Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A.Latar Belakang
Latar Belakang Sebelum Islam sampai ke Indonesia, pengaruh Hindu sangat kuat terhadap
masyarakat Indonesia dimana adanya perbedaan kasta di kalangan masyarakat. Ketika Islam
datang dengan menawarkan toleransi dan persamaan derajat diantara sesama manusia, maka
masyarakat Indonesia merasa tertarik. Sehingga Islam dengan mudah dianut oleh masyarakat
Indonesia. Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang harus disiapkan, disebar luaskan
dan dikembangkan oleh penganutnya dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun.
Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan para pedagang muslim yang juga berperan
sebagai dai, dengan berbagai metode yang digunakan berusaha mengembangkan sayap Islam
seluas-luasnya sampai penjuru Nusantara. Semenjak Islam masuk ke Indonesia hingga
Indonesia merdeka penganutnya semakin bertambah.
B. Rumusan masalah
1.Apa saja pengertian Islamisasi?
2.Bagaimana proses masuknya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia?
3.Apa saja saluran Islamisasi?
4.Apa saja mahzab Islam yang pernah berkembang dan pengaruh Islamisasi di Indonesia?

C.Tujuan pembahasan makalah

1.Untuk mengetahui pengertian Islamisasi


2.Untuk mengetahui bagaimana proses masuknya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia.
3.Untuk mengetahui beberapa saluran Islamisasi di Indonesia
4.Untuk mengetahui mahzab Islam yang pernah berkembang dan pengaruh Islamisasi di
Indonesia.
BAB II
PEMBAHSAN
A. Pengertian Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Jika kita melihat dari kata “islamisasi” akan menimbulkan makna “mengislamkan”.
Jangan pernah membayangkan Islam mengambil ilmu pengetahuan dari bangsa Non-
Muslim kemudian ilmu tersebut dijadikan sebagai ilmu yang islami. Sebenarnya Islamisasi
hanyalah mengembalikan pemahaman kepada Islam. Karena jika kita teliti dengan seksama
bahwa semua ilmu pengetahuan telah diatur di dalam Islam yang di termaktub dalam Al-Qur’an
dan Sunnah.
Secara istilah Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu proses pengembalian
pemahaman yang antagonistik terhadap Islam dan ilmu pengetahuan kepada pemahaman yang
akomodatif antara Islam dan ilmu pengetahuan. sehingga, tidak terdapat kesan pemisahan
antara kelompok klasik dengan kelompok modern. Karena pemahaman yang berbeda terhadap
pengkhususan ilmu agama dan ilmu umum.
Secara umum, Islamisasi ilmu tersebut dimaksudkan untuk memberikan respon positif
terhadap realitas ilmu pengetahuan modern yang sekularistik dan Islam yang terlalu religius,
dalam model pengetahuan baru yang utuh dan integral tanpa pemisahan di antaranya. Sebagai
panduan untuk usaha tersebut, al-Faruqi menggariskan satu kerangka kerja dengan lima tujuan
dalam rangka Islamisasi ilmu yaitu, Pertama, Penguasaan disiplin ilmu modern. Kedua,
penguasaan khazanah warisan Islam. Ketiga, Membangun relevansi Islam dengan masing-
masing disiplin ilmu modern. Keempat, Memadukan nilai-nilai dan khazanah warisan Islam
secara kreatif dengan ilmu-ilmu modern dan Kelima, Pengarahan aliran pemikiran Islam ke
jalan-jalan yang mencapai pemenuhan pola rencana Allah.
Seputar Islamisasi ilmu pengetahuan ini telah begitu lama menebarkan perdebatan
penuh kontroversi di kalangan umat Islam. Ada yang pro dan ada yang kontra. Menurut
Mulyadhi Kartanegara, Islamisasi ilmu pengetahuan merupakan naturalisasi sains (ilmu
pengetahauan) untuk meminimalisasikan dampak negatif sains sekuler terhadap sistem
kepercayaan agama dan dengan begitu agama menjadi terlindungi.
Menurut al-Faruqi, Islamisasi adalah usaha "untuk mendefinisikan kembali, menyusun
ulang data, memikirkan kembali argumen dan rasionalisasi yang berkaitan dengan data itu,
menilai kembali kesimpulan dan tafsiran, memproyeksikan kembali tujuan-tujuan dan
melakukan semua itu sedemikian rupa sehingga disiplin-disiplin ini memperkaya wawasan
Islam dan bermanfaat bagi cause (cita-cita).
Sejumlah kelompok ilmuwan yang mendukung gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan,
Mulyanto misalnya mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan sering dipandang sebagai
