Anda di halaman 1dari 57

Presentasi Kasus Rehabilitasi Medik

SEORANG ANAK PEREMPUAN 14 BULAN DENGAN CEREBRAL


PALSY TIPE SPASTIK DAN PENYAKIT DEFISIENSI IMUN PRIMER

Oleh :
Oki Saraswati Utomo
G99161069

Pembimbing :
dr. Yunita Fatmawati, Sp. KFR

KEPANITERAAN KLINIK REHABILITASI MEDIK FAKULTAS


KEDOKTERAN UNS / RUMAH SAKIT DR. MOEWARDI
SURAKARTA
2017

1
BAB I

STATUS PENDERITA

I. ANAMNESIS
A. Identitas Pasien
Nama : An SE
Umur : 14 bulan
Jenis kelamin : Perempuan
Agama : Islam
Alamat : Sukoharjo, Jawa Tengah
Tanggal masuk : 20 Oktober 2017
Tanggal periksa : 23 Oktober 2017
No CM : 0139xxxx
Kamar : Bangsal Melati 2 kamar 3

B. Keluhan Utama
Pasien datang dengan keluhan muntah-muntah.

C. Riwayat Penyakit Sekarang (alloanamnesis)


Pasien datang dengan keluhan muntah setelah minum susu sejak 1 hari SMRS.
Muntah didahuluhi dengan batuk. Muntah berisi cairan susu dengan jumlah kurang
lebih 50 ml. Pasien juga mengeluh adanya batuk yang disertai dengan lendir
berwarna putih keruh sejak 1 minggu SMRS. Batuk hilang timbul, terkadang
disertai dengan pilek.
Pasien juga sering mengalami demam naik turun sejak pasien berusia 8 bulan.
dengan suhu paling tinggi 400 C. Demam tidak sembuh apabila diberi penurun panas.
Demam tidak disertai dengan kejang. Pasien juga menderita mencret 3 hari SMRS.
selama 2 hari dengan frekuensi BAB 3 kali per hari, konsistensi seperti bubur, warna
kuning, sebanyak kurang lebih ½ gelas aqua. 1 hari SMRS pasien sudah tidak mencret.
BAK tidak ada keluhan.
Ibu pasien juga mengeluhkan bahwa 1 bulan ini kemampuan menghisap ASI
pasien menurun. Pasien hanya mau minum ASI sedikit. Pasien belum bisa makan
makanan lunak seperti bubur bayi. Selain ASI, pasien juga diberikan susu F100

2
8x80 ml, namun apabila diberikan lebih dari 5 sendok, pasien batuk dan muntah.
Pasien tidak mau makan dan minum setelah muntah.
Saat ini pasien sudah dapat tengkurap, namun belum dapat duduk. Ibu pasien
juga mengeluhkan kedua kaki pasien kaku sehinga pasien belum bisa berdiri, dan
berjalan. Pasien juga kurang memberikan respon terhadap suara dan belum bisa
bicara maupun mengeluarkan kata-kata.
Pasien sebelumnya sudah pernah dirawat di RSUD Dr.Moewardi dengan
meningitis saat pasien berusia 6 bulan dan sudah menjalani pengobatan. Ibu pasien
juga mengatakan bahwa pasien memerupakan penderita hipotiroid kongenital dan
mendapatkan terapi levotiroksin 20 mcg/24 jam per oral. Lalu pada usia 8 bulan
pasien kembali dirawat dengan keluhan demam dan didiagnosa dengan
imunodefisiensi primer.

D. Riwayat Penyakit Dahulu


Riwayat trauma : disangkal
Riwayat alergi obat/makanan : (+) alergi susu sapi
Riwayat asma : disangkal
Riwayat mondok : (+) 3x di RSDM dengan diagnosa
imunodefisiensi primer
Riwayat meningitis : (+) 8 bulan yang lalu
Riwayat sakit kuning : (+) saat usia 1 mingu
Riwayat hipotiroid kongenital dalam terapi levotiroksin 20 mcg/24 jam per oral
E. Riwayat Penyakit Keluarga
Riwayat sakit jantung : disangkal
Riwayat sakit kencing manis : disangkal
Riwayat sakit serupa : disangkal
Riwayat sakit asma : (+) Ibu pasien

F. Riwayat Kehamilan dan Persalinan


Riwayat kehamilan : Pasien adalah anak kedua dari dua bersaudara.
Pasien dikandung selama 39 minggu. Selama
kehamilan ibu pasien rutin melakukan ANC ke
bidan. Selama kehamilan ibu pasien makan 3
kali sehari dengan menu bervariasi (ibu pasien

3
mengkonsumsi telur, tahu, tempe, sayur-mayur
serta buah-buahan).
Riwayat sakit infeksi saat hamil : disangkal
Riwayat keguguran : disangkal
Riwayat Persalinan : Pasien dilahirkan secara sectio caesarea.
Pasien lahir dengan berat badan 3000 gram
panjang badan saat lahir 46 cm, bayi langsung
menangis. Tidak ditemukan kelainan saat lahir.

G. Status Imunisasi
Jenis Imunisasi : Umur pemberian
Hepatitis B : Saat lahir, 2 bulan
BCG : 1 bulan
Polio : 1 minggu, 2 bulan
DPT : 2 bulan.
Ibu pasien mengaku imunisasi pasien belum lengkap karena pasien sering
mengalami demam naik turun.

H. Riwayat Perkembangan dan Pertumbuhan Anak


Pasien lahir secara sectio caesarea dengan BB 3000 gram, panjang 46 cm,
cukup bulan, menangis saat dilahirkan. Pada usia 1 minggu pasien mengalami
sakit kuning dan dirawat di Rumah Sakit selama 1 minggu di ruang intensif. Pada
umur 6 bulan pasien mengalami demam naik turun disertai kejang, dibawa ke
Rumah Sakit, dilakukan lumbal pungsi dan dinyatakan mengalami meningitis dan
menjalani pengobatan rutin. Setelah menjalani pengobatan rutin selama kurang
lebih 2 bulan pasien dinyatakan sembuh. Pada usia 8 bulan pasien sering
mengalami demam naik turun dengan suhu paling tinggi 400 C dan mengalami
penurunan berat badan yang signifikan. Pasien sudah dapat mengkurap, namun
belum dapat duduk, beridiri, ataupun berjalan. Saat ini pasien sudah dapat
menegakkan kepalanya sendiri saat tengkurap maupun saat didudukkan. Pasien
belum bisa berdiri dan berjalan. Pasien sudah mondok sampai 3 kali dengan
keluhan yang sama. Aktifitas pasien sangat terbatas, karena badannya kaku
sehingga sulit bergerak. Sampai saat ini pasien juga belum bisa mengeluarkan
suara. Pasien jarang sekali tersenyum dan berkomunikasi hanya melalui

4
tangisannya. Untuk mengerjakan aktivitasnya, pasien masih sangat tergantung pada
orang tuanya.

I. Riwayat Pemeliharaan Prenatal


Periksa di : Bidan Desa
Frekuensi : Trimester I : 1 kali
Trimester II : 2 kali
Trimester III : 2 kali
Penyakit Kehamilan : batuk, pilek
Obat yang diminum : vitamin, tablet Fe

J. Riwayat Kelahiran
Lahir di RS Dr.Oen Sukoharjo oleh dokter spesialis kandungan
Usia kandungan : 39 minggu
Jenis partus : Sectio caesarea
Segera setelah lahir : menangis kuat
BB waktu lahir : 3000 gram
TB waktu lahir : 46 cm

K. Riwayat Gizi
Penderita hanya bisa minum ASI dan makan makanan cair (susu F100)
melalui NGT. Nafsu makan dan minum rendah.

L. Riwayat Sosial Ekonomi


Penderita adalah anak kedua dari dua bersaudara. Ibu seorang ibu rumah
tangga dan ayahnya seorang buruh pabrik. Penderita menggunakan pembayaran
biaya rumah sakit dengan BPJS.

M. Keluarga Berencana
Pasien tidak menggunakan KB

II. PEMERIKSAAN FISIK


Pemeriksaan fisik dilakukan pada tanggal 23 Oktober 2017

5
A. Status Generalis
Keadaan umum tampak sakit sedang, compos mentis, gizi kesan buruk.
B. Tanda Vital
Nadi : 126 x/ menit
Respirasi : 26 x/ menit
Suhu : 37,8 0C per aksiler
Saturasi : 98%

C. Pemeriksaan Status Gizi dan Antopometri


Berat badan : 4 kg
Tinggi badan : 64 cm
LILA : 70 mm

BB/U : grafik WHO 2006


< - 3 SD (severe underweight)
TB/U : grafik WHO 2006
< - 3 SD (severe stunted)
BB/TB : grafik WHO 2006
< - 3 SD (severe wasted/ sangat kurus)

D. Kulit
Warna sawo matang, pucat (-), ikterik (-), petechie (-),venectasi (-), spider naevi
(-), striae (-), hiperpigmentasi (-), hipopigmentasi (-)
E. Kepala
Bentuk mesochepal, old man face (+), rambut hitam, mudah rontok, mudah
dicabut.
F. Mata
Conjunctiva pucat (-/-), skelra ikterik (-/-), refleks cahaya langsung dan tak
langsung (+/+), pupil isokor (3mm/3mm), mata cowong (-/-), sekret (-/-),
strabismus (-/-)
G. Hidung
Nafas cuping hidung (-), deformitas (-), darah (-), sekret (-)
H. Telinga
Deformitas (-), darah (-), sekret (-)

6
I. Mulut
Mukosan basah (+), bibir kering (-), sianosis (-), lidah kotor (-),stomatitis (-), gusi
berdarah (-)
J. Leher
Simetris, trakea ditengah, JVP tidak meningkat, limfonodi tidak membesar, nyeri
tekan (-), benjolan (-)
K. Thoraks
a. Retraksi (-), iga gambang (+)
b. Jantung
Inspeksi : Ictus Cordis tidak tampak
Palpasi : Ictus Cordis tidak kuat angkat
Perkusi : Jantung kesan tidak melebar
Auskultasi : Bunyi jantung I dan II intensitas normal, reguler, bising (-)
c. Paru
Depan
a. Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, iga gambang (+)
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan = kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
b. Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus raba kanan
= kiri, nyeri tekan (-)
c. Perkusi
- Kanan : Sonor, redup pada batas relatif paru-hepar pada SIC VI
linea medioclavicularis dextra
- Kiri : Sonor
d. Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah kasar (+) minimal di basal paru ,ronkhi basah halus (-
), krepitasi (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler, suara tambahan: wheezing (-), ronkhi
basah kasar (+) minimal di basal paru, ronkhi basah halus (-
), krepitasi (-)

7
Belakang
a. Inspeksi
- Statis : Normochest, simetris, sela iga tidak melebar, iga gambang
(+) , scoliosis (-)
- Dinamis : Pengembangan dada simetris kanan=kiri, sela iga tidak
melebar, retraksi intercostal (-)
b. Palpasi
- Statis : Simetris
- Dinamis : Pergerakan dinding dada kanan = kiri, fremitus raba kanan
= kiri, nyeri tekan (-)
c. Perkusi
- Kanan : Sonor
- Kiri : Sonor
d. Auskultasi
- Kanan : Suara dasar vesikuler meningkat, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (+) minimal di basal paru,
ronkhi basah halus (-)
- Kiri : Suara dasar vesikuler meningkat, suara tambahan:
wheezing (-), ronkhi basah kasar (+) minimal di basal paru,
ronkhi basah halus (-)
L. Trunk
Inspeksi : deformitas (-), skoliosis (-), kifosis (-), lordosis (-)
Palpasi : massa (-), nyeri tekan (-), oedem (-)
Perkusi : nyeri ketok kostovertebra sde

M. Abdomen
Inspeksi : dinding perut lebih tinggi daripada dinding dada
Auskultasi : peristaltik (+) normal
Perkusi : tympani
Palpasi : supel, nyeri tekan, hepar lien tidak teraba

N. Ekstremitas
CRT <2 Akral dingin

8
detik
+ + - -
+ + - -
Wasting
muscle
+ +
+ +

Superior Ka/Ki Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-),
ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri
gerak (-/-), deformitas (-/-), wasting muscle (+/+)

Inferior Ka/Ki Oedem (-/-), sianosis (-/-), pucat (-/-), akral dingin (-/-),
ikterik (-/-), luka (-/-), kuku pucat (-/-), spoon nail (-/-),
clubing finger (-/-), flat nail (-/-), nyeri tekan dan nyeri
gerak (-/-), deformitas (-/-), wasting muscle (+/+), baggy
pants (+)

O. Status Neurologis
1. Kesadaran : compos mentis, GCS E4V4M6
2. Fungsi luhur : sulit dievaluasi
3. Fungsi vegetatif : terpasang NGT dan IV line
4. Fungsi sensorik
Rasa eksteroeptik : tidak dilakukan
Rasa propioseptik : tidak dilakukan
Rasa kortikal : tidak dilakukan

