com/
Bulim Tiap
Pusaka Rimba Hijau
Dituturkan oleh : Tse Yung
Sumber hasil scan dari Armanjbi Lunjuk’s Corner
Djvu oleh : Dewi KZ
Edit teks oleh : Edi Saputra
Ebook oleh : Dewi KZ
TIRAIKASIH WEBSITE
http://kangzusi.com/ http://dewi-kz.info/
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Jilid 1
…….. sunyi ……. jagat raya ……. dan segala …… penuh
ketenangan dan ketenteraman.
Tatkala ini di tepian danau See Ouw tertera jejak kaki
memanjang, diiringi derap suara sepatu di atas pasir. Dalam
kesunyian malam, suara itu semakin tegas di pendengaran,
membayangkan kesepian seorang diri!
Sinar rembulan menembus celah2 daun liu, sungguh pun
suram dan sayu, dapat pula menerangi keadaan di pantai itu.
Seseorang berwajah kurus dengan pedang di punggung,
mengenakan pakaian kuning panjang, usianya lima puluhan
dengan jenggot putihnya ……………. (bukunya robek, Editor)
………… bukan lain dari seorang Ciangbunjin Bu Tong Pay
yang bernama Cie Yang Cinjin.
Tiba-tiba ia menghela napas, ……… dihentikan tiba2 ……….
sinar rembulan ter ………. cahaya ……. terbenam …….. nya
sendiri.
Dengan mengerutkan kening ia kemak-kemik sendiri: “Mati
hidupnya manusia bergantung kepada waktu, ada yang lebih
panjang ada juga lebih pendek, akhirnya sama juga.. mati!
Dalam sekejap mata telah berpuluh tahun aku menjabat
sebagai Ciangbunjin Bu Tong Pay ………. kembali ……..
mengadakan pertemuan yang ke………… Aku tak habis …….
dalam pertemuan ……..lalu dua kali mengalami ….. dan selalu
…… kunci dalam ………. itu. Aih…….. Bu Tong Pay dari berdiri
beratus tahun lalu diminta bisa menjadi ………. terkenal
seluruh negara …. hancur di dalam …. yang tak berguna …..
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
puluh tahun ….. Siau Lim Pay …… Pay….. mend….. dan ber…..
Bu-lim ……… girang…… bang.
…..nya kalau aku kalah lagi. Ah, jalan satu2nya harus mati.
Dengan mati tentu aku bisa membalas budi kebaikan pintu
perguruanku! Ya hanya mati, mati, mati!
Ia tertegun sejenak, wajahnya semakin gelisah dan cemas
sekali. Dari dua matanya berlinang air mata haru, sewaktu
berkata matanya parau. “Aku mati tak mengapa, tapi…
bagaimana dengan dendam kasihku yang dalam sebagai
lautan itu? Ah, soal ini benar2 membuat aku sulit, kecuali…
kecuali aku bisa merebut Bu Lim Tiap, bilamana tidak tidak,
Aku tidak ada muka lagi kembali ke Bu Tong ……………… dia?”
…………… dan kecemasan …….. muram di dalam ………
seperti mencari ………. untuk dilampiaskan.
Jari-jari tangan kanannya tiba2 dikeluarkan memelintir
ranting2 pohon liu, lalu menggentak sambil ber …………
Ia menyadari bahwa ilmu silatnya yang tinggi secara
otomatis sudah ……… di jarinya itu.
…….. terdengar bunyi ……….. ginya pasir dan
…………..ngan. Terlihat ……..pohon liu di …….. patah, tapi
………… itu sudah ……… roboh.
Mengagumkan dan luar biasa anehnya. Bilamana tidak
melihat dengan mata kepala sendiri siapa pun tidak akan
mempercayainya, bahwa di dunia Bu-lim terdapat manusia
yang demikian lihay.
“…Ilmu ini untuk apa? Apa gunanya!? Aih, Biar aku memiliki
ilmu yang bagaimana lihaypun terkekang dengan sumpah
tempo hari, membuatku seperti burung yang tidak bisa
membentangkan sayap untuk terbang di alam bebas,
mengecap kemerdekaan. Sedikitpun aku tidak boleh memakai
ilmuku menghajar musuh. Ai! Dalam pertandingan terdahulu,
aku melihat dengan mata penasaran Bu Lim Tiap dikuasai
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Baik!” serunya.