suatu proses perapan etika Islam dalam pemanfaatan ilmu pengetahuan dan criteria pemilihan
suatu ilmu pengetahuan yang akan dikembangkannya. Dengan kata lain, Islam hanya berlaku
sebagai criteria etis diluar struktur ilmu pengetahuan. Asumsi dasar adalah, bahwa ilmu
pengetahuan adalah bebas nilai. Konsekuensi logisnya mereka menganggap mustahil
munculnya ilmu pengetahuan islami, sebagaimana mustahil munculnya ilmu pengetahuan
Marxisme. Dan Islam beserta ideologi-ideologi lainnya, hanya mampu merasuki subjek ilmu
pengetahuan dan tidak pada ilmu itu sendiri. Islam hanya berlaku sebelum dan sesudah ilmu
pengetahuan bereaksi; lalu menyerahkan kedaulaan mutlak pada metodelogi ilmu
bersangkutan. Lebih lanjut Mulyanto mengatakan bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan, tidak
lain dari proses pengembalian atau pemurnian ilmu pengetahuan pada prinsip-prinsip yang
hakiki, yakni: tauhid, kesatuan makna kebenaran, dan kesatuan ilmu pengetahuan.
Senada dengan Mulyanto, Haidar Bagir, sungguhpun secara eksplisit tidak menjelaskan
pengertin Islamisasi ilmu pengetahuan, namun secara inplisit melihat bahwa Islamisasi ilmu
pengetahuan itu penting. Dalam kaitan ini, ia misalnya mengemukakan tentang perlunya
dibentuk sain yang islami. Hal ini didukung oleh tiga argumentasi sebagai berikut, pertama,
umat Islam butuh sebuah sistem sains yang memenuhi kebutuhan-kebutuhannya material dan
spiritual. System sains yang kini tidak mampu memenuhi kebutuhan tersebut. Ini disebakan
ilmu sains modern mengangdung nilai-nilai khas Barat yang melekat padanya; nilai-nilai ini
banyak bertentangan dengan nilai-nilai Islam selin telah terbukti menimbulkan ancaman-
ancaman bagi keberlangsungnya hidup umat manusia di muka bumi. Kedua, secara sosiologis,
umat Islam yang tinggal di geografis dan memiliki kebudayaan yang berbeda-beda dari Barat-
sains modern dikembangkan-jelas butuh system yang berbeda pula, karena sains barat
diciptakan untuk memenuhi masyarakat sendiri. Ketiga, kita umat Islam, pernah memiliki
peradaban islami dimana sains berkembang sesuai dengan nilai dan kebutuhan-kebutuhan umat
Islam. Jadi sebetulnya, jika syarat-syarat itu mampu dipenuhi, kita punya harapan untuk
berharap menciptakan kembali sebuah sains Islam dalam peradaban islami pula.
Berdasarkan uraian tersebut, kita dapat menyimpulkan bahwa sungguhpun terdapat
perbedaan sudut pandang dan pendekatan dalam melihat masala Islamisasi ilmu pengetahuan,
namun hakikatnya sama. Yaitu mereka sepakat bahwa umat Islam perlu memilki pengetahuan
yang dibangun dari dasar-dasar ajaran Islam, yaitu, Al-Qur’an yaitu ilmu yang didasarkan
tauhid, yang melihat bahwa antara ilmu pengetahuan modern dengan ajaran Islam harus
bergandengan tangan.
Ilmu pengetahuan adalah hasil teoresasi terhadap gejala-gejala alam dengan
mengunakan metode dan pendekatan ilmiah. Sedangkan ajaran Islam juga hasil Ijtihad
terhadap ayat-ayat Allah yang terdapat didalam Al-Qur’an dan Al-Sunnah. Ayat-ayat Allah
yang terdapat di jagat raya berasal dari Allah. Demikian pula ajaran agama juga berdasarkan
pada ayat-ayat Allah. Dengan demikian antara keduanya adalah ayat-ayat Allah. Satu dan
lainnya bearsal dari satu kesatuan (tauhid).
Perbedaan di antara mereka yang berbeda pendapat itu hanya pada soal pendekatan.
Kelompok yang menganggap tidak perlu melakukan Islamisasi ilmu pengetahuan, terkesan
adanya sedikit rasa gengsi mengambil ilmu pengetahuan dari barat dan kemudian
mengislamkan. Bagi mereka bahwa Islam perlu memiliki ilmu pengetahuan yang islami
sebagaimana telah tercatat di zaman klasik. Namun, caranya bukan dengan mengambil ilmu
dari barat dan mengislamkan, melainkan langsung saja membentuk dan mengembangkan ilmu
pengetahuan yang didasarkan pada corak dan ajaran Islam.
Sementara itu bagi yang setuju membentuk Islamisasi ilmu pengetahuan, bukan berarti
tidak setuju engan membentuk ilmu pengetahuan dengan corak Islam secara mandiri,
melainkan bersamaan dengan itu tidak ada salahnya apabila mengambil ilmu pengetahuan dari
Barat lalu mengislamkannya, sebagaimana halnya Barat juga pernah mengambil ilmu
pengetahuan Islam di zaman klasik dahulu, lalu menyesuaikn dengan ajarannya.

B. Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Dalam hubungan ini terdapat sejumlah pendekatan yang dapat digunakan yaitu:
Pertama, Islamisasi dapat dilakukan dengan cara menjadikan Islam sebagai landasan
penggunaan ilmu pengetahuan, tanpa mempersalahkan aspek ontologism dan epistemlogi ilmu
pengetahuan tersebut. Dengan kata lain ilmu pengetahuan dan teknologinya tidak
dipermasalahkan, yang dipermasalahkan adalah orang yang mempergunkannya. Cara ini
melihat bahwa Islamisasi ilmu pengetahuan hanya sebagai penerapan etika Islam dalam
pemamfaatan ilmu pengetahuan dan kriteria pemilihan suatu jenis ilmu pengetahuan yang akan
dikembangkannya. Dengan kata lain, Islam hanya berlaku sebagai criteria etis diluar struktur
ilmu pengetahuan.
Kedua, islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dapat dilakukan dengan cara
memasukkan nilai-nilai islami kedalam konsep ilmu pengetahuan dan teknologi tersebut.
Asumsi dasarnya adalah ilmu pengetahuan tersebut tidak netral, melainkan penuh muatan nilai-
nilai yang dimasukkan oleh orang yang merancangnya. Dengan demikian Islamisasi ilmu
pengetahuan dan teknologi itu sendiri. Gagasan Islamisasi ilmu pengetahuan ini antara lain
dianut oleh Naquib Al-Attas, Ziauddin Sardar, Deliar Noer, A.M. dan lain-lainnya.
Ketiga, Islamisasi ilmu pengetahuan dan teknologi dilakukan melalui penerpan konsep
tauhid dalam arti seluas-luasnya. Tauhid bukan hanya dipahami secar teo-centris, yaitu
mempercayai dan meyakini adanya Tuhan dengan segala sifat kesempurnaan yang dimiliki-
Nya serta jauh dari sifat-sifat yang tidak sempurna, melainkan yang melihat bahwa antara
manusia dengan manusia lain, manusia dengan alam, dan manusia dengan mahkluk ciptaan
lainnya adalah merupakan satu kesatuan yang saling membutuhkan dan saling mempengaruhi,
dan semua itu merupakan wujud tanda kekuasaan dan kebesaran Tuhan.
Selanjutnya ilmu-ilmu alam (sains) yang bertumpu pada kajian ayat-ayat yang ada di
jagat raya menggunakan metode kajian ekperimen di laboratorium dengan syarat-syarat dan
langkah-langkahnya yang teruji oleh para ahli. Melalui metode eksperimen ini maka dihasilkan
ilmu-ilmu alam seperti biologi, fisika, kedokteran, kehewanan, perhutanan, perairan dan ilmu
sains lainnya.
Keempat, Islamisasi ilmu pengetahuan dapat pula dilakukan melalui inisiatif sendiri
melalui proses pendidikan yang diberikan secara berjenjang dan berkesinambungan. Dalam
praktiknya tidak ada ilmu agama dan ilmu umum disatukan, atau ilmu umum yang diislamkan
lalu diajarkan kepada seseorang. Yang terjadi adalah sejak kecil ke dalam diri seseorang sudah
ditanamkan jiwa agama yang kuat, praktik pengalaman tradisi keagamaan dan sebagainya.
Setelah ittu kepadanya diajarkan dasar-dasar ilmu agama yang kuat, diajarkan Al-Quran
dengan baik dari segi membaca maupun memahami isinya. Selain itu diajarkan pula hubungan
antara satu ilmu dengan ilmu lainnya secara umum. Selanjutnya ia mempelajari berbagai
bidang ilmu dan keahlian dengan bidang yang diminatinya.
Kelima, Islamisasi ilmu pengetahuan juga dapat dilakukan dengan cara melakukan
integrasi antara dua paradigma agama dan ilmu yang seolah-olah memperhatikan perbedaan.
Pandangan ini terlihat pada pemikiran Usep Fathuddin. Ia misalnya mengatakan bahwa sejauh
saya membaca bahwa semangat Islamisasi itu didasari suatu anggapan tentang keilmuan dan
Islam. Agama melihat problematika dan solusinya melalui petunjuk Tuhan, sedangkan sains
melalui eksperimen dan rasio manusia. Anggapan yang memperbesar jurang pemisah antara
sains dan agama yang dikembangkan Barat ini hingga sekarang belum tuntas diatasi oleh para
pakar Islam.
Keenam, Bahwa ilmu pengetahuan berbicara empiris sedangkan agama berbicara yang
ghaib. Namun demikian, Islamisasi disini mencoba mengaitkan atau menghubungkan yang
ghaib dengan ilmu-ilmu atau eksperimen dalam kehidupan nyata. Sehingga ilmu tersebut tidak
ada garis pemisah.

