Anda di halaman 1dari 12

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang Penelitian

Cedera kepala merupakan kasus trauma yang sering ditemui oleh para ahli

bedah dan ahli bedah saraf. Umumnya ahli bedah tidak hanya dihadapkan pada

cedera kepala murni akan tetapi juga disertai cedera di regio lain. Trauma yang

mencakup lebih dari satu regio tersebut disebut sebagai trauma multipel. (Rengachary

SS, Ellenbogen RG:2005)

Seiring dengan kemajuan dan teknologi frekuensi terjadinya trauma

kepala semakin meningkat. Hal ini disebabkan karena bertambahnya jumlah

kendaraan bermotor, terutama sepeda motor dan tidak disiplinnya perilaku pengguna

kendaraan bermotor. Trauma kepala merupakan penyebab utama kematian dan

kecacatan. Hampir setengah dari seluruh kematian karena trauma disebabkan oleh

trauma kepala, hal ini disebabkan karena kepala merupakan bagian yang tersering dan

rentan terlibat dalam suatu kecelakaan. (Wongsirisuwan M:2003)

Distribusi kasus cedera kepala lebih banyak melibatkan kelompok usia

produktif, yaitu antara 15-44 tahun ( rata-rata sekitar tiga puluh tahun ). Kejadian

pada laki-laki empat kali dibandingkan pada wanita. Adapun penyebab yang tersering

adalah kecelakaan lalu lintas dan kemudian disusul dengan jatuh. Hingga saat ini

trauma kepala merupakan tantangan umum bagi dunia medis, dimana tampaknya

1
2

keberlangsungan proses patofisiologi yang saat ini bisa diungkapkan dengan segala

bentuk kemajuan pemeriksaan diagnostik medis mutakhir ternyata bukanlah suatu hal

yang sederhana. (ATLS:2004)

Trauma kepala dapat melibatkan seluruh struktur lapisan, mulai dari

lapisan kulit kepala atau lapisan yang paling luar, tulang tengkorak, durameter,

vaskuler otak sampai jaringan otaknya sendiri, baik berupa luka yang menutup

maupun trauma yang menembus kulit hingga tengkoraknya. Dengan memahami

landasan biomekanisme patofisiologi yang lebih rinci dari masing-masing proses di

atas yang dihadapkan dengan prosedur penanganan cepat dan tepat, diharapkan dapat

menekan morbiditas dan mortalitasnya. (Chawda MN, Hildebrand F, Pape HC,

Giannoudis:2004)

Pasien – pasien dengan multipel trauma membutuhkan penilaian yang

berkelanjutan untuk memastikan prioritas .Bagaimanapun juga, trauma bukanlah

proses yang statis. Begitu satu masalah teratasi , akan muncul masalah yang lain dan

underlying medical problem lainnya bisa meningkat kepentingannya. Sebagai contoh,

sepsis atau gagal organ (Multipel Organ Dysfunction Syndrom) justru bisa menjadi

penyebab kematian yang lambat. Oleh karena itu, pengawasan penuh tetap harus

dipertahankan dan pasien trauma harus dire-evaluasi secara konstan. Begitu juga

dengan pendekatan terapetik harus terus diawasi untuk meningkatkan probabilitas

kesembuhan pasien. (ATLS:2004)

Pemeriksaan klinis tetap merupakan hal yang paling komprehensif dalam

evaluasi diagnostik penderita-penderita trauma kepala, dimana dengan pemeriksaan-


3

pemeriksaan serial yang cepat, tepat dan noninvasive diharapkan dapat menunjukkan

progresivitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan tersebut.

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan/cedera sistemik penyerta ( lebih dari

50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka dalam evaluasi klinis perlu

diperhatikan. (Chawda MN, Hildebrand F, Pape HC, Giannoudis:2004)

Pengertian dasar terhadap sistem penentuan derajat keparahan penyakit

atau sistem skoring merupakan hal yang penting dalam menangani pasien dengan

trauma multipel. Skoring trauma pada awalnya dibuat di negara maju untuk

memudahkan seorang triase prehospital dalam membuat keputusan jenis pusat

trauma tempat pasien harus dirujuk. Selain itu skor trauma digunakan untuk

mengevaluasi derajat keparahan suatu trauma, menilai tingkat kerusakan (harm) pada

tubuh pasien, serta menilai prognosis akibat cedera traumatik. Pada perkembangan

selanjutnya, skor trauma digunakan untuk mengidentifikasi kasus trauma secara

obyektif yang akan berguna bagi sistem asuransi. Skor trauma juga menjadi suatu

sistem yang secara epidemiologi dapat mengevaluasi kinerja sebuah pusat trauma

guna memperbaiki kualitas pelayanan kesehatan . (Champion HR:2002)