Tubuhnya segera loncat serta melancarkan ilmu Hui San Ko
hoo (menerbangkan kipas menyeberangi sungai).
Kipasnya menotok berbareng menebas, menyerang keras
baju kanan musuhnya.
Belum kipas sampai, Cie yang Cinjin merasakan suatu
tenaga keras menggempur dirinya, tanpa membuang waktu
tubuhnya bergoyang2, mencelat pindah ke lain bunga yang
terletak di sebelah selatan. Berbareng dengan itu ia pun
melancarkan jurus Cee It Tou Heng (bintang bergeser miring),
terdengar suara keras dan dari deruan angin, pedang itu
tampak seperti menabas dan membacok ke arah perut
musuhnya.
Begitu Pek Tok Thian Kun melihat kipasnya menyerang
angin dan pedang musuh menghantam dirinya, kagetnya tidak
kepalang, dalam waktu yang sekilas mata yang tegang,
tubuhnya cepat merapung!
Dengan sekali ubah antara kaki dan tangan menjadi rata,
pedang emas musuh menyabat lewat di bawah dadanya,
bahayanya bukan main. Tak heran ia mengaku sebagai ahli
Ginkang kelas wahid, memang sesungguhnya demikian.
Saat ini tubuhnya yang berada di udara belum hinggap
pada bunga teratai, tiba2 lengannya berbalik mengebut,
kipasnya yang besar sekali lagi dijadikan senjata rahasia
menghajar musuhnya.
Sehabis menyerang Cie Yang Cinjin harus kembali lagi
menaruh kakinya di bunga teratai. Karena itu sewaktu Ia
kembali dan baru sampai di tengah jalan mendengar deruan
senjata menebak angin, kagetnya tidak alang kepalang. Sudah
lama ia mengetahui senjata rahasia beracun yang amat hebat
dari golongan Pek Tok Bun, tak ayal lagi, pedangnya diputar
keras2 membuat jaringan sinar kuning yang ampuh.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Trang!”
Dua senjata bentrok keras.
Cie Yang Cinjin menguatirkan musuhnya tidak
menghiraukan peraturan dari Bu Lim Tiap dan
membentangkan Ilmu Bie-thian-man-tee-pek-tok-tin yang
teramat lihay untuk mencelakakan dirinya.
Begitu senjata beradu ia meminjam tenaga tubuhnya
segera mencelat pergi ke bunga teratai di sebelah timur,
dengan pedang Ia menjaga diri lalu memandang ke arah
musuhnya tanpa terasa lagi dongkolnya menjadi2.
Tampak Pek Tok Thian Kun tenang2 di atas bunga sebelah
barat, mengawasi ke arahnya dengan ber-senyum2, lagaknya
sangat sombong. membuat dirinya tak tahan lagi. cepat2
menunjuk dengan pedang.
“Pek Tok Thian Kun, kau salah seorang yang sudah
terkenal dan berkedudukan tinggi, kenapa berani melanggar
peraturan dengan tak tahu malu?’’ tegurnya.
“He he! Cie Yang Cinjin kau jangan me-lotot2 me-maki2
orang, pendeknya kita tanyakan saja kepada Hui Go Siansu,
siapa yang salah?”
Hui Go cepat2 berkata: “Masing2 salah paham, yang benar
Pek Tok Thian Kun tidak menggunakan senjata rahasia tapi
……….”
“Taysu tidak boleh banyak bicara, sebegitupun cukup,”
potong Pek Tok Thian Kun dengan ter-gesa2.
”Kini Taysu boleh menjadi saksi terus dalam pertandingan,
bahwa aku tidak menggunakan senjata rahasia melanggar
peraturan.”
Ciu Yang Cinjin merasa aneh dan bingung ia bungkam tak
bisa bicara.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Anak itu yang bukan lain dari pada Kiu Heng tiba2
mengingat sewaktu gurunya turun gunung pernah
mengatakan sesuatu kepadanya, membuatnya segera tahu
maksud kedatangan dari tiga Hweesio itu.
“Celaka,” serunya, seraya berlari cepat2 tanpa
menghiraukan pada luka dan sakit. Dengan napas memburu
tibalah ia di dalam biara Sau Goan Kuan. Dilihatnya Cee Sie
Supeknya tengah menemani si Hweesio yang dikemukakan
tadi. Cepat Ia berlutut dan meminta maaf atas
kekurangajarannya tadi.