C. Langkah-Langkah Islamisasi Ilmu Pengetahuan


Dalam pandangan al-Attas, sebelum islamisasi ilmu dilaksanakan, terlebih dahulu yang
harus dilakukan adalah islamisasi bahasa. Menurutnya, islamisasi bahasa ini ditunjukkan oleh
al-Qur’an sendiri ketika pertama kali diwahyukan di antara bangsa Arab, bahasa, pikiran dan
nalar saling berhubungan erat. Maka, islamisasi bahasa menyebabkan islamisasi nalar atau
pikiran. Islamisasi bahasa Arab yang termuati ilham ketuhanan dalam bentuk wahyu telah
mengubah kedudukan bahasa Arab, di antara bahasa-bahasa manusia, menjadi satu-satunya
bahasa yang hidup yang diilhami Tuhan, dan dalam pengertian ini menjadi baru dan
tersempurnakan sampai tingkat perbandingan tertinggi terutama kosa kata dasar Islam, tidak
tergantung pada perubahan dan perkembangan dan tidak dipengaruhi oleh perubahan sosial
seperti halnya semua bahasa lainnya yang berasal dari kebudayaan dan tradisi.
Terangkatnya bahasa Arab sebagai bahasa di mana Tuhan mewahyukan kitab suci al-
Qur’an kepada manusia menjadikan bahasa itu terpelihara tanpa perubahan, tetap hidup dan
tetap kekal sebagai bahasa Arab standar yang luhur. Oleh karena itu, arti istilah-istilah yang
bertalian dengan Islam, tidak ada perubahan sosial, sehingga untuk segala zaman dan setiap
generasi pengetahuan lengkap tentang Islam menjadi mungkin, karena pengetahuan tersebut
termasuk norma-normanya merupakan suatu hal yang telah terbangun mapan, dan bukan
termasuk sesuatu yang berkembang seperti halnya dengan manusia dan sejarah yang dikatakan
berkembang.
Lebih lanjut menurut al-Attas, istilah-istilah Islam merupakan pemersatu bangsa-
bangsa muslim, bukan hanya karena kesamaan agama semata, melainkan karena istilah-istilah
itu tidak dapat diterjemahkan ke dalam bahasa apapun secara memuaskan. Ketika
diterjemahkan ke dalam bahasa lain, maka istilah-istilah itu menjadi kehilangan makna
ruhaniyah-nya. Karena itu, istilah Islam tidak dapat diterjemahkan dan dipahami dengan
pengertian lain, meski istilah tersebut di pakai dan ditunjukkan pada nabi-nabi sebelum
Muhammad saw. Adapun makna Q.S. al-Maidah ayat 3 yang menyebutkan “hari
penyempurnaan agama Islam”, di pahami al-Attas sebagai pernyataan wahyu bahwa sejak saat
itu Islam telah merupakan sebuah tatanan agama yang total dan tertutup sehingga tidak ada
peluang untuk terjadinya perubahan.
Sedangkan dalam prosesnya, islamisasi yang dicanangkan oleh al-Attas mempunyai
beberapa langkah yaitu:
A. Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan peradaban
Barat. Unsur-unsur tersebut terdiri dari:
1. Akal diandalkan untuk membimbing kehidupan manusia.
2. Bersikap dualistik terhadap realitas dan kebenaran.
3. Menegaskan aspek eksistensi yang memproyeksikan pandangan hidup sekuler.
4. Membela doktrin humanism.
5. Menjadikan drama dan tragedi sebagai unsur-unsur yang dominan dalam fitrah dan eksistensi
kemanusiaan.
Unsur-unsur tersebut harus dihilangkan dari setiap bidang ilmu pengetahuan modern
saat ini, khususnya dalam ilmu pengetahuan humaniora. Bagaimanapun, ilmu-ilmu alam,
fisika, dan aplikasi harus diislamkan juga. Selain itu, ilmu-ilmu modern harus diperiksa dengan
teliti. Ini mencakup metode, konsep, praduga, simbol, dari ilmu modern, beserta aspek-aspek
empiris dan rasional, dan yang berdampak kepada nilai dan etika, penafsiran historitas ilmu
tersebut, bangunan teori ilmunya, praduganya berkaitan dengan dunia, rasionalitas proses-
proses ilmiah, teori tersebut tentang alam semesta, klasifikasinya, batasannya, keterkaitannya
dengan ilmu-ilmu lainnya serta hubungannya dengan sosial harus diperiksa dengan teliti.
B. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama Islam
mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut. Konsep utama Islam tersebut
yaitu:
1. Konsep Agama (ad-din)
2. Konsep Manusia (al-insan)
3. Konsep Pengetahuan (al-‘ilm dan al-ma’rifah)
4. Konsep kearifan (al-hikmah)
5. Konsep keadilan (al-‘adl)
6. Konsep perbuatan yang benar (al-‘amal)
7. Konsep universitas (kulliyyah jami’ah).
Tujan Islamisasi ilmu sendiri adalah untuk melindungi umat Islam dari ilmu yang sudah
tercemar yang menyesatkan dan menimbulkan kekeliruan. Islamisasi ilmu bertujuan untuk
mengembangkan ilmu yang hakiki yang boleh membangunkan pemikiran dan pribadi muslim
yang akan menambahkan lagi keimanannya kepada Allah. Islamisasi ilmu akan melahirkan
keamanan, kebaikan, keadilan, dan kekuatan iman.
Adapun yang menjadi obyek Islamisasi bukan obyek yang berada diluar pikiran tapi
adalah yang terdapat dalam jiwa atau pikiran seseorang. Dan pendekatannya adalah pendekatan
dalam Islam yang berkaitan erat dengan struktur metafisika dasar Islam yang telah
terformulasikan sejalan dengan wahyu (revelation tradition), akal (reason), pengalaman
(experience) dan intuisi (intuition). Karena Islam pada dasarnya mengkombinasikan antara
metodologi rasionalisme dan empirisisme, tapi dengan tambahan wahyu sebagai sumber
kebenaran tentang sesuatu yang tidak dapat dijangkau oleh metode empris-rasional tersebut.
Jadi meskipun dalam aspek rasionalitas dan metodologi pencarian kebenaran dalam Islam
memiliki beberapa kesamaan dengan pandangan filsafat Yunani, namun secara mendasar
dibedakan oleh pandangan hidup Islam (Islamic worldview).
Jadi menurut al-Attas, dalam prosesnya, islamisasi ilmu melibatkan dua langkah utama
yang saling berhubungan: pertama, proses mengeluarkan unsur-unsur dan konsep-konsep
penting Barat dari suatu ilmu, dan kedua, memasukkan unsur-unsur dan konsep-konsep utama
Islam ke dalamnya.

