Prognosis
Prognosis
PENDAHULUAN
Cedera kepala merupakan kasus trauma yang sering ditemui oleh para ahli
bedah dan ahli bedah saraf. Umumnya ahli bedah tidak hanya dihadapkan pada
cedera kepala murni akan tetapi juga disertai cedera di regio lain. Trauma yang
mencakup lebih dari satu regio tersebut disebut sebagai trauma multipel. (Rengachary
kendaraan bermotor, terutama sepeda motor dan tidak disiplinnya perilaku pengguna
kecacatan. Hampir setengah dari seluruh kematian karena trauma disebabkan oleh
trauma kepala, hal ini disebabkan karena kepala merupakan bagian yang tersering dan
produktif, yaitu antara 15-44 tahun ( rata-rata sekitar tiga puluh tahun ). Kejadian
pada laki-laki empat kali dibandingkan pada wanita. Adapun penyebab yang tersering
adalah kecelakaan lalu lintas dan kemudian disusul dengan jatuh. Hingga saat ini
trauma kepala merupakan tantangan umum bagi dunia medis, dimana tampaknya
1
2
keberlangsungan proses patofisiologi yang saat ini bisa diungkapkan dengan segala
bentuk kemajuan pemeriksaan diagnostik medis mutakhir ternyata bukanlah suatu hal
lapisan kulit kepala atau lapisan yang paling luar, tulang tengkorak, durameter,
vaskuler otak sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka yang menutup
atas yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan tepat, diharapkan dapat
Giannoudis:2004)
proses yang statis. Begitu satu masalah teratasi , akan muncul masalah yang lain dan
sepsis atau gagal organ (Multipel Organ Dysfunction Syndrom) justru bisa menjadi
penyebab kematian yang lambat. Oleh karena itu, pengawasan penuh tetap harus
dipertahankan dan pasien trauma harus dire-evaluasi secara konstan. Begitu juga
pemeriksaan serial yang cepat, tepat dan noninvasive diharapkan dapat menunjukkan
50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka dalam evaluasi klinis perlu
atau sistem skoring merupakan hal yang penting dalam menangani pasien dengan
trauma multipel. Skoring trauma pada awalnya dibuat di negara maju untuk
trauma tempat pasien harus dirujuk. Selain itu skor trauma digunakan untuk
mengevaluasi derajat keparahan suatu trauma, menilai tingkat kerusakan (harm) pada
tubuh pasien, serta menilai prognosis akibat cedera traumatik. Pada perkembangan
obyektif yang akan berguna bagi sistem asuransi. Skor trauma juga menjadi suatu
sistem yang secara epidemiologi dapat mengevaluasi kinerja sebuah pusat trauma
menilai derajat keparahan dan prognosis cedera yang dialami pasien. Di antara sekian
banyak sistem skoring, maka sistem yang memiliki penilaian paling sederhana baik
dari segi data yang diambil maupun cara penghitungannya, antara lain sistem
Glasgow Coma Scale (GCS), Revised Trauma Score (RTS), triage Revised Trauma
Score (tRTS) dan Glasgow Coma Scale, Age and Systolic Blood Pressure
4
(GAP),serta Mechanism, Glasgow Coma Scale, Age and Systolic Blood Pressure
B. Perumusan masalah
pemeriksaan serial yang cepat, tepat dan noninvasive diharapkan dapat menunjukkan
50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka dalam evaluasi klinis perlu
Giannoudis PV:2004)
Di rumah sakit daerah yang jauh dari pusat trauma atau tidak memiliki
alat CT scan, para ahli bedah hanya bisa mengandalkan keadaan klinis dan sistem
skoring sederhana dalam memprediksi ada tidaknya lesi intrakranial pada pasien –
pasien cedera kepala, khususnya yang disertai trauma multipel dan penurunan
kesadaran. Terdapat beberapa sistem skoring untuk menilai pasien dengan trauma
multipel antara lain Revised Trauma Score (RTS), Abbreviated Injury Scale (AIS),
Injury Severity Score (ISS), Trauma Injury Severity Score (TRISS),dan A Severity
cedera kepala serta untuk menentukan terapi dan prognosis cedera kepala digunakan
Pada kasus – kasus trauma multipel, skor GCS digunakan sebagai skor
terjadinya penurunan kesadaran atau keparahan cedera kepala sehingga akurasi GCS
pada kondisi trauma multipel menjadi bias dalam menilai apakah penurunan
kesadaran pada trauma multipel disebabkan lesi intrakranial atau faktor ekstrakranial.
Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah sistem skoring GCS atau sistem skor
trauma multipel lainnya yang selama ini telah banyak dikenal, dapat secara akurat
memprediksi adanya lesi intrakranial pada trauma multipel yang disertai penurunan
kesadaran, dan sistem skor mana yang paling baik akurasinya sebagai prediktor lesi
Pada kejadian cedera kepala ringan dan sedang hanya 3-5% yang
memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dirawat secara konservatif. Hasil
yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,
intrakranial. Dalam penelitian ini akan melihat bagaimana validasi berbagai trauma
skor sebagai prediktor fungsi kognitif dari pasien dengan trauma multipel disertai
C. Keaslian Penelitian
mengevaluasi system skor GCS, RTS, tRTS, GAP dan MGAP terhadap hasil CT
Scan kepala sebagai prediktor lesi intrakranial pada pasiesn trauma multipel trauma
dengan cedera kepala yang disertai dengan penurunan kesadaran. Hasil penelitian
menyebutkan bahwa skor GCS, RTS dan tRTS sebagai prediktor lesi intrakranial
pasien cedera kepala pada multipel trauma mempunyai sensitivitas 87%, spesifisitas
50%, PPV 93% dan OR : 6,75 (95% CI:0,731-62,369) P:0,128. Skore GAP
mempunyai sensitivitas 58%, spesifisitas 25%, PPV 25%, NVP 25% dan OR : 0,462
spesifisitas 25%, PPV 85%, NVP: 7% dan OR : 0,405 (95% CI:0,038-4,335) P:0,619.
Sistem skor GCS memiliki tingkat akurasi yang rendah sebagai predictor dalam
menilai lesi intracranial kasus cedera kepala pada trauma multipel yang disertai
penurunan kesadaran. Sistem skor GCS, RTS dan tRTS memiliki nilai akurasi sama
sebagai prediktor lesi intracranial kasus cedera kepala pada trauma multipel, akan
tetapi lebih baik dibanding system skor GAP dan MGAP dalam menilai lesi
Andi Ebiet Krisandi, Wasito Utomo dan Ganis Indriati pada tahun
2013 meneliti gambaran status kognitif pada pasien cedera kepala yang telah
Skala MMSE yang dipakai versi Ginsberg (2005) dengan 6 domain yaitu : orientasi,
7
responden berada pada usia dewasa (17-39 tahun ). Berdasarkan jenis cedera kepala
yang dialami penderita mayoritas penderita mengalami cedera kepala ringan dengan
diijinkan pulang di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru didapatkan tidak ada responden
Sebagian besar responden memiliki tingkat orientasi tidak penuh yaitu sebanyak 20
(76,7%).
Abdul Muis, Cahyono Kaelan dan Idham Jaya Ganda meneliti hubungan amnesia
post trauma kepala dengan gangguan neurobehaviour pada penderita cedera kepala
ringan dan berat. Penelitian ini merupakan cross sectional yang dilakukan pada 75
subyek penderita cedera kepala ringan dan sedang yang mengalami dan tidak
jejaringnya dari bulan September 2012 sampai April 2013. Pada kelompok penelitian
dilakukan pemeriksaan neurologis pada hari ke-14 post cedera kepala dengan
jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Tingginya nilai media
total skor NRS pada penderita amnesia post trauma kepala 10,4 dan yang tidak
adalah atensi, defisit memori dan cepat lelah dan pada faktor gejala somatik yaitu
gejala fisik. Penelitian ini menerangkan terdapat hubungan amnesia post trauma
yang dirawat di bangsal Neurologi RSUP Adam Malik Medan dengan diagnose
penelitian ini. Pada seluruh pasien dilakukan perhitungan Glasgow Coma Scale dan
Scale (GOS) dan Neurobehaviour Rating Scale (NRS) dilakukan saat keluar rumah
sakit.