“Tapi guruku pernah mengatakan bahwa Hui Go Taysu
sudah berusia tujuh puluh tahun, tapi kenapa menjadi muda
begini, mungkinkah Ia sudah mempelajari llmu awet muda?”
pikir Kiu Heng.
Dengan kedua matanya Ia melihat peninggalan dari pedang
gurunya yang bernama Kim-liong-cee-hwee-kiam terletak di
atas meja.
Tak terasa lagi matanya menjadi merah, air matanya pun
segera menggenangi di dalam kelopaknya, lalu mengetel
turun.
“Aku tidak boleh menangis, aku laki2 sejati mana boleh di
depan mereka menangis,” pikirnya.
Cee Sie Tojin baru melihat tegas bahwa anak yang
berdarah dan menderita luka itu adalah Kiu Heng, dengan
kaget ia bertanya: “Heng-jie! Kenapa kau? Coba sini
kuperiksa!” nada suara yang manis dan penuh rasa kasih
sayang.
“Supek! aku tidak kenapa-napa!” jawab Kiu Heng. “Hanya
digigit ular.”
“Ular apa?”
“Tidak kutahu namanya,” kata Kui Heng, “tapi jangan kuatir
tempat yang digigit sudah kupotong.”
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Terkecuali dari Siau Lim Sie dan Bu Tong Pay, masih ada
Hoa San Pay yang diwakili Liau Tim Sutay dan Pek Tok Thian
Kun.’’
“Oh,” kata Kiu Heng.
Dalam empat orang hanya satu perempuannya. Hui Go
Taysu pasti menunjuk perempuan itu adalah Liau Tim Sutay!”
pikirnya.
Tapi Ia tidak memikir kenapa Hui Go Taysu menyebutkan
Liau Tim Sutay dan hanya mengatakan perempuan?
Cee Sie Tojin menyerahkan pedang Kim-liong-cee-kwee-
kiam pada Kiu Heng.
“Itu adalah pedang peninggalan gurumu, tampaknya di
dalam pedang bersembunyi rahasia besar, baik-baiklah kau
jaga.”
Dengan hormat Kiu Heng menyambut pedang itu dengan
kedua tangannya. Dilihatnya di serangka pedang tertera
bunyi: Kalau ingin tahu soalku terdapat di dalam pedang ini.
Ia menjadi girang bercampur sedih. Girang karena gurunya
tidak melupakan pada sakit hatinya dan memberi tahu. Sedih
karena ditinggal gurunya.
Dalam cemasnya, cepat2 ia mencabut pedang, tapi antara
pedang dan serangkanya yang sudah ditekan Cie Yang Cinjin
dengan ilmu Kiu Yang Sin Kang (sembilan kekuatan sakti),
agaknya sudah seperti menjadi satu. Beberapa kali ia
mencoba mencabutnya dengan sekuat tenaga. Sampai
tangannya sakit belum juga berhasil menghunusnya. Ia
menjadi malu dan buru2 keluar ruangan.
“Dalam bidang lain anak ini cukup baik, hanya adatnya
terlalu keras dan angkuh,” pikir Cee Sie Tojin sambil meng-
geleng2kan kepala.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Pada suatu hari Kiu Heng tiba di kota Sin Cong, pikirnya di
kota besar demikian itu pasti tempat mengeramnya segala
harimau dan naga. Tapi Ia berpikir salah. Terkecuali dari kaum
penjual silat, tidak didapatkannya orang2 berilmu tinggi yang
dikehendaki. Sepuluh hari ia membuang waktu di kota itu
dengan harapan nihil.
Hari ini Ia pergi keluar kofa untuk menghilangkan kesepian
hatinya dan mengharap-harapkan ketemu orang luar biasa.
Dengan langkah berat ia berjalkan perlahan-lahan.
“Mungkinkah cita2ku tidak akan dikabuli alam? Kalau terus
demikian macam, aku harus bagaimana?” pikirnya.
Tiba2 ia mendengar suara kelenengan nyaring yang
bercampur dengan ketoprakan kaki kuda, sungguhpun bukan
suara musik tapi cukup menarik pendengaran.
