Anda di halaman 1dari 25

Clinical Science Session

Hipertensi

Oleh

Tuti Alawiyah 1210313093

Muhammad Bintang Ilhami 1210313055

Rahmi Anim 1740312067

Kagami Gari Lindo 1740312075

Evvandert 1740312088

Preseptor

dr. Drajad Priyono, Sp.PD-KGH,FINASIM

BAGIAN ILMU PENYAKIT DALAM


RSUP DR M. DJAMIL PADANG
FAKULTAS KEDOKTERAN UNIVERSITAS ANDALAS
2017
BAB 1
PENDAHULUAN
1.1 Latar Belakang
Hipertensi merupakan salah satu penyakit kardiovaskular yang ditandai
dengan adanya peningkatan tekanan darah sistemik sistolik diatas atau sama dengan
140 mmHg dan atau diastolik diatas atau sama dengan 90 mmHg (WHO, 2013).
Menurut Joint of International Committe VIII (JNC VIII), hipertensi merupakan
penyakit yang umum ditemukan di layanan primer dan menjadi penyebab utama
terjadinya infark miokard, stroke, gagal ginjal dan kematian terutama jika tidak
dideteksi dari awal dan tidak mendapatkan pengobatan yang tepat (JNC VIII, 2013).
Secara global, penyakit kardiovaskular menyebabkan kematian penduduk
dunia sebanyak 17 juta jiwa pertahun. Hipertensi menjadi penyebab terjadinya
kematian akibat penyakit jantung sebanyak 45% dan 51% penyebab kematian akibat
penyakit stroke (WHO, 2013). Pada penelitian yang dilakukan oleh American Heart
Association (AHA) di Amerika Serikat tahun 2009, didapatkan bahwa hipertensi
menjadi penyebab primer dan ikut berkontribusi terhadap 348.102 kematian di
Amerika Serikat (AHA, 2013).
Prevalensi hipertensi di negara-negara ASEAN antara lain Thailand (1989)
sebesar 17%, Philipina (1993) sebesar 22%, Malaysia (1996) sebesar 29,9%, Vietnam
(2004) sebesar 43,5%, Singapura (2004) sebesar 24,9%, dan Indonesia sebesar 31,7%
(Kemenkes RI, 2007). Data Kementriaan Kesehatan Indonesia tahun 2013 didapatkan
sebanyak 25,8% penduduk Indonesia menderita hipertensi (Kemenkes RI, 2013).
Prevalensi hipertensi di Sumatera Barat cenderung mengalami pola yang
fluktuatif dari tahun ke tahun. Pada tahun 2005, Decroli et al melaporkan bahwa
prevalensi hipertensi di Sumatera Barat telah mencapai 27,3% dan pada tahun yang
sama Azmi melaporkan bahwa kejadian hipertensi mencapai 25,39% (Lipoeto et al,
2008). Hasil riset kesehatan dasar yang dilakukan Departemen Kesehatan RI tahun
2007, prevalensi hipertensi di Sumatera Barat sudah mencapai 31,2% (Kemenkes RI,
2007). Pada hasil riset kesehatan daerah tahun 2013 menunjukkan bahwa angka
kejadian hipertensi di Sumatera Barat menurun menjadi 22,6% (Kemenkes RI, 2013).
Kebanyakan hipertensi tidak diketahui penyebabnya, ini dikenal dengan
hipertensi esensial (Samara, 2011). Hipertensi terjadi akibat adanya hubungan antara
pengaruh lingkungan dan genetik (Sun, 2014). Selain hipertensi esensial dikenal juga
hipertensi sekunder. Hipertensi sekunder terdapat pada 5% kasus hipertensi.
Hipertensi sekunder sering disebabkan oleh gangguan yang terjadi pada ginjal
(Hanifa, 2010).
Umumnya tidak ditemukan gejala ataupun tanda klinis yang khas pada
penderita hipertensi (Baker, 2005). Akibat tidak adanya gejala yang ditampilkan oleh
penderita hipertensi pada tahap awal, sebagian besar penderita hipertensi tidak
terdiagnosis dengan baik. Hal ini menyebabkan penderita hipertensi tidak
mendapatkan terapi yang tepat dan akhirnya menimbulkan efek komplikasi jangka
panjang dari hipertensi (WHO, 2013).
Dalam perjalanannya, hipertensi akan menyebabkan terjadinya kerusakan
pada organ target. Organ target yang sering terkena dampak kerusakan hipertensi
antara lain jantung (hipertrofi ventrikel kiri, infark miokardium, gagal jantung), otak
(stroke, transient ischemic attack), penyakit ginjal kronis, penyakit arteri perifer dan
mata (retinopati) (Nelson, 2009).
Hipertensi memiliki peranan yang penting terhadap perjalanan penyakit ginjal
kronik. Hipertensi memengaruhi morbiditas dan mortalitas pasien dengan penyakit
ginjal kronik. Beberapa penelitian telah membuktikan bahwa terdapat hubungan
positif antara tekanan darah dan insiden penyakit ginjal kronik (Coresh et al, 2001).
Menurut penelitian yang dilakukan menggunakan data rekam medik oleh
Gadsby tahun 1994-1996, sebanyak 28% penderita penyakit ginjal terminal berasal
dari pasien hipertensi. Hipertensi dan diabetes menjadi penyebab utama terjadinya
penyakit ginjal terminal (Sharma, 2003). Data yang didapatkan dari United States
Renal Data System Report, hipertensi merupakan penyebab kedua terbanyak
terjadinya penyakit ginjal terminal. Terhitung sebanyak 80.000 pasien penyakit ginjal
terminal berasal dari pasien hipertensi (Johnson, 2005).
Hipertensi akan menyebabkan terjadinya peningkatan tekanan pada kapiler-
kapiler ginjal. Tekanan yang tinggi dalam jangka waktu yang lama mengakibatkan
kematian sel-sel penyusun ginjal. Hal ini akan menyebabkan terjadinya penurunan
fungsi ginjal dalam memfiltrasi darah (Nelson, 2009). Fungsi ginjal dapat dinilai
dengan mengukur kemampuan ekskresi ginjal melalui pengukuran kreatinin serum
dan menggunakan laju filtrasi glomerulus (Effendi, 2014).
BAB 2
TINJAUAN PUSTAKA
2.1 Hipertensi
2.1.1 Definisi Hipertensi
Hipertensi adalah keadaan tekanan darah 140/90 mmHg atau lebih (Victor,
2012). Hipertensi merupakan suatu keadaan dimana terjadi peningkatan resistensi
pembuluh darah sehingga menyebabkan jantung yang berfungsi untuk memompa
darah keseluruh tubuh memberikan tekanan yang lebih tinggi untuk mencukupi
kebutuhan darah sistemik ke organ (WHO, 2013).
Menurut Hull 1996, hipertensi terjadi akibat adanya desakan darah yang
berlebihan ke dinding arteri. Tekanan ini juga dipengaruhi oleh kekuatan jantung
ketika memompa darah. Hipertensi berkaitan dengan peningkatan tekanan darah
sistolik, diastolik atau keduanya yang berlangsung terus menerus (Hendraswari,
2008).
2.1.2 Klasifikasi Hipertensi
Berdasarkan penyebabnya, hipertensi dibagi menjadi dua kelompok,yaitu :
a. Hipertensi esensial atau dikenal dengan hipertensi primer.
Penyebab dari hipertensi ini tidak diketahui (idiopatik). Sebanyak 90% dari
penderita hipertensi termasuk dalam kelompok ini. Faktor yang mempengaruhi
terjadinya hipertensi jenis ini adalah genetik dan umumnya merupakan akibat dari
interaksi antara faktor lingkungan dan genetik. Prevalensi hipertensi jenis ini
meningkat seiring dengan peningkatan usia (Harrison, 2012).
b. Hipertensi sekunder atau hipertensi renal.
Sebanyak 20% pasien hipertensi tergolong kelompok ini. Namun, karena
penyakit primer penyebab hipertensi sekunder ini umumnya sudah diketahui
mekanismenya, sebagian besar hipertensi jenis ini digolongkan kembali sesuai
dengan penyakit dasarnya (Kaplan, 2010). Penyebab dasar hipertensi sekunder
disebabkan oleh adanya penyakit pada renal seperti penyakit ginjal, hipertensi
vaskular renal, hiperaldosteronisme primer, sindrom Cushing dan feokromositoma.
Selain itu bisa juga disebabkan oleh koartasio aorta atau hipertensi yang berhubungan
dengan kehamilan (Andrea, 2013).
Secara umum, Joint of National Committee (JNC) VII mengenai hipertensi
mengelompokkan tekanan darah menjadi empat kelompok:
Tabel 2.1. Klasifikasi Tekanan Darah menurut JNC VII
Klasifikasi Tekanan Tekanan Darah Tekanan Darah
Darah Sistolik (mmHg) Diastolik (mmHg)
Normal <120 dan <80
Pre-Hipertensi 120-139 atau 80-89
Hipertensi Stage 1 140-159 atau 90-99
Hipertensi Stage 2 ≥160 atau ≥100
Sumber :Joint of National Committee VII, 2003.

