PENDAHULUAN
A.Latar Belakang
Latar Belakang Sebelum Islam sampai ke Indonesia, pengaruh Hindu sangat kuat terhadap
masyarakat Indonesia dimana adanya perbedaan kasta di kalangan masyarakat. Ketika Islam
datang dengan menawarkan toleransi dan persamaan derajat diantara sesama manusia, maka
masyarakat Indonesia merasa tertarik. Sehingga Islam dengan mudah dianut oleh masyarakat
Indonesia. Islam adalah agama dakwah yaitu agama yang harus disiapkan, disebar luaskan
dan dikembangkan oleh penganutnya dalam situasi dan kondisi yang bagaimanapun.
Demikian pula halnya dengan apa yang dilakukan para pedagang muslim yang juga berperan
sebagai dai, dengan berbagai metode yang digunakan berusaha mengembangkan sayap Islam
seluas-luasnya sampai penjuru Nusantara. Semenjak Islam masuk ke Indonesia hingga
Indonesia merdeka penganutnya semakin bertambah.
B. Rumusan masalah
1.Apa saja pengertian Islamisasi?
2.Bagaimana proses masuknya agama dan kebudayaan Islam di Indonesia?
3.Apa saja saluran Islamisasi?
4.Apa saja mahzab Islam yang pernah berkembang dan pengaruh Islamisasi di Indonesia?
Dari paparan di atas dapat disimpulkan bahwa, secara historis, proses islamisasi ilmu
telah berlangsung sejak kemunculan Islam itu sendiri, yaitu sejak masa Rasulullah saw. hingga
sekarang, dengan bentuk, metode dan ruang lingkupnya sendiri-sendiri, meskipun juga
mendapatkan kritik di sana-sini. Akan tetapi, gagasan islamisasi ilmu suatu “revolusi
epistemologis” yang merupakan jawaban terhadap krisis epistemologis yang melanda bukan
hanya dunia Islam tapi juga budaya dan peradaban Barat sekular.
B. Tokoh-Tokoh Islamisasi Ilmu Pengetahuan.
1. Naquib al-Attas
Nama lengkap al-Attas adalah Syed Muhammad Naquib al-Attas yang lahir di Jawa
Barat, pada 5 september 1931. Pada usia 5 tahun al-Attas dibawa ke Johor, Malaysia untuk
dididik oleh saudara ayahnya Encik Ahmad kemudian Ny.Azizah yaitu seorang mentri Besar
Johor. Ketika penjajahan Jepang, al-Attas pulang ke Sukabumi, Jawa Barat dan masuk
pesantren al-Urwah al-Wusta, belajar bahasa arab dan agama islam. Pada tahun 1946 Attas
kembali ke malaysia, ia masuk dan bersentuhan dengan pendidikan modern, English College,
di Johor baru dan kemudian masuk dinas militer di Easton Hall, Chester, Inggris pada tahun
1952-1955. al-Attas keluar dari kemiliteran dengan pangkat letnan karena ia lebih tertarik
dengan dunia akademik.
Pada tahun 1957-1959 al-Attas masuk ke University of Malay, Singapura dengan fokus
kajian pada teologi dan metafisika alam. al- Attas telah menulis dua buah buku. Buku pertama
adalah “Rangkaian Rubaiyat.” Buku ini termasuk diantara karya sastra pertama yang dicetak
oleh Dewan Bahasa dan Pustaka, Kuala Lumpur, pada tahun 1959. Sedangkan buku kedua
yang sekarang menjadi karya klasik adalah “Some Aspects of Sufism as Understood and
Practiced among the Malays”, yang diterbitkan oleh lembaga penelitian sosiologi Malaysia
pada tahun 1963. Sedemikian berharganya buku yang kedua ini, pemerintah Kanada melalui
“Canada Counsel Fellowship” memberi al-Attas beasiswa untuk melanjutkan studinya di
McGill University, Kanada untuk kajian islamnya sampai memperoleh gelar master pada tahun
1963, al-Attas mendapat gelar M.A. dengan tesis yang berjudul “Raniri and the Wujudiyyah
of 17th Century Acheh.” Selanjutnya al-Attas menempuh program doktor pada shool of
Oriental and African Studies, Universitas London. Selama kurang lebih dua tahun (1963-1965)
atas bimbingan Prof. Martin Lings, al-Attas menyelesaikan perkuliahan dan meraih gelar Ph.D
(Philosophy Doctor) dalam bidang filsafat islam dan kesusastraan melayu islam dengan
disertasi yang berjudul Mistisisme Hamzah Fansuri dengan predikat cumlaude. Disertasi
tersebut telah dibukukan dengan judul “Mysticism of Hamzah Fansuri”.