5. Fungsi motorik dan reflek


Kekuatan Tonus

9
sde sde

sde sde

6. Reflek Fisiologis
Dextra Sinistra
Biceps Sde Sde
Triceps Sde Sde
Patella Sde Sde
Achilles Sde Sde

7. Reflek Patologis
Dekstra Sinistra
Hoffman- - -
Trommer
Babinsky - -
Chaddock - -
Oppenheim - -

8. Nervus craniales : sulit dievaluasi


9. Meningeal Sign
 Kaku kuduk : (-)
 Brudzinski I : (-)
 Brudzinski II : (-)
10. Reflek primitive :
a. Rooting reflex : (+)
b. Sucking reflex : (+)
c. Palmar grasp reflex : (+)
d. Tonic Neck Reflex : (+)
P. Range of Motion
NECK
ROM PASIF ROM AKTIF
Fleksi 0-700 Sde

10
Ekstensi 0-400 Sde
Lateral bending kanan 0-600 Sde
Lateral bending kiri 0-600 Sde
Rotasi kanan 0-900 Sde
Rotasi kiri 0-900 sde

Ekstremitas superior ROM pasif ROM aktif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Shoulder Fleksi 0-90º 0-900 Sde Sde
Ekstensi 0-50º 0-500 Sde Sde
Abduksi 0-180º Sde Sde
0-1800
Adduksi 0-75º Sde Sde
0-750`
External rotasi 0-90º 0-900 Sde Sde
Internal rotasi 0-90º 0-900 Sde Sde
Elbow Fleksi 0-150º 0-1500 Sde Sde
Ekstensi 0º 00 Sde Sde
Pronasi 0-90º 0-900 Sde Sde
Supinasi 0-90º 0- 900 Sde Sde
Wrist Fleksi 0-90º 0-900 Sde Sde
Ekstensi 0-70º 0-700 Sde Sde
Ulnar deviasi 0-30º 0-300 Sde Sde
Radius deviasi 0-20º 0-200 Sde Sde
Finger MCP I fleksi 0-50º 0-500 Sde Sde
MCPII-IV fleksi 0-90º 0-900 Sde Sde
DIP II-V fleksi 0-90º 0-900 Sde Sde
PIP II-V fleksi 0-100º 0-1000 Sde Sde
MCP I ekstensi 0-30º 0-300 sde sde

Ekstremitas inferior ROM pasif ROM aktif


Dextra Sinistra Dextra Sinistra
Hip Fleksi 0-120º 0-1200 Sde Sde

11
Ekstensi 0-30º 0-300 Sde Sde
Abduksi 0-45º 0-450 Sde Sde
Adduksi 0-45º 0-450 Sde Sde
Eksorotasi 0-30º 0-300 Sde Sde
Endorotasi 0-30º 0-300 Sde Sde
Knee Fleksi 0-90º 0-900 Sde Sde
Ekstensi 0º 00 Sde Sde
Ankle Dorsofleksi 0-30º 0-300 Sde Sde
Plantarfleksi 0-30º 0-300 Sde Sde
Eversi 0-50º 0-500 Sde Sde
Inversi 0-40º 0-400 Sde Sde

Q. Manual Muscle Testing


Ekstremitas superior Dextra Sinistra
Shoulder Fleksor M deltoideus anterior Sde Sde
M biseps Sde Sde
Ekstensor M deltoideus anterior Sde Sde
M teres mayor Sde Sde
Abduktor M deltoideus Sde Sde
M biseps Sde Sde
Aduktor M latissimus dorsi Sde Sde
M pectoralis mayor Sde Sde
Internal M latissimus dorsi Sde Sde
rotasi M pectoralis mayor Sde Sde
Eksternal M teres mayor Sde Sde
rotasi M infrasupinatus Sde Sde
Elbow Fleksor M biseps Sde Sde
M brachialis Sde Sde
Ekstensor M triseps Sde Sde
Supinator M supinator Sde Sde
Pronator M pronator teres Sde Sde
Wrist Fleksor M flexor carpi radialis Sde Sde

12
Ekstensor M ekstensor digitorum Sde Sde
Abductor M ekstensor carpi Sde Sde
radialis
Adductor M ekstensor carpi Sde Sde
ulnaris
Finger Fleksor M fleksor digitorum Sde Sde
Ekstensor M ekstensor digitorum Sde Sde

III. PEMERIKSAAN PENUNJANG


A. Foto Thorax
Pemeriksaan Foto Thorax AP/Lat pada tanggal 21/10/2017

Interpretasi Foto Thoraks PA


Cor : Besar dan bentuk normal
Paru : tampak infiltrat dengan air bronkogram di kedua lapang paru
Sinus costophrenicus kanan kiri tajam
Hemidiaphragma kanan kiri normal
Trakhea di tengah
Sistema tulang baik
Tampak terpasang gastric tube dengan tip terproyeksi setinggi VL 1 kiri
Kesimpulan :
Pneumonia
Terpasang gastric tube dengan tip terproyeksi setinggi VL 1 kiri

13
B. Laboratorium darah
Pemeriksaan Laboratorium Darah pada tanggal 20/10/2017
PEMERIKSAAN HASIL SATUAN RUJUKAN
Hemoglobin 8.5 g/dl 10.5-12.9
Hematokrit 26 % 33 – 41
Leukosit 27.0 ribu/ul 5,5 – 17,0
Trombosit 273 ribu/ul 150 – 450
Eritrosit 3.89 juta/ul 4,10 – 5,30
KIMIA KLINIK
GDS 99 mg/dl 60-100
ELEKTROLIT
Natrium darah 125 mmol/L 136-145
Kalium darah 3.1 mmol/L 3.1 – 5.1
Kalsium Darah 1.20 mmol/L 1.17-1.29

14
IV. ASSESMENT
A. Cerebral Palsy tipe spastik
B. Penyakit defisiensi imun primer
C. Pneumonia
D. Gizi buruk tipe marasmik
E. Hipotiroid kongenital

V. DAFTAR MASALAH
A. Problem Medis
1. Cerebral Palsy tipe spastik
2. Penyakit defisiensi imun primer
3. Pneumonia
4. Gizi buruk tipe marasmik
5. Hipotiroid kongenital
B. Problem Rehabilitasi Medik
1. Fisioterapi : Kekakuan pada ekstremitas atas dan bawah (lebih
berat ekstremitas bawah) dan kelemahan otot ekstremitas atas dan bawah
(lebih berat ekstremitas bawah)
2. Speech Terapi : Gangguan bicara
3. Ocupasi Terapi : Gangguan dalam melakukan aktifitas sehari-hari
4. Sosiomedik : tidak ada
5. Ortesa-protesa : tidak ada
6. Psikologi : Motivasi kedua orang tua

VI. PENATALAKSANAAN
A. Terapi Non Medikamentosa
1. Bed rest tidak total
2. Diet F100 8 x 60 ml bahan dasar progestin milk
B. Medikamentosa
1. Inj IVIG 2,5%
2. Asam folat 1 tab/24 jam per oral
3. Vitamin B 30 mg /24 jam per oral
4. Vitamin C 50 mg / 24 jam per oral
5. Vitamin E 100 IU/24 jam

15
6. Inj Amphicillin sulbactan 50 mg/kgBB/6 jam iv
7. Levotiroksin 20 mcg/ 24 jam per oral

C. Rehabilitasi medik
 Fisioterapi : Neuro Develompment Treatment (NDT) / Metode Bobath
 Speech terapi : Latihan oromotor dan stimulasi wicara serta latihan
peningkatan kemampuan bahasa reseptif maupun ekspresif
 Okupasi terapi : Latihan meningkatkan kemampuan motorik halus (meraih,
menggenggam), dan koordinasi tangan dengan aktivitas permainan
 Sosiomedik : tidak ada
 Orthesa prothesa : tidak ada
 Psikologi : terapi suportif pada orang tua

VII. IMPAIRMENT, DISABILITAS, HANDICAP


A. Impairment :
1. Kekakuan dan kelemahan pada ekstremitas atas dan bawah (lebih berat
ekstremitas bawah)
2. Atrofi musculus membri inferior (ekstremitas bawah) akibat jarang
digerakkan
3. Atrofi musculus membri superior (ekstremitas atas) akibat jarang
digerakkan
4. Spastik pada otot-otot oral
B. Disabilitas :
1. Tidak bisa duduk
2. Tidak bisa berdiri
3. Tidak bisa berjalan
4. Tidak mampu menelan asupan nutrisi
5. Tidak bisa mengeluarkan kata-kata
C. Handicap : tidak ada handicap

VIII. PLANNING
Planning diagnostik : Tidak ada
Planning terapi : Penatalaksanaan Rehabilitasi Medik

16
Planning edukasi :
1. Edukasi mengenai penyakit kepada pasien dan keluarga.
2. Edukasi mengenai terapi yang akan dilakukan kepada keluarga, baik non
medikamentosa, medikamentosa, maupun program rehabilitasi medic.
3. Edukasi untuk kontrol rutin dan rutin melakukan terapi.
Planning monitoring : evaluasi hasil terapi rehabilitasi medik

IX. TUJUAN
1. Mencegah kecacatan dan komplikasi muskuloskeletal
2. Memperbaiki kemampuan motorik sehingga dapat melakukan pergerakan dasar
ADL
3. Memperbaiki kemampuan berkomunikasi dengan sekitar

X. PROGNOSIS
ad vitam : dubia ad bonam
ad sanam : dubia ad bonam
ad fungsionam : dubia ad bonam

17
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA

A. CEREBRAL PALSY
1. Pendahuluan
Seorang dokter bedah kebangsaan inggris bernama William Little pada
tahun 1860, pertama kali mendeskripsikan satu penyakit yang pada saat itu
membingungkan yang menyerang anak-anak usia tahun pertama yang
menyebabkan kekakuan otot tungkai dan lengan. Anak-anak tersebut mengalami
kesulitan memegang obyek, merangkak dan berjalan. Penderita tersebut tidak
bertambah baik dengan bertambahnya usia tetapi juga tidak bertambah
memburuk. Kondisi tersebut disebut little’s disease selama beberapa tahun, yang
saat ini dikenal sebagai spastic diplegia. Penyakit ini merupakan salah satu dari
penyakit yang mengenai pengendalian fungsi pergerakan dan digolongkan dalam
terminologi cerebral palsy atau umumnya disingkat CP. Suharso(2006:3)
Sebagian besar penderita tersebut lahir premature atau mengalami komplikasi saat
persalinan dan lilttle menyatakan kondisi tersebut merupakan hasil dari
kekurangan oksigen tersebut merusak jaringan otak yang sensitif yang
mengendalikan fungsi pergerakan. Tetapi pda tahun 1897, psikiatri terkenal
Sigmund Freud tidak sependapat. Dalam penelitiannya, banyak dijumpai pada
anak-anak CP
mempunyai masalah lain misalnya retardasi mental, gangguan visual dan kejang.
Freud menyatakan bahwa penyakt tersebut mungkin sudah terjadi pada awal
kehidupan, selama perkembangan otak janin.
Cerebral palsy merupakan brain injury yaitu suatu kondisi yang mempengaruhi
pengendalian sistem motorik sebagai akibat lesi dalam otak, atau suatu penyakit
neuromuskuler yang disebabkan oleh gangguan perkembangan atau kerusakan
sebagian dari otak yang berhubungan dengan pengendalian fungsi motorik.
Somantri (2007:12)
The American Academy of Cerebral Palsy mendefinisikan yaitu berbagai
perubahan gerakan atau fungsi motor tidak normal dan timbul sebagai akibat

18
kecelakaan, luka atau penyakit pada susunan saraf yang terdapat pada rongga
tengkorak. Pengertian selengkapnya dapat dikutip dari the united cerebral palsy
association, cerebral palsy menyangkut gambaran klinis yang diakibatkan oleh
luka pada otak, terutama pada komponen yang menjadi penghalang dalam gerak
sehingga keadaan anak yang dikategorikan cerebral palsy (CP) dapat
digambarkan sebagai kondisi semenjak kanak-kanak dengan kondisi nyata,
seperti lumpuh, lemah, tidak adanya koordinasi atau penyimpangan fungsi gerak
yang disebabkan oleh patologi pusat kontrol gerak diotak. Efendi (2006:118).
Cerebral palsy merupakan kelainan diakibatkan adanya kesulitan gerak berasal
dari disfungsi otak, ada juga kelainan gerak
atau palsy yang diakibatkan bukan karena disfungsi otak, tetapi disebabkan
poliomyelitis disebut dengan spinal palsy atau organ palsy yang diakibatkan oleh
kerusakan otot (distophy mascular). Karena adanya disfungsi otak, maka
penyandang cerebral palsy mempunyai kelainan dalam bahasa, bicara, menulis,
emosi, belajar, dan gangguan-gangguan psikologis. Cerebral palsy didefinisikan
sebagai “laterasi perpindahan yang abnormal atau fungsi otak yang muncul
karena kerusakan, luka, atau penyakit pada jaringan saraf yang terkandung dalam
rongga tengkorak. Delphie (2006:123)

