisasi peran
kampus dalam upaya mentransformasi masyarakat menuju masyarakat islam.
(2) Membentuk geneasi baru kaum beriman anggota civitas akademika yang
berpegang pada islam yang benar, dan mereka bekerja untuk memformat ummat
dengan format Islam dalam semua aspek kehidupan.
c) Sasaran Dakwah Kampus
Terbentuknya lingkungan kondusif bagi kehidupan islami di kampus dan
terbentuknya kesinambungan barisan pendukung dakwah.
c. Komponen Mentoring
Profesionalisme pengelolaan metoring diperlukan agar kualitas dari
pelaksanaan preses mentoring dapat dipertanggungjawabkan dengan baik. Kejelasan
ranah kerja dan komponen-komponen pendukung berjalannya mentoring menjadi
faktor dan tolak ukur keberhasilan mentoring itu sendiri. Menurut Maryadi dkk,
(2012: 35-36) komponen-komponen tersebut adalah:
1) Peserta Mentoring
Peserta mentoring merupakan seseorang yang terekrut atau terdaftar untuk
mengikuti proses mentoring. Peserta mentoring sering disebut mentee atau
mutarobbi.
Setiap kampus memiliki cara-cara yang berbeda dalam rekrutmen peserta mentoring.
Rekrutmen mentoring dapat dilaksanakan dengan cara Lembaga Dakwah Kampus
(LDK) melakukan open rekrutmen atau pintu gerbang masuk menjadi anggota
Lembaga Dakwah Kampus (LDK), kemudian mahasiswa yang mendaftar di Lembaga
Dakwah Kampus (LDK) dikelompokkan menjadi beberapa kelompok tergantung
pada jumlah peserta yang ada dan diikut sertakan dalam alur Lembaga Dakwah
Kampus (LDK) yang sudah ada. Kegiatan mentoring ini bersifat wajib yang harus
diikuti oleh semua mahasiswa yang telah mendaftar menjadi anggota Lembaga
Dakwah Kampus (LDK).
2) Pelaksana Mentoring
Pelaksana mentoring merupakan orang yang bertindak sebagai pelaksana
berbagai sarana mentoring. Pelaksana mentoring adalah para mentor yang bisa
disebut juga dengan murobbi. Pada bagian ini menggambarkan siapa pelaksana
mentoring, persyaratan, adab, hak dan kewajibannya. Yaitu:
a) Mentor pemula, merupakan pelaksana mentoring yang sudah mengikuti
mentoring selama satu tahun dan terekrut menjadi mentor baru. Maka ia
berhak untuk mempunyai kelompok mentoring yang berisikan para mentee
atau mutarobbi yang baru.
b) Mentor karya, merupakan mentor pemula yang sudah 2 tahun mengikuti
mentoring atau sudah pernah mengelola kelompok mentoring selama satu
periode. Mentor karya berhak memegang minimal 1 kelompok mentoring
baru dan 1 kelompok mentoring mentor pemula.
c) Mentor senior, merupakan mentor karya yang sudah 3 tahun mengikuti
mentoring atau sudah pernah mengelola kelompok mentoring selama 2
periode. Mentor senior berhak mengelola minimal 1 kelompok mentor karya
dan atau mentor pemula.
3) Pengelola Mentoring
Pengelola mentoring merupakan institusi yang berwenang dalam perencanaan,
pengorganisasian dan mengevaluasi teknis pelaksanaan mentoring. Dalam hal ini
yang menjadi pengelola mentoring adalah bidang kaderisasi, yang merupakan salah
satu bidang yang ada di Lembaga Dakwah Kampus (LDK) FT UNTIRTA.

4) Proses Mentoring
Proses mentoring merupakan tahapan-tahapan yang harus dilalui oleh peserta
mentoring. Proses mentoring ini disesuaikan dengan waktu pendaftaran menjadi
anggota LDK sampai pada akhir kelulusan. Akhir dari alur ini adalah peserta
melakukan mentoring berkelanjutan. Pada proses mentoring ini berisi kegiatan:
a) Pembukaan
b) Tilawah
c) Kultum oleh peserta
d) Materi mentoring
e) Sharing
f) Penutup