Untuk guideline yang berasal dari the European 2007, World Health
Organization- International of Hypertension (WHO-ISH) 2003, the British
Hypertension Society 2004, dan Latin American Comittee tetap mengkategorikan
tekanan darah di bawah 140/90 mmHg sebagai normal dan normal-tinggi, seperti
pengklasifikasian pada JNC VI. Pengklasifikasian ini tidak mengenal istilah
prehipertensi (Kaplan, 2010).

Klasifikasi lain untuk hipertensi dibuat oleh WHO pada tahun 1999.
Tabel 2.2 Klasifikasi Hipertensi menurut WHO
Kategori Sistol Diastol
(mmHg) (mmHg)
Optimal < 120 < 80
Normal < 130 < 85
Tingkat 1 (hipertensi ringan) 140-159 90-99
Sub grup : borderline 140-149 90-94
Tingkat 2 (hipertensi sedang) 160-179 100-109
Tingkat 3 (hipertensi berat) ≥ 180 ≥ 110
Hipertensi sistol terisolasi ≥ 140 < 90
Sub grup : borderline 140-149 < 90

Sumber : World Health Organization- International of Hypertension (WHO-ISH)


1999.
American Society of Hypertension (ASH) mengklasifikasikan hipertensi
menjadi empat kelompok. ASH mengklasifikan hipertensi berdasarkan pengukuran
tekanan darah secara deskriptif, faktor risiko sistem kardiovaskular serta adanya
kerusakan organ terget (Giles et al, 2009). Klasifikasi hipertensi oleh ASH antara lain
:

Tabel 2.3 Klasifikasi Hipertensi Menurut ASH


Klasifikasi Normal Stage 1 Stage 2 Stage 3
Kategori Normal TD/ Intermitten Peningkatan Peningkatan
Deskriptif peningkatan peningkatan TD menetap TD bermakna
TD (jarang) TD ATAU ATAU
DAN ATAU Progressif penyakit
Tanpa risiko Tahap awal penyakit kardiovaskul
penyakit penyakit kardiovaskul ar berat
kardiovaskula kardiovaskul ar
r ar
Faktor Risiko - / Sedikit Beberapa Banyak Banyak
Kardiovaskular
Marker - Kadang ada Ada Ada,
progresif
Kerusakan - - Gejala awal Ada dengan
Target Organ ada atau tanpa
penyakit
kardiovaskul
ar
Sumber : Definition and Classification of Hypertension: An Update dalam The
Journal Of Clinical Hypertension Vol.11 No.11 Nov 2009.

