Anda di halaman 1dari 32

BAB I

STATUS PASIEN

I. Identitas Pasien
a. Nama/Jenis Kelamin/Umur : An. A / Laki-laki / 12 tahun
b. Pekerjaan/Pendidikan : Belum bekerja / Pelajar SD
c. Alamat : RT. 60 Kelurahan Jelutung

II. Latar Belakang Sosio-ekonomi-demografi-lingkungan-keluarga


a. Status Perkawinan : Belum menikah
b. Jumlah saudara : 1 orang, pasien anak pertama
c. Status ekonomi keluarga : Cukup
d. KB yang diikuti : Tidak KB
e. Kondisi Rumah
Pasien tinggal
dirumah permanen
berukuran ± 10x8 m2,
dinding rumah dari
batu bata dan dilapisi
marmer, lantai rumah
dari marmer dan atap
rumah dari genteng.
Rumah dilengkapi
dengan ventilasi udara
dan jendela yang cukup, pencahayaan alami dalam rumah cukup. Bagian
rumah terdiri dari 1 ruang tamu, 4 kamar tidur, dapur, ruang makan dan 2
kamar mandi dengan jamban leher angsa, sumber air bersih untuk mandi,
mencuci dan masak dari PDAM dan penerangan dari PLN. Pasien tinggal
bersama kedua orang tua, 1 saudara perempuan, serta kakek dan nenek pasien.
Kondisi rumah bersih dan penataan barang dalam rumah rapi.

1
Ruang tamu di rumah pasien

Kamar tidur pasien Kamar Orang tua Pasien

2
Kamar mandi Ruang Makan

Dapur

f. Kondisi Lingkungan di sekitar rumah


Kondisi lingkungan di sekitar rumah pasien terlihat cukup sehat. Rumah
berlokasi di lingkungan pemukiman penduduk, cukup jauh dari jalan raya,
jarak antara rumah pasien dengan rumah sekitar cukup dekat. Tidak ada
pabrik disekitar rumah. Halaman depan rumah pasien berukuran sekitar ±
15x3 m2, di tumbuhi rumput dan dibagian samping kiri rumah pasien
berbatasan dengan rumah adik pasien dalam satu pekarangan yang sama.
Didepan rumah pasien terdapat garasi untuk kendaraan pasien.

3
III. Aspek Perilaku dan Psikologis dalam Keluarga
 Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara dan disayang oleh kedua
orangtuanya
 Hubungan antar anggota keluarga baik
 Kedua orang tua pasien bekerja di luar kota sampai sore, pasien dan adiknya
diasuh oleh kakek dan neneknya setiap hari sampai orang tuanya pulang
bekerja

IV. Keluhan Utama


Demam sejak ± 6 hari sebelum berobat ke Puskesmas Simpang Kawat.

V. Riwayat Penyakit Sekarang


Pasien dibawa ibunya berobat ke Puskesmas dengan keluhan demam
sejak  6 hari yang lalu. Ibu pasien mengatakan demam naik turun, demam
terutama meningkat pada sore dan malam hari, kemudian pasien merasa
sedikit lebih sehat pada pagi hari. Menurut ibu pasien, demam terjadi setiap
hari dan tidak ada periode bebas demam, pada awalnya demam pasien tidak
terlalu tinggi, kemudian meningkat perlahan dan hari ke tujuh demam
mencapai 38,7 ◦C saat diukur menggunakan termometer di rumah pasien.
Demam tidak disertai dengan menggigil, berkeringat, kejang, batuk, pilek,
nyeri kepala, nyeri telinga ataupun nyeri sendi. Keluhan gusi berdarah,
mimisan ataupun bercak kemerahan pada kulit juga tidak ada. Namun
menurut ibu pasien, sejak keluhan demamnya muncul, pasien menjadi sering
mengigau saat tidur.
 4 hari sebelum berobat ke puskesmas pasien mulai tidak nafsu
makan, perut terasa mual dan muntah sebanyak 2 kali berisi makanan yang
dimakan, muntah tidak bercampur darah ataupun lender. Pasien juga
mengatakan sejak saat itu seluruh bagian perutnya terasa sakit. BAK tidak
ada keluhan, berwarna kuning jernih. Namun pasien belum BAB sejak  3
hari yang lalu. Terakhir kali BAB konsistensi lunak, berwarna kuning,
terdapat ampas makanan, tidak bercampur darah ataupun lender.