5) Kurikulum Mentoring
Kurikulum merupakan perangkat rencana dan pengaturan mengenai isi materi
dan cara menyampaikan materi kepada mentee atau mutarobbi. Mentor harus
menguasai kurikulum mentoring dangan baik.
d. Bentuk Keaktifan Mentoring
Keaktifan mahasiswa Lembaga Dakwah Kampus dalam mengikuti mentoring
adalah segala kesibukan yang dilakukan mahasiswa tersebut baik keaktifan fisik
maupun non fisik ketika proses mentoring dilaksanakan. Keaktifan ditandai oleh
adanya keterlibatan secara optimal, baik intelektual, emosional dan fisik dengan rasa
ingin tahu. Daya keaktifan yang dimiliki seseorang secara kodrati itu akan dapat
berkembang ke arah yang positif saat lingkungannya memberikan ruang yang baik
untuk perkembangan keaktifan tersebut.
Setelah mengetahui deskripsi dari kedua kata di atas maka, yang dimaksud
kegiatan mentoring di sini adalah mentoring agama Islam, yaitu kegiatan
pembelajaran atau pendidikan agama islam dalam bentuk pengajian kelompok kecil
yang diselenggarakan rutin setiap pekan dan berkelanjutan. Metoring lebih efektif
jika setiap kelompok pengajian terdiri atas 3-10 orang dengan dibimbing oleh seorang
pembina. Mentoring ini bisa disebut juga dengan kata lain yaitu Dakwah Sistem
Langsung. Dalam kegiatan belajar mengajar salah satu hal yang perlu diperhatikan
adalah keaktifan. Banyak sekali hal yang membuat siswa kurang aktif dalam
pembelajaran dan hal itu bisa disebabkan oleh pementor atau pengajarnya sendiri.
Sebelum memberikan penilaian tentang keaktifan belajar siswa, pementor harus
mengetahui terlebih dahulu ciri-ciri siswa aktif mentoring (belajar) diantaranya:
1) Intensitasnya dalam mengikuti kegiatan mentoring (Mahfudhoh, 2012: 8)
Dalam hal pembelajaran aktif, intensitas ini menempati bagian paling utama
karena belajar itu bukan hanya sekali atau dua kali selesai melainkan
berkelanjutan. Jadi intensitas dalam mengikuti pembelajaran akan
menghasilkan peserta didik yang semakin faham dan bertambah
pengetahuannya. Mahasiswa dikatakan aktif kuliah apabila intensitas
kehadiran dalam perkuliahan itu maksimal.
2) Mendengarkan dan memperhatikan penjelasan dari pembina
Ketika sedang menerima penjelasan dari guru tentang materi tertentu semua
perhatian hars tertuju pada guru. Pendengaran harus betul-betul dipusatkan
pada penjelasan guru. Menulis dan mendengarkan penjelasan guru adalah cara
yang dianjurkan agar catatan itu dapat digunakan suatu waktu.
3) Mencatat yang dianggap penting (Djamarah, 2002: 101)
Ketika belajar di kelas, guru menjelaskan bahan pelajaran tertentu hendaklah
mencatat dengan cara yang baik yaitu mencatat hal-hal yang dianggap penting
diantara yang tidak penting. Dengan mencatat hal-hal yang dianggap penting
itu berarti tidak perlu lagi mencatat dengan tergesa-gesa, tetapi cukup
mencatatnya dengan tenang pada kertas. Sungguhpun begitu, ada ha-hal
tertentu yang perlu dicatat seluruhnya, misalnya dalil-dalil, definisi rumus-
rumus, ayat-ayat Al-Qur‟an dan lain sebagainya. Selain mencatat hal-hal yang
dianggap penting, mencatat hal yang belum jelas juga bermanfaat karena
dengan mencatat yang belum jelas dapat ditanyakan kembali kepada teman di
luar jam kuliah atau membaca buku maupun bertanya langsung kepada guru.
4) Bertanya bila ada yang belum jelas (Djamarah, 2002: 103)
Apa yang guru jelaskan sudah barang tentu tidak semuanya dapat dimengerti
karena pasti ada yang belum jelas. Akibatnya sebagai pelajar mengalami
permasalahan yang harus dipertanyakan kepada guru. Bertanya mengenai hal-
hal yang belum jelas adalah salah satu cara untuk dapat mengerti bahan
pelajaran yang belum dimengerti. Banyak mahasiswa yang takut bertanya
tentang hal-hal yang kurang jelas, sehingga menjadi beban berkepanjangan.
Permasalahan materi yang lama belum terpecahkan, muncul lagi
permasalahan materi yang baru. Akhirnya semua maslah itu menjadi teka-teki
yang memecahkan konsentrasi.
5) Mengerjakan tugas dari pembina (Djamarah, 2002: 90)
Keterlambatan dalam menyelesaikan tugas boleh jadi disebabkan karena
alasan lupa, malas dan sebagainya. Namun dengan mencatat penugasan yang
diberikan akan lebih mudah mengingatnya. Sekiranya ada waktu yang tersisa
dalam menyelesaikan tugas, sebaiknya waktu itu digunakan untuk
menyelesaikan tugas jangan menunda-nunda karena menunda akan
mengakibatkan gelisah dan tergesa-gesa. Satu hal yang perlu diperhatikan
bahwa penyelesaian tugas jauh-jauh hari memudahkan mengadakan perbaikan
jika ada kesalahan yang terjadi pada kata-kata atau kalimat.
6) Mengulang kembali materi (Djamarah, 2002: 42)
Setelah kuliah atau sekolah jangan lupa untuk mengulang bahan pelajaran di
rumah atau di asrama. Apa yang guru telah jelaskan tidak semuanya terkesan
dengan baik, tentu ada kesan yang masih samar-samar dalam ingatan.
Pengulangan sangat membantu untuk memperbaiki semua kesan yang masih
dirasa samar agar menjadi jelas dalam ingatan.
Mengulangi bahan pelajaran bisa dilakukan pada waktu malam, pagi hari atau
sore hari. Pada malam hari waktu yang baik adalah selesai shalat maghrib atau
sekitar pukul 19.10 hingga pukul 22.00. Pada pagi hari waktu yang disarankan
adalah pukul 04.30 hingga 06.00. Sedangkan pada waktu sore sekitar pukul
16.10 hingga 18.00 tetapi jangan lupa sepulang dari sekolah atau kuliah,
istirahat sebentar lalu ulangi bahan pelajaran dengan membacanya.
7) Keterlibatannya dalam proses kegiatan mentoring sebagai petugas
Keterlibatan dalam proses mentoring ini dapat berupa penunjukan untuk
menjadi petugas dalam proses mentoring tersebut, misalnya bertugas menjadi
mc, petugas kultum, bedah buku dan dapat juga dengan menanyakan hal-hal
yang kurang jelas dan ikut berperan aktif di dalamnya.

