EKOTOKSIKOLOGI PERAIRAN
UJI TOKSISITAS SUBLETHAL
Disusun sebagi salah satu syarat untuk memenuhi tugas laporan akhir praktikum
mata kuliah Ekotoksikologi Perairan semester ganjil
Disusun oleh :
Kelompok 7 / Perikanan C
HENDRA IMAN SARO LASE 230110150175
SAEPUDIN 230110150177
VADHILAH SAVETRI 230110150181
MIRA ARISTAWIDYA 230110150196
UNIVERSITAS PADJADJARAN
FAKULTAS PERIKANAN DAN ILMU KELAUTAN
PROGRAM STUDI PERIKANAN
JATINANGOR
2017
KATA PENGANTAR
Puji dan syukur kami ucapkan kepada Tuhan Yang Maha Esa yang telah
melimpahkan rahmat dan karunia-Nya sehingga kami dapat menyelesaikan
laporan praktikum Ekotoksikologi Perairan dengan judul “Uji Toksisitas
Sublethal”.
Proses penyelesaian laporan ini tidak terlepas dari bantuan berbagai pihak,
oleh karena itu pada kesempatan ini kami menyampaikan terima kasih sebanyak-
banyaknya kepada pihak yang telah terlibat dalam penyusunan laporan ini.
Semoga bantuan, kebaikan dan dukungan yang telah diberikan kepada penyusun
selama penyelesaian laporan ini mendapat balasan yang tiada terkira dari Tuhan
Yang Maha Esa.
Laporan ini telah kami usahakan untuk disusun secara sistematis dan
tertata dengan yang mana isi laporan dijelaskan secara lebih rinci dengan
menggunakan kalimat yang sederhana serta dilengkapi dengan berbagai gambar
agar mudah dimengerti dan dipahami. Akhir kata, penyusun berharap semoga
dengan adanya laporan ini dapat memberi pengetahuan yang luas mengenai uji
toksisitas sublethal.
Penyusun
ii
DAFTAR ISI
BAB Halaman
DAFTAR TABEL .................................................................................... v
DAFTAR GAMBAR .............................................................................. vi
DAFTAR LAMPIRAN .......................................................................... vii
I PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang ................................................................................. 1
1.2 Tujuan Praktikum ............................................................................ 2
1.3 Manfaat Praktikum .......................................................................... 2
II TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Tinjauan Umum Uji Toksisitas Sub-Lethal .................................. 3
2.2 Tinjauan Umum Biota Uji Ikan Bandeng ..................................... 4
2.3 Tinjauan Umum Bahan Toksik ..................................................... 5
2.3.1 Benzene......................................................................................... 5
2.3.2 Kloroform ..................................................................................... 6
2.3.3 Fenol ............................................................................................. 6
2.3.4 Crude Oil ...................................................................................... 8
2.3.5 Oli Bekas ...................................................................................... 9
2.4 Tinjauan Umum Pengamatan Fisiologi Ikan .............................. 11
III BAHAN DAN METODE
3.1 Waktu dan Tempat Pelaksanaan Praktikum ............................... 13
3.2 Alat dan Bahan ........................................................................... 13
3.2.1 Alat-alat ...................................................................................... 13
3.2.2 Bahan-bahan ............................................................................... 13
3.3 Prosedur Kerja ............................................................................ 14
3.3.1 Persiapan ..................................................................................... 14
3.3.2 Pelaksanaan................................................................................. 15
3.3.3 Pengamatan ................................................................................. 15
3.4 Analisis Data ............................................................................... 16
IV HASIL DAN PEMBAHASAN
4.1 Hasil ............................................................................................ 17
4.1.1 Data Kelompok ........................................................................... 17
4.1.2 Data Kelas ................................................................................... 18
4.1.3. Data Angkatan ............................................................................ 19
4.2 Pembahasan ................................................................................ 26
4.2.1 Pemaparan dengan Bahan Toksik Fenol
Konsentrasi 1,8 ppm ................................................................... 26
4.2.2 Perbandingan Pemaparan Hewan Uji dengan
Berbagai Ukuran Ikan ................................................................. 27
iii
4.2.3 Perbandingan Pemaparan dengan Berbagai Ukuran Ikan
Dan Berbagai Bahan Toksik ................................................................. 28
V KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan .................................................................................... 32
5.2 Saran .............................................................................................. 32
DAFTAR PUSTAKA ............................................................................ 33
LAMPIRAN ........................................................................................... 35
iv
DAFTAR TABEL
v
DAFTAR GAMBAR
vi
DAFTAR LAMPIRAN
vii
BAB I
PENDAHULUAN
1
2
3
4
Pengaruh dari senyawa pencemar dapat diamati dalam tingkat seluler, enzim,
proses metabolisme dan regulasi (Sudarmadi 1993).