Dengan cepat penunggang kuda itu sudah tiba di
hadapannya dan berhenti. Kui Heng menundukkan kepala
terus sambil minggir membuka jalan. Anehnya penunggang
kuda itu tidak melanjutkan perjalanan. Ia dongak
memandang, tampak seekor keledai yang kokoh dan hitam
mengkilap, lalu melihat kelenengan yang tergantung di leher
binatang itu, hal ini membuatnya kaget karena kelenengan itu
terbuat dari kumala yang mahal.
“Penunggang keledai itu kalau bukan kaum bangsawan
tentu seorang saudagar besar. Tapi kenapa berhenti di
hadapan mukaku?” pikir Kiu Heng tidak mengerti.
Untuk mencari jawaban Ia menatap penunggang keledai
itu. Ia menjadi kaget tapi tidak membuatnya berseru.
Tampak penunggang keledai itu adalah seorang tua yang
sudah putih rambut janggutnya, mukanya pucat tidak
berdarah, barang siapa melihatnya pasti akan merasa gentar.
Waktu pandangan mata Kiu Heng bentrok dengan sinar
mata orang tua itu membuatnya menggigil tidak karuan,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ya,” kata Kiu Heng, “aku sudah tahu semua, tapi merasa
heran kenapa kau memecahkan tradisimu dan membantu
diriku?”
“Ya” jawab Pek-bu-siang mengakui. Ia merasa kalah dan si
anak menang. Karena itu tidak menjelaskan terlebih panjang.
Ia tidak habis pikir dalam keadaan yang mendesak bisa
membantu Kiu Heng, karena itu ia terpekur sejenak sesudah
itu baru bertanya lagi: “Siaucu, siapa namamu?”
Kiu Heng mengerutkan kening, dua kali Ia disebut Siaucu,
entah bagaimana sebutan itu membuatnya tersinggung dan
tidak senang mendengarnya. Tapi untuk memperoleh
pelajaran dari Pek-bu-siang, Ia bisa berlaku sabar.
“Namaku Kiu Heng,” katanya.
Sesudah itu ia memalingkan muka keluar dan berkata
dengan sombong. ”Lain kali kau jangan memanggil Siaucu lagi
sesudah mengetahui nama itu, belum pernah aku mendengar
orang memanggil demikian padaku? Tapi aku dapat
memaafkan dirimu karena tidak tahu namaku!”
Adapun nama Kiu Heng berarti dendam dan sakit hati. Pek-
bu-siang yang kenyang malang melintang di dunia hitam dan
membunuh tanpa mengenal belas kasihan merasa kaget
mendengar nama yang demikian itu.
“Anak ini pasti mempunyai dendam dan sakit hati yang
setinggi langit dan dalam seperti lautan!” pikirnya.
Sungguhpun demikian, Ia tidak marah atas kelakuan Kiu
Heng, berbalik semakin merasa suka dan sayang.
“Anak ini pasti akan menjadi seorang jago aneh di
kemudian hari,” pikirnya lagi.
Segera ia menganggukkan kepala. “Bagus, lain kali aku
tidak mau memanggilmu Siaucu. Eh, apakah kau sadar,
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
cukup berharga. Say Lam San apakah kau masih mau pibu?
Siang Siu akan melawanmu dengan tenaga yang penghabisan,
ba gaimana?”
Liok-cee-kong Hok Sam Kang sesudah melepaskan Giok-jie-
ienya segera tidak terlihat bergerak lagi, sedangkan Hok-cee-
kong Sin Tong Hai sesudah terpental tidak merayap bangun.
Hal ini membuat Siu-cee-kong Say Lam San menjadi tertegun,
ia tahu lebih banyak celakanya dari pada baiknya nasib kedua
saudaranya itu.
Ia tersenyum meringis.
“Siang-heng, hal ini terjadi benar2 di luar dugaanku. Kau…
silathkan kau pergi, aku biar bagaimana tidak mau mengadu
jiwa habis-habisan!”
“Ya, kalau kau tidak mau memukul aku lagi aku akan
berlalu tapi aku tidak menerima kebaikanmu ini!” jawab Pek-
bu-siang.
Sehabis berkata segera ia berlalu sambil terhuyung-huyung.