Dengan fasilitas minimal, sistem skoring menjadi sangat diperlukan untuk

menilai derajat keparahan dan prognosis cedera yang dialami pasien. Di antara sekian

banyak sistem skoring, maka sistem yang memiliki penilaian paling sederhana baik

dari segi data yang diambil maupun cara penghitungannya, antara lain sistem

Glasgow Coma Scale (GCS), Revised Trauma Score (RTS), triage Revised Trauma

Score (tRTS) dan Glasgow Coma Scale, Age and Systolic Blood Pressure
4

(GAP),serta Mechanism, Glasgow Coma Scale, Age and Systolic Blood Pressure

(MGAP). (Russel RJ, Hodgetts Tj, McLeod, 2011)

B. Perumusan masalah

Pemeriksaan klinis tetap merupakan hal yang paling komprehensif dalam

evaluasi diagnostik penderita-penderita trauma kepala, dimana dengan pemeriksaan-

pemeriksaan serial yang cepat, tepat dan noninvasive diharapkan dapat menunjukkan

progresivitas atau kemunduran dari proses penyakit atau gangguan tersebut.

Sehubungan dengan tingginya insidensi kelainan/cedera sistemik penyerta ( lebih dari

50%) pada kasus-kasus cedera kepala berat, maka dalam evaluasi klinis perlu

diperhatikan hal-hal sebagai berikut. (Chawda MN, Hildebrand F, Pape HC,

Giannoudis PV:2004)

Di rumah sakit daerah yang jauh dari pusat trauma atau tidak memiliki

alat CT scan, para ahli bedah hanya bisa mengandalkan keadaan klinis dan sistem

skoring sederhana dalam memprediksi ada tidaknya lesi intrakranial pada pasien –

pasien cedera kepala, khususnya yang disertai trauma multipel dan penurunan

kesadaran. Terdapat beberapa sistem skoring untuk menilai pasien dengan trauma

multipel antara lain Revised Trauma Score (RTS), Abbreviated Injury Scale (AIS),

Injury Severity Score (ISS), Trauma Injury Severity Score (TRISS),dan A Severity

Characterisation Of Trauma (ASCOT), sedangkan untuk menilai derajat keparahan

cedera kepala serta untuk menentukan terapi dan prognosis cedera kepala digunakan

sistem skor GCS.( Yates DW:1990)


5

Pada kasus – kasus trauma multipel, skor GCS digunakan sebagai skor

tunggal dan tidak mengikutsertakan penilaian lain yang mungkin mempengaruhi

terjadinya penurunan kesadaran atau keparahan cedera kepala sehingga akurasi GCS

pada kondisi trauma multipel menjadi bias dalam menilai apakah penurunan

kesadaran pada trauma multipel disebabkan lesi intrakranial atau faktor ekstrakranial.

Hal ini menimbulkan pertanyaan, apakah sistem skoring GCS atau sistem skor

trauma multipel lainnya yang selama ini telah banyak dikenal, dapat secara akurat

memprediksi adanya lesi intrakranial pada trauma multipel yang disertai penurunan

kesadaran, dan sistem skor mana yang paling baik akurasinya sebagai prediktor lesi

intrakranial pada trauma multipel.

Pada kejadian cedera kepala ringan dan sedang hanya 3-5% yang

memerlukan tindakan operasi kurang lebih 40% dirawat secara konservatif. Hasil

yang ingin dicapai dari operasi adalah kembalinya pergeseran garis tengah,

kembalinya tekanan intracranial ke dalam batas normal, control pendarahan dan

mencegah pendarahan ulang. Indikasi operasi pada cedera kepala harus

mempertimbangkan : status neurologis, status radiologis dan pengukuran tekanan

intrakranial. Dalam penelitian ini akan melihat bagaimana validasi berbagai trauma

skor sebagai prediktor fungsi kognitif dari pasien dengan trauma multipel disertai

cedera kepala sedang.