e. Tujuan Mentoring
Bila kita memahami arti dari mentoring, maka di dalamnya mengandung arti
sebagai sarana pendidikan atau tarbiyah bagi manusia untuk selalu menambah
kualitas pribadi baik dari segi pengetahuan (akal) maupun rohani. Ada dua tugas
besar yang diberikan Allah kepada manusia yaitu beribadah kepada Allah dan
menjalankan fungsi kekhalifahan di muka bumi ini. Seperti dalam firman Allah dalam
surah al-Baqarah: 30 yaitu:
dan ingatlah ketika Tuhanmu berfirman kepada Para Malaikat: "Sesungguhnya
aku hendak menjadikan seorang khalifah di muka bumi." mereka berkata:
"Mengapa Engkau hendak menjadikan (khalifah) di bumi itu orang yang akan
membuat kerusakan padanya dan menumpahkan darah, Padahal Kami
Senantiasa bertasbih dengan memuji Engkau dan mensucikan Engkau?" Tuhan
berfirman: "Sesungguhnya aku mengetahui apa yang tidak kamu ketahui."
(QS.al-Baqarah: 30)
Tarbiyah atau proses mentoring adalah proses pembinaan terhadap seluruh
aspek kehidupan diri seseorang manusia, untuk memunculkan pemahaman dan
pengamalan ajaran-ajaran Islam. Siddiq (2002: 97)
Menurut Drs. Mahfudz Siddiq (2002: 98-99), Tujuan dari proses mentoring Islam ini
adalah jelas untuk membentuk manusia untuk mau dan mampu beribadah kepada
Allah swt dan menjalankan fungsi kekhalifahannya di muka bumi, dan untuk lebih
rincinya sebagai berikut:
1) Menanamkan keyakinan kuat kepada Allah, kebenaran Islam dan para Rasul-
Nya.
2) Membangun yang benar tentang konsepsi ajaran Islam sebagai minhajul
hayah.
3) Membimbing kepada pengamalan ajaran Islam secara total dalam lingkup
pribadi, keluarga, masyarakat dan ruang kehidupan yang lebih luas.
4) Mengarahkan perwujudan ruh ukhuwah islamiyah di dalam kehidupan
sosialnya.
5) Mendorong kepada optaimalisasi amal untuk menampilkan kebaikan dan
keunggulan Islam.
6) Mengikat dan menghimpun ummat ke dalam kehidupan berjamaah dan
beramal jamaah dalam rangka menyebarluaskan dakwah Islam.
7) Mengarahkan dan mendayagunakan seluruh potensi kekuatan dalam rangka
menegakkan panji-panji islam.
8) Memelihara syahsiyah dan amal dari berbagai pengaruh yang bisa merusak
atau melemahkannya.
9) Mengkoreksi dan memperbaiki berbagaia bentuk kesalahan dan
penyimpangan dalam aspek syahsiyah dan amal melalui tausiyah dan
mau‟idzatil khasanah.
Setelah mengetahui tujuan dari mentoring atau tarbiyah di atas, maka ending
dari hasil tarbiyah akan memiliki profil atau ciri-ciri yang biasa digambarkan dengan
sebutan 10 muwashafat (dalam Az-zahidda, 2009: 70) sebagai berikut:
1) Salimul Aqidah (akidah yang bersih)
Akidah harus bebas dari syirik, mempercayai ramalan nasib,dan hal-hal yang
berbau kesyirikan karena Dzat yang berhak disembah hanyalah Allah SWT,
tidaka ada yang sanggup menandingi-Nya.
2) Shahihul Ibadah (ibadah yang benar)
Seorang yang sudah tertarbiyah harus memiliki sifat shahih ibadah, tidak
mengandung unsur bid‟ah dan harus sesuai dengan hukum-hukum Allah dan