Al-Attas setelah kembali dari London mengabdi sebagai dosen di University of Malay,
Singapura. Pada tahun 1970 al-Attas termasuk dalam pendiri Universitas Kebangsaan
Malaysia, 2 tahun kemudian ia diangkat menjadi guru besar dan diangkat sebagai dekan
Fakultas Sastra dan Kebudayaan Melayu di Perguruan Tinggi Malaysia tahun 1975. Pada tahun
1991 didirikannya ISTAC (The Internasional Institut of Islamic Thaught and Civilization) al-
Attas ditunjuk sebagai direkturnya. al-Attas memiliki 26 karya yang terkenal dan juga
mendapatkan beberapa penghargaan atas semangat dan prestasi dalam pemikirannya.
2. Ismail Raji al-Faruqi
Pada 1 januari 1921 di Jaffa, Palestina, Ismail Raji al-Faruqi dilahirkan. Pendidikan
dasarnya dilalui di College Des Frese, Libanon sejak 1926 sampai 1936 yang menggunakan
bahasa Prancis sebagai bahasa pengantarnya. Kemudian al-Faruqi melanjutkan ke American
University, Beirut jurusan Filsafat dengan gelar BA (Bachelor of Arts) pada tahun 1941, pada
umur 24 tahun al-Faruqi bekerja sebagai pemerintahan (PNS) yang kemudian diangkat menjadi
gubernur di propinsi Galelia, Palestina. Tahun 1949 al-Faruqi mendapat gelar master dalam
bidang filsafat di Universitas Indiana. Pada tahun 1952 al-Faruqi mencapai gelar doktoral
(Phd.) dari Universitas Indiana, Harvard dengan desertasinya berjudul “On Justifying the Gos:
Metaphysic and Epistemology of Value”.
Pada tahun 1959, al-Faruqi pergi ke Mesir untuk memperdalam ilmu keislaman di
Universitas Al-azhar, Kairo kemudian mengajar di McGill, Kanada dan akhirnya al-Faruqi
kembali ke Amerika pada tahun 1963 dan mengajar di Scholl of Devinity, Universitas Chicago.
Pada tahun 1968, al-Faruqi menjadi guru besar pemikiran dan kebudayaan islam pada Temple
University, disini al-Faruqi mendirikan Departemen Islamic Studies hingga akhir hanyatnya.
Dalam Zaenul (2002; 179) untuk mengenang jasa-jasa al-Faruqi maka, Organisasi Masyarakat
Islam Amerika Utara (ISNA) berusaha mendirikan The Isma’il and lamnya’ al-Faruqi
Memorial Fund, yang bermaksud melanjutkan cita-cita islamisasi ilmu pengetahuan yang telah
dicetuskannya. Karya al-Faruqi menurut Ensiklopedia Islam Indonesia ada 20 buku dan 100
artikel yang ditulisnya.
3. Sayyed Hossein Nasr
Sains Islami menurut Nasr tidak akan dapat diperoleh kecuali dari intelek yang bersifat
Ilahiyah dan bukan akal manusia. Kedudukan intelek adalah di hati, bukan di kepala, karena
akal tidak lebih dari pantulan ruhaniyah. Selama hierarki pengetahuan tetap dipertahankan dan
tidak terganggu dalam Islam dan scientia terus dibina dalam haribaan sapienta, beberapa
pembatasan di bidang fisik dapat diterima guna mempertahankan kebebasan pengembangan
dan keinsafan di bidang ruhani. Ilmu pengetahuan harus menjadi alat untuk mengakses yang
sakral dan ilmu pengetahuan sakral (scientiasacra) tetap sebagai jalan kesatuan utama dengan
realitas, dimana kebenaran dan kebahagiaan disatukan.