Perkelahian yang berakhir mengenaskan ini membuat Kiu
Heng yang mencuri lihat menjadi terpaku kaget. Dilihatnya
Pek-bu-siang dengan susah payah naik ke atas keledainya,
lalu berjalan pergi di bawah sinar rembulan. Baru beberapa
langkah tampak Pek-bu-siag jatuh tengkurap di atas
tunggangannya.
Say Lam San tiba2 mendongak ke atas bio, lalu
membentak: “Siapa yang bersembunyi di atas, lekas turun!”
“Wah, celaka betul, tentu ia mengira aku murid Pek-bu-
siang dan pasti tidak akan memberi ampun,” pikirnya.
“Ah, masa bodoh, aku yakin nama besar dari Say Lam San
tidak akan menganiaya seorang Houpwee smacamku.”
Sehabis berpikir Kiu Heng segera turun ke depan Siu-cee-
kong Say Lam San.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
penting dari ketiga orang itu. Seluruhnya terdiri dari dua belas
jurus, sedangkan Thian Lam Sam Cee setiap orangnya hanya
mempelajari empat jurus. Bilamana seorang mau mempelajari
dua belas jurus, tidak berarti mengurangi kelihayan dari ilmu
itu. Ia menjadi girang dan berjingkrakan, cepat2 Ia masukkan
ke dalam sakunya. dan bertindak pergi.
Langkahnya menjadi berhenti sewaktu ia melihat senjata
Pek-bu-siang mengeletak di atas rumput lalu mengambilnya
menoleh kemana keledai hitam berlalu sambil terpekur.
Ia merasa kesian dan terharu sewaktu melihat Pek-bu-siang
jatuh tengkurap di atas tunggangannya.
“Coba kalau kau melulusi permintaanku memberikan
pelajaran dan tidak mengusir aku pergi, sudah tentu aku bisa
mencarimu dan merawat lukamu itu dan tidak sampai mati
tanpa dikubur dan digerogoti binatang buas,” pikirnya.
Lalu ia ikuti jejaknya keledai.
Dua bukit sudah dilalui, di bawah sebuah tebing curam ia
melihat keledai hitam.
Keledai itu diam menjamajikannya, aku harus ke sana
menengoknya, tapi kalau ia belum mati bisa2 aku dihajarnya
dan mati konyol tidak keruan!” pikirnya.
Ia diam dari kejauhan seketika lamanya, sadikit pun tidak
berani mendekati.
Tiba2 keledai itu meringkik secara mengenaskan membuat
Kiu Heng sedih dan pilu.
“Dari suaranya keledai yang demikian menggoncangkan
perasaan haru, mungkin Siang Siu sudah meninggal dunia,”
sehabis berpikir ia maju dengan memberanikan hati.
Benar saja Pek-bu-siang sudah meninggal dunia sambil
menyandarkan tubuh di tebing gunung.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
JILID II
Kiu Heng merasa tertarik pada penuturan si orang tua,
begitu ia berlalu segera Kiu Heng duduk di atas batu mencoba
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Benar saja Ia melihat jidat Kiu Heng dan pipi yang benjol
dan bengkak2, segera Ia menegur. “Adikku, tadi malam kau
tidak menemukan guruku bukan?”
Kiu Heng tidak berani mendusta, tapi ia kuatir Cui-jie
menjadi ‘berduka. “Cici, lebih baik kau merawat dirimu baik2
dan jangan terlalu berduka! Na Lo Cianpwee tidak kutemukan,
dan rumah gubuk yang bekas kita tinggali telah…..”
“Telah dibakar!” potong Cui-jie.
Ia tidak menjadi duka mendengar kabar buruk itu malahan
menjadi girang. “Suhu pernah mengatakan kepadaku,
bilamana ia mendapat kesempatan berkelana di Sungai Telaga
kembali rumah gubuk itu akan dibakarnya, dengan demikian ia
bisa menghilangkan kekesalan dan kedukaan hatinya!
Ia tertegun sejenak sambil memandang kepada Kiu Heng,
lalu melanjutkan perkataannya: “Adikku, kau pasti tersengat
lebah hitam. betulkah? Bolehkah kau membawaku ke tempat
lebah2 itu? Lebah2 itu bisa menolong diriku!”
“Cici, kau jangan mengaco, lebah-lebah itu mana mungkin
menolongmu?”
“Adikku, kau lupakah pada madu yang pernah kau minum?