pasien SDH akut yang dilakukan operasi dilakukan pencatatan GCS pada saat awal
masuk dan jarak waktu cedera kepala sampai dilakukan operasi, kemudian dinilai
Glasgow Outcome Scale pasca Operasi pada saat pasien dipulangkan.. Hasil yang
diperoleh dari 23 kasus SDH akut yang dioperasi, secara statistic hubungan antara
9
GCS saat awal masuk dengan nilai GOS adalah lemah dan tidak bermakna (p = 0,06;
r = 0,41) dan hubungan antara jarak waktu setelah cedera kepala sampai dilakukan
operasi dengan nilai GOS adalah sangat kuat dan signifikan(p0,001; r=(-
operasi, maka semakin baik prognosisnya. Kesimpulannya bahwa jarak waktu setelah
Pada tahun 1997, Bryan Jennet meneliti hasil akhir pasien dengan
cedera kepala berat. Dimana hasil akhir yang dinilai diklasifikasikan dalam lima
vegetative dan 5.Mati. Gerrard M Ribbers pada cedera ringan, cedera sedang dan
cedera berat.
outcome berupa usia,GCS awal, ada tidaknya hipotensi (<90 mmHg), reflek cahaya,
dan hasil CT scan kepala (evaluasi gambaran sisterna dan lesi di otak) Pasien tersebut
yang bukan diindikasikan operasi dirawat sesuai standar perawatan konservatif sesuai
derajat cedera kepalanya. Kemudian pada hari ke-14 diambil data outcome pasien
Indeks Barthel untuk menentukan hubungan kedua variable tersebut. Didapati usia
(asymp. Syg= 0,002), tekanan darah sistolik (asymp. Symp = 0,000), reflek cahaya
pupil (asymp. Syg=0,000) memiliki hubungan dengan skor Barthel. Tidak dijumpai
adanya hubungan antara GCS awal (asymp. Syg= 0,268) dan Gambaran CT scan
aspek penilaian pada trauma score yaitu usaha bernafas dan pengisian kapiler. Data
yang dinilai dalam RTS yaitu GCS, frekuensi nafas, dan tekanan sistolik. Triage RTS
manusia. Penilaian RTS berdasarkan GCS, tekanan darah sistolik dan frekuensi napas
pasien. Instrumen RTS ini merupakan hasil dari penyempurnaan instrument GCS
untuk menilai kondisi awal pasien trauma kepala. Penilaian RTS dilakukan untuk
menilai kondisi awal pasien trauma kepala. Penilaian RTS dilakukan segera setelah
pasien cedera, umumnya saat sebelum masuk rumah sakit atau ketika berada di unit
gawat darurat. Revised Trauma Score sudah divalidasi sebagai metode penilaian
untuk membedakan pasien yang mempunyai prognosis baik atau buruk. Penilaian
RTS dapat mengidentifikasi lebih dari 97%orang yang akan meninggal jika tidak
memperkirakan prognosis secara lebih akurat jika digunakan untuk pasien trauma
kepala berat dan pasien dengan poli trauma. (11,14) Kemampuan RTS dalam
K, Lossius HM:2011)
Scale, Age and Systolic Blood Pressure. Sistem skoring ini merupakan modifikasi
sistem MGAP – Mechanism GAP yang diperkenalkan oleh Sartorius et al. dengan
harapan lebih baik dari trauma skor dan lebih sederhana dalam penghitungannya
dibanding RTS. (Kondo Y, Abe T, Kohshi K, Tokuda Y, Cook EF, Kukita I:2011)
dan telah banyak digunakan sebagai standar untuk menilai derajat kesadaran pasien
berdasarkan tiga respon fisiologik meliputi membuka mata, motorik dan verbal. GCS
mudah digunakan dalam praktik sehari – hari dan dimanapun. (Matis G, Birbilis T,
Yogyakarta melakukan penelitian terkait penilaian trauma skor yaitu skoring trauma
pada pasien trauma multipel dengan metode Trauma and Injury Severity Score. Akan
tetapi penelitian ini lebih menitikberatkan penilaian sistem TRISS pada trauma
multipel dan tidak mengevaluasi lebih jauh mengenai kondisi cedera kepalanya.
tetapi, belum ada yang meneliti jenis sistem skoring mana yang lebih akurat untuk
12
memprediksi fungsi kognitif pada pasien multipel trauma dengan disertai cedera
kepala sedang.
D. Tujuan Penelitian
skor sebagai prediktor fungsi kognitif pasien dengan multipel trauma yang disertai
E. Manfaat Penelitian
berbagai trauma skor sebagai prediktor fungsi kognitif pasien dengan multipel trauma
tentang fungsi kognitif pada pasien dengan multipel trauma yang disertai cedera
kepala sedang yang dikaitkan dengan sistem skoring . Selain itu, secara klinis hasil
penelitian ini diharapkan akan menambah acuan bagi dokter bedah dalam
menentukan pilihan sistem skor sederhana untuk menilai cedera kepala sedang pada