Sunnah Rasulullah. Begitu pula beribadah, idealnya kita merasa bahwa Allah
melihat kita. Sehingga shalat kita khusyu, rajin beramal, puasa sunnah, zakat
dan melakukan ibadah-ibadah yang lainnya dengan sempurna.
3) Matinul Khuluq (akhlaq yang kokoh )
Akhlak yang mulia harus dimilikioleh setiap muslim, baik akhlak kepada
Allah maupun kepada sesama manusia. Begitu pentingnya akhlak bagi
seorang muslim sampai Allah mengutus Rasulullah dengan salah satu
tugasnya untuk memperbaiki akhlak manusia.
4) Qawiyyul Jism (tubuh yang kuat)
Kesehatan jasmani harus mendapat perhatian seorang muslim, dengan
kekuatan ini seorang muslim akan memiliki daya tahan tubuh sehingga dapat
melaksanakan ajaran Islam secara optimal dengan fisik kuat.
5) Harishun „Ala Waqtihi (pandai menjaga waktu)
Setiap hari Allah memberi waktu 24 jam dan dengan waktu tersebut masih ada
manusia yang rugi dan ada yang beruntung dalam menggunakannya, maka
gunakan waktu untuk senantiasa berbuat kebaikan dan berfaedah.
6) Mutsaqofful Fikri (pemikiran yang luas)
Dalam islam, tidak ada satupun perbuatan yang harus kita lakukan kecuali
harus dimulai dengan aktivitas berfikir, bisa dibayangkan bila suatu perbuatan
tanpa disertai pertimbangan pemikiran secara matang. Untuk itu memiliki
wawasan luas akan mampu melaksanakan amal secara tepat.
7) Munazhamun Fi Syu‟unihi (tertata segala urusannya)
Shalat sebagai penata waktunya, teratur di dalam rumah dan kerjanya,
merapikan ide-ide dan pikirannya, disiplin dalam bekerja.
8) Qadiirun „Alal Kasbi (mampu menghidupi dirinya)
Qodiirun „alal kasbi merupakan ciri lain yang harus ada pada diri seorang
muslim. Ini merupakan sesuatu yang amat diperlukan. Mempertahankan
kebenaran dan berjuang menegakkannya baru bisa dilaksanakan manakala
seseorang memiliki kemandirian terutama dari segi ekonomi. Tak sedikit
seseorang mengorbankan prinsip yang telah dianutnya karena tidak memiliki
kemandirian dari segi ekonomi. Karena pribadi muslim tidaklah mesti miskin,
seorang muslim boleh saja kaya bahkan memang harus kaya agar dia bisa
menunaikan ibadah haji dan umroh, zakat, infaq, shadaqah dan
mempersiapkan masa depan yang baik. Oleh karena itu perintah mencari
nafkah amat banyak di dalam Al Qur‟an maupun hadits dan hal itu memiliki
keutamaan yang sangat tinggi. Dalam kaitan menciptakan kemandirian inilah
seorang muslim amat dituntut memiliki keahlian apa saja yang baik.
Keahliannya itu menjadi sebab baginya mendapat rizki dari Allah swt.
9) Mujahidun Nafsihi (bersungguh-sungguh atas dirinya)
Memerangi dorongan nafsu, selalu menyertakan niat ibadah, sabar,
menyesuaikan perbuatan dan ucapannya
10) Nafi‟un Ghairihi (bermanfaat bagi orang lain)
Komitmen dengan adab islam di dalam rumah, memberikan pelayanan umum
karena Allah, membantu orang yang membutuhkan, mendoakan orang lain,
berusaha memenuhi hajat orang lain dan semangat berdakwah di keluarga,
kerabat maupun masyarakatnya.