Ikan bandeng merupakan salah satu jenis ikan budidaya air payau yang
potensial dikembangkan. Jenis ikan ini mampu mentolerir salinitas perairan yang
luas (0-158 ppt) sehingga digolongkan sebagai ikan euryhaline. Ikan bandeng
mampu beradaptasi terhadap perubahan lingkungan seperti suhu, pH dan
kekeruhan air, serta tahan terhadap serangan penyakit (Ghuffron dan Kardi 1997
dalam Perceka 2011).
2.3.2 Kloroform
Kloroform adalah nama umum untuk triklorometana (CHCl3). Kloroform
dikenal karena sering digunakan sebagai bahan pembius, meskipun kebanyakan
digunakan sebagai pelarut nonpolar di laboratorium atau industri (Nugroho 2013).
Wujudnya pada suhu ruang berupa cairan, namun mudah menguap. Pada suhu
normal dan tekanan, kloroform adalah cairan yang sangat mudah menguap, jernih,
tidak berwarna, berat, sangat bias, tidak mudah terbakar.
Reaksi pembentukan kloroform dapat dilakukan dengan metode reduksi
aseton menggunakan larutan natrium hipoklorit. Aseton merupakan zat yang
bersifat flammable, titik didih 56,2oC pada tekanan 1 atm dan rapat massa 0,79
g/cm3. Sementara natrium hipoklorit merupakan larutan ionik sebagai reduktor
memiliki rapat massa 1,173 g/cm3.
Kloroform memiliki sifat fisika dan kimia sebagai berikut:
A. Sifat Fisika Kloroform
Berat molekul : 119,38 gr/mol
Titik didih : 61,2oC
Titik lebur : -63,5oC
Massa jenis : 1,49 gr/cm3
Kelarutan dalam air : 0,82 gr/l (20oC)
Viskositas : 0,542 cP
B. Sifat Kimia Kloroform
Rumus molekul : CHCl3
Merupakan larutan yang mudah menguap, tidak berwarna,
memiliki bau yang tajam dan menusuk.
Bila terhirup dapat menimbulkan kantuk.
2.3.3 Fenol
Fenol merupakan senyawa aromatik yang terdistribusi di lingkungan, baik
sebagai bahan alami maupun artifisial (Prpich dan Daugulis, 2005; Sridevi dkk.,
2012). Fenol dan turunannya diketahui sebagai komponen limbah cair berbagai
7
jenis industri, seperti farmasi, kilang minyak, tekstil dan industri batubara (Tsai
dkk, 2005; Mailin dan Firdausi, 2006; Chakraborty dkk., 2010), serta sebagai
komponen tanah gambut (Barchia, 2006; Agus dan Subiksa, 2008).