2.1.3 Faktor Risiko Hipertensi


Faktor risiko yang dapat mempengaruhi hipertensi dibedakan menjadi dua
yaitu (Nurkhalida, 2003):
A. Faktor yang tidak dapat diubah/dikontrol
1. Umur
Hipertensi erat kaitannya dengan umur, semakin tua seseorang semakin besar
risiko terserang hipertensi. Hal ini disebabkan oleh perubahan alami pada jantung,
pembuluh darah dan hormon. Tetapi bila perubahan tersebut disertai faktor-faktor lain
maka bisa memicu terjadinya hipertensi
2. Jenis kelamin
Bila ditinjau perbandingan antara wanita dan pria, ternyata terdapat angka yang
cukup bervariasi. Prevalensi di Sumatera Barat 18,6% pria dan 17,4% perempuan,
sedangkan daerah perkotaan di Jakarta (Petukangan) didapatkan 14,6% pria dan
13,7% wanita. Ahli lain mengatakan pria lebih banyak menderita hipertensi
dibandingkan wanita dengan rasio sekitar 2,29 mmHg untuk peningkatan darah
sistolik.
3. Riwayat Keluarga
Menurut Nurkhalida, orang-orang dengan sejarah keluarga yang mempunyai
hipertensi lebih sering menderita hipertensi. Riwayat keluarga dekat yang menderita
hipertensi (faktor keturunan) juga mempertinggi risiko terkena hipertensi terutama
pada hipertensi primer. Keluarga yang memiliki hipertensi dan penyakit jantung
meningkatkan risiko hipertensi 2-5 kali lipat .
B. Faktor yang dapat diubah/dikontrol
1. Merokok
Rokok juga dihubungkan dengan hipertensi. Selain dari lamanya, risiko merokok
terbesar tergantung pada jumlah rokok yang dihisap per hari. Nikotin dan karbon
monoksida yang diisap melalui rokok, masuk ke dalam aliran darah dan merusak
lapisan endotel pembuluh darah arteri serta mengakibatkan proses aterosklerosis dan
hipertensi.
2. Konsumsi garam
Garam merupakan hal yang sangat penting pada mekanisme timbulnya
hipertensi. Garam menyebabkan penumpukan cairan dalam tubuh, karena menarik
cairan di luar sel agar tidak keluar, sehingga akan meningkatkan volume dan tekanan
intravaskular.
3. Konsumsi lemak jenuh
Konsumsi lemak jenuh meningkatkan risiko aterosklerosis yang berkaitan dengan
kenaikan tekanan darah.
4. Konsumsi alkohol
Alkohol juga dihubungkan dengan hipertensi. Mekanisme peningkatan tekanan
darah akibat alkohol masih belum jelas. Namun diduga, peningkatan kadar kortisol
dan peningkatan volume sel darah merah serta kekentalan darah merah berperan
dalam menaikkan tekanan darah.
5. Kurang Olahraga
Olahraga banyak dihubungkan dengan pengelolaan hipertensi, karena olahraga
teratur dapat menurunkan tahanan perifer yang akan menurunkan tekanan darah.
Kurangnya aktifitas fisik meningkatkan risiko menderita hipertensi karena
meningkatkan risiko kelebihan berat badan. Orang yang tidak aktif juga cenderung
mempunyai frekuensi denyut jantung yang lebih tinggi sehingga otot jantungnya
harus bekerja lebih keras pada setiap kontraksi. Makin keras dan sering otot jantung
harus memompa, makin besar tekanan yang dibebankan pada arteri.
6. Stres
Hubungan antara stres dengan hipertensi diduga melalui aktivitas saraf simpatis,
yang dapat meningkatkan tekanan darah secara bertahap. Apabila stress menjadi
berkepanjangan dapat berakibat tekanan darah menjadi tetap tinggi. Stres dapat
merangsang kelenjar adrenal melepaskan hormon adrenalin dan memacu jantung
berdenyut lebih cepat serta lebih kuat, sehingga tekanan darah akan meningkat.
7. Obesitas
Obesitas merupakan salah satu faktor risiko terhadap timbulnya hipertensi. Pada
obesitas tahanan perifer berkurang atau normal, sedangkan aktivitas saraf simpatis
meninggi dengan aktivitas renin plasma yang rendah. Obesitas meningkatkan risiko
terjadinya hipertensi karena beberapa sebab. Makin besar massa tubuh, makin banyak
darah yang dibutuhkan untuk memasok oksigen dan makanan ke jaringan tubuh. Ini
berarti volume darah yang beredar melalui pembuluh darah menjadi meningkat
sehingga memberi tekanan lebih besar pada dinding arteri. Kelebihan berat badan
juga meningkatkan frekuensi denyut jantung dan kadar insulin dalam darah.
Peningkatan insulin menyebabkan tubuh menahan natrium dan air.