Untuk mewujudkan sains Islami, Nasr menggunakan perbandingan dengan apa yang
telah diraih Islam pada zaman keemasannya (zaman pertengahan). Menurutnya, pada saat itu
dengan teologi yang mendominasi sains, sains telah memperoleh kecerahan dan dapat
menyelamatkan umat dari sifat destruktif sains.
4. Maurice Bucaille
Bucaille merupakan seorang dokter ahli bedah bangsa prancis yang beralih menjadi
spiritualis. Ia menjadi orang terkenal di dunia Islam dengan diterbitkannya buku La Bible La
Coran at La Science (The Bible, The Qur’an and science/Bibel, Qur’an dan Sains Modern).
Bucaille mengawali pembahasan dari bukunya tersebut dengan menelaah keoentikan
teks suci al-Qur’an. Kemudian dia mengkonfrontasikannya dengan Bibel, dan dia mengambil
suatu kesimpulan akhir bahwa al-Qur’an dalam hal keotentikan teksnya lebih mutawatir
dibandingkan dengan Bibel. Sedangkan dalam kaitannya dengan perkembangan sains di dunia
kontemporer, metode yang digunakannya cukup sederhana. Dengan merujuk beberapa ayat al-
Qur’an dan juga Bibel, dia mengaitkannya dengan sains modern, dengan faktailmiah yang telah
ditemukan. Dalam komparasi ini, kemudian dia juga mengambil suatu kesimpulan bahwa al-
Qur’an memiliki kesesuaian dengan fakta ilmiah sains modern, sementara Bibel banyak
kelemahan.
Dalam kehidupan mistik, tidak jarang kita menemukan simbolisme cahaya bahkan selalain
mistik Jawa (kejawen) sering kita mnendengar orang yang mendapat "wangsit" digambarkan
sebagai yang kejatuhan cahaya dari langit" Sementara itu, Nabi kita juga mengatakan bahwa
ilmu itu cahaya. Maka timhuilah dari sini pertanyaan perranyaan, adakah korelasi anrara iimu
dan cahaya tersebur?
Bagi saira korelasi itu cukup jelas. Pada hakikatnya orang yang mengatakan "kejatuhan
cahaya" tidak ubahnya dengan orang yang mendaparkan ilmu dari iangit. Jacli orang yang
mendapar wangsit tidak jauh berbeda dengan orang yang mendapatkan iiham, hidayah atau
ilmu pengetahuan, Memang dalam kehidupan mistik, cahaya itu bisa dalam arti fisik, sehingga
dikatakan bahwa rumah yang mendapat cahaya dieambakan sebagai terang benderang
walaupun tidak dipasang lampu apa pun. Atau wajah orang itu digambarkan sebagai
memancarkan cahaya. Tetapi diartikan secara simbolik pun cahaya itu tidak akan berkurang
maknanya, mengapa? Karena sesungguhnya karakter dari cahaya dan ilmu itu tidaklah jauh
berbeda.
Cahaya mempunyai karakteristik "terang pada dirinya' dan dapat "menjadikan yang lain
terang atau nampak." Di malam hari, alam begitu gelap gulita Namun kemunculan matahari
akan menyebabkan kegelapan malam tersebut sirna, dan digantikan oleh kemilau terang
benderang. Matahari adalah cahaya yang pada dirinya "telah terang dan menyebabkan yang
lain terang," seperti pada kasus bulan, atau paling tidak menjadi tampak seperti pada kasus
benda-benda yang ada di permukaan bumi, yang pada dirinya adalah gelap. Maka demikian
juga karakteristik ilmu. Ilmu pada hakikatnya adalah cahaya, seperti sabda Nabi. Dan sebagai
cahaya maka ia terang pada ciirinya, bisa menjadikan terang segala sesuatu yang remang-
remang dan geiap gulita, karena kebodohan. Orang yang tidak tahu ke mana jalan menuju Blok
M, maka bagiiiya jalan menuju Blok M menjadi sangat lebar dan panjang, bahkan gelap
walaupun saat itu adalah siang hari. Tetapi begitu ia melihat Peta atau mendapatkan "informasi"
(ilmu), maka seperti mendapatkan cahaya, jalan ke Blok M tiba-tiba menjadi terang dan tidak
lagi menjadi problem.