Akumulasi fenol dalam lingkungan menyebabkan timbulnya kontaminasi
lingkungan dan menimbulkan efek negatif terhadap sistem kehidupan. Oleh
karena itu, diperlukan teknologi untuk menangani masalah tersebut. Salah satu
metode yang dapat dimanfaatkan adalah dengan bioremediasi, yaitu dengan
memanfaatkan aktivitas mikroba pendegradasi fenol. Bioremediasi memberikan
alternatif yang murah dan ramah lingkungan karena hanya kemungkinan kecil
menghasilkan produk samping (Al-Thani dkk, 2007), bahkan dapat mendegradasi
polutan secara keseluruhan atau minimal mengubahnya menjadi bahan yang tidak
berbahaya (Mahiuddin dkk, 2012). Hal tersebut dapat terjadi karena beberapa
spesies mikroba, termasuk bakteri di dalamnya, dapat menggunakan fenol sebagai
sumber karbon dan memecahnya menjadi CO2 (Amro dan Soheir, 2007). Contoh
dari senyawa fenol dapat dilihat pada gambar dibawah ini :
Fenol atau asam karbolat atau benzenol adalah zat kristal tak berwarna
yang memiliki bau khas. Rumus kimianya adalah C6H5OH dan strukturnya
memiliki gugus hidroksil (-OH) yang berikatan dengan cincin fenil. Kata fenol
juga merujuk pada beberapa zat yang memiliki cincin aromatik yang berikatan
dengan gugus hidroksil. Fenol memiliki kelarutan terbatas dalam air, yakni 8,3
gram/100 ml. Fenol memiliki sifat yang cenderung asam, artinya dapat
melepaskan ion H+ dari gugus hidroksilnya. Pengeluaran ion tersebut menjadikan
anion fenoksida C6H5O− yang dapat dilarutkan dalam air.
8
bumi kita yang sudah banyak tercemar. Jumlah oli bekas yang dihasilkan pastinya
sangat besar. Bahaya dari pembuangan oli bekas sembarangan memiliki efek yang
lebih buruk daripada efek tumpahan minyak mentah biasa.
Minyak pelumas berfungsi sebagai pencegah keausan akibat gesekan
komponen mesin, pendingin, perapat, peredam suara dan mencegah korosi. Dalam
menjalankan fungsinya setelah jangka waktu tertentu minyak pelumas harus
diganti karena tidak lagi memenuhi spesifikasi yang diperlukan oleh mesin.
Sejalan dengan lajunya pembangunan, makin banyak diperlukan alat transportasi
dan mesin – mesin yang membutuhkan minyak pelumas. Hal ini berarti pula
makin banyaknya jumlah minyak pelumas bekas yang dihasilkan. Apabila minyak
pelumas bekas tersebut langsung dibuang, tentu saja akan mencemari lingkungan
karena dalam minyak pelumas bekas terkandung kotoran – kotoran logam, aditif,
sisa bahan bakar dan kotoran yang lain. Jika minyak pelumas bekas dipakai dalam
pembakaran langsung akan mencemari lingkungan karena bau dan sisa
karbonnya.
Ditinjau dari komposisi kimianya sendiri, oli adalah campuran dari
hidrokarbon kental ditambah berbagai bahan kimia aditif.Oli bekas lebih dari itu,
dalam oli bekas terkandung sejumlah sisa hasil pembakaran yang bersifat asam
dan korosif, deposit, dan logam berat yang bersifat karsinogenik.
Terdapat delapan macam benda pencemar biasa terdapat dalam oli yakni :
ion, dan osmoregulator. Beberapa jenis ikan mempunyai labirin yang merupakan
perluasan ke atas dari insang dan membentuk lipatan-lipatan sehingga merupakan
rongga-rongga tidak teratur. Labirin ini berfungsi menyimpan cadangan O2
sehingga ikan tahan pada kondisi yang kekurangan O2. Contoh ikan yang
mempunyai labirin adalah: ikan gabus dan ikan lele. Untuk menyimpan cadangan
O2, selain dengan labirin, ikan mempunyai gelembung renang yang terletak di
dekat punggung.
Stickney (1979) menyatakan salah satu penyesuaian ikan terhadap
lingkungan ialah pengaturan keseimbangan air dan garam dalam jaringan
tubuhnya, karena sebagian hewan vertebrata air mengandung garam dengan
konsentrasi yang berbeda dari media lingkungannya. Ikan harus mengatur tekanan
osmotiknya untuk memelihara keseimbangan cairan tubuhnya setiap waktu.
BAB III
METODOLOGI PRAKTIKUM
3.2.1 Alat-alat
1. Bak fiber, untuk wadah aklimatisasi ikan saat persiapan praktikum.
2. Akuarium, sebagai wadah pengujian/perlakuan.
3. Selang dan batu aerasi, alat bantu penyedia oksigen bagi ikan di
dalam akuarium.