2. Penyebab cerebral palsy

Cerebral palsy tidak disebabkan oleh satu penyebab. Cerebral palsy


merupakan serangkaian penyakit dengan masalah mengatur gerakan, tetapi
memiliki penyebab yang berbeda. Untuk mengetahui penyebab CP perlu digali
mengenai hal bentuk cerebral palsy, riwayat kesehatan ibu dan anak serta onset
penyakitnya.
Sekitar 10-20% di USA anak penderita cerebral palsy disebabkan karena
penyakit setelah lahir (prosentase tersebut akan lebih tinggi pada negara-negara
yang belum berkembang). CP juga bisa terjadi karena kerusakan otak pada bulan-
bulan pertama atau tahun-tahun pertama kehidupan yang merupakan sisa dari
infeksi otak, misalnya miningitis, bakteri atau encephalitis virus atau merupakan
hasil dari trauma kepala yang sering diakibatkan karena kecelakaan lalu lintas,
jatuh dan penganiayaan anak. Suharso (2006:10)

19
CP kongenital, pada satu sisi lainnya tampak pada saat kelahiran. Pada banyak
kasus, penyebab CP kongenital sering tidak diketahui. Diperkirakan terjadi dengan
kejadian spesifik pada masa kehamilan atau sekitar kelahiran dimana terjadi
kerusakan motorik pada otak yang sedang bekembang. Suharso (2006:10).
Beberapa penyebab CP kongenital adalah:
a. Infeksi selama kehamilan
Rubella dapat menginfeksi ibu hamil dan fetus dalam uterus, hal ini akan
menyebabkan kerusakan sistem saraf yang sedang berkembang. Infeksi lain
yang dapat menyebabkan cedera otak fetus meliputi cytomegalovirus dan
toxoplasmosis. Pada saat ini sering dijumpai infeksi meternal lain yang
dihubungkan dengan cerebral palsy.
b. Ikterus neonatorum
Pigmen bilirubin merupakan komponen yang secara normal dijumpai
dalam jumlah kecil dalam darah, ini merupakan hasil produksi dari
pemecahan eritrosit. Jika banyak eritrosit mengalami kerusakan dalam
waktu yang singkat, misalnya dalamkeadaan Rh/ABO inkompatibilitas,
bilirubin indirek akan meningkat dan menyebabkan ikterus. Ikterus berat
dan tidak diterapi dapat merusak sel otak secara permanen.
c. Kekurangan oksigen berat (hipoksik iskemik) pada otak atau trauma
kepala selama proses persalinan.
Asfiksia sering dijumpai pada bayi-bayi dengan kesulitan
persalinan. Asphyxia menyebabkan rendahnya suplai oksigen pada otak
bayi pada periode lama, sehingga anak tersebut akan mengalami kerusakan
otak yang dikenal hipoksik iskemik encephalopathi. Angka mortalitas
meningkat pada kondisi asphyxia berat, tetapi beberapa bayi yang bertahan
hidup dapat menjadi cerebral palsy, dimana dapat bersama dengan
gangguan mental dan kejang.
Kriteria yang digunakan untuk memastikan hipoksik intrapartum sebagai
penyebab cerebral palsy :
1) Metabolik asidosis pada janin dengan pemeriksaan darah arteri tali
pusat janin atau neonatal dini Ph yaitu 7 dan BEmyaitu 12 mmol/
2) Neonatal encephalopathy dini berat sampai sedang pada bayi >34
minggu gestasi.
3) Tipe cerebral palsy spastik quadriplegia atau diskinetik.

20
4) Tanda hipoksik pada bayi segera setelah lahir atau selama
persalinan.
5) Apgar score 0-6 selama 5 menit
6) Penurunan detak jantung janin cepat, segera dan cepat memburuk
segera setelah tanda hipoksik terjadi dimana sebelumnya diketahui
dalam batas normal
d. Stroke
Kelainan koagulasi pada ibu atau bayi dapat menyebabkan stroke pada
fetus atau bayi baru lahir. Pendarahan di otak terjadi pada beberapa kasus.
Stroke yang terjadi pada fetus atau bayi baru lahir, akan menyebabkan kerusakan
jaringan otak dan menyebabkan masalah neurologis.
Selain itu, Terdapat tiga bagian penyebab terjadinya cerebral palsy:
(Mardiani, 2006)
a. Sebelum Lahir (pranatal)
Masalah bisa terjadi pada saat pembuahan bergabung dan sebelum
bayi dikandung sehingga menghasilkan keadaan yang tidak normal
yang berhubungan langsung dengan kerusakan jaringan syaraf. Adapun
faktor-faktor lainnya yaitu:
1) Ibu menderita penyakit/infeksi
Hal ini merupakan bawaan lahir, gangguan pada bayi mungkin
muncul diawal kehamilan yaitu masa-masa penentu bagi pertumbuhan
dan pembentukan tubuh janin. Misalnya seorang ibu terserang infeksi
rubella, toksoplasma,atau sitomegola yaitu virus yang bisa terjadi
diusia kehamilan trimester ketiga. Penyebab lain, ibu menderita
penyakit berat seperti tifus, kolera, sifilis, malaria kronis, TBC dan
yang lainnya yang dapat mempengaruhi janin. Infeksi-infeksi ini
mengganggu perkembangan jaringan otak sehingga menimbulkan
kerusakan jaringan otak pada anak.
2) Perilaku Ibu
Ibu yang mengkonsumsi obat-obatan, merokok, minum-minuman
keras, begitu juga dengan ibu yang mengalami depresi dan tekanan
darah tinggi. Semua ini bisa merusak janin baik fisik maupun mental.
3) Masalah Gizi

21
Ini berkaitan dengan masalah sosial ekonomi, ibu yang tinggal
dengan kondisi ekonomi yang kurang mampu sementara anaknya
banyak otomatis asupan gizinya pun akan berkurang. Masalah gizi ini
akan terbawa sampai anaknya lahir. Ibu yang menderita kekurangan
gizi akan berpengaruh pada pembentukan dan perkembangan otak
janinnya (dapat menyebabkan kerusakan jaringan diotak).
b. Saat lahir (perinatal)
1) Terkena infeksi jalan lahir
Ini cukup sering mengakibatkan ketidaknormalan bayi karena
terjadi gangguan pada proses persalinan, jalan lahir kotor dan banyak
kuman. Jika ibu mempunyai infeksi TORCH, misal, bayi bisa terkena
infeksi jalan lahir tersebut.
2) Hipoksis Iskemik Ensefalopati/HIE
Saat lahir, bayi dalam keadaan tidak sadar, bahkan tidak menangis
dan justru mengalami kejang hingga kekurangan oksigen keotak.
Akibatnya jaringan otak rusak.
3) Kelahiran yang sulit
Pemakaian alat bantu seperti vakum saat persalinan tidak
bermasalah, yang bisa mengganggu bayi adalah lamanya dijalan lahir
karena berbagai penyebab, kepala bayi lebih besar dari pinggul ibu atau
ada lilitan tali pusat sehingga tertarik tak mau keluar atau ibu tidak kuat
menahannya. Bayi lahir tidak bernafas, bisa karena paru-paru penuh
cairan atau karena ibu mendapatkan anestesi (obat bius) terlalu banyak.
4) Bayi lahir premature
Termasuk bayi beresiko tinggi mengalami gangguan karena lahir
belum waktunya atau kurang dari 32 minggu. Kemungkinan jaringan
organ tubuh dan jaringan otaknya belum sempurna.
5) Berat lahir rendah
Selain bobotnya rendah, bayi kekurangan nutrisi. Meski lahir cukup
bulan tetapi bobotnya kurang dari 2.500 gram, ini bisa terjadi karena
ibu kekurangan gizi pada saat hamil.
6) Pendarahan otak
Pendarahan dibagian otak dapat mengakibatkan penyumbatan
sehingga anak menderita hidrocepalus ataupun microcepalus.

22
Pendarahan juga dapat menekan jaringan otak hingga terjadi
kelumpuhan.
7) Bayi kuning
Merupakan keadaan bayi mengalami kuning yang berbahaya,
misalnya karena kelahiran inkompatibilitas golongan darah yaitu ibu
bergolongan darah O sedangkan bayinya A atau B. Selain itu bayi yang
mengalami hiperbilirubenimia atau kuning yang tinggi, lebih dari 20
mg/dl hingga bilirubin melekat di jaringan otak terganggu, oleh sebab
itu bayi kuning harus segera mendapatkan penanganan yang tepat pada
minggu-minggu pertama kejadian.
c. Sudah lahir (postnatal)
Biasanya paling rentan terjadi di usis-usia 0-3 tahun. Terdapat
penyebab-penyebab antara lain:
1) Infeksi pada selaput otak atau pada jaringan otak
Umumnya bayi usia muda sangat rentan dengan penyakit,
misalnya tenginggitis dan ensepalitis pada usia setahun pertama.
Ada kemungkinan penyakit tersebut menyerang selaput otak bayi
sehingga menimbulkan gangguan pada perkembangan otaknya.
Bila infeksinya terjadi dibawah usia tiga tahun umumnya akan
mengakibatkan cerebral palsy, sebab pada waktu itu otak sedang
dalam perkembangan menuju sempurna. Jadi anak yang terkena
infeksi meningitis radang selaput otak diusia 5 tahun dan menjadi
lumpuh, ia tidak disebut cerebral palsy melainkan komplikasi
meningitis.
2) Kejang
Dapat terjadi karena bayi terkena penyakit dan suhu
tubuhnya tinggi kemudian timbul kejang. Kejang dapat pula karena
infeksi yang dialami anak. Kemungkinan lain anak juga bisa
menderita epilepsi.
3) Karena trauma/ benturan
Bayi yang sering mengalami jatuh dan menimbulkan luka
dikepala, apalagi dibagian dalam kepala atau pendarahan di otak
dapat menyebabkan kerusakan jaringan otaknya. Kerusakan
tergantung dari hebat atau tidaknya benturan. Akibatnya, sebagian

23
kecil jaringan otak rusak. Memang tidak bisa dilihat secara pasti
seberapa besar kerusakan otak yang terjadi.
3. Faktor-faktor resiko cerebral palsy
Faktor-faktor resiko yang menyebabkan kemungkinan terjadinya
cerebral palsy semakin besar antara lain yaitu: (Suharso,2009)
a. Letak lahir sungsang.
b. Proses persalinan sulit.
c. Apgar score rendah.
d. BBLR dan prematuritas.
Resiko cerebral palsy lebih tinggi diantara bayi dengan berat
<2500gram dan bayi lahir dengan usia kehamilan <37 minggu.
Resiko akan meningkat sesuai dengan rendahnya berat lahir
dan usia kehamilan.
e. Kehamilan ganda.
f. Malformasi SSP.
Sebagian besar bayi-bayi yang lahir dengan cerebral palsy
memperlihatkan malformasi sistem saraf pusat yang nyata.
Misalnya lingkar kepala abnormal (microcefali).
g. Pendarahan maternal pada saat masa akhir kehamilan.
h. Retardasi mental dan kejang
i. Kejang pada bayi baru lahir.

4. Jenis-jenis cerebral palsy


Cerebral palsy dapat diklasifikasikan berdasarkan gejala dan tanda
klinis neurologis. Spastik diplegia, untuk pertama kali di deskripsikan oleh
Little (1860), merupakan salah satu bentuk penyakit yang dikenal selanjutnya
sebagai cerebral palsy. Hingga saat ini cerebral palsy diklasifikasikan
berdasarkan kerusakan gerakan yang terjadi dan dibagi dalam 4 kategori,
yaitu:Suharso (2006:13)
a. CP Spastik
Merupakan bentuk CP terbanyak (70-80%). Kerusakan terjadi di
traktus kortikospinalis (darah dikorteks), anak mengalami kelumpuhan yang
kaku, refleksnya menggigil, misalnya refleks moro (salah satu refleks bayi)
yang sering terjadi, baik dirangsang maupun tidak dan ada refleks yang

24
menetap padahal seharusnya hilang diusia tertentu tapi masih ada, misalnya
refleks menggenggam pada bayi. Normalnya menghilang diusia 3-4 bulan,
tapi pada anak cerebral palsy ini muncul atau tetap ada. CP Spastik dibagi
berdasarkan jumlah ekstremitas yang terkena, yaitu:
1) Monoplegi, kelumpuhan empat anggota gerak tapi salah satu
anggota gerak lebih hebat dari sebelumnya.