D. Sejarah dan Tokoh-Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan


A. Sejarah Islamisasi Ilmu Pengetahuan
Secara substansial proses islamisasi ilmu telah terjadi sejak masa Rasulullah saw. Hal
ini dapat kita lihat dari proses pengislaman yang dilakukan oleh Nabi Muhammad saw terhadap
masyarakat Arab pada saat itu. Melalui ajaran-ajaran al-Quran, sebagai sumber hukum Islam
pertama, beliau merubah seluruh tatanan Arab Jahiliyah kepada tatanan masyarakat Islam
hanya dalam kurun waktu 23 tahun. Dengan al-Qur'an, Muhammad saw. merubah pandangan
hidup mereka tentang manusia, alam semesta dan kehidupan dunia.
Pengislaman ilmu ini diteruskan oleh para sahabat, tabi’in dan ulama-ulama sehingga
umat Islam mencapai kegemilangan dalam ilmu. Pada “zaman pertengahan,” Islamisasi juga
telah dilakukan khususnya oleh para teolog Muslim seperti al-Ghazali, Fakhruddin al-Razi,
Sayfuddin al-Amidi dan lain-lain. Dengan pengetahuan Islam yang mendalam, mereka
menyaring filsafat Yunani kuno untuk disesuaikan dengan pemikiran Islam. Sebagai hasilnya,
ada hal-hal dari filsafat Yunani kuno yang diterima dan ada juga yang ditolak. Oleh karena itu,
islamisasi dalam arti kata yang sebenarnya bukanlah perkara baru bila ditinjau dari aspek yang
luas ini. Hanya saja, secara oprasional, istilah islamisasi ilmu baru dipopulerkan sebagai
kerangka epistimologi baru oleh para pembaharu muslim pada tahun 70-an.
Dalam konteks modern, istilah "islamisasi ilmu" pertama kali digunakan dan
diperkenalkan oleh seorang sarjana malaysia bernama Muhammad Naquib Al-Attas dalam
bukunya yang berjudul "Islam and Secularism" (1978). Syed Muhammad Naquib al-Attas
menyadari bahwa “virus” yang terkandung dalam Ilmu Pengetahuan Barat modern-sekuler
merupakan tantangan yang paling besar bagi kaum Muslimin saat ini. Dalam pandangannya,
peradaban Barat modern telah membuat ilmu menjadi problematis. Selain telah salah-
memahami makna ilmu, peradaban Barat juga telah menghilangkan maksud dan tujuan ilmu.
Sekalipun peradaban Barat modern juga menghasilkan ilmu yang bermanfaat, namun
peradaban tersebut juga telah menyebabkan kerusakan dalam kehidupan manusia. Dalam
pandangan Syed Muhammad Naquib al-Attas.
Naquib Al-Atas bercita-cita ingin menjadikan peradaban Islam kembali hidup dan
memiliki pengaruh yang mewarnai peradaban global umat manusia. Karena itu, seluruh
hidupnya ia persembahkan bagi upaya-upaya revitalisasi peradaban Islam, agar nilai-nilai yang
di masa lalu dapat membumi dan menjadi 'ikon' kebanggaan umat Islam, dapat menjelma dalam
setiap lini kehidupan kaum Muslim sekarang ini.
Menurut Naquib Al-Attas, Islamisasi ilmu adalah “ the liberation of man first from
magical, mythological, animistic, national-cultural tradition, and then from secular control over
his reason and his language.” (Islamisasi adalah pembebasan manusia, pertama dari tradisi
tahyul, mitos, animisme, kebangsaan dan kebudayaan dan setelah itu pembebasan akal dan
bahasa dari pengaruh sekularisme).
Gagasan Al-Attas ini disambut baik oleh seorang filosof Palestina bernama Ismail Al-
Faruqi pada tahun 1982 dengan bukunya yang berjudul "Islamization of Knowledge", dalam
rangka merespon gerakan di Malaysia yang bernama "Malaise of the ummah". Dia mengatakan
bahwa jika kita menggunakan alat, kategori, konsep, dan model analisis yang diambil murni
dari Barat sekuler, seperti Marxisme, maka semua itu tidak relevan dengan ekologi dan realitas
sosial negara Islam, sehingga tidak mampu beradaptasi dengan nilai-nilai Islam, bahkan akan
berbenturan dengan etika Islam itu sendiri. Karena itu, dalam pandangannya, pertentangan
antara ulama tradisional dan para tokoh reformasi dalam membangun masyarakat muslim
dengan ilmu modern dan kategori profesional tidak akan terlaksana tanpa dibarengi dengan
usaha keras menerapkan etika Islam dalam metodologi para filosof muslim awal. Karena itu,
dia menganjurkan agar melakukan revisi terhadap metode-metode itu dengan menghadirkan
kembali dan mengintegrasikan antara metode ilmiah dengan nilai-nilai Islam.
Pada akhir abad 20-an, konsep Islamisasi ilmu juga mendapatkan kritikan dari kalangan
pemikir Muslim sendiri, terutama para pemikir Muslim kontemporer seperti Fazlur Rahman,
Muhsin Mahdi, Abdus Salam Soroush, Bassam Tibbi dan sebagainya. Menurut Fazlur
Rahman, ilmu pengetahuan tidak bisa diislamkan karena tidak ada yang salah di dalam ilmu
pengetahuan. Permasalahannya hanya dalam hal penggunaannya. Menurut Fazlur Rahman,
ilmu pengetahuan memiliki dua fungsi ganda, seperti “senjata bermata dua” yang harus
digunakan dengan hati-hati dan bertanggung-jawab, sekaligus sangat penting
menggunakannya secara benar ketika memperolehnya. Menurutnya, ilmu pengetahuan sangat
tergantung kepada cara menggunakannya. Jika orang yang menggunakannya baik, maka ilmu
itu akan berguna dan bermanfaat bagi orang banyak, tetapi jika orang yang memakainya tidak
baik, maka ilmu itu akan membawa kerusakan.

Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis, proses islamisasi ilmu
telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga
sekarang, dengan bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun juga
mendapatkan kritik di sana-sini. Akan tetapi, gagasan islamisasi ilmu suatu “revolusi
epistemologis” yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan
hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat sekular.
B. Tokoh-Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
1. Naquib al-Attas
Nama lengkap al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lahir di Jawa
Barat, pada 5 september 1931. Pada usia 5 tahun al-Attas dibawa ke Johor, Malaysia untuk
dididik oleh saudara ayahnya Encik Ahmad kemudian Ny.Azizah yaitu seorang mentri Besar
Johor. Ketika penjajahan Jepang, al-Attas pulang ke Sukabumi, Jawa Barat dan masuk
pesantren al-Urwah al-Wusta, belajar bahasa arab dan agama islam. Pada tahun 1946 Attas
kembali ke malaysia, ia masuk dan bersentuhan dengan pendidikan modern, English College,
di Johor baru dan kemudian masuk dinas militer di Easton Hall, Chester, Inggris pada tahun
1952-1955. al-Attas keluar dari kemiliteran dengan pangkat letnan karena ia lebih tertarik
dengan dunia akademik.
Pada tahun 1957-1959 al-Attas masuk ke University of Malay, Singapura dengan fokus
kajian pada teologi dan metafisika alam. al- Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama
adalah “Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk diantara karya sastra pertama yang dicetak
oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua
yang sekarang menjadi karya klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and
Practiced among the Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia
pada tahun 1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui
“Canada Counsel Fellowship” memberi al-Attas beasiswa untuk melanjutkan studinya di
McGill University, Kanada untuk kajian islamnya sampai memperoleh gelar master pada tahun
1963, al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis yang berjudul “Raniri and the Wujudiyyah
of 17th Century Acheh.” Selanjutnya al-Attas menempuh program doktor pada shool of
Oriental and African Studies, Universitas London. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965)
atas bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D
(Philosophy Doctor) dalam bidang filsafat islam dan kesusastraan melayu islam dengan
disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. Disertasi
tersebut telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.
Al-Attas setelah kembali dari London mengabdi sebagai dosen di University of Malay,
Singapura. Pada tahun 1970 al-Attas termasuk dalam pendiri Universitas Kebangsaan
Malaysia, 2 tahun kemudian ia diangkat menjadi guru besar dan diangkat sebagai dekan
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Melayu di Perguruan Tinggi Malaysia tahun 1975. Pada tahun
1991 didirikannya ISTAC (The Internasional Institut of Islamic Thaught and Civilization) al-
Attas ditunjuk sebagai direkturnya. al-Attas memiliki 26 karya yang terkenal dan juga
mendapatkan beberapa penghargaan atas semangat dan prestasi dalam pemikirannya.
2. Ismail Raji al-Faruqi
Pada 1 januari 1921 di Jaffa, Palestina, Ismail Raji al-Faruqi dilahirkan. Pendidikan
dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936 yang menggunakan