4. Pompa aerasi, alat bantu penyedia oksigen bagi ikan di dalam
akuarium.
5. Saringan ikan, alat bantu mengambil ikan.
6. Timbangan, untuk mengukur bobot ikan.
7. Selang siphon, untuk mengambil kotoran yang mengendap.
8. pH meter, untuk mengukur pH.
9. Hand counter, sebagai alat bantung menghitung (counting).
3.2.2 Bahan-bahan
1. Ikan uji (3 kelas ukuran), sebagai bioassay/hewan uji coba.
2. Benzene, sebagai bahan toksik uji.
3. Fenol, sebagai bahan toksik uji.
4. Kloroform, sebagai bahan toksik uji.
13
14
Akuarium dibersihkan dan dibilas dengan air bersih, lalu isi sebanyak 5 liter
dengan air bersih.
3.3.2 Pelaksanaan
Prosedur yang dilakukan pada pelaksaan praktikum ekotoksikologi
perairan mengenai uji toksisitas sub-lethal adalah sebagai berikut:
Dibuat konsentrasi stock dari bahan uji masing-masing sebesar 10000 mg/L.
Dari bak fiber diambil 3 ekor ikan kecil dan 2 ekor ikan besar, ditimbang bobot
awal masing-masing ikan dan dijumlahkan.
Diamati gejala fisiologis dan gejala klinis. Gejala fisiologis yang diamati:
bukaan operculum, gerak renang. Gejala klinis yang diamati: jumlah lendir pada
sisik ikan.
Ikan diberi pakan 1% dari biomassa dan dilakukan siphonisasi tiap harinya
selama pengamatan.
3.3.3 Pengamatan
Prosedur yang dilakukan pada pengamatan praktikum ekotoksikologi
perairan mengenai uji toksisitas sub-lethal adalah sebagai berikut:
16
Pengamatan ikan uji dilakukan pada satu jam pertama dilanjutkan dengan
pengamatan harian selama satu minggu.
Pemberian pakan diberikan setiap hari sebanyak 1% dari biomassa dan disifon
setiap hari.
4.1 Hasil
4.1.1 Data Kelompok
Tabel 3. Data Kelompok
Gerak Aktivitas
Waktu Lendir Mortalitas SR
Operculum Gerak
Dedah
Kecil Besar Kecil Besar Kecil Besar Kecil Besar Kecil Besar
160 144
30 menit 176 140 +++ ++ ++ ++ 0 0 100% 100%
187 155
Rata2 174,3 144,6
160 108
1 hari 158 73 +++ ++ ++ ++ 0 0 100% 100%
160 89
Rata2 159,3 90
146 144
2 hari 147 156 ++ ++ ++ ++ 0 0 100% 100%
150 154
Rata2 147,6 151,3
140 114
3 hari 144 120 + ++ + + 0 0 100% 100%
156 119
Rata2 146,6 117,6
159 141
4 hari 176 129 + ++ + + 33,3% 0 66,7% 100%
187 131
Rata2 174 133,6
124 104
5 hari 122 109 + ++ + + 33,3% 0 66,7% 100%
110 78
17
18
Gerak Aktivitas
Waktu Lendir Mortalitas SR
Operculum Gerak
Dedah
Kecil Besar Kecil Besar Kecil Besar Kecil Besar Kecil Besar
Rata2 118,6 97
110 148
6 hari 111 150 ++ ++ + + 33,3% 0 66,7% 100%
116 146
Rata2 112,3 148
120 89
7 hari 119 73 ++ ++ ++ ++ 33,3% 0 66,7% 100%
100 108
Rata2 113 90
GERAK
AKTIVITAS GEJALA KLINIS
OPERKULUM
GERAK (AG) (LENDIR)
BAHAN KONSENTRASI (GO) SR
KEL.