Kalau tadi kita berbicara tentang ilmu yang bersifat fisik, maka hal yang serupa juga bisa
diterapkan pada ilmu-ilmu yang lebih dalam dan batiniah sifatnya. Ada syair Arab yang
mengatakan "Barangsiapa beramal tidak dengan ilmu, maka amalannya ditolak atau tidak
diterima." Artinya tidak membawa hasil yang diharapkan. Hal ini bisa juga diterapkan dalam
bidang apa saja, baik bidang pertanian, bisnis, beribadah bahkan ber-mujhhadah. Melakukan
itu semua tanpa mengetahui ilmunya, ibarat bekerja di tempat yang gelap dan bisa dibayangkan
apa hasilnya. Al-Qur'an juga memberi tamsil bagi orang-orang yang tidak tahu dengan orang
buta, dan secara retorik bertanya "Apakah sarua orang buta dengan orarug yang melek?"
Jawabanya tentu saja tidak.
Dalam dunia mistik, ilmu pengetahuan yang disebut makrifat sering sekali dikaitkan
dengan simbolisme cahaya, yang disebutnya "Iluminasi" yaitu pencahayaan. Datangnya cahaya
dari langit (Tuhan) kadang mudah, kadang begitu sulit. Imam Al-Ghazali sendiri membutuhkan
lebih dari sepuluh tahun untuk mendapatkan iluminasi tersebut. Sebelum datangnya iluminasi
itu, hidup Al-Ghazali digambarkan penuh dengan kesangsian (syak), yang menggambarkan
"ketemaraman" atau bahkan "kegelapan" hatinya.
Tetapi sekali "ilurninasi" atau disebut juga "mukasyafah" disibakan ke dalam hatinya,
tiba-tiba ia menjadi terang benderang. Maka segala kesangsian yang ditimbulkan oleh
ketidaktahuan juga hilang seketika. Manakaia jalan inenuju kebenaran terbentang luas dan
terang di hadapannya, cahaya yang diperolehnya begitu terang sehingga ia juga mampu
menerangi hati orang lain yang temaram, beratus-ratus tahun setelah ia meninggaikan dunia
fana ini. Jadi bukan hanya terang pada dirinya sendiri tetapi bisa menerangi orang lain meialui
ilmu-ilmunya, sebuah karakteristik yang persis sama dengan yang dirniiiki oleh cahaya.
Dengan ini saya bei:harap telah menjadi jelas kiranya, dalam pemahaman kita, apa korelasi
yang ada antara ilmu dan cahaya.
BAB III
PENUTUP
A. Kesimpulan
1. Islamisasi ilmu pengetahuan adalah suatu proses pengembalian pemahaman yang
antagonistik terhadap Islam dan ilmu pengetahuan kepada pemahaman yang akomodatif
antara Islam dan ilmu pengetahuan.
2. Islamisasi bisa dilakukan dengan enam cara.
3. Langkah-langkah Islamisasi ilmu pengetahuan menurut Al-Attas:
a. Mengisolisir unsur-unsur dan konsep-konsep kunci yang membentuk budaya dan
peradaban Barat.
b. Memasukkan unsur-unsur Islam beserta konsep-konsep kunci dalam setiap bidang dari ilmu
pengetahuan saat ini yang relevan. Al-Attas menyarankan, agar unsur dan konsep utama
Islam mengambil alih unsur-unsur dan konsep-konsep asing tersebut.
4. Tokoh-tokoh Islamisasi:
a. Naquib al-Attas
b. Ismail Raji al-Faruqi
c. Sayyed Hossein Nasr
d. Maurice Bucaille
B. Saran-Saran
1. Makalah Metodelogi Study Islam ini diharapkan menjadi masukan dan bahan tambahan
dalam memahami perkara-perkara Islamisasi Ilmu Pengetahuan. Penulis juga mengharapkan
makalah ini dapat dikembangkan oleh para pembaca.
DAFTAR PUSTAKA
M. Zainuddin, Filsafat Ilmu: Persfektif Pemikian Islam, Malang: Bayu Media, 2003.