2.3 Peran Mentoring


Saat ini kehadiran mahasiswa di kampus sering menjadi polemik. Peran
mahasiswa yang seharusnya menjadi teladan bagi kaum muda lainnya dan
masyarakat pada umumnya seakan tercoreng. Perilaku moral yang kurang baik yang
ditunjukkan mahasiswa perlu menjadi perhatian utama bagi orangtua dan civitas
akademika kampus. Tak jarang mahasiswa menjadi sumber konflik dengan aksi
demonstrasi dan tawuran yang meresahkan warga masyarakat (Noe, 2012). Konflik
internal dan penyimpangan perilaku etis juga kerap terjadi pada mahasiswa.
Penyimpangan perilaku yang sering dilakukan mahasiswa sering tampak di media
seperti gank motor, penyalahgunaan obat-obatan, merokok, seks bebas, dan lainnya
((Monks, Knoers, & Hadinoto, 2001). Lembaga pengawas kepolisian Indonesia,
Indonesian Police Watch mencatat, di Jakarta diperkirakan 60 orang tewas berkaitan
aksi geng motor setiap tahunnya. Di tahun 2006, tercatat 37,3% anak-anak sejak usia
13 tahun di Indonesia sudah merokok. Bahkan 3 dari 10 pelajar SMP di Indonesia
(30,9%) mulai merokok sebelum umur 10 tahun. Data di Bogor selama 4 tahun
terakhir menunjukkan bahwa ada 88 kasus tawuran pelajar yang menewaskan 10
pelajar dari 93 korban. 70 % pelajar di 12 kota besar pernah mendapatkan tawaran
narkoba dari temannya sendiri. 20% dari 4 juta pengguna narkoba di seluruh
Indonesia adalah pemuda. Survei tahun 2005 dari Sabang hingga Merauke, 40%– 2 2
45% remaja antara 14–24 tahun menyatakan secara terbuka bahwa mereka telah
berhubungan seks pranikah (Hafidz, 2012). Di Universitas Sumatera Utara sendiri
telah tercatat beberapa kasus penyimpangan yang berujung pada kriminalitas pada
mahasiswanya pada akhir tahun 2012. Di antaranya adalah tawuran mahasiswa yang
terjadi antara mahasiswa Fakultas Teknik dengan mahasiswa Fakultas Pertanian pada
saat berlangsungnya ujian tengah semester yang ditenggarai aksi saling ejek antar
fakultas. Peristiwa ini bahkan menjadi topik terhangat di media-media nasional
(Alawiah, 2011). Selain itu, bentrok juga sempat terjadi saat pertandingan sepakbola
antar Fakultas Ilmu Sosial Politik dengan Fakultas pertanian di stadion Indonesia
sudah merokok. Bahkan 3 dari 10 pelajar SMP di Indonesia (30,9%) mulai merokok
sebelum umur 10 tahun.
Data di Bogor selama 4 tahun terakhir menunjukkan bahwa ada 88 kasus
tawuran pelajar yang menewaskan 10 pelajar dari 93 korban. 70 % pelajar di 12 kota
besar pernah mendapatkan tawaran narkoba dari temannya sendiri. 20% dari 4 juta
pengguna narkoba di seluruh Indonesia adalah pemuda. Survei tahun 2005 dari
Sabang hingga Merauke, 40%– 2 2 45% remaja antara 14–24 tahun menyatakan
secara terbuka bahwa mereka telah berhubungan seks pranikah (Hafidz, 2012). Di
Universitas Sumatera Utara sendiri telah tercatat beberapa kasus penyimpangan yang
berujung pada kriminalitas pada mahasiswanya pada akhir tahun 2012. Di antaranya
adalah tawuran mahasiswa yang terjadi antara mahasiswa Fakultas Teknik dengan
mahasiswa Fakultas Pertanian pada saat berlangsungnya ujian tengah semester yang
ditenggarai aksi saling ejek antar fakultas. Peristiwa ini bahkan menjadi topik
terhangat di media-media nasional (Alawiah, 2011).