Madu itu bisa menambah semangat dan kekuatan, merupakan
obat yang mujarab. Madu itu didapat dari lebah2 hitam,
Bawalah aku kesana, kau tak perlu kuatir, sebab lebah2 itu
peliharaan guruku.”
Kiu Heng girang mendengar keterangan ini, tapi ia tidak
segera berangkat.
“Cici dapatkah kau menderita seharian lagi? Sekarang
sudah siang, aku kuatir dipergoki musuh!”
Cui-jie mengangguk.
Pada malam harinya Kiu Heng menggendong Cui-jie ke gua
di mana terdapat lebah2. Ia merasa takut dan tidak berani
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
pasti akan mati. Bocah ini bisa menghindarkan diri dari tangan
Gui Sam Seng, tapi tidak bisa meloloskan diri dari racunnya.”
“Siok-siok, bukankah kau masih mempunyai pel Kie-hun-
kui-goan-tan? Kau berikan sebutir! Kasihan dia!” pinta Ping
Ping sambil mengucurkan air mata.
“Memang obat itu bisa memunahkan segala racun, tapi
belum tentu bisa menawarkan racun Pek Tok Thian Kun,
tambahan ia sudah terkena lama dan terlambat untuk
ditolong!”
“Tidak terlambat!” bantah Ping Ping. “Kau lihat ia masih
merintih terus menerus! Berikanlah sebutir!”
In In yang diam saja pun meminta agar si orang tua
memberikan obat pada Kiu Heng sehingga si orang tua
mengalah juga didesak dari kiri dan kanan.
“Baiklah,” katanya.
“Hitung2 bocah ini berhokkie besar. bilamana hari ini Tia-
tiamu tidak mengatakan Ia seorang yang baik, pasti tidak
kutolong!”
Sehabis berkata segera Ia mengeluarkan peles obat,
dengan hati2 dikeluarkannya sebutir dan diberikan ke tangan
Ping Ping.
Ia sendiri mengangkat pelesnya dan menutup obatnya
yang masih bersisa sebutir.
“Tinggal sebutir lagi! Ah, tinggal sebutir lagi,” katanya.
Tiba2 terdengar suara kaget dari In In dan Ping Ping,
membuat si orang tua terkejut dan melompat setombak lebih.
Berbareng dengan itu ia mendengar suara ter-gelak2.
“Terima kasih banyak! Lo Sianseng, pendeknya obatmu ini
sama saja dipergunakan menolong orang! Pada jiwie Kounio
pun aku menghaturkan banyak terima kasih juga. Aku tidak
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
“Ah, kau terlalu bodoh tiga hari tidak makan bukan soal
main2, lekas ikut denganku!”
Mereka segera menuju ke gua, jauh2 Cui-jie sudah
memandang kedatangan mereka. “Belum terang tanah,
kenapa sudah kembali lagi?” tegurnya dengan ter-gesa2.
Cui-jie menguatirkan Kiu Heng ketemu Pek Tok Thian Kun,
kini dilihatnya si pemuda kembali sambil bertuntun tangan
dengan Ping Ping, hatinya merasa kecut. Sesudah mengatakan
perkataan gurau untuk menghilangkan perasaan hatinya, ia
terdiam bengong.
Kiu Heng mengerti apa yang menyebabkan Cui-jie
demikian. Ia tersenjum saja. Lalu dengan Ping-Ping mukanya
menjadi merah kemaluan. Ketiga orang itu masuk ke dalam
gua, lalu duduk di tempat masing2. Dengan sungguh2, Kiu
Heng berkata: “Cui Cici, kini bukan saatnya bergurau, kau
harus tahu dalam beberapa hari ini Lian Hoa Hong mengalami
malapetaka hebat, hal ini akan kuterangkan dengan teliti.
Sekarang, kau berikanlah dulu secangkir madu pada Ping
Kouwnio, karena sudah tiga hari Ia tidak makan.”
Cui-jie mengerti keadaan sesungguhnya sangat berat,
tanpa banyak tanya ia masuk mengambil madu dan
menjerahkan pada Ping Ping.
“Eh, lekaslah kau makan!” Ping Ping menyambut, lalu
mengatakan dengan perlahan dan hampir tidak terdengar. Kiu
Heng menyaksikannya menjadi geli.
“Ah, kamu sebagai juga anak kecil, kenapa jadi uring2an?