6

C. Keaslian Penelitian

Pada tahun 2012, Poppy Laurina mengadakan penelitian untuk

mengevaluasi system skor GCS, RTS, tRTS, GAP dan MGAP terhadap hasil CT

Scan kepala sebagai prediktor lesi intrakranial pada pasiesn trauma multipel trauma

dengan cedera kepala yang disertai dengan penurunan kesadaran. Hasil penelitian

menyebutkan bahwa skor GCS, RTS dan tRTS sebagai prediktor lesi intrakranial

pasien cedera kepala pada multipel trauma mempunyai sensitivitas 87%, spesifisitas

50%, PPV 93% dan OR : 6,75 (95% CI:0,731-62,369) P:0,128. Skore GAP

mempunyai sensitivitas 58%, spesifisitas 25%, PPV 25%, NVP 25% dan OR : 0,462

(95% CI:0,043-4,952) P:0,635. Skore MGAP mempunyai sensitivitas 55%,

spesifisitas 25%, PPV 85%, NVP: 7% dan OR : 0,405 (95% CI:0,038-4,335) P:0,619.

Sistem skor GCS memiliki tingkat akurasi yang rendah sebagai predictor dalam

menilai lesi intracranial kasus cedera kepala pada trauma multipel yang disertai

penurunan kesadaran. Sistem skor GCS, RTS dan tRTS memiliki nilai akurasi sama

sebagai prediktor lesi intracranial kasus cedera kepala pada trauma multipel, akan

tetapi lebih baik dibanding system skor GAP dan MGAP dalam menilai lesi

intracranial pada trauma mutipel.

Andi Ebiet Krisandi, Wasito Utomo dan Ganis Indriati pada tahun

2013 meneliti gambaran status kognitif pada pasien cedera kepala yang telah

diijinkan pulang di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru, dimana pemeriksaan kognitif

menggunakan pemeriksaan sederhana yaitu mini mental state examination (MMSE).

Skala MMSE yang dipakai versi Ginsberg (2005) dengan 6 domain yaitu : orientasi,
7

registrasi, atensi, mengingat kembali, bahasa dan meniru. Hasil penelitian

menunjukkan mayoritas responden berjanis kelamin laki-laki yaitu berjumlah 19

responden berada pada usia dewasa (17-39 tahun ). Berdasarkan jenis cedera kepala

yang dialami penderita mayoritas penderita mengalami cedera kepala ringan dengan

jumlah 24 responden (80%). Berdasarkan status kognitif responden yang sudah

diijinkan pulang di RSUD Arifin Achmad Pekanbaru didapatkan tidak ada responden

yang mengalami status kognitf dementia dengan jumlah 30 responden (100%).

Sebagian besar responden memiliki tingkat orientasi tidak penuh yaitu sebanyak 20

responden (66,7%). Seluruh responden memiliki registrasi penuh yatu 30 responden

(100%). Seluruh responden memiliki atensi/perhatian penuh yaitu 30 responden

(100%). Mayoritas responden memiliki kemampuan mengingat kembali yaitu 26

responden (86,7%). Mayoritas responden memiliki kemampuan dalam bahasa yaitu

29 responden (96,7%). Sebagian besar responden tidak mampu yaitu 23 responden

(76,7%).

Pada tahun 2013 Siti Zainab, Louis Kwandou, Muhammad Akbar,

Abdul Muis, Cahyono Kaelan dan Idham Jaya Ganda meneliti hubungan amnesia

post trauma kepala dengan gangguan neurobehaviour pada penderita cedera kepala

ringan dan berat. Penelitian ini merupakan cross sectional yang dilakukan pada 75

subyek penderita cedera kepala ringan dan sedang yang mengalami dan tidak

mengalami amnesia post trauma di rumah sakit Wahidin Sudirihusodo dan

jejaringnya dari bulan September 2012 sampai April 2013. Pada kelompok penelitian

dilakukan pemeriksaan dengan Galveston Orientation Amnesia Test (GOAT) dan


8

dilakukan pemeriksaan neurologis pada hari ke-14 post cedera kepala dengan

menggunakan Neurobehaviour Rating Scale (NRS). Hasil penelitian menunjukkan

jenis kelamin laki-laki lebih banyak dibandingkan perempuan. Tingginya nilai media

total skor NRS pada penderita amnesia post trauma kepala 10,4 dan yang tidak

mengalami gangguan neurobehaviour 2,6. Faktor kognisi yang banyak terganggu

adalah atensi, defisit memori dan cepat lelah dan pada faktor gejala somatik yaitu

gejala fisik. Penelitian ini menerangkan terdapat hubungan amnesia post trauma

kepala dengan gangguan neurobehaviour.