Selain itu, bentrok juga sempat terjadi saat pertandingan sepakbola antar
Fakultas Ilmu Sosial Politik dengan Fakultas pertanian di stadion ereka juga
cenderung mengambil jalan pintas dan tidak mau memikirkan dampak negatifnya
(Bagong, dalam Irsyad, 2012). Untuk menjadi mahasiswa yang baik, maka
hendaknya mahasiswa dapat menjadi pribadi yang mandiri dan mampu
menyeimbangkan potensi intelektual, emosional, moralitas, dan spiritual.

Mahasiswa yang mandiri akan menunjukkan kemampuan yang tinggi dalam


mengambil keputusan, menjalankan keputusan, mampu menjalankan tugas-tugas,
memiliki rasa percaya diri, mampu mengatasi masalah, memiliki inisiatif, memiliki
kontrol diri yang tinggi, mengarahkan tingkah lakunya menuju kesempurnaan, serta
memiliki sifat eksploratif. Sebaliknya, mahasiswa yang tidak mandiri akan
menunjukkan kurangnya kemampuan dalam mengambil keputusan, kurangnya
kemampuan dalam mengerjakan tugas rutin, kurang mampu mengatasi permasalahan
yang dihadapi, kurang memiliki inisiatif, kurang memiliki kepercayaan diri, kurang
mampu mengarahkan tingkah lakunya pada kesempurnaan, kurang memperoleh
kepuasan dari usahanya, serta kurang memiliki sifat eksploratif (Afiatin, dalam
Patriana 2007). Tingkah laku yang ditampilkan individu sangat berkaitan erat dengan
konsep dirinya (Ulfah, 2007). Konsep diri berpengaruh besar terhadap tingkah laku
seseorang. Sebab pada umumnya tingkah laku individu berkaitan dengan gagasan-
gagasan tentang dirinya sendiri (Agustiani, 2006). Konsep diri merupakan persepsi
seseorang terhadap dirinya sendiri, dimana persepsi ini dibentuk melalui pengalaman
dan interprestasi seseorang 4 4 terhadap dirinya sendiri (Shavelson, Hubner, &
Stanton, 1976). Proses pembentukan konsep diri memakan waktu yang tidak singkat.
Konsep diri bukanlah sesuatu yang dibawa sejak lahir. Bahkan ketika lahir, seseorang
tidak memiliki konsep diri, tidak memiliki pengetahuan tentang diri, dan tidak
memiliki pengharapan tertentu terhadap diri mereka. Dengan demikian, konsep diri
terbentuk melalui proses belajar yang berlangsung sejak usia dini hingga dewasa.

Lingkungan, pola asuh, dan pengalaman memberikan pengaruh yang


signifikan terhadap konsep diri yang terbentuk (Dianingtyas, 2012). Soetjiningsih
(2004) mengatakan bahwasanya proses pembentukan konsep diri merupakan proses
yang panjang dan kompleks. Pembentukan konsep diri membutuhkan kontinuitas dari
masa lalu, saat ini dan yang akan datang dari kehidupan individu. Hal ini akan
membentuk kerangka berfikir untuk mengorganisasikan dan mengintegrasikan
perilaku ke dalam berbagai bidang kehidupan. Calhoun & Acocella (1990)
menyatakan bahwasanya konsep diri individu secara umum dibagi atas dua, yakni
konsep diri positif dan negatif. Individu yang memiliki konsep diri yang negatif akan
memiliki penilaian negatif terhadap dirinya sehingga merasa bahwa dirinya tidak
cukup berharga dibandingkan orang lain dan memiliki kecenderungan untuk
bertindak secara negatif. Sedangkan Individu yang memiliki konsep diri yang positif
akan memiliki penilaian yang positif terhadap dirinya sehingga dapat menerima
dirinya sendiri secara apa adanya dan memiliki kecenderungan untuk bertindak
terhadap hal-hal yang positif. 5 5 Conger (dalam Monks dkk, 2001) menyatakan
bahwa perkembangan konsep diri yang negatif pada individu dipengaruhi sifat-sifat
negatif seperti sifat memberontak, mendendam, curiga, dan implusif.
Rais (dalam Gunarsa, 1983) juga menguatkan bahwasanya individu yang
didefinisikan sebagai pribadi yang bermasalah biasanya mempunyai konsep diri lebih
negatif dibandingkan dengan pribadi yang tidak bermasalah. Stuart dan Sudeen
(1998) menyatakan bahwa terdapat beberapa faktor yang mempengaruhi
perkembangan konsep diri, yaitu: faktor-faktor perkembangan individu, significant
other (orang yang terpenting atau yang terdekat), self perception (persepsi diri
sendiri). Pendapat lain dari Hurlock (1999) lebih terperinci menyatakan faktor-faktor
yang mempengaruhi konsep diri yaitu: kondisi jasmani, cacat jasmani, kondisi fisik,
produksi kelenjar tubuh, pakaian, nama dan panggilan, kecerdasan, tingkat aspirasi,
emosi, pola kebudayaan, sekolah, status sosial, dan keluarga.