Sejak hari ini, kamu harus akur satu sama lain!” kata Kiu Heng
di dalam hati.
Sesudah Kiu Heng melihat Ping Ping selesai menghirup
madu lalu menceriterakan kejadian di Lian Hoa Hong dengan
panjang lebar dan teliti pada Cui-jie. Hal ini membangkitkan
lagi kesedihan Ping Ping, sehingga ia menangis. Terkecuali itu
Cui-jie pun turut berduka.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
ini asal kena kena towel sudah cukup, aku tak mau mengadu
jiwa dengan seekor siluman monyet, tahu?”
Kiu Heng tidak menjawab.
“Siluman monyet, mari maju!” tantang si orang tua,
“Tempo hari aku kalah, sekali ini kau jangan harap
menang!” bentak Kiu Heng, seraya mengebut dengan lengan
kanan, semacam tenaga tersembunyi yang keras menyambar
datang.
Si orang tua cepat2 mengangkat lengan kirinya dan
didorongkan dengan mendadak, sehingga pukulan keras
dilawan keras.
“Blang!”
Angin pukulan yang bentrok berbunyi keras. Masing2 tidak
ada yang terpukul mundur.
Satu sama lain maju merangsak tak mau mengalah,
kepandaian yang luar biasa dikeluarkan, keadaan mereka
berimbang, semakin bertarung kekuatan mereka semakin
hebat.
Dalam setengah tahun Kiu Heng sudah mempelajari
matang sekalian ilmu silat yang terdapat di dinding gua, tapi
belum pernah dipergunakan untuk melawan musuh. Kini Ia
bertemu To Pei Lojin yang tangguh, dan merasa tidak
terdesak, hatinya girang. Bagaikan ikan yang dapat air, ia
semakin bersemangat menghadapi musuhnya jurus demi
jurus.
Sejak menerjunkan diri ke sungai telaga, si orang tua
belum pernah mendapat tandingan yang setimpal, kini ia
heran betul menghadapi si pemuda yang bisa maju pesat
dalam jangka setengah tahun; lebih2 pukulan2 yang
dilancarkan Kiu Heng membuatnya heran dan tak mengerti.
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Menghadapi ilmu lawan yang luar biasa aneh ini, Kiu Heng
tidak menjadi gentar, dengan cepat lengan kirinya mengebut,
si orang tua berjingkrak2an seperti kelabakan. Tapi setiap
jepitan jarinya dapat memecahkan serangan si orang tua
sehingga luput dari bahaya.
Tu Pei Lojin merasa kagum dan heran, tapi tidak bisa
berpikir terlalu lama karena serangan Kiu Heng kembali
datang.
Pertarungan berlangsung terus penuh kehebatan dan
mendebarkan jantung. Tiga ratus jurus berlalu tanpa dirasai
mereka.
“Kalau begitu terus, aku tidak bisa menang!” pikir Kiu Heng,
“aku harus menggunakan llmu yang terlihay dari pelajaran
yang terdapat di Bu Lim Tiap!”
Begitu habis berpikir, segera ia berseru: “To Cianpwee,
awas!” seiring dengan peringatan nya, jurusnya segera
berubah, tubuhnya merapung ke udara, lalu menukik turun
dengan deras, lengan kiri dan lengan kanan yang berpedang
dipergunakan berbareng dengan jurus Siang-ma-in-coan
(sepasang kuda minum di mata air), langsung menikam dan
mengeprak si orang tua.
Tanpa ragu si orang tua melancarkan keahliannya dengan
jurus Hoo I.ui Wan Tie (burung Hoo menangis, orang hutan
menjerit), memecahkan serangan dahsyat lawannya.
Kiu Heng membarengi lagi dengan serangan Keng Liong Cin
Kau yang ampuh, memaksa si orang tua mundur beberapa
langkah, dengan demikian ia menang di atas angin, sampai To
Pei Lojin hanya bisa menangkis tanpa bisa menyerang lagi.
Sungguhpun demikian, benteng pertahanan To Pei Lojin
luar biasa ampuhnya, huncwenya diputar demikian macam,
niscaya setitik air pun tidak bisa tembus. Serangan ber-tubi2
yang ampuh maupun yang ganas dari Kiu Heng tak berdaya
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
tidak tercapai!” “Oh begitu, tapi kaupun harus tahu, Kiu Heng
seorang beradat angkuh yang membenci kejahatan sampai ke
tulang sumsumnya!”