4
Ibu pasien sudah membawa pasien berobat ke dokter pada hari ke-4
demam dan diberikan obat paracetamol, obat muntah serta vitamin, namun
keluhan demam belum membaik sehingga pasien dibawa oleh ibunya berobat
ke puskesmas. Pasien mengatakan tidak ada teman sekolah ataupun teman
bermainnya dengan keluhan serupa.

VI. Riwayat Penyakit Dahulu


 Riwayat keluhan serupa sebelumnya disangkal
 Riwayat demam tifoid disangkal
 Riwayat malaria dan demam berdarah disangkal
 Riwayat step disangkal

VII. Riwayat penyakit keluarga


 Tidak ada keluarga yang menderita dengan keluhan serupa.
 Riwayat keluarga dengan demam tifoid disangkal.
 Riwayat malaria dan demam berdarah di keluarga disangkal.
 Riwayat step dalam keluarga disangkal.

VIII. Riwayat makan, alergi obat-obatan, perilaku kesehatan yang relevan


 Pasien makan 3 kali sehari dengan porsi yang cukup banyak dan sering
mengkonsumsi sayur dan buah
 Pasien sering membeli jajanan dipinggir jalan di depan sekolahan
ataupun di sekitar lingkungan rumah
 Pasien juga mengatakan sering bermain di lapangan dan bermain hujan
di dekat rumah bersama teman-temannya
 Ibu pasien dan pasien mengatakan pasien jarang mencuci tangan setiap
kali hendak memakan makanan atau jajanan
 Dirumah pasien semua makanan dimasak oleh ibunya, tidak ada tenaga
yang membantu membuatkan makanan dirumah
 Sumber air bersih untuk minum dan masak keluarga adalah dari air
minum isi ulang
 Pasien tidak memilki alergi terhadap makanan dan obat-obatan

5
IX. Pemeriksaan Fisik
Status Generalisata
1. Keadaan Umum : tampak sakit ringan
2. Kesadaran : compos mentis
3. Nadi : 78 x/menit
4. Pernafasan : 24 x/menit
5. Suhu : 38,1 °C
6. TD : 110/80 mmHg
7. TB : 146 cm
8. BB : 63 kg
9. IMT : 29,1 (overwheight)

Pemeriksaan Organ
1. Kepala Bentuk : normocephal
2. Mata Exopthalmus/enophtal: (-)
Conjungtiva : anemis (-/-)
Sklera : ikterik (-/-)
Kornea : normal
Pupil : bulat, isokor, reflex cahaya +/+
Lensa : normal, keruh (-)
3. THT : dalam batas normal
4. Leher : pembesaran KGB (-), struma (-)
5. Thorak
Pulmo
Pemeriksaan Kanan Kiri
Inspeksi Statis & dinamis: simetris Statis & dinamis : simetris
Palpasi Stem fremitus normal Stem fremitus normal
Perkusi Sonor Sonor
Batas paru-hepar :ICS VI kanan
Auskultasi Wheezing (-), rhonki (-) Wheezing (-), rhonki (-)

6
Jantung
Inspeksi Ictus cordis terlihat di ICS V linea midclavicula kiri

Palpasi Ictus cordis teraba di ICS V linea midclavicula kiri

Perkusi Batas-batas jantung :


Atas : ICS II kiri
Kanan : linea sternalis kanan
Kiri : ICS VI linea midclavicula kiri
Auskultasi BJ I/II regular, murmur (-), gallop (-)

6. Abdomen

Inspeksi Datar, skar (-), venektasi (-), spidernevi (-), rose spot (-)