Bagong (dalam Irsyad, 2012) mengatakan bahwasanya perlu dilakukan upaya-


upaya yang intensif untuk membentuk identitas yang positif bagi mahasiswa. Seperti
yang telah dikemukakan di atas, bahwasanya ada 3 faktor utama yang dapat
mempengaruhi pembentukan konsep diri. Faktor yang paling dominan mempengaruhi
konsep diri mahasiswa adalah kehadiran orang yang berpengaruh (significant other).
Kehadiran orang yang berpengaruh menjadi begitu penting bagi mahasiswa sebab
mereka masih mencari sosok panutan hidupnya. Mahasiswa yang berada dalam
kelompok usia remaja akhir pada tahap perkembangan memiliki tugas perkembangan
untuk melakukan pencarian jati diri. 6 6 Para remaja tidak lagi menjadikan orangtua
sebagai acuan dalam pencarian identitas dirinya. mereka para remaja mencari tokoh
panutan di luar orangtuanya. Kelompok yang paling berpengaruh bagi remaja adalah
teman sebaya (Papalia, 2007). Dengan kata lain dapat dikatakan bahwasanya teman
sebaya merupakan significant other yang paling berpengaruh pada diri remaja.

Dengan kondisi tersebut, maka perlu dilakukan sebuah upaya intervensi guna
meningkatkan konsep diri remaja melalui teman sebaya. Salah satu program
intervensi yang dapat dilakukan melalui peran teman sebaya adalah dengan proses
mentoring. Santrock (2007) di dalam bukunya yang berjudul Adolescence
mengatakan bahwasanya mentoring merupakan program yang cocok dalam
pembentukan karakter dan pendidikan bagi para remaja. Selain hal tersebut, Agustiani
(2006) menambahkan cara lain yang dapat dilakukan untuk meningkatkan konsep diri
pada remaja agar menjadi lebih positif adalah dengan meningkatkan nilai-nilai
religiusitas remaja. Oleh karena itu, dengan kombinasi antara mentoring dengan
penanaman nilai religiusitas diharapkan dapat semakin memperkuat konsep diri
remaja menjadi lebih positif, yakni melalui mentoring Agama Islam. Mentoring
merupakan bimbingan yang diberikan melalui demonstrasi, instruksi, tantangan dan
dorongan secara teratur selama periode waktu tertentu. Mentoring biasanya dilakukan
oleh individu yang lebih tua untuk meningkatkan kompetensi serta karakter individu
yang lebih muda. Selama proses ini berlangsung, pementor dan mentee
mengembangkan suatu ikatan komitmen bersama. Di samping itu, relasi dari mentee
ke pementor juga melibatkan karakter 7 7 emosional yang diwarnai oleh sikap
hormat, setia, dan identifikasi (Santrock, 2007). Dalam Islam, kata mentoring lebih
dikenal dengan istilah halaqah atau usroh. sebuah istilah yang berhubungan dengan
pendidikan dan pengajaran Islam.

Mentoring dilaksanakan pada kelompok kecil individu yang secara rutin


mengkaji ajaran Islam. Jumlah peserta dalam kelompok kecil tersebut berkisar antara
3-12 orang. Mereka mengkaji Islam dengan kurikulum tertentu. Biasanya kurikulum
tersebut berasal dari lembaga yang menaungi kegiatan mentoring tersebut (Satria,
2010). Mentoring yang dilakukan secara rutin sepekan sekali akan membentuk
hubungan yang baik antara sesama anggota kelompok mentoring. Pola pendekatan
teman sebaya yang diterapkan menjadi program ini lebih menarik, efektif serta
memiliki keunggulan tersendiri (Rusmiyati, 2003). Selain penyampaian materi
tentang Islam, sasaran dan fokus materi juga harus disesuaikan dengan kondisi
mahasiswa agar nilai-nilai dalam mentoring tersebut dapat diterapkan dalam
kehidupan sehari-hari. Pentingnya kegiatan mentoring ini juga didukung oleh
penelitian yang menunjukkan bahwasanya remaja yang bergabung dalam kelompok-
kelompok mentoring lebih cenderung memiliki konsep diri yang tinggi dan lebih
terdidik. Sebab dalam prosesnya para partisipan yang tergabung didalamnya
mempraktikkan keterampilan interpersonal dan membantu individu dalam menjalani
peran sebagai orang dewasa (Santrock, 2007). Pola teman sebaya yang dibangun
dalam proses mentoring memunculkan sebuah harapan bagi peserta mentoring untuk
membentuk persahabatan yang kuat 8 8 dan berpengaruh dalam hidup. Aspek relasi
teman sebaya juga berkaitan dengan keberhasilan akademis seseorang (Hamm, dkk,
dalam Santrock, 2007). Sebuah studi longitudinal menemukan bahwa individu yang
memiliki setidaknya seorang sahabat, mempengaruhi keberhasilan akademik selama
dua tahun (Wentzel & Caldwell, dalam Santrock, 2007).