Faktor yang mempengaruhi hipertensi pada lanjut usia adalah :


1. Penurunan kadar renin karena menurunnya jumlah nefron akibat proses menua.
2. Peningkatan sensitivitas terhadap asupan natrium. Dengan bertambahnya usia
semakin sensitif terhadap peningkatan atau penurunan kadar natrium.
3. Penurunan elastisitas pembuluh darah perifer sehingga resistensi pembuluh
darah perifer meningkat yang mengakibatkan hipertensi sistolik.
4. Perubahan ateromatous yang menyebabkan disfungsi endotel yang berlanjut
pada pembentukan berbagai sitokin dan subtansi kimiawi lain yang kemudian
menyebabkan reabsopsi natrium di tubulus ginjal, meningkatkan proses
sklerosis pembuluh darah perifer, dan keadaan lain berhubungan dengan
kenaikan tekanan darah.
2.1.4 Patogenesis dan Patofisiologi
Kausa tersering dari hipertensi adalah akibat terjadinya peningkatan resistensi
pembuluh darah perifer. Tekanan darah merupakan hasil perkalian antara resistensi
perifer dengan curah jantung, sehingga tekanan darah juga dipengaruhi oleh curah
jantung. Peningkatan pada curah jantung dapat ditemui pada penderita
hipertiroidisme. Adanya peningkatan volume darah juga dapat menyebabkan
hipertensi, khususnya pada pasien yang memiliki kelebihan mineralokortikoid atau
pada pasien dengan gagal ginjal. Peningkatan kekentalan darah juga dapat
menyebabkan tejadinya hipertensi karena dapat meningkatkan tekanan arteri
(McPhee and Ganong, 2006).
Ada empat faktor yang berperan dalam terjadinya hipertensi :
1. Volume intravaskular.
2. Kendali saraf otonom.
3. Renin angiotensin aldosteron (RAA).
4. Vaskular pembuluh darah.
2.1.4.1 Volume intravaskular
Tekanan darah tinggi merupakan hasil dari interaksi antara curah jantung dan
total resistensi perifer. Masing-masingnya dipengaruhi oleh berbagai faktor. Volume
intravaskular menjadi determinan utama penentu kestabilan tekanan darah dari waktu
ke waktu. Jika terjadi peningkatan asupan NaCl maka ginjal akan merespon untuk
mengekskresikan NaCl yang berlebihan tersebut keluar bersama urin. Namun, jika
jumlah NaCl yang akan diekskresi melebihi ambang batas kemampuan ginjal, maka
akan terjadi retensi Na dan air yang mengakibatkan terjadinya peningkatan volume
intravaskular. Hal ini akan menyebabkan terjadinya peningkatan pada curah jantung.
Sebagai kompensasinya tubuh akan meningkatkan tekanan darah dan tahanan perifer
juga akan meningkat. Secara perlahan akan terjadi proses autoregulasi yang akan
mengembalikan curah jantung ke keadaan normalnya (Yogiantoro, 2014).
2.1.4.2 Kendali saraf otonom
Sistem persarafan autonom dibagi menjadi dua macam, yang pertama adalah
sistem saraf simpatis yang berfungsi untuk menstimulasi sistem saraf viseral
(termasuk ginjal) melalui neurotransmitter katekolamin, epinefrin maupun dopamin.
Yang kedua adalah sistem saraf parasimpatis yang umumnya berfungsi untuk
menghambat stimulasi dari saraf simpatis (Yogiantoro, 2014).
Pengaruh dari lingkungan seperti genetik, stres kejiwaan, rokok dan
sebagainya, akan menyebabkan terjadinya aktivasi sistem saraf simpatis berupa
kenaikan katekolamin, norepinefrin, dan sebagainya. Peningkatan neurotransmitter
NE akan mempengaruhi reseptor adrenergik yang terdapat diberbagai organ
(Yogiantoro, 2014).
Peningkatan norepinefrin akan memicu reseptor adrenergik α1, β1, β2 yang
terdapat di jantung (gambar 2.1). Hal ini akan memicu terjadinya peningkatan
cardiac output akibat peningkatan stroke volume dan denyut jantung, namun hal ini
hanya sedikit berkontribusi terhadap proses patologik dari peningkatan tekanan darah
(Levy, 2013).
Norepinefrin merupakan neurotransmitter simpatetik yang memicu terjadinya
vasokonstriksi (gambar 2.1). Efek vasokontriksi ini diperantarai oleh aktivasi reseptor
α1 yang terdapat di otot polos pembuluh darah . Reseptor β1 dan α1 yang terdapat di
ginjal yang terangsang akibat peningkatan NE akan memberikan efek langsung
berupa peningkatan reabsorpsi natrium yang mengakibatkan peningkatan volume
sirkulasi sistemik dan merangsang pengaktivan angiotensin II yang dapat
memperparah keadaan vasokonstriksi ( Levy, 2013 ; Yogiantoro, 2014).
Semua proses di atas akan mengakibatkan terjadinya progresifitas dari
hipertensi ateroskeloris. Bila kadar nor epinefrin tidak kembali normal maka
sindroma hipertensi aterosklerosis akan berlanjut menjadi semakin progresif sampai
akhirnya menyebabkan terjadinya kerusakan pada organ target (Yogiantoro, 2014).
Gambar 2.1 Mekanisme saraf simpatis terhadap regulasi tekanan darah
Sumber: Systemic Hypertension: Mechanisms and Diagnosis dalam Braunwald’s
Heart Disease : Textbook of Cardiovascular Medicine 10th edition p.937 (Ronald J.
Victor, 2012).