Palpasi Nyeri tekan regio epigastrium (+), defans musculer (-),


hepatomegali (-), splenomegali (-)

Perkusi Timpani

Auskultasi Bising usus (+) normal

7. Ekstremitas :
 Superior :
- Dextra : akral hangat, edema (-),CRT < 2 detik
- Sinistra : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik
 Inferior
- Dextra : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik
- Sinistra : akral hangat, edema (-), CRT < 2 detik

X. Pemeriksaan Laboratorium
Darah Rutin :
- WBC : 3100 sel/mm3 darah
- RBC : 4,42 juta/mm3 darah
- HGB : 12,8 g/dl
- PLT : 348.000 sel/mm3 darah
- DDR : negatif

7
Urin Rutin :
- Warna : Kuning muda
- BJ : 1015
- pH : 6,0
- Protein : negatif
- Glukosa : negatif
- Leukosit : negatif
- Eritrosit : negatif

XI. Usulan Pemeriksaan Penunjang


o Test Tubex
o Test Widal
o Kultur dan uji sensitisasi kuman

XII. Diagnosis Kerja


Demam Tifoid (A.01)

XIII. Diagnosis Banding


1. Leptospirosis (A27.9)
2. Malaria (B.50)
3. Infeksi Saluran Kemih (N.30)

XIV. Manajemen
a. Promotif :
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga tentang penyakitnya,
faktor resiko dan penyebab penyakitnya, perjalanan penyakit serta
kemungkinan komplikasi yang dapat terjadi.
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga untuk menjaga
keseimbangan nutrisi dengan memakan makanan yang sehat dari
segi bahan, pengolahan dan penyajian, bergizi serta mencakup
nutrisi makro dan mikro yang dibutuhkan tubuh.

8
 Menjelaskan kepada pasien dan keluarga pentingnya menjaga
kesehatan diri dan lingkungan.

b. Preventif :
 Tidak boleh jajan sembarangan, karena beresiko untuk terjadinya
penyakit yang didapat melalui makanan.
 Hindari kebiasaan tidak mencuci tangan setiap kali hendak makan
 Hindari menggunakan air minum yang tidak dimasak
 Tidak membiasakan memasak bahan makanan tanpa dicuci terlebih
dahulu

c. Kuratif :
 Non Farmakologi
- Tirah baring
- Diet makanan lunak
- Cairan cukup
- Kompres bila demam

 Farmakologi
1. Puskesmas
 Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab/hr
 Domperidon 10 mg 3 x 1 tab/hr
 Vitamin Bcomp 3 x 1 tab/hr

2. Ilmiah 1
 Kloramfenikol 500 mg 4 x 1 tab/hr
 Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab/hr
 Domperidone tab 10 mg 3x1 tab/hr
 Vitamin B6 3x1 tab/hr

9
3. Ilmiah 2
 Cotrimoksazol 2 x 1 tab/hr
 Ibuprofen 400 mg 3 x 1 tab/hr
 Metokloperamid 5 mg 3x1 tab/hr

4. Ilmiah 3
 Amoxicilin 500 mg 3 x 1 tab/hr
 Paracetamol 500 mg 3 x 1 tab/hr
 Domperidone 10 mg 3x1 tab/hr

 Obat Tradisional
Sambiloto.
Dosis : 10-15 gram sambiloto, 3 kali perhari
Bahan yang diperlukan 10-15 gram sambiloto lalu direbus dengan 400
cc air hingga tersissa 200 cc air. Tambahkan madu secukupnya.
Rebusannya diminum 2-3 kali sehari

d. Rehabilitatif
 Ikuti semua metode pengobatan secara benar dan teratur
 Pengobatan dilakukan sampai tuntas
 Kontrol ulang setelah pengobatan selesai