Dimana setengah dari para remaja menjalani mentoring dalam bentuk diskusi
yang luas mengenai sekolah, karir dan kehidupan, begitu pula dalam aktifitas waktu
luang bersama para remaja lainnya. Setengah lainnya tidak menjalani mentoring.
Kelompok yang ikut mentoring menunjukan peningkatan prestasi di dalam kelas, dan
memperbaiki relasi dengan orang tua. Menurut Jekielek, Kristin, dan Elizabeth (2002)
setidaknya ada delapan hal umum tentang manfaat dari pelaksanaan mentoring bagi
para pelajar, yakni : menurunnya tingkat absen, meningkatnya partisipasi pelajar,
semakin minimnya penggunaan alkohol dan obat-obatan terlarang, jarang terlibat
perkelahian, tidak suka terlibat dengan kelompok-kelompok yang jahat, sikap yang
lebih sopan terhadap orangtua, sikap yang lebih baik di sekolah, dan meningkatnya
hubungan dengan orangtua serta dukungan teman sebaya. La Vonne dan Steve (2002)
mengemukakan dalam penelitiannya bahwasanya mentoring yang dilakukan secara
efektif dapat meningkatkan motivasi bagi para pelajar untuk menyelesaikan studinya
dan mempersiapkan para pelajar untuk meneruskan jenjang karirnya di dunia kerja,
meningkatkan potensi dan kepercayaan diri serta membantu untuk memperluas
jaringan kekerabatan dengan banyak orang. Darrick & David (2007) dalam jurnalnya
yang berjudul ―dampak mentoring terhadap perubahan perilaku para kriminal‖
mengemukakan bahwasanya individu yang mengikuti mentoring menunjukkan
peningkatan kesejahteraan secara psikologis, kehidupan yang lebih positif dan
mengurangi 10 10 kecenderungan untuk melakukan perilaku-perilaku beresiko
kembali di dalam hidupnya. Rebecca (2009) juga menemukan hal yang sama
terhadap hasil penelitiannya mengenai mentoring

Dalam penelitiannnya terhadap lebih dari 200 orang pelajar di London yang
mengikuti mentoring, ia menemukan bahwasanya pelaksanaan mentoring yang
dilakukan dalam waktu yang cukup lama setidaknya akan meningkatkan potensi diri
untuk sukses dan berprestasi. Setidaknya secara statistik potensi kesuksesan untuk
berhasil bagi seseorang yang mengikuti mentoring naik lebih kurang 10% pada setiap
tahunnya. Seperti yang telah dikemukakan di atas bahwasanya faktor lain yang dapat
membentuk konsep diri menjadi positif selain mentoring adalah dengan
meningkatkan religiusitas mahasiswa. Kresnawati (dalam Kusuma, 2010) pada
penelitiannya terhadap 114 orang pelajar SMA di Jakarta ditemukan bahwasanya ada
hubungan positif antara religiusitas dengan kemampuan pemecahan masalah pada
remaja. Dari hasil analisis deskriptif diperoleh hasil bahwa pemahaman tingkat agama
berbanding lurus dengan kemampuan individu dalam memecahkan masalah.
Sebanyak 76 orang (66,7%) berkategori baik dalam memecahkan masalah, dan yang
berkategori tidak baik sebanyak 38 orang (33,3%). Cole (dalam Rahayu, 2008) juga
menambahkan bahwasanya agama atau religiusitas dalam diri individu terbukti
berperan dalam mengurangi tingkat konflik yang terjadi, terutama konflik yang
berkaitan dengan ketidakpuasan terhadap dirinya sendiri dan lingkungan sekitarnya.
Beberapa ahli sepakat bahwa agama sangat potensial untuk mendorong dan
mengarahkan hidup manusia pada perubahan-perubahan ditingkat mikro individual
dan makro sosial ke arah yang baik dan benar.

Anda mungkin juga menyukai