Tohiap yang diam saja, mengetahui gelagat buruk di depan
mata.
“Ah, Tok Hiat-cu keterlaluan sekali,” pikirnya, “sampai
akupun tidak dipandang sama sekali. Kalau kutetap diam,
lagaknya semakin men-jadi2!”
Cepat ia menghampiri sambil tersenyum: “Cungcu, kau
jangan mendesak anakku dengan keterlaluan sebab
disampingnya masih ada aku. Pendeknya, kuharap kalau
Cungcu tidak keberatan, boleh menimpakan kedongkolan itu
pada pundakku! Kalau kau menang, Pai Kut Sin Kang boleh
kau miliki, sebaliknya kalau kau kalah, sejak hari ini harus
mengasingkan diri dari dunia Kang Ouw, bagaimana?”
“Bagus,” kata Ciok It Hong. Ia memberi tanda kepada
muridnya yang bernama Tie Houw dan Tie Liong. Sesudah itu
mereka membuat, satu lingkaran segi tiga yang merupakan
barisan aneh. Sedangkan Lauw Siong dan Lauw Pek turut
mengambil bagian dari kiri kanan.
Begitu barisan selesai, Ciok It Hong memberikan tanda.
Seketika kedua muridnya dan dua saudara Lauw serta dirinya
sendiri mengebutkan lengannya. Segera terlihat benda2 halus,
yang serupa jarum berterbangan sambil mendengarkan bunyi
berkesiuran. Serentak senjata2 rahasia itu menuju pada To
Hiap.
Senjata2 rahasia dari Ciok It Hong ini luar biasa sekali,
bentuknya tidak seperti jarum maupun seperti piau, tapi
seperti panah mainan anak2. Kepalanya berbentuk dua, tak
ubahnya seperti jepitan kalajengking. Begitu mengenai daging
segera menjepit dan menyalurkan bisa.
Tohiap diserang dari segala penjuru sudah tak mungkin
melarikan diri. Untunglah dalam keadaan bahaya, Kiu Heng
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
hitung2 mencuci noda kotor di dunia Kang Ouw,” kata Pek Tok
Thian Kun sambil berkelit.
“Tak perlu kau urus diriku, kau tak berhak!” bentakku
seraya merangsek dengan nekad.
“Bilamana tidak memandang kepada gurumu, siang2 sudah
kubikin mampus!” bentak Pek Tok Thian Kun.
“Kini jalan yang terbaik tunjukkanlah dimana
bersembunyinya bocah itu sehingga aku bisa mengampuni
jiwamu dari kematian.”
Aku tidak mau meladeni lagi ocehannya, lenganku
menyerang terus. Perbuatanku ini menimbulkan dongkolnya
musuh dengan keras ia tertawa lalu mencelat pergi
menghindarkan seranganku,
Dari udara Ia menukik turun sambil mencabut kipasnya di-
putar2kan dengan keras melingkari diriku.
Sepuluh jurus berlalu, aku bermandi keringat dan bernapas
empas-empis. Begitu Ia merangsak lagi, aku kena ditendang
pergi sejauh beberapa tombak. Sebelum aku bisa berbuat
apa2, Ia sudah datang dan memberilkan beberapa totokan di
tubuhku sehingga membuatku tak berdaya.
Aku berpikir, mungkinkah ia tidak membunuhku karena
menghormati guruku? Biarlah kalau sampai diriku dicemarkan
binatang ini, sampai mati pun tak akan kuampuni.
Pek Tok Thian Kun adalah seorang kejam yang luar biasa,
mana mungkin ia mengampuni diriku karena memandang
guruku? Sebenarnya kutahu diriku akan dihabiskan seketika
itu juga, tapi ia mengubah pikirannya begitu mengingat bahwa
aku adalah kawan baikmu. Ia ingin menjadikan aku sebagai
umpan untuk memancingmu datang.
Tubuhku dikempit dan dibawa pulang ke rumahnya.
Untunglah sewaktu aku dikurung dalam tahanan mendapat
pertolongan seorang anak muda. Pemuda itu bukan lain dari
Tiraikasih Website http://kangzusi.com/
Bersambung jilid .