10
RESEP PUSKESMAS RESEP ILMIAH 1
Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi
Puskesmas Simpang Kawat Puskesmas Simpang Kawat
Jl. Buton RT.36 Kelurahan Payolebar, Jl. Buton RT.36 Kelurahan Payolebar,
Kota Jambi 36225 Kota Jambi 36225
Nadia Fetrisia Nadia Fetrisia
SIP. 1234567 SIP. 1234567
STR. 987654 STR. 987654

Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
Alamat : Alamat :

RESEP ILMIAH 2 RESEP ILMIAH 3

Dinas Kesehatan Kota Jambi Dinas Kesehatan Kota Jambi


Puskesmas Simpang Kawat Puskesmas Simpang Kawat
Jl. Buton RT.36 Kelurahan Payolebar, Jl. Buton RT.36 Kelurahan Payolebar,
Kota Jambi 36225 Kota Jambi 36225
Nadia Fetrisia Nadia Fetrisia
SIP. 1234567 SIP. 1234567
STR. 987654 STR. 987654

Tanggal: Tanggal:

Pro : Pro :
Umur : Umur :
Alamat : Alamat :

11
BAB II

TINJAUAN PUSTAKA

2.1 Definisi
Demam tifoid merupakan suatu penyakit sistemik yang secara klasik
disebabkan Salmonella typhi, namun dapat juga disebabkan oleh S. paratyphi. 1

2.2 Etiologi
Etiologi tifoid adalah Salmonella typhi. Salmonella para typhi A. B dan C.
ada dua sumber penularan Salmonella typhi yaitu pasien dengan demam typhoid
dan pasien dengan carier. Carier adalah orang yang sembuh dari demam typhoid
dan masih terus mengekresi Salmonella typhi dalam tinja dan air kemih selama
lebih dari 1 tahun.2
Bakteri Salmonella typhi mempunyai beberapa komponen antigen yaitu :
1. Antigen dinding sel (o) merupakan polisakarida dan bersifat spesifik grup
2. Antigen flagella (H) yg merupakan kompnen protein berada dlm
flagella,bersifat spesifik spesies.
3. Antigen virulen (Vi) merupakan polisakarida,berada di kapsul.Berhubungan
dengan daya invasif bakteri dan efektifitas vaksin.

Salmonella typhi dapat hidup didalam tubuh manusia (manusia sebagai


natural reservoir). Manusia yang terinfeksi Salmonella typhi dapat
mengekskresikannya melalui sekret saluran nafas, urin, dan tinja dalam jangka
waktu yang sangat bervariasi.Salmonella typhi yang berada diluar tubuh manusia
dapat hidup untuk beberapa minggu apabila berada didalam air, es, debu, atau
kotoran yang kering maupun pada pakaian. Akan tetapi S. Typhi hanya dapat
hidup kurang dari 1 minggu pada raw sewage, dan mudah dimatikan dengan
klorinasi dan pasteurisasi (temp 63°C).1
Terjadinya penularan Salmonella typhi sebagian besar melalui
minuman/makanan yang tercemar oleh kuman yang berasal dari penderita atau

12
pembawa kuman, biasanya keluar bersama – sama dengan tinja (melalui rute
oral fekal = jalurr oro-fekal).