25
2) Quadriplegia, kelumpuhan pada keempat gerakan anggota geraknya, dua
kaki dan dua tangan lumpuh.
3) Diplegia, kelumpuhan dua anggota gerak yang berhubungan, biasanya
kedua anggota gerak bawah. Misalnya, tungkai bawah tapi dapat pula kedua
anggota gerak atas.
4) Hemiplegi, kelumpuhan pada satu sisi tubuh dan anggota gerak yang
dibatasi oleh garis tengah yang didepan atau dibelakang, misalnya tangan
kiri, kaki kri. Pergerakan anggota gerak berkurang, fleksi (menekuk) lengan
pada siku, lengan tetap mengepal.
b. Koreo-Attentoid
Dikenal juga dengan istilah cerebral palsy diskrinetik atau gerak, jadi
tangan anak atau kakinya bergerak melengkung-melengkung, sikapnya
abnormal dan geraknya infolumenter dengan sendirinya. Refleks
neonatalnya menetap. Kerusakan terjadi di ganglia basalis (darah yang
mengatur gerakan).
c. Aktaksik
Gangguan koordinasi, gerakannya melengkung juga, tapi biasanya
gangguan ditulang belakangnya, lehernya kaku dan tampak melengkung.
Gangguan ini biasanya menunjukkan perkembangan motorik yang
terlambat sehingga kehilangan keseimbangan yang dapat terlihat saat anak
belajar duduk.
Kerusakan otaknya disereberum (daerah otak kecil).
e. Distonia
Ada yang ototnya kaku dan ada juga yang lemas. Kerusakan otaknya
berada pada bagian korteks (bagian lapisan luar otak) dan di ganglia
basalis.

f. Balismus
Ada gerakan yang tidak terkoordinasi atau involumenter, kadang juga
melengkung-lengkung. Kerusakan berada diganglia basalis.
g. Campuran

26
Merupakan jenis cerebral palsy dengan semua gabunganjenis diatas,
kerusakan ini bisa terjadi didaerah otak mana saja.
Cerebral palsy juga bisa diklasifikasikan berdasarkan estimasi derajat
beratnya penyakit dan kemampuan penderita untuk melakukan aktivitas
normal. Yaitu:
a. Ringan:
Penderita masih bisa melakukan aktifitas sehari-hari sehingga sama sekali
tidak atau hanya sedikit sekali membutuhkan bantuan khusus.
b. Sedang:
Aktifitas sangat terbatas. Penderita membutuhkan bermacam-macam
bantuan khusus atau pendidikan khusus agar dapat mengurus dirinya
sendiri, dapat bergerak atau berbicara. Dengan pertolongan secara khusus,
diharapkan penderita dapat mengurus diri sendiri, berjalan atau berbicara
sehingga dapat bergerak, bergaul, hidup di tengah masyarakat dengan baik.
c. Berat:
Penderita sama sekali tidak bisa melakukan aktifitas fisik dan tidak mungkin
dapat hidup tanpa pertolongan orang lain. Pertolongan atau pendidikan
khusus yang diberikan sangat sedikit hasilnya. Sebaiknya penderita seperti ini
ditampung dalam rumah perawatan khusus. Rumah perawatan khusus ini
hanya untuk penderita dengan retardasi mental berat, atau yang akan
menimbulkan gangguan sosial emosional baik bagi keluarganya maupun
lingkungannya.
5. Penyakit lain yang berhubungan cerebral palsy
Banyak penderita cerebral palsy juga menderita penyakit lain.
Kelainan yang mempengaruhi otak dan menyebabkan gangguan fungsi
motorik dapat menyebabkan kejang dan mempengaruhi perkembangan
intelektual seseorang, atensi terhadap dunia luar, aktivitas dan perilaku
dan penglihatan serta pendengaran. Penyakit-penyakit yang berhubungan
dengan cerebral palsy. Suharso (2006:8) yaitu:
a. Gangguan mental
Sepertiga anak cerebral palsy memiliki gangguan intelektual ringan,
sepertiga dengan gangguan sedang hingga berat dan sepertiga lainnya

27
normal. Gangguan mental sering dijumpai pada anak dengan klinis
spastik quadriplegia.
b. Kejang dan epilepsi
Setengah dari seluruh anak cerebral palsy menderita kejang.
Gangguan tersebut akan menyebar keseluruh otak dan menyebabkan
gejala pada seluruh tubuh.
c. Gangguan pertumbuhan
Gagal tumbuh secara umum merupakan istilah untuk
mendeskripsikan anak-anak yang terhambat pertumbuhan dan
perkembangannya walaupun cukup mendapatkan asupan makanan.
d. Gangguan penglihatan dan pendengaran
Banyak anak cerebral palsy menderita starbismus. Dimana mata
tidak tampak segaris karena ada perbedaan pada otot mata kanan dan
kiri. Pada perkembangannya, hal ini akan menimbulkan gejala
penglihatan ganda. Gangguan pendengaran juga sering dijumpai
diantara penderita cerebral palsy dibanding pada populasi umum.
e. Sensasi dan persepsi abnormal
Sebagian penderita cerebral palsy mengalami gangguan
kemampuan untuk merasakan sensasi. Misalnya sentuhan dan nyeri,
mereka juga mengalami stereognosia atau mengalami kesulitan
merasakan dan mengidentifikasi obyek melalui sensasi raba.
6. Masalah utama gangguan cerebral palsy
Masalah utama yang dijumpai dan dihadapi pada anak yang mengalami
gangguan cerebral palsy yaitu:
a. Kelemahan dalam mengendalikan otot tenggorokan, mulut dan lidah
akan menyebabkan anak tampak selalu berliur.
b. Kesulitan makan dan menelanyang dipicu oleh masalah motorik pada
mulut, dapat menyebabkan gangguan nutrisi yang berat.
c. Inkontinentia Urin
7. Tanda-tanda cerebral palsy
Terdapat beberapa langkah untuk mengetahui tanda-tanda cerebral palsy
yaitu:

28
1) Gejala awal
Pada umumnya cerebral palsy dapat terlihat pada usia kurang
dari 3 tahun,dan dapat dicurigai pada kemampuan perkembangan
motorik tidak normal. Bayi yang mengalami cerebral palsy akan
terlihat keterlambatan perkembangan, misalnya tengkurap, duduk dan
sebagainya.
Ada sebagian mengalami abnormalitas tonus otot. Penurunan
tonus, bayi akan terlihat lemas dan kaku. Ada juga bayi pada periode
awal tampak hipotonia dan selanutnya berkembang menjadi hipertonia
setelah 2-3 bulan pertama. Sehingga kemungkinan anak cerebral palsy
menunjukkan postur abnormal pada satu sisi tubuh.
2) Pemeriksaan fisik
Pada hal ini penderita cerebral palsy melakukan pemeriksaan
kemampuan motorik bayi dan melihat kembali riwayat medis mulai
dari riwayat kehamilan, persalinan dan kesehatan bayi. Perlu juga
dilakukan pemeriksaan refleks dan mengukur perkembangan lingkar
kepala anak. Refleks ialah gerakan tubuh secara otomatis bereaksi
sebagai respon terhadap stimulus spesifik
3) Pemeriksaan neuroradioloig
Pemeriksaan khusus neuroradiologi untuk mencari
kemungkinan penyebab cerebral palsy perlu dikerjakan, salah satu
pemeriksaan yaitu dengan melakukan CT-Scan kepala, CT-Scan
kepala yaitu pemeriksaan imaging untuk mengetahui struktur jaringan
otak selain itu juga dapat menjabarkan area otak yang kurang
berkembang, kista abnormal ataupun kelainan lainnya.
MRI merupakan tehnik imaging yang canggih, dimana
menghasilkan gambar yang lebih baik dalam hal struktus atau area
abnormal dengan lokasi lekat dengan tulang. Neuroimaging
direkomendasikan dalam evaluasi anak cerebral palsy jika etiologi
tidak dapat ditemukan.

29
4) Pemeriksaan lainnya
Dalam hal ini pun perlu adanya pemeriksaan lainnya, dimana
yang mempertimbangkan kondisi lain yang berhubungan dengan
cerebral palsy. Beberapa dokter mengatakan bahwa terdapat penyakit
kejang maka harus dilakukan EEG, dimana dapat membantu untuk
melihat aktivitas elektrik otak dan akan menunjukkan penyakit kejang
tersebut. Identifikasi kelainan penyerta sangat penting sehingga
diagnosis dini akan lebih mudah ditegakkan. Banyak kondisi diatas
dapat diperbaiki dengan terapi spesifik sehingga dapat memperbaiki
kualitas hidup penderita cerebral palsy.
8. Penatalaksanaan Cerebral Palsy
Tidak ada terapi spesifik terhadap cerebral palsy. Terapi bersifat
simtomatik, yang diharapkan akan memperbaiki kondisi pasien. Terapi yang
sangat dini akan dapat mencegah atau mengurangi gejala-gejala neurologik.
Untuk menentukan jenis terapi atau latihan yang diberikan dan untuk
menentukan keberhasilannya maka perlu diperhatikan penggolongan cerebral
palsy berdasarkan derajat kemampuan fungsionil yaitu derajat ringan, sedang
dan berat.
Tujuan terapi pasien cerebral palsy adalah membantu pasien dan
keluarganya memperbaiki fungsi motorik dan mencegah deformitas serta
penyesuaian emosional dan pendidikan sehingga pendenta sedikit mungkin
memerlukan pertolongan orang lain, diharapkan penderita bisa mandiri.
Obat-obatan yang diberikan tergantung pada gejala-gejala yang muncul.
Misalnya untuk kejang bisa diberikan anti kejang. Untuk spastisitas bisa
diberikan baclofen dan diazepam. Bila gejala berupa nigiditas bisa diberikan
levodopa. Mungkin diperlukan terapi bedah ortopedi maupun bedah saraf untuk
merekonstruksi terhadap deformitas yang terjadi.
Fisioterapi dini dan intensif untuk mencegah kecacatan, juga penanganan
psikolog atau psikiater untuk mengatasi perubahan tingkah laku pada anak yang
lebih besar. Yang tidak boleh dilupakan adalah masalah pendidikan yang harus
sesuai dengan tingkat kecerdasan penderita.

30
Occupational therapy ditujukan untuk meningkatkan kemampuan untuk
menolong diri sendiri, memperbaiki kemampuan motorik halus, penderita dilatih
supaya bisa mengenakan pakaian, makan, minum dan keterampilan lainnya.
Speech therapy diberikan pada anak dengan gangguan wicara bahasa, yang
ditangani seorang ahli.
B. IMUNODEFISIENSI PRIMER
1. Pendahuluan
Gangguan immunodefisiensi primer (PID) merujuk beragam gangguan yang
ditandai dengan berkurangnya atau tidak adanya salah satu atau lebih komponen
dari sistem kekebalan tubuh. Gangguan tersebut dapat bersifat kronis dan biasanya
merupakan gangguan yang cukup penting. IPD menyebabkan pasien tidak dapat
merespon secara adekuat infeksi yang ada sehingga respon terhadap gangguan
infeksi tidak adekuat. Lebih dari 130 gangguan IPD yang berbeda telah
diidentifikasi hingga saat ini, dan dengan adanya penemuan baru yang terus-
menerus didapatkan perkembangan identifikasi lainnya. PID kebanyakan
merupakan hasil dari cacat bawaan dalam pengembangan sistem kekebalan tubuh
dan/atau fungsi. Penting untuk dicatat bahwa PID berbeda dari immunodefisiensi
sekunder yang mungkin timbul dari penyebab lain, seperti infeksi virus atau
bakteri, malnutrisi atau pengobatan dengan menggunakan obat yang menginduksi
imunosupresi.
Estimasi prevalensi gangguan IPD (selain gangguan imunodefisensi IgA) di
Amerika Serikat adalah sekitar 1:1200 kelahiran hidup. Defisiensi IgA adalah PID
yang paling umum, terjadi pada sekitar 1:300 hingga 1:500 orang. Presentasi
klinis PID sangat bervariasi, namun gangguan yang paling banyak adalah
gangguan yang melibatkan peningkatan kerentanan terhadap infeksi. Bahkan, PID
dapat nampak sebagai infeksi "rutin" (telinga, sinus dan paru-paru). Oleh karena
itu, mungkin tidak terdeteksi dalam diagnosis awal perawatan. Diagnosis yang
akurat dan tepat waktu dari gangguan ini membutuhkan indeks kecurigaan yang
tinggi dan pengujian khusus. Oleh karena itu, konsultasi dengan imunolog klinis
yang berpengalaman dalam evaluasi dan pengelolaan immunodefisiensi menjadi
sangat penting, karena diagnosis dini dan pengobatan sangat penting untuk

31
mencegah penyakit yang signifikan terkait morbiditas dan meningkatkan
kesehatan pasien.
2. Klasifikasi
PID secara luas diklasifikasikan menurut komponen dari sistem kekebalan
tubuh yang terutama terganggu. Gangguan sistem imunitas tersebut dapat
dibedakan atas gangguan sistem imun adaptif (Defisiensi sel T, Defisiensi sel B
dan Kombinasi defisiensi sel T serta sel B) dan gangguan sistem imun alami
(gangguan fagositik dan gangguan komplemen).