Silvina Asrini pada tahun 2008 meneliti seluruh pasien konsekutif

yang dirawat di bangsal Neurologi RSUP Adam Malik Medan dengan diagnose

trauma kapitis akut ringan-sedang. Karakteristik demografi turut dicatat dalam

penelitian ini. Pada seluruh pasien dilakukan perhitungan Glasgow Coma Scale dan

dilakukan CT Scan dan beberapa parameter laboratorium. Setelah pasien sadar

dilakukan pemeriksaan Post Traumatic Amnesia dengan menggunakan Test Orientasi

dan Amnesia Galveston (TOAG). Penilaian outcome dengan Glasgow Outcome

Scale (GOS) dan Neurobehaviour Rating Scale (NRS) dilakukan saat keluar rumah

sakit.

Pada tahun 2012, Eri Darmawan melakukan penelitian dimana seluruh

pasien SDH akut yang dilakukan operasi dilakukan pencatatan GCS pada saat awal

masuk dan jarak waktu cedera kepala sampai dilakukan operasi, kemudian dinilai

Glasgow Outcome Scale pasca Operasi pada saat pasien dipulangkan.. Hasil yang

diperoleh dari 23 kasus SDH akut yang dioperasi, secara statistic hubungan antara
9

GCS saat awal masuk dengan nilai GOS adalah lemah dan tidak bermakna (p = 0,06;

r = 0,41) dan hubungan antara jarak waktu setelah cedera kepala sampai dilakukan

operasi dengan nilai GOS adalah sangat kuat dan signifikan(p0,001; r=(-

)0,66),dimana semakin cepat penderita pendarahan subdural akut dilakukan tindakan

operasi, maka semakin baik prognosisnya. Kesimpulannya bahwa jarak waktu setelah

cedera kepala sampai dilakukan operasi diperkirakan dapat digunakan sebagai

prediktor prognosis penderita pendarahan subdural akut.

Pada tahun 1997, Bryan Jennet meneliti hasil akhir pasien dengan

cedera kepala berat. Dimana hasil akhir yang dinilai diklasifikasikan dalam lima

kategori : 1. Sembuh sempurna, 2. Disabilitas sedang, 3.Disabilitas berat, 4.Status

vegetative dan 5.Mati. Gerrard M Ribbers pada cedera ringan, cedera sedang dan

cedera berat.

Pada tahun 2011 Bambang Prayugo, meneliti pasien cedera kepala

sedang-berat yang masuk ke IGD diambil data factor-faktor yang menentukan

outcome berupa usia,GCS awal, ada tidaknya hipotensi (<90 mmHg), reflek cahaya,

dan hasil CT scan kepala (evaluasi gambaran sisterna dan lesi di otak) Pasien tersebut

yang bukan diindikasikan operasi dirawat sesuai standar perawatan konservatif sesuai

derajat cedera kepalanya. Kemudian pada hari ke-14 diambil data outcome pasien

dengan menggunakan skor Indeks Barthel. Kemudian dianalisa ada tidaknya

hubungan factor-faktor tersebut dengan outcome penderita Hasil:Total 46 penderita

cedera kepala sedang-berat menjalani perawatan konservatif. Kelima fkctor penentu

outcome dianalisa statistic menggunakan tabulasi silang Chi-Square dengan skor


10

Indeks Barthel untuk menentukan hubungan kedua variable tersebut. Didapati usia

(asymp. Syg= 0,002), tekanan darah sistolik (asymp. Symp = 0,000), reflek cahaya

pupil (asymp. Syg=0,000) memiliki hubungan dengan skor Barthel. Tidak dijumpai

adanya hubungan antara GCS awal (asymp. Syg= 0,268) dan Gambaran CT scan

kepala (asymp. Syg= 0,051) dengan skor Indeks Barthel.