TOKSIK (ppm) IKAN IKAN IKAN IKAN IKAN IKAN (%)
KECIL BESAR KECIL BESAR KECIL BESAR
(IK) (IB) (IK) (IB) (IK) (IB)
19 140 100,75 96,5 PASIF PASIF 2++ 2++ 60%
20 157,5 39 41 AKTIF AKTIF 2++ 2++ 0%
100 80 80
80
60 80
40 60 60 60
20 0
0
150 116.125
100 121.625
119.5 98 103.625 109
50 92
0
80
80 80
60
60
40
40
20
0
136.25 140
150 125.25 124.3 123.91625
100
100 118.625 131.375 131.5 114 121.625
119.375 103.375 93.5
50
0
100
80
60 80
40 60
20
0
50
Konsentrasi (ppm)
Gambar 15. Grafik Hubungan Konsentrasi Crude Oil dengan Gerak Operculum
pada Ikan Bandeng Besar
24
162 162 139 120 133 148 133 111 130 149 153
200 106 117 106 93 93
Buka tutup operculum
100
0
Konsentrasi (ppm)
Gambar 16. Grafik Hubungan Konsentrasi Crude Oil dengan Gerak Operculum
pada Ikan Bandeng Kecil
100 80 80 80
80 60
60 40
40
20
0
Konsentrasi (ppm)
Gambar 17. Grafik Hubungan Konsentrasi Crude Oil dengan Survival Rate Ikan
Bandeng
25
143 136
150 128 126 126 118
117 115 114
97 132
100
50 76
67
Konsentrasi (ppm)
Gambar 18. Grafik Hubungan Konsentrasi Oli Bekas dengan Gerak Operculum
Ikan Bandeng Besar
155 145
137 143 136
150 117 119 125 122 126 129
100 115
101 101
50 67
Konsentrasi (ppm)
Gambar 19. Grafik Hubungan Konsentrasi Oli Bekas dengan Gerak Operculum
Ikan Bandeng Kecil
26
80
60
60
40
20
0 0 0
0
Konsentrasi (ppm)
Gambar 20. Grafik Hubungan Konsentrasi Oli Bekas dengan Survival Rate Ikan
Bandeng
4.2 Pembahasan
4.2.1 Pemaparan dengan Bahan Toksik Fenol Konsentrasi 1,8 ppm
Setelah diakukan Praktikum mengenai uji toksisitas sublethal dengan
menggunakan metode Deskripsi Kuantitatif dan menggunakan hewan yang
diujikan yaitu Canus canus (Ikan Bandeng). Kelompok kami menggunakan fenol
sebagai bahan toksik. Setelah itu kita melakukan pengamatan pada 30 menit
pertama didapatkan gerak operculum ikan kecil lebih banyak jika dibandingkan
ikan yang berukuran tubuh yang besar. Hal ini disebabkan karena ikan yang
berukuran tubuh yang kecil energi yang dihasilkan didistribusikan untuk
pertumbuhan dan geraknya sedangkan ikan yang berukuran tubuh yang besar
energi dari metabolismenya didistribusikan kepada organ reproduksinya.lendir
yang dihasilkan pada kedua ikan tersebut sama banyaknya.banyak sedikitnya
lendir tersebut dikarenakan bahan toksik yang diberikan yang dapat mengganggu
sistem metabolisme ikan tersebut.pada 30 menit pertama tesebut belum terdapat
mortalitas atau mortalitas 0. Sedangkan tingkat SR atau survivalnya 100% artinya
tidak ada ikan yang mati.
27
Dari pengamatan yang kita lakukan sampai pada hari 3 tidak adanya
ditemukan mortalitas dan SR masih tetap 100%. Akan tetapi aktivitas ikan yang
besar lebih lincah dibandingkan ikan yang kecil, Hal ini harusnya tidak terjadi
dikarenakan biasanya ikan yang kecil aktivitas geraknya lebih agresif
dibandingkan ikan yang besar. Mungkin saja pada saat kita melakukan
pengamatan ikan yang memiliki tubuh besar tersebut menjadi stress dikarenakan
pengamatan kita yang kurang hati-hati. Pada hari ke 4 terjadi mortalitas pada ikan
yang ukuran tubuhnya kecil berjumlah 1 ikan sehingga menyebabkan nilai SR
menjadi 80%.