Gangguan Kekebalan Sistem Imunitas Adaptif


Sel T dan sel B adalah sel utama dari sistem kekebalan adaptif tubuh. Sel
B memediasi produksi antibodi dan oleh karena itu memainkan peran utama
dalam antibodi-mediated (humoral) imunitas. Di sisi lain, sel T mengatur respon
sel yang dimediasi sistem imun. Cacat yang terjadi pada setiap pengembangan,
diferensiasi dan pematangan sel T mengarah pada gangguan immunodefisiensi sel
T, sedangkan cacat yang berkaitan dengan sel B mengarah pada pengembagan sel
B dan/atau gangguan hasil pematangan sel B (defisiensi antibodi), karena
produksi antibodi sel B yang diperantarai sel B membutuhkan fungsi sel T. Oleh
karenanya gabungan gangguan sel T dan sel B akan menyebabkan gangguan
immunodefisiensi sel B dan sel T(Combined Immunodeficiensies/ CIDs)
(McCusker,2011:2,Abbas,2006:465)

Severe Combined Immunodeficiency (SCID)


Gangguan yang terjadi pada rangkaian proses perkembangan sel limfosit T
yang dapat / tidak akan berdampak pada pematangan sel B sebagaimana terlihat
pada gambar 1 di bawah ini:

32
Gambar 1. Tahap dan Faktor yang diperlukan dalam Maturasi Sel B dan Sel T

Gangguan ini dapat berdampak secara langsung pada sistem imun humoral
maupun imunitas yang dimediasi oleh sel T disebut Severe combined
immunodeficiency (SCID). Penyakit ini dikarakteristikan dengan defisiensi dari
sel B maupun sel T atau hanya sel T. Kasus ini dampak pada sistem humoral
terjadi karenan tidak adanya bantuan dari sel T. Anak-anak dengan SCID
biasanya memiliki infeksi selama satu tahun masa kehidupannya dan akan terus
berulang kecuali bila mereka diterapi. Proses perkembangan sel T dan sel B dari
hematopoietic stem cell hingga limfosit kompetent fungsional yang matang
melibatkan progenitor lymphosit awal, penataulang (rearragement) lokus yang
mengkoding satu rantai dari reseptor antigen diikuti dengan seleksi sel yang telah
dibuat dalam tatanan produksi penataan titik antigen reseptor, ekspresi pada kedua
rantai dari reseptor antigen dan seleksi spesifikasi sel yang dibutuhkan. Gangguan
dari setiap tahap ini akan berdampak pada bentuk SCID

Defisiensi Antibodi

Gambar 2. Imunodefisiensi Gangguan Signaling

33
Reseptor Antigen Limfosit Sel B dan Sel

Pada saat kegagalan perkembangan sel T atau perkembangan sel T dan sel
B berkontribusi pada fenotipe SCID, maka kegagalan perkembangan sel B dan
fungsinya akan berdampak pada gangguan abnormalitas sintesis antibodi. Pada
salah satu dampak yaitu sindrom hyper IgM, defisiensi antibodi juga berkorelasi
dengan gangguan pada aktivasi makrofag dan Antigen Precenting Cell (APC)
yang akan berpengaruh pada attenuated cell-mediated immunity. Manifestasi
klinis dari kegagalan pematangan antibody akan berdampak pada beberapa
gangguan; di antaranya adalah Agammaglobulinemias,
Hypogammaglobulinemias dan Hyper-IgM syndrome. Agammaglobulinemias
atau yang biasa disebut Bruton’s agammaglobulinemias dikarakteristikkan
dengan tidak adanya gamma globulin pada darah. Disebabkan mutasi atau delesi
yang mengkoding enzym Bruton Tyrosine Kinase. Hypogammaglobulinemias
erat kaitannya dengan gangguan atau mutasi yang mengatur metylasi DNA.
Hyper-IgM syndrome terjadi karena adanya kesalahan dalam switching sel B
menjadi isotype IgG atau IgA.

Gangguan Aktivasi dan Fungsi Sel T


Abnormalitas kongenital dalam aktivasi sel lymfosit T semakin meningkat
dengan pemahaman kita tentang proses molekular yang mempengaruhi
pematangan sel limfosit T. Gangguan tersebut meliputi kegagalan dalam ekspresi
MHC, kegagalan dalam signaling sel T dan familial seshemophagocytic
lymphohistiocyto. Kegagalan dalam ekspresi MHC dapat disebabkan oleh
kegagalan dalam respon IFN-l mutasi beberapa faktor seperti RFX5, CIITA dan
lain sebagainya. Kegagalan dalam signaling sel T disebabkan adanya mutasi pada
gen yang mengkode berbagai protein sel T, dimana akan mempengaruhi ekspresi
CD4+ atau CD 8+. Sebagai contoh defisiensi ZAP-70 akan menurunkan jumlah
CD8+ tetapi tidak mempengaruhi ekspresi CD4+.

34
Gangguan Kekebalan Sistem Imun Bawaan
Respon imun bawaan merupakan garis pertahanan pertama terhadap
organisme yang berpotensi menyerang pertahanan tubuh. Pengenalan yang baik
terhadap ancaman dan induksi gangguan dari kaskade inflamasi merupakan
langkah-langkah penting dalam mengeliminir organisme patogena dari sistem.
Kegagalan sistem bawaan untuk mengidentifikasi patogen akan berdampak
menunda induksi respon imun dan dapat memperburuk hasil infeksi. Banyak sel
dan protein yang terlibat dalam respon imun bawaan termasuk diantaranya fagosit
(neutrofil dan makrofag), sel dendritik dan protein komplemen. Fagosit terutama
bertanggung jawab untuk proses fagositosis, sebuah proses di mana sel menelan
dan menghilangkan patogen yang menyerang tubuh. Protein komplemen
berfungsi untuk mengidentifikasi dan mengopsonisasi (mantel) antigen asing
membuat mereka rentan terhadap fagositosis. Cacat dalam pengembangan dan
fungsi dari setiap unsur-unsur kekebalan bawaan dapat menyebabkan PIDs
(Primary Immnunodeficiency Disorder).
3. Diagnosis PID
Infeksi berulang atau kronik adalah salah satu keluhan yang cukup sering
dialami anak yang mengalami PIP. Infeksi bisa terjadi di kulit, sinus, tenggorokan,
telinga, sistem saraf, saluran cerna, atau saluran kemih. Infeksi yang terjadi bersifat
mudah berulang dan kadang berupa infeksi berat. Namun, beberapa jenis
imunodefisiensi dapat memberikan gambaran penyakit autoimun atau keganasan. Bila
seorang anak mengalami hal-hal seperti di bawah ini, kemungkinan PIP dapat
dicurigai. Tetapi tidak semua anak yang mengalami hal-hal ini pasti mengalami PIP
sehingga perlu dikonsultasikan dengan dokter spesialis anak. Kondisi tersebut adalah:

 Infeksi yang berulang atau menetap dengan tingkat keparahan yang tidak biasa
 Infeksi berat yang melibatkan beberapa lokasi
 Infeksi yang memburuk dengan cepat dan fatal
 Penggunaan antibiotik yang sering dengan respons yang tidak baik
 Diare berulang atau berlangsung lama
 Gagal tumbuh (pertumbuhannya tidak sesuai dengan anak seumurnya)
 Riwayat keluarga yang mengalami PIP

35
 Mengalami efek samping berat akibat imunisasi (misalnya akibat imunisasi BCG)
 Konsanguitas pada orangtua (kedua orangtua masih memiliki hubungan
darah/persaudaraan dekat)
 Riwayat beberapa anggota keluarga yang mengalami penyakit autoimun atau
keganasan.

4. Tatalaksana PID
Tatalaksana IPD akan bergantung pada jenis kelainannya. Apabila IPD terkait
dengan kekurangan antibodi, maka pasien harus mendapatkan imunoglobulin dari
luar seumur hidup. Beberapa jenis IPD lain memerlukan transplantasi sumsum tulang.
Pencegahan infeksi dapat dilakukan dengan hidup sehat, pemberian antibiotik dan
anti-jamur untuk profilaksis (pencegahan), imunisasi yang disesuaikan dengan jenis
IPD yang dialami. Dengan pengenalan dan diagnosis PIP lebih dini diharapkan
kualitas dan lama harapan hidup pasien IPD akan lebih baik.

C. GIZI BURUK TIPE MARASMIK


1. Pengertian
Malnutrisi adalah suatu keadaan klinis yang disebabkan ketidakseimbangan antara
asupan dan keluaran energi, baik karena kekurangan atau kelebihan asupan makanan
maupun akibat kebutuhan yang meningkat. Pada pembahasan selanjutnya yang dimaksud
dengan malnutrisi adalah keadaan klinis sebagai akibat kekurangan asupan makanan
ataupun kebutuhan nutrisi yang meningkat ditandai dengan adanya gejala klinis,
antropometris, laboratoris dan data analisis diet. (Depkes RI, 2007)
Anak balita (bawah lima tahun) sehat atau kurang gizi dapat diketahui dari
pertambahan berat badannya tiap bulan sampai usia minimal 2 tahun (baduta). Apabila
pertambahan berat badan sesuai dengan pertambahan umur menurut suatu standar
organisasi kesehatan dunia, dia bergizi baik. Kalau sedikit dibawah standar disebut
bergizi kurang yang bersifat kronis. Apabila jauh dibawah standar dikatakan bergizi
buruk. Jadi istilah gizi buruk adalah salah satu bentuk kekurangan gizi tingkat berat atau
akut (Pardede, J, 2006).
Malnutrisi ringan dan sedang umumnya tidak menunjukkan gejala klinis yang
spesifik: anak tampak kurus, BB/TB : 70-90% atau diantara -2SD dan -3SD (Z-score),

36
sangat mungkin terdapat gejala defisiensi nutrien mikro. Malnutrisi berat umumnya
menunjukkan gejala klinis yang khas, BB/TB < 70% atau <-3SD (Z-score) kecuali bila
ada edema serta sudah terdapat kelainan biokimiawi. Saat ini kriteria WHO 1999
digunakan untuk diagnosis dan tatalaksana anak malnutrisi berat. (Depkes RI, 2007)
Malnutrisi dapat terjadi secara primer atau sekunder. Malnutrisi primer terjadi bila
konsumsi makanan baik dari segi kualitas maupun kuantitas inadekuat dan tidak
seimbang. Malnutrisi sekunder terjadi sebagai akibat kebutuhan nutrien yang meningkat
atau output yang berlebihan, umumnya pada penyakit kronik baik infeksi maupun
keganasan. (Depkes RI, 2007)
2. Klasifikasi
Gizi buruk berat dapat dibedakan tipe kwashiorkor, tipe marasmus dan tipe
marasmik-kwashiorkor. Perbedaan tipe tersebut didasarkan pada ciri-ciri atau tanda klinis
dari masing-masing tipe yang berbeda-beda.
3. Tanda dan Gejala Gizi Buruk Tipe Marasmus
Marasmus adalah bentuk malnutrisi protein kalori yang terutama akibat
kekurangan kalori yang berat dan kronis terutama terjadi selama tahun pertama
kehidupan, disertai retardasi pertumbuhan dan mengurusnya lemak bawah kulit dan otot.
(Dorland, 1998).
Gejala yang timbul diantaranya muka seperti orangtua (berkerut), tidak terlihat
lemak dan otot di bawah kulit (kelihatan tulang di bawah kulit), rambut mudah patah dan
kemerahan, gangguan kulit, gangguan pencernaan (sering diare), pembesaran hati dan
sebagainya. Anak tampak sering rewel dan banyak menangis meskipun setelah makan,
karena masih merasa lapar.
Berikut adalah gejala pada marasmus adalah:
a. Anak tampak sangat kurus karena hilangnya sebagian besar lemak dan ototototnya,
tinggal tulang terbungkus kulit
b. Wajah seperti orang tua
c. Iga gambang dan perut cekung
d. Otot paha mengendor (baggy pant)
e. Cengeng dan rewel, setelah mendapat makan anak masih terasa lapar
(Depkes RI, 2000)

37
Gambar 3. Marasmus

3. Diagnosis
Diagnosis gizi buruk dapat diketahui melalui gejala klinis, antropometri dan
pemeriksaan laboratorium. Gejala klinis gizi buruk berbeda-beda tergantung dari derajat
dan lamanya deplesi protein dan energi, umur penderita, modifikasi disebabkan oleh
karena adanya kekurangan vitamin dan mineral yang menyertainya. (Krisnansari D.,
2010).
Gejala klinis gizi buruk ringan dan sedang tidak terlalu jelas, yang ditemukan
hanya pertumbuhan yang kurang seperti berat badan yang kurang dibandingkan dengan
anak yang sehat. Gizi buruk ringan sering ditemukan pada anak-anak dari 9 bulan
sampai 2 tahun, akan tetapi dapat dijumpai pula pada anak yang lebih besar.
Pertumbuhan yang terganggu dapat dilihat dari pertumbuhan linier mengurang atau
terhenti, kenaikan berat badan berkurang, terhenti dan adakalanya beratnya menurun,
ukuran lingkar lengan atas menurun, maturasi tulang terlambat, rasio berat terhadap
tinggi normal atau menurun, tebal lipat kulit normal atau mengurang, anemia ringan,
aktivitas dan perhatian berkurang jika dibandingkan dengan anak sehat, adakalanya
dijumpai kelainan kulit dan rambut.
Gizi buruk berat memberi gejala yang kadang-kadang berlainan, tergantung dari
dietnya, fluktuasi musim, keadaan sanitasi dan kepadatan penduduk.
5. Penatalaksanaan
Menurut Depkes RI (2005), penatalaksanaan gizi buruk yaitu:

38
a. Mencegah dan mengatasi hipoglikemi. Hipoglikemi jika kadar gula darah <54
mg/dl atau ditandai suhu tubuh sangat rendah, kesadaran menurun, lemah, kejang,
keluar keringat dingin, pucat. Pengelolaan berikan segera cairan gula: 50 ml dekstrosa
10% atau gula 1 sendok teh dicampurkan ke air 3,5 sendok makan, penderita diberi
makan tiap 2 jam, antibotik, jika penderita tidak sadar, lewat sonde. Dilakukan evaluasi
setelah 30 menit, jika masih dijumpai tanda-tanda hipoglikemi maka ulang pemberian
cairan gula tersebut.
b. Mencegah dan mengatasi hipotermi. Hipotermi jika suhu tubuh anak < 35oC ,
aksila 3 menit atau rectal 1 menit. Pengelolaannya ruang penderita harus hangat, tidak
ada lubang angin dan bersih, sering diberi makan, anak diberi pakaian, tutup kepala,
sarung tangan dan kaos kaki, anak dihangatkan dalam dekapan ibunya (metode
kanguru), cepat ganti popok basah, antibiotik. Dilakukan pengukuran suhu rectal tiap 2
jam sampai suhu > 36,5oC, pastikan anak memakai pakaian, tutup kepala, kaos kaki.
c. Mencegah dan mengatasi dehidrasi. Pengelolaannya diberikan cairan Resomal
(Rehydration Solution for Malnutrition) 70-100 ml/kgBB dalam 12 jam atau mulai
dengan 5 ml/kgBB setiap 30 menit secara oral dalam 2 jam pertama. Selanjutnya 5-10
ml/kgBB untuk 4-10 jam berikutnya, jumlahnya disesuaikan seberapa banyak anak mau,
feses yang keluar dan muntah. Penggantian jumlah Resomal pada jam 4,6,8,10 dengan
F75 jika rehidrasi masih dilanjutkan pada saat itu. Monitoring tanda vital, diuresis,
frekuensi berak dan muntah, pemberian cairan dievaluasi jika RR dan nadi menjadi
cepat, tekanan vena jugularis meningkat, jika anak dengan edem, oedemnya bertambah.
d. Koreksi gangguan elektrolit. Berikan ekstra Kalium 150- 300mg/kgBB/hari,
ekstra Mg 0,4- 0,6 mmol/kgBB/hari dan rehidrasi cairan rendah garam (Resomal)
e. Mencegah dan mengatasi infeksi. Antibiotik (bila tidak komplikasi :
kotrimoksazol 5 hari, bila ada komplikasi amoksisilin 15 mg/kgBB tiap 8 jam 5 hari.
Monitoring komplikasi infeksi ( hipoglikemia atau hipotermi)
f. Mulai pemberian makan. Segera setelah dirawat, untuk mencegah hipoglikemi,
hipotermi dan mencukupi kebutuhan energi dan protein. Prinsip pemberian makanan
fase stabilisasi yaitu porsi kecil, sering, secara oral atau sonde, energi 100
kkal/kgBB/hari, protein 1-1,5 g/kgBB/hari, cairan 130 ml/kgBB/hari untuk penderita
marasmus, marasmik kwashiorkor atau kwashiorkor dengan edem derajat 1,2, jika
derajat 3 berikan cairan 100 ml/kgBB/hari.

39
g. Koreksi kekurangan zat gizi mikro. Berikan setiap hari minimal 2 minggu
suplemen multivitamin, asam folat (5mg hari 1, selanjutnya 1 mg), zinc 2
mg/kgBB/hari, cooper 0,3 mg/kgBB/hari, besi 1-3 Fe elemental/kgBB/hari sesudah 2
minggu perawatan, vitamin A hari 1 (<6 bulan 50.000 IU, 6-12 bulan 100.000 IU, >1
tahun 200.000 IU)
h. Memberikan makanan untuk tumbuh kejar. Satu minggu perawatan fase
rehabilitasi, berikan F100 yang mengandung 100 kkal dan 2,9 g protein/100ml,
modifikasi makanan keluarga dengan energi dan protein sebanding, porsi kecil, sering
dan padat gizi, cukup minyak dan protein.
i. Memberikan stimulasi untuk tumbuh kembang. Mainan digunakan sebagai
stimulasi, macamnya tergantung kondisi, umur dan perkembangan anak sebelumnya.
Diharapkan dapat terjadi stimulasi psikologis, baik mental, motorik dan kognitif.
j. Mempersiapkan untuk tindak lanjut di rumah. Setelah BB/PB mencapai - 1SD
dikatakan sembuh, tunjukkan kepada orang tua frekuensi dan jumlah makanan, berikan
terapi bermain anak, pastikan pemberian imunisasi boster dan vitamin A tiap 6 bulan
D. PNEUMONIA
1 . Pengertian
Pneumonia adalah peradangan akut pada parenkim paru, bronkiolus respiratorius
dan alveoli, menimbulkan konsolidasi jaringan paru sehingga dapat mengganggu
pertukaran oksigen dan karbon dioksida di paru-paru.
2. Klasifikais Pneumonia
Menurut gambaran klinik pneumonia dibagi atas typical pneumonia dan atypical
pneumonia atau pneumonia yang tidak khas. Typical pneumonia secara klinik ditandai
dengan demam tinggi, perasaan dingin, nyeri dada dan batuk produktif, terdapat
leukositosis, secara radiologis biasanya melibatkan satu 1obus. Kuman penyebab yang
sering antara lain adalah Streptococcus pneumoniae, Hemophilus influenzae, Klebsiella
pneumoniae, Staphylococcus aureus, bakteri aerob gram negatif dan bakteri aerob.
Atypical pneumonia sering tanpa gejala demam, rasa dingin, batuk tidak produktif, nyeri
kepala, mialgia, leukositosis yang tidak terlalu tinggi. Secara radiologis didapatkan
gambaran bronkopneumonia.
Klasifikasi lain dan pneumonia adalah menurut tempat asal infeksi, dibagi atas:

40
 Community acquired pneumonia yaitu pneumonia yang didapat dalam
masyarakat.
 Hospital acquired (nosokomial) yaitu pneumonia yang didapat di rumah sakit.
Berdasarkan etiologi, pneumonia dapat dibagi atas:
- Pneumonia bakteri
- Pneumonia virus
- Pneumonia mikoplasma
- Pneumonia riketsia
Pada pneumonia bakteri, kuman penyebab yang sering antara lain Streptococcus
pneumonia dan Staphylococcus pyogenes.
3. Diagnosis
Tidak didapatkan demam pada 20% pneumonia usia lanjut dan dapat tanpa
disertai batuk produktif dan perasaan dingin. Pada pemeriksaan fisik, tanda klasik seperti
perkusi yang redup, suara napas bronkial, ronki basah tidak selalu dijumpai. Frekuensi
pernapasan 24 kali per menit cukup bermakna pada penderita pneumonia usia lanjut.
Pneumonia usia lanjut dapat bersama-sama syok septik yang memberi gejala letargi,
anoreksi, dan perubahan mental. Pada sebagian besar penderita didapatkan leukosit yang
normal atau sedikit meninggi, kadang-kadang didapatkan leukositosis. Dapat terjadi
peningkatan ureum, kreatinin dan glukosa, terdapat juga hiponatremi atau hipernatremi,
hipofosfatemi; dapat terjadi hipoksemi yang disebabkan infeksi akut dan dapat disertai
payah jantung, PPOK atau keduanya. Pada pneumonia usia lanjut diagnosis radiologik
ditegakkan bila didapatkan gambaran infiltrat baru. Tetapi kadang-kadang sulit menilai
gambaran radiologik terutama jika didapatkan keadaan dehidrasi. Sering kali infiltrat
belum terlihat pada 24-48 jam setelah perawatan. Gambaran radiologi kadang-kadang
masih tampak normal pada pneumonia dini, pneumonia oleh bakteri gram negatif dan
tuberkulosis endobronkial.
4. Tatalaksana
Identifikasi etiologi penting untuk pengobatan antibiotika. Pemeriksaan bakteri
dapat dengan cara pewarnaan gram dan sputum, pewarnaan gram cairan pleura, kultur
sputum, kultur darah dan cairan pleura. Kadang-kadang sukar untuk memperoleh sputum
yang baik pada pneumonia usia lanjut, karena itu dapat digunakan antibiotik secara
empirik. Dapat juga dilakukan upaya diagnostik secara invasif seperti aspirasi

41
transtrakeal, aspirasi endotrakeal dan bronkoskopi. Hasil yang didapat pada tindakan
diagnostik invasif ini tergantung dan keahlian melakukan prosedur, dibutuhkan nilai yang
akurat secara mikrobiologi.
Pada pneumonia oleh pneumococcus, penisilin adalah obat pilihan utama. Pada
pneumonia ringan dapat diberikan peroral, tetapi pada pneumonia berat dengan
malabsorbsi perlu diberikan dengan cara parenteral, dosis dapat lebih dari 1.2 juta unit
per hari. Pada bakteremi tidak dibenarkan pemberian penisilin dosis tinggi guna untuk
menghindari efek samping penisilin seperti anemi hemolitik. Pada penderita yang alergi
terhadap penisilin dapat diberikan eritromisin. Pemberian eritromisin intravena dapat
mengakibatkan nausea, vomitus, tromboflebitis dan kehilangan pendengaran yang
reversibel terutama pada usia lanjut dengan fungsi ginjal menurun. Pemberian
sefalosporinharus hati-hati pada penderita alergi terhadap penisilin sebab dapat terjadi
reaksi hipersensitif si1ang.
Terjadinya demam berulang umumnya karena reaksi obat atau terjadi superinfeksi
yang terjadi hari keempat sampai ketujuh pengobatan.
Dalam penatalaksanaan harus diperhatikan nutrisi, jumlah kalori yang dibutuhkan
baik parenteral atau melalui pipa lambung. Cairan dan elektrolit perlu dinilai karena pada
pneumonia dapat terjadi hiponatremi atau hipernatremi. Infeksi meningkatkan
katabolisme protein dan melemahkan sistim imunitas humoral dan seluler.
Sistim respirasi harus diperhatikan, bila terjadi hipoksemi dapat diberi oksigen.
Pemberian oksigen dapat dinilai dengan analisis gas darah, karena keracunan oksigen
dapat melemahkan gerakan mukosiliar dan menyebabkan fibrosis.
Penting diperhatikan interaksi obat-obat yang dipakai, agar dicapai efek obat yang
maksimum dengan efek samping yang minimal. Dalam pemberian obat lebih dari dua
macam dapat terjadi percepatan metabolisme obat, pengaruh terhadap pembuluh darah
perifer atau mempengaruhi sistem saraf sentral.
Fisioterapi diperlukan untuk pengeluaran sputum dan juga untuk mencegah
terjadinya dekubitus serta mencegah terjadinya kontraktur.

42
E. HIPOTIROID KONGENITAL
1. Definisi
Hipotiroid kongenital adalah suatu keadaan hormon tiroid yang tidak adekuat pada
bayi baru lahir sehingga tidak mampu memenuhi kebutuhan tubuh yang dapat disebabkan
oleh kelainan anatomi kelenjar tiroid, kelainan genetik, kesalahan biosintesis tiroksin serta
pengaruh lingkungan.
2. Etiologi dan Patogenesis
Hipotiroid dapat terjadi melalui jalur berikut
Jalur 1
Agenesis tiroid dan keadaan lain yang sejenis menyebabkan sintesis dan sekresi
hormon tiroid menurun sehingga terjadi hipotiroid primer dengan peningkatan kadar TSH
tanpa adanya struma.
Jalur 2
Defisiensi iodium berat menyebabkan sintesis dan sekresi hormon tiroid menurun,
sehingga hipofisis non sekresi TSH lebih banyak untuk memacu kelenjar tiroid
mensintesis dan mensekresi hormon tiroid agar sesuai dengan kebutuhan. Akibatnya
kadar TSH meningkat dan kelenjer tiroid membesar (stadium kompensasi). Walaupun
pada stadium ini terdapat struma difusa dan peningkatan kadar TSH, tetapi kadar tiroid
tetap normal. Bila kompensasi ini gagal, maka akan terjadi stadium dekompensasi, yaitu
terdapatnya struma difusa, peningktan kadar TSH, dan kadar hormon tiroid rendah.
Jalur 3
Semua hal yang terjadi pada kelenjer tiroid dapat mengganggu atau menurunkan
sintesis hormon tiroid (bahan/ obat goitrogenik, tiroiditis, pasca tiroidektomi, pasca terapi
dengan iodium radioaktif, dan adanya kelainan enzim didalam jalur sintesis hormon
tiroid) disebut dishormogenesis yang mengakibatkan sekresi hormon tiroid menurun,
sehingga terjadi hipotiroid dengan kadar TSH tinggi, dengan/tanpa struma tergantung
pada penyebabnya.
Jalur 4A
Semua keadaan yang menyebabkan penurunan kadar TSH akibat kelainan
hipofisis akan mengakibatkan hipotiroid tanpa struma dengan kadar TSH yang sangat
rendah atau tidak terukur.
Jalur 4B