2.1.4.3 Renin-angiotensin-aldosteron
Aktivasi dari renin-angiotensin-aldosteron merupakan salah satu mekanisme
terpenting yang berkontribusi pada disfungsi sel endotelial, remodelling vaskular dan
hipertensi. Renin merupakan suatu protease yang dihasilkan oleh sel juxtaglomerular
ginjal, berfungsi untuk mengubah angiotensinogen yang dihasilkan oleh hati menjadi
angiotensin I yang nantinya akan kembali dikonversikan menjadi angiotensin II oleh
angiotensin converting enzym (ACE) (gambar 2.2). ACE banyak terdapat di paru-
paru, namun bisa juga ditemukan di jantung dan vaskular sistemik. Interaksi antara
angiotensin II dengan protein G, yang berperan sebagai reseptor angiotensi II, akan
mengaktifkan proses selular yang berkontribusi terhadap terjadinya hipertensi dan
peningkatan risiko terhadap kerusakan organ target akibat hipertensi (Kaplan, 2010 ;
Victor, 2012).
Gambar 2.2 Mekanisme Renin-Angiotensin-Aldosteron
Sumber: Systemic Hypertension: Mechanisms and Diagnosis dalam Braunwald’s
Heart Disease : Textbook of Cardiovascular Medicine 10th edition p.941 (Ronald
J.Victor, 2012).

Sistem RAA sebenarnya merupakan mekanisme pertahanan yang dilakukan


tubuh ketika terjadi hipovolemik hipotensi (seperti pada perdarahan dan kehilangan
cairan dan garam). Interaksi antara aldosteron dengan sitosol reseptor
mineralokortikoid di duktus koligentes ginjal akan menyebabkan terjadinya
pengerahan channel sodium yang terdapat di sitosol ke permukaan epitel ginjal.
Epitelial sodium channel ini akan mengakibatkan terjadinya peningkatan reabsorpsi
sodium yang akhirnya berpengaruh terhadap terjadinya ekspansi volume plasma
(Kaplan, 2010).
Mineralokortikoid reseptor banyak tersebar di luar ginjal sehingga aldosteron
dapat memengaruhi kesehatan vaskular melalui berbagai mekanisme ekstrarenal.
Aldosteron yang bekerja sama dengan angiotensin II akan menyebabkan terjadinya
proses remodelling dan inflamasi vaskular. Stimulasi yang terjadi pada reseptor
mineralokortikoid di jantung dan ginjal oleh aldosteron akan memicu terjadinya
fibrosis jantung dan ginjal pada hipertensi. Jika aldosteron menstimulasi reseptor
mineralokortikoid yang terdapat di otak dan batang otak, akan terjadi aktifitas
berlebihan dari persarafan simpatik. Aldosteron terutama menyebabkan masalah pada
pasien dengan diet tinggi sodium (Kaplan, 2010).
2.1.4.4 Vaskular pembuluh darah
Penurunan struktur dan fungsi arteri-arteri besar dan kecil memengaruhi
patogenesis dan progresivitas hipertensi. Lapisan endotelial pada pembuluh darah
merupakan mekanisme pertahanan melawan hipertensi. Disfungsi dari endotelium
mengakibatkan terjadinya gangguan pengeluaran faktor relaksan endotel seperti nitrit
oksida dan akan meningkatkan pengeluaran faktor konstriksi endotel, faktor
proinflamasi, protrombin dan growth factor. Jalur nitrit oksida yang berperan dalam
mengaktifkan protein g-kinase merupakan mekanisme regulasi terpenting yang
dilakukan endotel dalam menghadapi hipertensi dan adanya defisiensi pada nitrit
oksida sangat berkontribusi terhadap terjadinya hipertensi (Kaplan, 2010).
Seiring berjalannya waktu, adanya disfungsi sel endotel, aktivitas sistem
nuerohormonal dan peningkatan tekanan darah terus menerus akan mengakibatkan
terjadinya proses remodelling pada pembuluh darah. Adanya peningkatan rasio
media-lumen merupakan petanda khusus telah terjadi proses remodelling arteri kecil
maupun arteri besar pada hipertensi (Victor, 2012).
2.1.5 Diagnosis
1. Anamnesis
 Gejala klinis
 Riwayat hipertensi pada keluarga (70-80%), DM, dislipidemia, PJK,
stroke
 Riwayat penggunaan OAH atau obat-obatan lain
 Kebiasaan dan gaya hidup
 Psikososial

2. Cara pemeriksaan tekanan darah yang benar untuk mendiagnosis Hipertensi (AHA,
2017)
Key Steps for Proper BP Specific Instructions
Measurements

1. Have the patient relax, sitting in a chair


(feet on floor, back supported) for >5 min.
2. The patient should avoid caffeine,
exercise, and smoking for at least 30 min
before measurement.
3. Ensure patient has emptied his/her
bladder.
Step 1: Properly prepare the patient 4. Neither the patient nor the observer
should talk during the rest period or during
the measurement.
5. Remove all clothing covering the
location of cuff placement.
6. Measurements made while the patient is
sitting or lying on an examining table do
not fulfill these criteria.

1. Use a BP measurement device that has


been validated, and ensure that the device is
calibrated periodically.*
2. Support the patient’s arm (e.g., resting on
a desk).
3. Position the middle of the cuff on the
patient’s upper arm at the level of the right
Step 2: Use proper technique for BP
atrium (the midpoint of the sternum).
measurements
4. Use the correct cuff size, such that the
bladder encircles 80% of the arm, and note
if a larger- or smaller-than-normal cuff size
is used (Table 9).
5. Either the stethoscope diaphragm or bell
may be used for auscultatory readings (3,
4).

Step 3: Take the proper


measurements needed for diagnosis 1. At the first visit, record BP in both arms.
and treatment of elevated Use the arm that gives the higher reading
BP/hypertension for subsequent readings.
2. Separate repeated measurements by 1–2
min.
3. For auscultatory determinations, use a
palpated estimate of radial pulse
obliteration pressure to estimate SBP.
Inflate the cuff 20–30 mm Hg above this
level for an auscultatory determination of
the BP level.
4. For auscultatory readings, deflate the cuff
pressure 2 mm Hg per second, and listen for
Korotkoff sounds.