Aktivitas gerak ikan yang terpapar bahan toksik lebih rendah daripada ikan
kontrol. Karena kurangnya penyerapan oksigen, menyebabkan metabolisme ikan
terhambat dan berakibat pada menurunan aktivitas geraknya. Demikian pula
dengan gejala klinis yang terjadi, terlihat bahwa ikan yang terkena pemaparan
bahan toksik menjadi banyak mengeluarkan lendir. Ini menandakan bahwa
kualitas lingkungan mengalami penurunan.
Pada ikan bandeng yang terpapar bahan toksik memliki survival rate yang
lebih rendah dibandingkan dengan yang control. Hal ini terjadi karena daya tahan
ikan uji yang rendah yang menyebabkan hewan uji tidak dapat bertahan hidup
dengan lingkungan yang terpaparkan oleh bahan toksik. Ikan berukuran besar
memiliki nilai survival rate yang paling rendah yang memnunjukkan bahwa ikan
dengan ukuran tersebut paling banyak mengalami kematian. Selain karena
pengaruh bahan toksik, ukuran juga mempengaruhi tingkat penyerapan bahan
toksik dalam lingkungan yang terbatas karena ukuran ikan lebih besar.
ppm, 78.25 ppm, dan 70 ppm. Untuk survival rate diperoleh hasil yang sama yaitu
100% pada masing-masing konsentrasi kecuali untuk konsentrasi 78.25 ppm
diperoleh 80%. Untuk gerak operkulum ikan besar dengan pemaparan benzena,
diperoleh hasil berturut - turut dari tertinggi ke terendah yaitu konsentrasi 70 ppm,
78.25 ppm, dan 61.25 ppm.
Untuk gerak operkulum ikan kecil dengan pemaparan fenol diperoleh hasil
berturut- turut dari tertinggi ke terendah, yaitu 1,6 ppm, 1,8 ppm, dan 2 ppm.
Sedangkan gerak operkulum untuk ikan besar diperoleh hasil berturut- turut dari
tertinggi ke terendah, yaitu 1,8 ppm, 2 ppm, an 1,6 ppm. Untuk survival rate
diperoleh hasil, yaitu 100% untuk konsntrasi 2 ppm, 1.6 ppm diperoleh 40%, dan
1.8 ppm diperoleh 80%.
Untuk gerak operkulum ikan kecil dengan pemaparan kloroform diperoleh
hasil berturut-turut dari tertinggi ke terendah yaitu 56,25 ppm dan 50 ppm, dan
62,5 ppm. Sedangkan gerak operkulum untuk ikan besar diperoleh hasil berturut-
turut dari tertinggi ke terendah, yaitu 62,5 ppm, 50 ppm, dan 56,25 ppm. Untuk
survival rate diperoleh hasil yang sama, yaitu 100% pada masing-masing
konsentrasi.
Pada pengamatan gejala fisiologis secara umum, ikan kecil terlihat
bergerak lebih aktif dan rata-rata bukaan operculumnya lebih besar dari ikan
besar, hal itu dikarenakan ikan yang berukuran kecil sedang mengalami laju
pertumbuhan yang cepat sehingga membutuhkan asupan oksigen yang lebih
banyak untuk melakukan proses metabolisme. Namun sebaliknya, ikan kecil
memiliki kekebalan tubuh yang lebih rentan dibandingkan dengan ikan besar,
sehingga pada saat pengamatan uji toksisitas sublethal banyaknya mortalitas yang
terjadi dialami oleh ikan kecil.
rata-rata terkecil pada konsentrasi 18,75 ppm yaitu sebesar 93. Dilihat dari grafik,
rata-rata bukaan operculum ikan kecil tiap-tiap perlakuan konsentrasi tidak
berbeda jauh. Pada grafik hubungan antara konsentrasi crude oil dengan SR
didapatkan nilai terendah pada konsentrasi 50 ppm yaitu sebesar 40%, sedangkan
untuk konsentrasi yang lebih tinggi nilai SR justru lebih besar yaitu 100%.