43
Semua kelainan hipotalamus yang mengakibatkan yang menyebabkan sekresi
TSH ynag menurun akan menyebabkan hipotiroid dengan kadar TSH rendah dan tanpa
struma.
Jalur 1, 2, dan 3 adalah patogenesis hipotiroid primer dengan kadar TSH yang
tinggi. Jalur 1 tanpa desertai struma, jalur 2 disertai struma, dan jalur 3 dapat dengan atau
tanpa struma. Jalur 4A dan 4B adalah patogenesis hipotiroid sekunder dengan kadar TSH
yang tidak terukur atau rendah dan tidak ditemukan struma.
3. Diagnosis
Diagnosis dibuat berdasarkan anamnesis, gejala klinis, pemeriksaan laboratorium,
pemeriksaan radiologis dan skrining.
Anamnesis
Anamnesis yang cermat pada keluarga dapat membantu menegakkan diagnosis dengan
menanyakan apakah ibu berasal dari daerah gondok endemik, riwayat struma pada ibu,
riwayat pengobatan anti tiroid waktu hamil atau tidak, riwayat struma pada keluarga dan
perkembangan anak.
Gejala Klinis
Kebanyakan anak dengan hipotiroid kongenital, gejala klinis pada periode neonatal
sangatlah jarang atau ringan dan tidak spesifik, meskipun terdapat agenesis kelenjar tiroid
komplit. Berat badan dan panjang lahir adalah normal, tetapi ukuran kepala dapat sedikit
meningkat karena miksedema otak. Ikterus fisiologis yang berkepanjangan, yang
disebabkan oleh maturasi glukoronid konjugasi yang terlambat, mungkin merupakan
gejala paling awal. Kesulitan memberi makan, terutama kelambanan, kurang minat,
somnolen, dan serangan tersedak saat dirawat, sering muncul selama umur bulan
pertama. Kesulitan bernapas, sebagian karena lidah yang besar, termasuk episode apnea,
pernapasan berbunyi, dan hidung tersumbat. Sindrom distres pernapasan yang khas juga
dapat terjadi. Bayi yang terkena sedikit menangis, banyak tidur, tidak selera makan, dan
biasanya lamban. Mungkin ada konstipasi yang biasanya tidak berespon terhadap
pengobatan. Perut besar dan biasanya ada hernia umbilikalis. Suhu badan subnormal,
sering dibawah 350C, dan kulit terutama tungkai, mungkin dingin dan burik (mottled).
Edema genital dan tungkai mungkin ada. Nadi lambat, bising jantung, kardiomegali, dan
efusi perikardium asimptomatik biasanya ada. Anemia makrositik sering ada dan

44
refrakter terhadap pengobatan dengan hematinik. Karena gejala-gejala muncul secara
bertahap, diagnosis sering kali terlambat.
Manifestasi ini terus berkembang. Retardasi perkembangan fisik dan mental menjadi
lebih besar selama bulan-bulan berikutnya, dan pada usia 3-6 bulan, gambaran klinis
berkembang sepenuhnya. Bila hanya ada defisiensi hormon tiroid parsial, gejalanya dapat
lebih ringan, dan onsetnya terlambat. Meskipun air susu ibu mengandung sejumlah
hormon tiroid, terutama T3, hormon ini tidak cukup untuk melindungi bayi yang
menyusu dengan hipotiroidisme kongenital, dan tidak mempunyai pengaruh pada uji
skrining tiroid neonatus.
Pertumbuhan anak tersendat, ekstremitas pendek, dan ukuran kepala normal atau
bahkan meningkat. Fontanella anterior dan posterior terbuka lebar. Pengamatan tanda ini
pada saat lahir dapat berperan sebagai pedoman awal untuk mengenali hipotiroidisme
kongenital. Hanya 3% bayi baru lahir normal memiliki fontanella posterior yang lebih
besar dari 0,5cm. Matanya tampak terpisah lebar, dan jembatan hidung yang lebar terlihat
cekung. Fisura palpebra sempit dan kelopak mata membengkak. Mulut terbuka, dan lidah
yang tebal serta lebar terjulur ke luar. Pertumbuhan gigi terlambat. Leher pendek dan
tebal, terdapat endapan lemak di atas klavikula dan diantara leher dan bahu. Tangan lebar
dan jari pendek. Kulit kering dan bersisik, dan sedikit keringat. Miksedema tampak,
terutama pada kulit kelopak mata, punggung tangan, dan genitalia eksterna. Karotenemia
dapat menyebabkan warna kulit menjadi kuning, tetapi skleranya tetap putih. Kulit kepala
tebal dan rambut kasar, mudah patah dan tipis. Garis rambut menurun jauh ke bagian
bawah dahi, yang biasanya tampak mengerut, terutama ketika bayi menangis.
Perkembangan biasanya terlambat. Bayi hipotiroid tampak letargi dan lamban dalam
belajar duduk dan berdiri. Suaranya serak dan bayi tidak mau belajar berbicara. Tingkat
retardasi fisik dan mental meningkat sejalan dengan usianya. Maturasi seksual dapat
terlambat atau tidak terjadi sama sekali.
Otot biasanya hipotonik, tetapi pada keadaan yang jarang, terjadi pseudohipertrofi
otot menyeluruh (sindrom Kocher-Debre-Semelaigne sindrome). Anak yang terkena
dapat berpenampilan atletis karena pseudohipertrofi, terutama pada otot betis.
Patogenesisnya belum diketahui. Perubahan ultrastruktural dan histokimia yang tidak
spesifik tampak pada biopsi otot yang kembali normal dengan pengobatan. Sindrom ini
cenderung berkembang pada anak laki-laki, yang telah diamati pada saudara kandung

45
yang lahir dari perkawinan sedarah. Penderita menderita hipotiroidisme yang lebih lama
dan lebih berat.
Pemeriksaan Laboratorium
Pada pemeriksaan hipotiroid kongenital ditemukan nilai TSH meningkat, dan T3
serta T4 menurun. Kadar T4 serum rendah, kadar T3 serum dapat normal dan tidak
bermanfaat pada diagnosis. Jika defeknya terutama pada tiroid, kadar TSH meningkat,
sering diatas 100µU/mL. Kadar prolaktin serum meningkat, berkorelasi dengan kadar
TSH serum. Kadar Tg serum biasanya rendah pada bayi dengan disgenesis tiroid atau
defek sintesis atau sekresi Tg. Kadar Tg yang tidak dapat dideteksi biasanya
menunjukkan aplasia tiroid.
4. Penatalaksanaan
Walaupun pengobatan hipotiroid efisien, mudah, murah dan memberikan hasil yang
sangat memuaskan, namun perlu dilakukan pemantauan dan pengawasan yang ketat mengingat
pentingnya masa depan anak, khususnya perkembangan mentalnya.
Tujuan pengobatan adalah :
a. Mengembalikan fungsi metabolisme yang esensial agar menjadi normal dalam waktu
singkat. Termasuk fungsi termoregulasi, respirasi, metabolisme otot dan otot jantung yang
sangat diperlukan pada masa awal kehidupan seperti proses enzimatik di otak, perkembangan
akson, dendrite, sel glia dan proses mielinisasi neuron.
b. Mengoptimalkan pertumbuhan dan perkembangan anak
c. Mengembalikan tingkat maturitas biologis yang normal, khususnya otak
Medikamentosa
Terapi harus dimulai segera setelah diagnosis hipotiroid kongenital ditegakkan.
Orang tua pasin harus diberikan penjelasan mengenai kemungkinan penyebab hipoiroid,
pentingnya kepatuhan minum obat dan prognosisnya baik jika terapi diberikan secara
dini. Natrium L-tiroksin (sodium L-thyroxin) merupakan obat yang tepat untuk
pengobatan hipotiroid kongenital. Karena 80% T3 dalam sirkulasi darah berasal dari
monodeiodinasi dari T4 maka dengan dosis yang tepat kadar T4 dan T3 akan segera
kembali normal. Dalam prakteknya pemberian dosis inisial berkisar antara 25, 37,5 atau
50 g per hari. Tiroksin sebaiknya tidak diberikan bersama-sama dengan protein kedele
atau zat besi atau makanan tinggi serat karena makanan ini akan mengikat T4 dan atau
menghambat penyerapannya.

46
Dosis tiroksin
Pada umumnya dosis bervariasi tergantung dari berat badan dan disesuaikan
dengan respons masing-masing anak dalam menormalkan kadar T4. Sebagai pedoman,
dosis yang umum digunakan adalah :
0 – 6 bulan 25-50 g/hari atau 8-15 g/kg/hari
6 – 12 bulan 50-75 g/hari atau 7-10 g/kg/hari
1 – 5 tahun 50-100 g/hari atau 5-7 g/kg/hari
5 – 10 tahun 100-150 g/hari atau 3-5 g/kg/hari
>10-12 tahun 100-200 g/hari atau 2-4 g/kg/hari
Setelah masa bayi biasanya dosis berkisar sekitar 100 g/m2/hari
Untuk neonatus yang terdeteksi pada minggu awal kehidupan direkomendasikan
untuk diberikan dosis inisial sebesar 10-15 µg/kg/hari karena lebih cepat dalam
normalisasi kadar T4 dan TSH. Bayi-bayi dengan hipotiroidisme berat ( kadar T4 sangat
rendah, TSH sangat tinggi, dan hilangnya epifise femoral distal dan tibia proksimal pada
gambaran radiologi lutut) harus dimulai dengan dosis 15 µg/kgBB/hari.
F. PROGRAM REHABILITASI MEDIK
FISIOTERAPI
Neuro Developemental Treatment (NDT) atau Bobath yaitu suatu teknik yang
dikembangkan oleh Karel dan Bertha Bobath pada tahun 1997. Metode ini khususnya
ditujukan untuk menangani gangguan system saraf pusat pada bayi dan anak-anak.
Untuk lebih efektif, penanganan harus dimulai secepatnya, sebaiknya sebelum anak
berusia 6 bulan. untuk anak pada usia yang lebih tua (diatas 6 bulan) penanganan masih
efektif, namun ketidaknormalan akan semakin tampak seiring dengan bertambahnya usia
anak dan biasanya membawa terapi pada kehidupan sehari-hari sangat sulit dicapai.
Tujuan Metode Bobath:
1. Memperbaiki dan mencegah postur dan pola gerakan abnormal.
2. Mengajarkan postur dan pola gerak yang normal.
Prinsip Terapi dan Penanganan :
1. Simetris dalam sikap dan gerakan
2. Seaktif mungkin mengikuti sertakan sisi yang sakit pada segala kegiatan.
3. Pemakaian gerakan-gerakan ADL dalam terapi.
4. Konsekuensi selama penanganan (ada tahap-tahap dalam terapi).

47
5. Pembelajaran bukan diarahkan pada gerakannya, tetapi pada perasaan gerakan.
6. Terapi dilakukan secara individu
Prinsip Bobath :
1. Kemampuan mekanik setelah mengalami lesi atau dengan menggunakan penanganan
yang tepat memungkinkan untuk diperbaiki
2. Lesi pada susunan saraf pusat menyebabkan gangguan fungsi secara keseluruhan
namun dalam NDT yang ditangani adalah motorik.
3. Spastisitas dalam NDT dipandang sebagai gangguan dari sikap yang normal dan
kontrol gerakan.
4. Gerakan otot yang normal dapat dilakukan jika tonus otot normal.
5. Mekanisme Postural Reflex yang normal merupakan dasar gerakan yang normal.
6. Otot kehilangan fungsi masing - masing gerakan dan pola.
7. Gerakan dicetuskan di sensoris dilaksanakan oleh motorik dan dikontrol oleh
sensoris.
Metode ini dimulai dengan mula-mula menekankan reflek-reflek abnormal yang
patologis menjadi penghambat terjadinya gerakan-gerakan normal.
Anak harus ditempatkan dalam sikap tertentu yang dinamakan Reflek Inhibiting
Posture (RIP) yang bertujuan untuk menghambat tonus otot yang abnormal.
Cara Penanganan dan Menghambat Tonus Otot Abnormal Dengan Teknik RIP:
1. Handling (pegangan)
Pegangan pasien yang tepat diperlukan untuk mempengaruhi tonus postural
(tubuh), mengatur koordinasi, menghinbisi pola abnormal, dan memfasilitasi respon
secara otomatis. Dengan handling yang tepat, tonus serta pola gerak yang abnormal dapat
dicegah sesaat setelah terlihat tanda-tandanya.
2. Key Point of Control (KPoC)
KPoC yaitu titik yang digunakan terapis dalam melakukan inhibisi dan fasilitasi.
KPoC harus dimulai dari proksimal ke distal (bergerak mulai dari kepala-leher-badan-
kaki dan jari kaki ).
Dengan bantuan KPoC, pola inhibisi dapat dilakukan pada pasien dengan cara
kebalikan pola KPoC ( dari distal-proksimal) sehingga memudahkan terapis untuk
melakukan inhibisi.