1. Record SBP and DBP. If using the


auscultatory technique, record SBP and
DBP as onset of the first Korotkoff sound
Step 4: Properly document accurate
and disappearance of all Korotkoff sounds,
BP readings
respectively, using the nearest even number.
2. Note the time of most recent BP
medication taken before measurements.

Use an average of ≥2 readings obtained on


Step 5: Average the readings ≥2 occasions to estimate the individual’s
level of BP.
Step 6: Provide BP readings to Provide patients the SBP/DBP readings
patient both verbally and in writing.

Obat-obat yang sering mempengaruhi tekanan darah (AHA, 2017)


Possible Management
Agent
Strategy

• Limit alcohol to ≤1 drink


Alcohol daily for women and ≤2
drinks for men (1)

• Discontinue or decrease
Amphetamines (e.g., amphetamine,
dose (2)
methylphenidate dexmethylphenidate,
• Consider behavioral
dextroamphetamine)
therapies for ADHD (3)

• Consider alternative agents


(e.g., SSRIs) depending on
Antidepressants (e.g., MAOIs, SNRIs, TCAs) indication
• Avoid tyramine-containing
foods with MAOIs

Atypical antipsychotics (e.g., clozapine,


olanzapine) • Discontinue or limit use
when possible
• Consider behavior therapy
where appropriate
• Recommend lifestyle
modification (see Section
6.2)
• Consider alternative agents
associated with lower risk of
weight gain, diabetes
mellitus, and dyslipidemia
(e.g., aripiprazole,
ziprasidone) (4, 5)

• Generally limit caffeine


intake to <300 mg/d
• Avoid use in patients with
uncontrolled hypertension
• Coffee use in patients with
Caffeine
hypertension is associated
with acute increases in BP;
long-term use is not
associated with increased BP
or CVD (6)

• Use for shortest duration


possible, and avoid in severe
or uncontrolled hypertension
Decongestants (e.g., phenylephrine, • Consider alternative
pseudoephedrine) therapies (e.g., nasal saline,
intranasal corticosteroids,
antihistamines) as
appropriate

Herbal supplements (e.g., Ma Huang [ephedra],


St. John’s wort [with MAO inhibitors, • Avoid use
yohimbine])

• Consider converting to
tacrolimus, which may be
Immunosuppressants (e.g., cyclosporine)
associated with fewer effects
on BP (7-9)

Oral contraceptives
• Use low-dose (e.g., 20–30
mcg ethinyl estradiol) agents
(10) or a progestin-only
form of contraception, or
consider alternative forms of
birth control where
appropriate (e.g., barrier,
abstinence, IUD)
• Avoid use in women with
uncontrolled hypertension
(10)
Klasifikasi Hipertensi berdasarkan AHA 2017

2.1.6 Pemeriksaan
1. Pemeriksaan Dasar
Gula darah puasa
Darah lengkap
Profil Lipid
Kreatinin serum dan GFR
Serum Na, K, Cl, Ca
TSH
Urinalisis
EKG
2. Optional atau tambahan
Echocardiografi
Uric Acid
Rasio Albumin dan kreatinin urin
2.1.7 Tatalaksana
Berdasarkan rekomendasi terbaru dari AHA 2017:
1. Pemberian obat-obat antihipertensi direkomendasikan untuk prevensi
sekunder dari pasien dengan penyakit kardiovasular berulang pada pasien
yang telah dikenal memiliki penyakit kardiovaskular dengan rata-rata
tekanan darah sistol besar sama dengan 130 mmhg dan tekanan
diastole besar sama dengan 80 mmhg. Untuk pencegahan primer pada
pada dewasa yang diperkirakan kurang lebih sepuluh tahun yang akan
datang memiliki resiko penyakit kardiovaskular lebih dari 10% rata-rata
tekanan darah sistol besar sama dengan 130 mmhg dan tekanan
diastole besar sama dengan 80 mmhg.
2. Pemberian obat-obat antihipertensi direkomendasikan untuk prevensi
primer terhadap penyakit kardiovaskular pada pasien yang belum dikenal
memiliki penyakit kardiovaskular dari perkiraan resiko terkena penyakit
aterosklerotik pada sepuluh tahun yang akan datang kurang dari 10% dan
rata-rata tekanan darah sistol besar sama dengan 140 mmhg dan
tekanan diastole besar sama dengan 90 mmhg.