Tahun 1980an Revised Trauma Score (RTS) diperkenalkan oleh

Champion et al. RTS diharapkan mampu mengatasi subyektivitas yang diakibatkan 2

aspek penilaian pada trauma score yaitu usaha bernafas dan pengisian kapiler. Data

yang dinilai dalam RTS yaitu GCS, frekuensi nafas, dan tekanan sistolik. Triage RTS

digunakan untuk menyederhanakan sistem triase berdasarkan skoring trauma RTS,

dimana penghitungannya berdasarkan jumlah masing – masing komponen tanpa

memasukkannya dalam rumus. 6,8,11,12

Revised Trauma Score (RTS) menilai secara keseluruhan sistem fisiologis

manusia. Penilaian RTS berdasarkan GCS, tekanan darah sistolik dan frekuensi napas

pasien. Instrumen RTS ini merupakan hasil dari penyempurnaan instrument GCS

untuk menilai kondisi awal pasien trauma kepala. Penilaian RTS dilakukan untuk

menilai kondisi awal pasien trauma kepala. Penilaian RTS dilakukan segera setelah

pasien cedera, umumnya saat sebelum masuk rumah sakit atau ketika berada di unit

gawat darurat. Revised Trauma Score sudah divalidasi sebagai metode penilaian

untuk membedakan pasien yang mempunyai prognosis baik atau buruk. Penilaian

RTS dapat mengidentifikasi lebih dari 97%orang yang akan meninggal jika tidak

mendapat perawatan.(14) Revised Trauma Score mudah dilakukan dan dapat


11

memperkirakan prognosis secara lebih akurat jika digunakan untuk pasien trauma

kepala berat dan pasien dengan poli trauma. (11,14) Kemampuan RTS dalam

menentukan kondisi yang membahayakan adalah 76,9%. (Rehn M, Perel P, Blackhall

K, Lossius HM:2011)

Tahun 2011 Kondo et al. memperkenalkan sistem GAP –Glasgow Coma

Scale, Age and Systolic Blood Pressure. Sistem skoring ini merupakan modifikasi

sistem MGAP – Mechanism GAP yang diperkenalkan oleh Sartorius et al. dengan

harapan lebih baik dari trauma skor dan lebih sederhana dalam penghitungannya

dibanding RTS. (Kondo Y, Abe T, Kohshi K, Tokuda Y, Cook EF, Kukita I:2011)

Glasgow Coma Scale (GCS) sendiri diperkenalkan sejak tahun 1970an,

dan telah banyak digunakan sebagai standar untuk menilai derajat kesadaran pasien

berdasarkan tiga respon fisiologik meliputi membuka mata, motorik dan verbal. GCS

mudah digunakan dalam praktik sehari – hari dan dimanapun. (Matis G, Birbilis T,

The Glasgow Coma Scale:2008)

Pada tahun 2005, Ade Sigit Mayangkoro di RS Dr. Sardjito/ FK UGM

Yogyakarta melakukan penelitian terkait penilaian trauma skor yaitu skoring trauma

pada pasien trauma multipel dengan metode Trauma and Injury Severity Score. Akan

tetapi penelitian ini lebih menitikberatkan penilaian sistem TRISS pada trauma

multipel dan tidak mengevaluasi lebih jauh mengenai kondisi cedera kepalanya.

Banyak penelitian yang membandingkan berbagai sistem skoring. Akan

tetapi, belum ada yang meneliti jenis sistem skoring mana yang lebih akurat untuk
12

memprediksi fungsi kognitif pada pasien multipel trauma dengan disertai cedera

kepala sedang.

D. Tujuan Penelitian

Penelitian ini bertujuan untuk mengetahui bagaimana berbagai trauma

skor sebagai prediktor fungsi kognitif pasien dengan multipel trauma yang disertai

cedera kepala sedang.

E. Manfaat Penelitian

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan manfaat untuk mengetahui

berbagai trauma skor sebagai prediktor fungsi kognitif pasien dengan multipel trauma

yang disertai cedera kepala sedang.

F. Sumbangan Dari Aspek Teoritis dan Terapan Klinis

Hasil penelitian ini diharapkan memberikan tambahan pengetahuan

tentang fungsi kognitif pada pasien dengan multipel trauma yang disertai cedera

kepala sedang yang dikaitkan dengan sistem skoring . Selain itu, secara klinis hasil

penelitian ini diharapkan akan menambah acuan bagi dokter bedah dalam

menentukan pilihan sistem skor sederhana untuk menilai cedera kepala sedang pada

kasus trauma multipel.

Anda mungkin juga menyukai