Berdasarkan grafik hubungan konsentrasi oli bekas dengan gerak
operculum ikan besar, didapatkan nilai rata-rata gerak bukaan operculum terbesar
pada konsentrasi 192,5 ppm yaitu sebesar 169, dan rata-rata terkecil pada
konsentrasi 210 ppm yaitu sebesar 67. Pada grafik gerak operculum ikan kecil
didapatkan nilai rata-rata gerak bukaan operculum terbesar juga pada konsentrasi
192,5 ppm yaitu sebesar 166 dan rata-rata terkecil pada konsentrasi 210 ppm yaitu
sebesar 67. Pada grafik hubungan antara konsentrasi oli bekas dengan SR
didapatkan nilai SR 0% pada konsentrasi 70 ppm, 105 ppm, dan 157,5 ppm.
Sementara pada konsentrasi yang lebih tinggi, nilai SR justru lebih besar yaitu 80-
100%.
Jika dilihat secara keseluruhan jenis bahan toksik, semakin tinggi
konsentrasi bahan toksik justru semakin besar nilai survival rate (SR). Pada bahan
toksik tertentu, ketahanan hidup dan SR ikan paling rendah pada konsentrasi
tertentu. Hasil yang didapatkan berbeda-beda tergantung jenis bahan toksiknya
karena sifat toksisitas dari masing-masing polutan pun berbeda. Setelah dilakukan
pengamatan gejala fisiologis, keadaan ikan yang teracuni bahan toksik cenderung
bergerak pasif atau hiperaktif. Pada konsentrasi tertentu merupakan titik dimana
bahan toksik tersebut dapat bersifat mematikan bagi ikan. Sementara, untuk
konsentrasi bahan toksik yang lebih tinggi namun didapatkan nilai SR yang lebih
besar, hal ini menunjukkan adanya kekebalan dari ikan tersebut terhadap bahan
toksik yang bersangkutan.
Pada pengamatan gejala fisiologis, ikan kecil terlihat bergerak lebih aktif
dan rata-rata bukaan operculumnya lebih besar dari ikan besar, hal itu dikarenakan
ikan yang berukuran kecil sedang mengalami laju pertumbuhan yang cepat
sehingga membutuhkan asupan oksigen yang lebih banyak untuk melakukan
proses metabolisme. Namun sebaliknya, ikan kecil memiliki kekebalan tubuh
31
yang lebih rentan dibandingkan dengan ikan besar, sehingga pada saat
pengamatan uji toksisitas sublethal banyaknya mortalitas yang terjadi dialami oleh
ikan kecil.
Jika dilihat secara keseluruhan, jenis bahan toksik yang memiliki jumlah
mortalitas terbanyak yaitu bahan toksik oli bekas, sedangkan yang memiliki
jumlah mortalitas paling sedikit yaitu bahan toksik kloroform. Selain faktor
pemaparan konsentrasi dan jenis bahan toksik yang mempengaruhi kelangsungan
hidup ikan bandeng, faktor lain seperti kesalahan pada saat pemasangan alat aerasi
sehingga alat aerasi sempat berhenti bekerja juga dapat mempengaruhi tingkat
mortalitas ikan di dalam akuarium. Karena jika alat aerasi mati, maka pasokan
oksigen ke dalam akuarium akan berkurang, dan hal tersebut dapat meningkatkan
tingkat mortalitas ikan dalam akuarium tersebut.
BAB V
KESIMPULAN DAN SARAN
5.1 Kesimpulan
Berdasarkan pengamatan yang telah dilakukan, dapat diperoleh
kesimpulan bahwa :
Pemaparan Sub Lethal menyebabkan efek sub kronik dan tidak
menyebabkan kematian langsung terhadap organisme uji, namun
dalam waktu dedah yang lama menyebabkan gangguan fisiologis dan
klinis terhadap organisme uji.
Setiap pemaparan bahan toksik yang berbeda menghasilkan gejala dan
gangguan yang berbeda juga tergantung dari konsentrasi dan jenis
bahan toksik itu sendiri.
Uji toksisitas sub-lethal dapat diamati dengan memperhatikan gejala
fisiologis dan klinis yaitu gerakan operkulum, aktivitas gerak dan
ekskresi lendir. Gejala-gejala tersebut diamati secara periodik selama
waktu dedah satu minggu.