48
Teknik Terapi Bobath:
Metode Bobath mempunyai beberapa teknik :
1) Inhibisi dari postur yang abnormal dan tonus otot yang dinamis
Inhibisi : usaha untuk menghambat dan menurunkan tonus otot. Tekniknya
disebut Reflex Inhibitory Paternt. Perubahan tonus postural dan patern menyebabkan
dapat bergerak lebih normal dengan menghambat pola gerak abnormal menjadi sikap
tubuh yang normal dengan menggunakan teknik “Reflex Inhibitory Pattern”.
Caranya dengan Inhibisi dari postur yang abnormal dan tonus otot yang dinamis.
Dengan bantuan KPoC maka inhibisi dapat dilakukan dengan cara kebalikan pola KPoC.
Yaitu dari distal ke proksimal.
2) Stimulasi terhadap otot-otot yang mengalami hypertonik ,
Stimulasi (rangsangan) : usaha untuk memperkuat dan meningkatkan tonus otot
melalui propioseptif dan taktil. Berguna untuk meningkatkan reaksi pada anak,
memelihara posisi dan pola gerak yang dipengaruhi oleh gaya gravitasi secara automatic.
Teknik stimulasi sebagai berikut:
Tapping: Ditujukan pada group otot antagonis dari otot yang spastic.
Placcing dan Holding: Penempatan pegangan.
Placcing Weight Bearing: Penumpukan berat badan.
3) Fasilitasi pola gerak normal (Rood, 2000)

Fasilitasi : usaha untuk mempermudah reaksi-reaksi automatik dan gerak motorik


yang sempurna pada tonus otot normal. Tekniknya disebut “Key Point of Control”.
Fasilitasi berfungsi untuk stimulasi otot - otot yang mengalami hipertonik.
Tujuannya:
a. Untuk memperbaiki tonus postural yang normal.
b. Untuk memelihara dan mengembalikan kualitas tonus normal.
c. Untuk memudahkan gerakan-gerakan yang disengaja, diperlukan dalam aktifitas
sehari-hari.
Berikut adalah beberapa contoh teknik fasilitasi :

49
Gambar 4. Fasilitasi duduk dari posisi tengkurap

Gambar 5. Fasilitasi berdiri dari posisi duduk

Gambar 6. Fasilitasi ekstensor vertebrae dan supporting reaction pada


otot lengan ke depan

50
Tahap Dasar Latihan Bobath dibagi menjadi 4 tahapan :
1. Latihan mengontrol kepala dan tangan.
Latihan mengontrol kepala dan tangan sangat penting sebagai tahap awal dari
latihan selanjutnya. Mengangkat dan menahan kepala serta badan melalui penumpuan
tangan berguna untuk persiapan berguling, merangkak dan duduk.
2. Latihan mengontrol badan untuk duduk.
Pada tahap ini, anak diajarkan untuk mempertahankan badannya tetap tegak
sewaktu ia bergerak bersandar pada tangannya. Posisi duduk akan membuat anak mampu
melihat kedua tangannya dan mempergunakannya.
Tujuan latihan pada tahap ini yaitu agar anak dapat beraktivitas ke segala arah
pada saat duduk, mempersiapkan diri untuk berdiri dan jongkok dari posisi duduk, dan
beraktivitas dari posisi duduk ke merangkak.
3. Latihan untuk mengontrol tungkai untuk berdiri dan berjalan.
Tujuan yang ingin dicapai pada tahap ini yaitu agar anak dapat mempersiapkan
tungkainya dari duduk berlutut untuk selanjutnya berdiri.
4. Edukasi keluarga.
Edukasi diperlukan untuk mengajarkan dan menginformasikan kepada keluarga
untuk melatih anak dengan teratur dan penuh kasih sayang di rumah agar anak lebih cepat
mandiri.
Keluarga atau orang tua diajarkan untuk menggerakkan sendi secara penuh setiap
hari sekitar 3 kali per sendi tanpa disertai dengan gerakan paksaan. Hal ini untuk
memelihara jarak gerak sendi anak dan untuk mencegah kekakuan.

OKUPASI TERAPI
Peran Okupasi Terapi adalah pada bidang daily living skills, personal dan
aktivitas instrumental pada kehidupan sehari-hari. Melatih pasien untuk melakukan
program rehabilitasi medik yaitu latihan ROM, stengthening otot termasuk kekuatan grip
dan pinch, fungsi tangan, koordinasi fine motor, manipulasi dan keterampilan, serta
membantu mobilitas pasien terutama berjalan. Juga mengenai toleransi pekerjaan seperti
membungkuk, mengangkat dan lain-lain

51
Terapi okupasi dapat membantu seseorang menguasai keterampilan motorik halus
dengan lebih baik. Keterampilan motorik halus adalah kemampuan seseorang untuk
melakukan sesuatu dengan otot-otot kecil yang ada di dalam tangan.
Contoh kemampuan motorik halus :
 menulis dan menggambar
 mewarnai

 menggunting dan menempel


 mengancing baju

 mengikat tali sepatu


 melipat

Untuk melakukan okupasional tersebut diperlukan koordinasi gerak, atensi dan


konsentrasi, kekuatan, otot, keseimbangan. kemampuan berinteraksi sesial, reflex, kendali
diri, dan sebagainya.
Peran Terapi Okupasi adalah membantu menungkatkan kemampuan tersebut diatas
melalui aktifitas terapeutik yang sesuai dengan program terapi anak sehingga dapat
melakukan aktifitas keseharian dengan mandiri.
Jenis-jenis gangguan yang memerlukan terapi okupasi
– Gangguan konsentrasi
– Gangguan motorik (gerak, clumsiness)
– Kesulitan belajar
– Gangguan sensori (tidak mau dipeluk, takut ketinggian, gangguan keseimbangan)
– Ganggan tumbuh kembang (terlambat bicara, terlambat berjalan)
– Gangguan perilaku dan emosi (tantrum/marah-marah)
– Gangguan interaksi sosial (menghindari kontak mata, asyik bermain sendiri)
– Hiperaktif
– Keterbelakangan mental
– Kelumpuhan otak/keterlambatan perkembangan pada otak (Cerebral Palsy)

TERAPI WICARA
Terapi wicara (speech therapy) merupakan pengobatan atau penyembuhan hal-
hal yang ada kekurangan atau kesalahan yang berhubungan dengan pengekspresian de-
ide atau fikiran, mengucapkan bunyi atau suara yang mempunyai arti sebagai hasil

52
penglihatan, pendengaran, pengalaman melalui gerakan-gerakan mulut, bibir serta
organ bicara lain yang merupakan obyek belajar serta menarik perhatian Terapi wicara
difokuskan untuk membantu anak agar lebih baik dalam menggunakan bahasa dalam
berkomunikasi dengan orang lain. Kepentingan terapi wicara terhadap pemahaman
bahasa bersifat mutlak, karena komunikasi dalam terapi wicara adalah komunikasi
verbal, pesan linguistik, dan penyampaian informasi menggunakan bahasa.
Metode terapi wicara
Terdapat beberapa metode terapi wicara (speech therapy) yaitu:
a. Metode Babbling
Anak diminta mengucapkan bunyi-bunyi secara random (ngoceh). Produksi bunyi-
bunyi belum bertujuan hanya melatih keaktifan anak menyesuaikan diri dengan
suasana baru dan untuk menyeleksi bunyi yang dihasilkan.
b. Metode imitasi
Klien menirukan bunyi suku-suku kata yang diucapkan speech therapist. Terapis
secara terarah mencari dan meyakinkan huruf-huruf yang diucapkan klien yang kurang
sempurna atau salah.
c. Metode analogi
Klien mengerjakan, mengucapkan bunyi-bunyi, kata-kata dengan didahului oleh
bunyi-bunyi yang mudah yang mempunyai dasar bunyi yang sama. Misalnya untuk
mengucapkan huruf “ d” didahului dengan latihan “b” lebih dahulu.
d. Metode manipulasi
Memanipulir alat-alat bicara dengan alat (spatel) atau dengan alat lainnya, bisa juga
dengan jari untuk “g” dan”k”.
e. Metode diagram
Metode ini dipakai untuk klien yang cukup umur yaitu dengan jalan menggambar
posisi alat-alat bicara. Misalnya posisi bibir, lidah, gigi, aliran udara dan sebagainya.
f. Metode visual
Klien melihat orang lain mengucapkan huruf-huruf (lip reading) melihat
dicermin kemudian menirukannya.
g. Metode auditif, tactil dan motor kinesthetic
1) Metode auditif, mendengarkan orang lain berbicara dan klien harus mengerti
atau harus menirukannya.

53
2) Metode tactil, klien untuk mengerti proses fisiologis dalam mengucapkan
suatu bunyi harus meraba, merasakan getaran dari setiap huruf.
3) Metode motor kinesthetic, klien harus merasakan posisi dan getaran huruf-
huruf yang diucapkan.

DAFTAR PUSTAKA

54
Al Hazmi, Dhofirul Fadhil. 2013. “Kombinasi Neuro Developmental Treatment
Dan Sensory Integration Lebih Baik Daripada Hanya Neuro
Developmental Treatment Untuk Meningkatkan Keseimbangan Berdiri
Anak Down Syndrome”. Tesis. Dempasar: Pasca Serjana, Universitas
Udayana.

Anezaki, Hiroshi. 2010. Relaxation Effects Of Snoezelen For Infants with Severe
Motor and Intellectual Disabilities. Mie University Bulletin of The
Faculty of Education. 61: 119-126. Japan

Bobath, K . 1966. The Motor Defisit in Patient with Cerebral Palsy; William
Heinemann Medical Books Ltd, Philadelpia

Dorlan, 2005. Kamus Kedokteran; Penerbit Buku Kedokteran EGC, Jakarta

Effendi, Mohammad. 2006. Pengantar Psikopedagogik Anak Berkelainan. Jakarta:


Bumi Aksara, hlm. 119

Indrastuti, L. 2004. Rehabilitasi Medik pada Crebral Palsy, diambil dari


Kumpulan Makalah Seminar Cerebral Palsy Gangguan Gerak dan Mental,
YPAC Semarang dan UNDIP, Semarang
Jupardi, I. 2007. “Aspek Neurologik Gangguan Berjalan” (online),
(http://koaskamar13. Wordpress. com/2007/11/21/aspek-neurologik-
gangguan-berjalan/. htm, diakses tanggal 23 Oktober 2017).
Levitt, S. 2007. Treatment of Cerebral Palsy and Motor Delay. 4nd ed. USA:
Blackwell Publishing

Mangunsong. 2011. Psikologi dan Pendidikan Anak Berkebutuhan Khusus Jilid


Kedua. Depok: LPSP3 UI
Mardiani, E. 2006. Faktor – Faktor Risiko Prenatal Dan Perinatal Kejadian
Cerebral Palsy. Skripsi. Semarang: Undip.
Masgutova, S. 2008. Metode Masgutova of Reflex Integrasi untuk Anak
Cerebral Palsy (Diambil dari
https://www.dhs.wisconsin.gov/sites/default/files/legacy/tiac/Treatment%2
520PDFs/Masgutova%2520Method%2520April%25202014.pdf&prev=se
arch. html

Miller, Freeman. 2007. Physical Therapy of Cerebral Palsy. New York:


Springer Science and Business Media

55
Michael PB & Garth RJ (ed). 2008. Upper Motor Neurone Syndrome and
Spasticity Clinica. New York: Cmbridge University Press

Russel, Dianne. 2002. The Gross Motor Functional Measure (GMFM).


http://www.themcmaster.ca/canchild

Salim, Abdul. 2007. “Pediatri dalam Pendidikan Luar Biasa”. Jakarta:


Departemen Pendidikan Nasional Direktorat Jendral Pendidikan Tinggi
Direktorat Ketenagaan
Setiawan, 2009: Hand Out FT C Tepi, Jurusan Fisioterapi Politeknik
Kesehatan, Surakarta.
Sherwood L. 2009. Fisiologi Manusia. Edisi ke-6. Dialihbahasakan oleh
Pendit. BU. Jakarta : Penerbit Buku Kedokteran EGC

Snell, R.S. 2007. Neuro Anatomi Klinik;Edisi Kelima,Penerbit Buku


Kedokteran EGC,Jakarta,hal.313

Sunusi, Sudading dan Nara P. 2007. Cerebral Palsy; Diakses Tanggal


22/7/2010 dari http://www.google.co.id

Sukarno. 2002. Aspek Neurologik Gangguan Berjalan; Diakses


Tanggal15/11/2007,dari http://www.google.co.id

Swaiman Kenneth F, 1998; Cerebral Palsy in Pediatric Neurology, Principle and

Practice. Mosby 1994 : 471 – 86.

Uyanik, M., Kayihan, H. 2013. Down Syndrome: Sensory Integration,


Vestibular Stimulation and Neurodevelopmental Therapy Approaches
for Children. International Encyclopedia of Rehabilitation. Available
from: URL: http://cirrie.buffalo.edu/encyclopedia/en/article/48/
Waiman, E., Soedjatmiko. Gunardi, H., Sekartini, R., Endyarni, B. 2011.
Sensori Integrasi: Dasar dan Efektifitas Terapi. Departemen Ilmu
Kesehatan Anak Fakutlas Kedokteran Universitas Indonesia, RS Dr
Cipto Mangunkusumo, Jakarta. Available from: URL:
http://goo.gl/e6jiU

Waspada, Edi (ed). 2010. Fisioterapi Pediatri II . Surakarta: Universitas


Muhammadiyah Surakarta.
Wulan. 2012. Perkembangan Motorik Childhood. Just another
wordpress.com site. Available from: URL: http://goo.gl/13Ohw

56
57

Anda mungkin juga menyukai