bahasa Prancis sebagai bahasa pengantarnya. Kemudian al-Faruqi melanjutkan ke American
University, Beirut jurusan Filsafat dengan gelar BA (Bachelor of Arts) pada tahun 1941, pada
umur 24 tahun al-Faruqi bekerja sebagai pemerintahan (PNS) yang kemudian diangkat menjadi
gubernur di propinsi Galelia, Palestina. Tahun 1949 al-Faruqi mendapat gelar master dalam
bidang filsafat di Universitas Indiana. Pada tahun 1952 al-Faruqi mencapai gelar doktoral
(Phd.) dari Universitas Indiana, Harvard dengan desertasinya berjudul “On Justifying the Gos:
Metaphysic and Epistemology of Value”.
Pada tahun 1959, al-Faruqi pergi ke Mesir untuk memperdalam ilmu keislaman di
Universitas Al-azhar, Kairo kemudian mengajar di McGill, Kanada dan akhirnya al-Faruqi
kembali ke Amerika pada tahun 1963 dan mengajar di Scholl of Devinity, Universitas Chicago.
Pada tahun 1968, al-Faruqi menjadi guru besar pemikiran dan kebudayaan islam pada Temple
University, disini al-Faruqi mendirikan Departemen Islamic Studies hingga akhir hanyatnya.
Dalam Zaenul (2002; 179) untuk mengenang jasa-jasa al-Faruqi maka, Organisasi Masyarakat
Islam Amerika Utara (ISNA) berusaha mendirikan The Isma’il and lamnya’ al-Faruqi
Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita islamisasi ilmu pengetahuan yang telah
dicetuskannya. Karya al-Faruqi menurut Ensiklopedia Islam Indonesia ada 20 buku dan 100
artikel yang ditulisnya.
3. Sayyed Hossein Nasr
Sains Islami menurut Nasr tidak akan dapat diperoleh kecuali dari intelek yang bersifat
Ilahiyah dan bukan akal manusia. Kedudukan intelek adalah di hati, bukan di kepala, karena
akal tidak lebih dari pantulan ruhaniyah. Selama hierarki pengetahuan tetap dipertahankan dan
tidak terganggu dalam Islam dan scientia terus dibina dalam haribaan sapienta, beberapa
pembatasan di bidang fisik dapat diterima guna mempertahankan kebebasan pengembangan
dan keinsafan di bidang ruhani. Ilmu pengetahuan harus menjadi alat untuk mengakses yang
sakral dan ilmu pengetahuan sakral (scientiasacra) tetap sebagai jalan kesatuan utama dengan
realitas, dimana kebenaran dan kebahagiaan disatukan.
Untuk mewujudkan sains Islami, Nasr menggunakan perbandingan dengan apa yang
telah diraih Islam pada zaman keemasannya (zaman pertengahan). Menurutnya, pada saat itu
dengan teologi yang mendominasi sains, sains telah memperoleh kecerahan dan dapat
menyelamatkan umat dari sifat destruktif sains.
4. Maurice Bucaille
Bucaille merupakan seorang dokter ahli bedah bangsa prancis yang beralih menjadi
spiritualis. Ia menjadi orang terkenal di dunia Islam dengan diterbitkannya buku La Bible La
Coran at La Science (The Bible, The Qur’an and science/Bibel, Qur’an dan Sains Modern).
Bucaille mengawali pembahasan dari bukunya tersebut dengan menelaah keoentikan
teks suci al-Qur’an. Kemudian dia mengkonfrontasikannya dengan Bibel, dan dia mengambil
suatu kesimpulan akhir bahwa al-Qur’an dalam hal keotentikan teksnya lebih mutawatir
dibandingkan dengan Bibel. Sedangkan dalam kaitannya dengan perkembangan sains di dunia
kontemporer, metode yang digunakannya cukup sederhana. Dengan merujuk beberapa ayat al-
Qur’an dan juga Bibel, dia mengaitkannya dengan sains modern, dengan faktailmiah yang telah
ditemukan. Dalam komparasi ini, kemudian dia juga mengambil suatu kesimpulan bahwa al-
Qur’an memiliki kesesuaian dengan fakta ilmiah sains modern, sementara Bibel banyak
kelemahan.