Algoritma tatalaksana Hipertensi berdasarkan AHA 2017

Tatalaksana nonfarmakologis
1. Turunkan berat badan
2. Diet DASH ( diatery approach to stop hypertension) seperti buah ,sayur,
rendah lemak
3. Rendah garam maksimal < 1500 mg/hari
4. Suplemen Kalium kecuali terdapat kontraindikasi sebanyak 3500-5000
mg/hari
5. Tingkatkan aktivitas termasuk aerobic, dinamik resistance dan isometric
resistance
6. Kurangi konsumsi alcohol, 2 gelas untuk laki-laki dan 1 gelas untuk
perempuan
Pilihan obat anti hipertensi
Kontraindikasi
Kelas obat Indikasi Mutlak Tidak
mutlak
Diuretika Gagal jantung Gout Kehamilan
(Thiazide) kongestif, usia lanjut,
isolated systolic
hypertension
Diuretika Insufisiensi ginjal,
(Loop) gagal jantung
kongestif
Diuretika Gagal jantung Gagal ginjal,
(Anti Aldosteron) kongestif, pasca hiperkalemia
infark miokard
Penyekat β Angina pectoris, Asma, Penyakit
pasca infark miokars, PPOM, A-V pembuluh
CHF, kehamilan, Block (derajat darah
takikardi 2 atau 3) perifer,
intoleransi
glukosa
Calcium Antagonist Usia lanjut, isolated Takiaritmi
(Dihydropiridine) systolic hypertension, a, CHF
angina pectoris,
penyakit pembuluh
darah perifer,
aterosklerotik karotis,
kehamilan
Calcium antagonist Angina pectoris, A-V Block
(Verapamil, Diltiazem) aterosklerotis karotis, (derajat 2
takikardi atau 3), CHF
supraventrikuler
Penghambat ACE CHF, disfungsi Kehamilan,
ventrikel kiri, pasca hiperkalemia,
infark miokard, non stenosis arteri
diabetic nefropati, renalis
nefropati DMT1, bilateral
proteinuria
Angiotengsin II Nefropati DMT2, Kehamilan,
Receptor Antagonist mikroalbminuria hiperkalemia,
diabetic, proteinuria, stenosis arteri
hipertrofi ventrikel renalis
kiri bilateral
α-Bloker Hyperplasia prostat Hipotensi CHF
(BPH), ortostatik
hiperlipidemia
Pilihan obat untuk inisiasi secara umum adalah diuretic thiazide, CCB dan
ACEI atau ARB. Untuk yang stage 2 atau tekanan darah rata-rata besar sama dari
20/10 mmhg target dapat dikombinasikan 2 obat dari kelas yang berbeda.
2.1.8 Komplikasi
Hipertensi merupakan faktor resiko untuk terjadinya segala bentuk
manifestasi klinik dari aterosklerotik. Hipertensi meningkatkan resiko kejadian
kardiovaskular daan kerusakan organ terget. Mortalitas meningkat dua kali setiap
kenaikan tekanan darah sebesar 20/10 mmHg. Pada keadaan dengan tekanan
darah high-normal (130-139/85-89) didapatkan peningkatan kejadian
kardiovaskular 2.5 pada wanita dan 1.6 kali pada pria dibanding dengan tekanan
darah normal. Sedang risiko untuk penyakit ginjal, meningkatnya tekanan darah
sistolik lebih erat kaitannya dengan insidens penyakit ginjal tahap akhir bila
dibanding dengan tekanan darah diastolik, terutama pada usia lebih dari 50 tahun.
Tekanan darah yang meningkat dapat menyebabkan kerusakan pada pembuluh
darah dan parenkim ginjal (Mohani, 2014)
Berbagai kerusakan organ target tersebut antara lain:
1. Jantung : hipertrofi ventrikel kiri, angina atau infark miokard, dan gagal
jantung kongestif
2. Penyakit ginjal kronis dan penyakit ginjal tahap akhir
3. Aterosklerosis pembuluh darah
4. Retinopati
5. Otak : stroke atau transient ischemic attack
6. Penyakit arteri perifer