Berdasarkan data yang diperoleh dari hasil pengamatan, ikan kecil
memiliki mortalitas paling tinggi dibanding dengan ukuran ikan
lainnya.
5.2 Saran
Berdasarkan praktikum yang telah dilakukan, hal yang perlu diperhatikan
adalah pada waktu pengamatan yang dilakukan dalam kurun waktu seminggu.
Berbagai hal dapat terjadi dalam kurun waktu seminggu, sehingga perlu perhatian
yang besar dalam proses pengamatan tersebut.
32
DAFTAR PUSTAKA
Al-Thani, R.F., Desouky A.M.A., & Mona A. 2007. Isolation, Biochemical and
Molecular Characterization of 2- chlorophenol- degrading Bacillus
Isolates. African Journal of Biotechnology. 6(23): 2675-2681.
Amro, A.A. & Soheir, S.R. 2007. Characterization of PHA Depolymerase in
Phenol Degrading Bacteria, International Journal of Biotechnology &
Biochemistry (internet). <http:// www.thefreelibrary.com> (diakses 11
Oktober 2017).
Atmoko, Tri, Amir Ma’ruf. 2009. Uji Toksisitas dan Skrining Fitokimia Ekstrak
Tumbuhan Sumber Pakan Orangutan Terhadap Larva Atermia salina L.
Jurnal Penelitian Hutan dan Konservasi Alam, Vol. VI No. 1: 37-45.
Gharedaashi, E., Imanpour, M. R., dan Taghizadeh, V. 2013. Determination of
Median Lethal Concentration (LC50) of Copper Sulfate and Lead Nitrate and
Effects on Behavior in Caspian Sea Kutum (Rutilus frisii kutum). Journal of
Toxicology and Enviromental Health Sciences, 5(1): 12-16
Irawan, T. A. Bambang. 2010. Peningkatan Mutu Minyak Nilam dengan Ekstraksi
dan Destilasi pada Berbagai Komposisi Pelarut. Universitas Diponegoro,
Semarang.
Karwati. 2009. Degradasi Hidrokarbon pada Tanah Tercemari Minyak Bumi
dengan Isolat A10 dan D8. Fakultas Matematika dan Ilmu Pengetahuan
Alam, Institut Pertanian Bogor. Bogor.
Mahiuddin, Md., A.N.M. Fakhruddin, & Abdullah-Al-Mahin. 2012. Degradation
of Phenol via Meta Cleavage Pathyaw by Pseudomonas fluorescens PU1.
ISRN Microbiology. Mokoginta I. 2003. Budidaya Daphnia sp . [Modul].
Direktorat Menengah Kejuruan. Direktorat Jenderal Pendidikan Dasar dan
Menengah. Departemen Pendidikan Nasional.
Nugroho, Dani Wahyu. 2013. Prarancangan Pabrik Kloroform dari Aseton dan
Kaporit Kapasitas 25.000 Ton/Tahun. Jurusan Teknik Kimia Fakultas
Teknik, Universitas Muhammadiyah Surakarta. Surakarta.
Perceka, Medal Lintas. 2011. Analisis Deskriptif Kemunduran Mutu Kulit Ikan
Bandeng (Chanos chanos) Selama Penyimpanan Suhu Chilling Melalui
Pengamatan Histologis. Fakultas Perikanan dan Ilmu Kelautan, IPB. Bogor.
Prpich, G.P. & Daugulis, A.J. 2005. Enhanced Biodegradation of Phenol by a
Microbial Consortium in a Solid-Liquid Two Phase Partitioning Bioreactor.
Biodegradation. 16: 329-339
33
Sudarmadi, 1993. Toksikologi Limbah Pabrik Kulit Terhadap Cyprnius carpio
dan kerusakan insang. Jurnal Lingkungan dan Pembangunan 13 : 14 hala 247-
260. Jakarta.
Tsai, S., Tsai, L., & Li, Y. 2005. An Isolated Candida albicans TL3 Capable of
Degrading Phenol at Large Concentration. Biosci. Biotechnol. Biochem.
69(12): 2358-2367.
34
LAMPIRAN
36
Fenol Garam