E.Korelasi Ilmu dan Cahaya

Dalam kehidupan mistik, tidak jarang kita menemukan simbolisme cahaya bahkan selalain
mistik Jawa (kejawen) sering kita mnendengar orang yang mendapat "wangsit" digambarkan
sebagai yang kejatuhan cahaya dari langit" Sementara itu, Nabi kita juga mengatakan bahwa
ilmu itu cahaya. Maka timhuilah dari sini pertanyaan perranyaan, adakah korelasi anrara iimu
dan cahaya tersebur?
Bagi saira korelasi itu cukup jelas. Pada hakikatnya orang yang mengatakan "kejatuhan
cahaya" tidak ubahnya dengan orang yang mendaparkan ilmu dari iangit. Jacli orang yang
mendapar wangsit tidak jauh berbeda dengan orang yang mendapatkan iiham, hidayah atau
ilmu pengetahuan, Memang dalam kehidupan mistik, cahaya itu bisa dalam arti fisik, sehingga
dikatakan bahwa rumah yang mendapat cahaya dieambakan sebagai terang benderang
walaupun tidak dipasang lampu apa pun. Atau wajah orang itu digambarkan sebagai
memancarkan cahaya. Tetapi diartikan secara simbolik pun cahaya itu tidak akan berkurang
maknanya, mengapa? Karena sesungguhnya karakter dari cahaya dan ilmu itu tidaklah jauh
berbeda.
Cahaya mempunyai karakteristik "terang pada dirinya' dan dapat "menjadikan yang lain
terang atau nampak." Di malam hari, alam begitu gelap gulita Namun kemunculan matahari
akan menyebabkan kegelapan malam tersebut sirna, dan digantikan oleh kemilau terang
benderang. Matahari adalah cahaya yang pada dirinya "telah terang dan menyebabkan yang
lain terang," seperti pada kasus bulan, atau paling tidak menjadi tampak seperti pada kasus
benda-benda yang ada di permukaan bumi, yang pada dirinya adalah gelap. Maka demikian
juga karakteristik ilmu. Ilmu pada hakikatnya adalah cahaya, seperti sabda Nabi. Dan sebagai
cahaya maka ia terang pada ciirinya, bisa menjadikan terang segala sesuatu yang remang-
remang dan geiap gulita, karena kebodohan. Orang yang tidak tahu ke mana jalan menuju Blok
M, maka bagiiiya jalan menuju Blok M menjadi sangat lebar dan panjang, bahkan gelap
walaupun saat itu adalah siang hari. Tetapi begitu ia melihat Peta atau mendapatkan "informasi"
(ilmu), maka seperti mendapatkan cahaya, jalan ke Blok M tiba-tiba menjadi terang dan tidak
lagi menjadi problem.
Kalau tadi kita berbicara tentang ilmu yang bersifat fisik, maka hal yang serupa juga bisa
diterapkan pada ilmu-ilmu yang lebih dalam dan batiniah sifatnya. Ada syair Arab yang
mengatakan "Barangsiapa beramal tidak dengan ilmu, maka amalannya ditolak atau tidak
diterima." Artinya tidak membawa hasil yang diharapkan. Hal ini bisa juga diterapkan dalam
bidang apa saja, baik bidang pertanian, bisnis, beribadah bahkan ber-mujhhadah. Melakukan
itu semua tanpa mengetahui ilmunya, ibarat bekerja di tempat yang gelap dan bisa dibayangkan
apa hasilnya. Al-Qur'an juga memberi tamsil bagi orang-orang yang tidak tahu dengan orang
buta, dan secara retorik bertanya "Apakah sarua orang buta dengan orarug yang melek?"
Jawabanya tentu saja tidak.
Dalam dunia mistik, ilmu pengetahuan yang disebut makrifat sering sekali dikaitkan
dengan simbolisme cahaya, yang disebutnya "Iluminasi" yaitu pencahayaan. Datangnya cahaya
dari langit (Tuhan) kadang mudah, kadang begitu sulit. Imam Al-Ghazali sendiri membutuhkan
lebih dari sepuluh tahun untuk mendapatkan iluminasi tersebut. Sebelum datangnya iluminasi
itu, hidup Al-Ghazali digambarkan penuh dengan kesangsian (syak), yang menggambarkan
"ketemaraman" atau bahkan "kegelapan" hatinya.
Tetapi sekali "ilurninasi" atau disebut juga "mukasyafah" disibakan ke dalam hatinya,
tiba-tiba ia menjadi terang benderang. Maka segala kesangsian yang ditimbulkan oleh
ketidaktahuan juga hilang seketika. Manakaia jalan inenuju kebenaran terbentang luas dan
terang di hadapannya, cahaya yang diperolehnya begitu terang sehingga ia juga mampu
menerangi hati orang lain yang temaram, beratus-ratus tahun setelah ia meninggaikan dunia
fana ini. Jadi bukan hanya terang pada dirinya sendiri tetapi bisa menerangi orang lain meialui
ilmu-ilmunya, sebuah karakteristik yang persis sama dengan yang dirniiiki oleh cahaya.
Dengan ini saya bei:harap telah menjadi jelas kiranya, dalam pemahaman kita, apa korelasi
yang ada antara ilmu dan cahaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu proses pengembalian pemahaman yang
antagonistik terhadap Islam dan ilmu pengetahuan kepada pemahaman yang akomodatif
antara Islam dan ilmu pengetahuan.
2. Islamisasi bisa dilakukan dengan enam cara.
3. Langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas:
a. Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan
peradaban Barat.
b. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama
Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut.
4. Tokoh-tokoh Islamisasi:
a. Naquib al-Attas
b. Ismail Raji al-Faruqi
c. Sayyed Hossein Nasr
d. Maurice Bucaille

B. Saran-Saran
1. Makalah Metodelogi Study Islam ini diharapkan menjadi masukan dan bahan tambahan
dalam memahami perkara-perkara Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Penulis juga mengharapkan
makalah ini dapat dikembangkan oleh para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA

Abuddin Nata, Metodelogi Study Islam,Jakarta: PT Raja Grafindo Persada, 1998.


Amsal, Bakhtiar, Filsafat ilmu. Jakarta: Raja Grafindo Persada, 2004.

M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam, Malang: Bayu Media, 2003.

Anda mungkin juga menyukai