2.1.9 Prognosis
Prognosis umumya bonam apabila terkontrol (PPK, 2014)

DAFTAR KEPUSTAKAAN

AHA. 2013. Statistical fact sheet 2013 Update L : High blood pressure. Diunduh
dari: http://www.heart.org/idc/groups/heart-public/, diakses 28 Januari
2015.
Aziza, L. 2013. Hipertensi Urgensi dan Emergensi : Definisi, patofisiologi dan
tatalaksana. Divisi Ginjal Hipertensi Departemen Ilmu Penyakit Dalam.
Jakarta:FKUI.
Baker, K. 2005. Hypertension. Diunduh dari: http://ocw.mit.edu/courses/health-
sciences-and-technology/, diakses 28 januari 2015.
Bidani, AK, Polichnowski, AJ, Loutzenhiser, R, Griffin, KA. 2013. Renal
microvascular dysfunction, hypertension and CKD progression. Vol.22,
No.1. Januari 2013. UK:Lippincott Williams and Wilkins.
Coresh, J, Wei, L, McQuillan, G, Brancati, FL, Levey, AS, Jones, C et al. 2001.
Prevalence of high blood pressure dan elevated serum creatinine level in
the United States. JAMA Internal Medicine Vol.161, No.9. Mei 2001.
Dorland. 2012. Kamus Saku Kedokteran Dorland edisi 28. Jakarta: EGC.
Effendi, I, Markum, HMS. 2014. Pemeriksaan penunjang pada penyakit ginjal
dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Interna Publishing. hal
2047-2058.
Fitrianto, H, Azmi, S, Kadri, H. 2014. Penggunaan obat antihipertensi pada pasien
hipertensi esensial di poliklinik ginjal dan hipertensi RSUP Dr. M.
Djamil tahun 2011. Jurnal Kesehatan Andalas, Vol. 5.
Giles, TD, Materson, BJ, Cohn, JN, Kostis, JB. 2009. Definition and
classification of hypertension: An Update. The Journal of Clinical
Hypertension 6 Vol.11, No.11. November 2009.
Guyton, A, Hall, J. 2007. Buku Ajar Fisiologi Kedokteran. Edisi 11.
Diterjemahkan oleh: Irawati et al. Jakarta:EGC.
Hanifa, A. 2010. Prevalensi hipertensi sebagai penyebab penyakit ginjal kronik di
unit hemodialisis RSUP H. Adam Malik Medan Tahun 2009. Karya Tulis
Ilmiah, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Harrison. 2012. Principle of Internal Medicine. Edisi 18. Vol 2. United States of
America:McGraw-Hill Companies,Inc.
JNC VII. 2003. Prevention, Detection, Evaluation, and Treatment of High Blood
Pressure. National Institute of Health Publication No. 03-5233.
Johnson, RJ, Segal, MS, Srinivas, T, Ejaz, A, Mu, W, Roncal, LG et al. 2005.
Essential hypertension, progressive renal disease, and uric acid : A
Pathogenetic Link?. Journal of the American Society of Nephrology
16:1909-1919.
Kaplan, NM, Victor, RG. 2010. Clinical hypertension 10th edition. Philadelphia,
USA:Lippincott Williams & Wilkins, aWolter Kluwer Business.
KDIGO. 2013. KDIGO 2012 Clinical practice guideline for the evaluation and
management of Chronic Kidney Disease. Kidney international
supplements 2013:3.
Kemenkes RI. 2007. Laporan hasil riset kesehatan Indonesia tahun 2007. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Desember,hal 111-
113.
Kemenkes RI. 2013. Laporan hasil riset kesehatan Indonesia tahun 2013. Badan
Penelitian dan Pengembangan Kesehatan Depkes RI. Desember,hal 88-
90.
Levy, PD. 2013. Hypertension. Dalam : Rosen’s Emergency Medicine – Concept
and Clinical Practice. Philadelphia, USA : El-sevier Health Science.
Lipoeto, Rosalina, L, Sulastri, D. 2008. Pemberiaan diet Minangkabau tinggi
sumber antioksidan dapat menurunkan tekanan darah. Program
Pascasarjana, Universitas Andalas, Padang.
Lydia, A, Nugroho, P. 2014. Tes Fungsi Ginjal. Dalam : Buku Ajar Ilmu Penyakit
Dalam. Jakarta:Interna Publishing. hal 250-254.
McPhee, SJ, Ganong, WF. 2012. Patofisiologi Penyakit : Pengantar Menuju
Kedokteran Klinis. Edisi 5. Diterjemahkan oleh : Brahm U. Pendit.
Jakarta:EGC.
Mohani, CI. 2014. Pemeriksaan Penunjang pada Penyakit Ginjal. Dalam : Buku
Ajar Ilmu Penyakit Dalam. Jakarta:Interna Publishing.
Nelson, E. 2009. Hubungan antara mikroalbuminuria yang dinilai dengan rasio
albumin kreatinin urin dengan hipertrofi ventrikel kiri pada pasien
hipertensi. Tesis, Universitas Sumatera Utara, Medan.
Nurkhalida. Warta kesehatan masyarakat. Jakarta: Depkes RI, 2003. hlm 19-21.
Panduan praktik klinis bagi dokter di fasiitas pelayanan kesehatan primer. 2014
Rahajeng, E, Tuminah, S. 2009. Prevalensi hipertensi dan determinannya di
Indonesia. Majalah Kedokteran Indonesia, Vol. 59, hal. 580-587.
Rahman, M, Brown, CD, Coresh, J, Davis, BR, Eckfedlt, JH, Kopyt, N et al.
2004. The prevalence of reduced glomerular filtration rate in older
hypertensive patients and its association with cardiovascular disease.
Arch Intern Med, Vol. 164, p969-976.
Roberts, WL, McMillin, GA, Burtis, CA, Bruns, DE. 2006. Reference information
for the clinical laboratory. Dalam: Tietz Textbook of clinical chemistry
and molecular diagnostics. Burtis, C et al(Eds). Elsevier Inc, fourth
edition. p2251-2318.
Samara, D. 2011. Penatalaksanaan hipertensi sekunder akibat perbedaan kelainan
anatomi renovaskuler pada usia muda dan tua. Bagian Anatomi Fakultas
Kedokteran Universitas Trisakti, Jakarta.
Schillaci, G, Reboldi, G, Verdecchia, P. 2001. High normal serum creatinine
concentration is a predictor of cardiovascular risk in essential
hypertension. Arch Intern Med Vol.161, p886-891.
Sherwood, L. 2012. Fisiologi Manusia dari Sel ke Sistem. Edisi 6. Diterjemahkan
oleh : Pendit BU. Jakarta:EGC.
Sun, Z. 2014. Aging, Arterial Stiffness, and Hypertension. Diunduh dari :
http://hyper.ahajournals.org, diakses 26 Februari 2015.
Victor, RG. 2012. Systemic Hypertension : Mechanisms dan Diagnosis. Dalam
Braunwald’s Heart Disease : A Textbook of Cardiovascular Medicine
10th edition. Mann et al(Ed). Philadelphia, USA: Elsevier Saunders.
Wang, J, Staessen, JA, Fagard, RH, Birkenhanger, WH, Gong, L, Liu, Lisheng et
al. 2001. Prognostic significance of serum creatinine and uric acid in
older chinese patients with isolated systolic hypertension. Hypertension:
Journal of The American Heart Association, Vol. 37, p1069-1074.
WHO and ISH. 2003. WHO/ISH Statement on management of hypertension.
Journal of Hypertension Vol.21, No.11. UK:Lippincott Williams and
Wilkins.
WHO. 1999. World Health Organization - International society of hypertension.
Guidelines for the management of hypertension. Journal Hypertension
1999;17:151-83.
WHO. 2013. A Global brief on hypertension : Silent killer, global public health
crisis. Diunduh dari: www.who.int/WHO_DCO_WHD_2013, diakses 26
januari 2015.
Widyastiti, NS. 2005. Perbedaan nilai klirens Cockroft-Gault berdasar hasil
pemeriksaan kreatinin metode Jaffe uncompensated, rate-blanked
compensated dengan enzimatik. Program Pendidikan Dokter Spesialis I,
Universitas Diponegoro, Semarang.
Whelton PK et al, 2017 ACC/ AHA/ AAPA/ ABC/ ACPM/ AGS/ APhA/ ASH/
ASPC/ NMA/PCNA Guideline for the Prevention, Detection, Evaluation,
and Management of High Blood Pressure in Adults. Journal of the
American College of Cardiology. 2017 (10); 1-53.
Yogiantoro, M. 2014. Pendekatan Klinis Hipertensi. Dalam : Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Jakarta:Interna Publishing. hal 2259-2277.

Anda mungkin juga menyukai