2.3 Patogenesis
Masuknya kuman Salmonella typhi (S.thypi) dan Salmonella paratyphi (S.
Paratyphi) ke dalam tubuh manusia terjadi melalui makanan yang terkontaminasi
kuman. Sebagian kuman dimusnahkan dalam lambung, sebagian lolos masuk ke
dalam usus dan selanjutnya berkembang biak. Bila respons imunitas humoral
mukosa (IgA) usus kurang baik maka kuman akan menembus sel-sel epitel
(terutama sel-M) dan selanjutnya ke lamina propia. Di lamina propia kuman
berkembang biak dan difagosit oleh sel-sel fagosit terutama oleh makrofag. Kuman
dapat hidup dan berkembang biak di dalam makrofag dan selanjutnya dibawa ke
plaque peyeri ileum distal dan kemudian ke kelenjar getah bening mesenterika.
Selanjutnya melalui duktus torakikus kuman yang terdapat di dalam makrofag ini
masuk ke dalam sirkulasi darah (mengakibatkan bakteremia pertama yang
asimtomatik) dan menyebar ke seluruh organ retikuloendotelial tubuh terutama hati
dan limpa. Di organ- organ ini kuman meninggalkan sel-sel fagosit dan kemudian
berkembang biak diluar sel atau ruang sinusoid dan selanjutnya masuk ke dalam
sirkulasi darah lagi mengakibatkan bakteremia yang kedua kalinya dengan disertai
tanda-tanda dan gejala penyakit infeksi sistemik.1
Di dalam hati, kuman masuk ke dalam kandung empedu, berkembang biak,
dan bersama cairan empedu diekskresikan secara “intermittent” ke dalam lumen
usus. Sebagian kuman dikeluarkan melalui feses dan sebagian masuk lagi ke dalam
sirkulasi setelah menembus usus. Proses yang sama terulang kembali, berhubung
makrofag telah teraktivasi dan hiperaktif maka saat fagositosis kuman Salmonella
terjadi pelepasan beberapa mediator inflamasi dan selanjutnya akan menimbulkan
gejala reaksi inflamasi sistemik seperti demam, malaise, mialgia, sakit kepala, sakit
perut, instabilitas vaskular, gangguan mental dan koagulasi.
Di dalam plaque peyeri makrofag hiperaktif menimbulkan reaksi
hiperplasia jaringan (S.typi intra makrofag menginduksi reaksi hipersensitivitas tipe
lambat, hiperplasia jaringan dan nekrosis organ). Perdarahan saluran cerna dapat
terjadi akibat erosi pembuluh darah sekitar plaque peyeri yang sedang mengalami
nekrosis dan hiperplasia akibat akumulasi sel-sel mononuklear di dinding usus.

13
Proses patologis jaringan limfoid ini dapat berkembang hingga ke lapisan otot,
serosa usus, dan dapat mengakibatkan perforasi.1
Endotoksin dapat menempel di reseptor sel endotel kapiler dengan akibat
timbulnya komplikasi seperti gangguan neuropsikiatrik, kardiovaskular,
pernapasan, dan gangguan organ lainnya. 1
Terjadinya febris diduga disebabkan oleh endotoksin (suatu
lipopolisakarida penyebab leukopeni) yang bersama-sama Salmonella typhi
merangsang leukosit di jaringan. Inflamasi merangsang pengeluaran zat pirogen.3
Pada fase bakteriemi (minggu ke I, 7 hari pertama) Salmonella ada di hati,
limpa, ginjal, sumsum tulang, kantung empedu => bermanifestasi di usus (plaque
payeri) dimana akan terjadi: 3
 Minggu I => membuat luka hiperemis pada plaque payeri
 Minggu II => terjadi necrosis pada plaque payeri.
 Minggu III => terbentuk tukak/ulcus yang ukurannya bervariasi dimana
dapat terjadi perdarahan dan perforasi.
 Minggu IV => dapat sembuh dengan sendirinya.

14
2. 5 Manifestasi Klinis
Manifestasi klinis pada anak umumnya bersifat lebih ringan, lebih
bervariasi bila dibandingkan dengan penderita dewasa. Bila hanya berpegang
pada gejala atau tanda klinis, akan lebih sulit untuk menegakkan diagnosis
demam tifoid pada anak, terutama pada penderita yang lebih muda, seperti pada
tifoid kongenital ataupun tifoid pada bayi.
Masa inkubasi rata-rata bervariasi antara 7 – 20 hari, dengan masa inkubasi
terpendek 3 hari dan terpanjang 60 hari. Dikatakan bahwa masa inkubasi

15
mempunyai korelasi dengan jumlah kuman yang ditelan, keadaan umum/status
gizi serta status imunologis penderita.1,4,5
Walupun gejala demam tifoid pada anak lebih bervariasi, secara garis
besar gejala-gejala yang timbul dapat dikelompokkan :
 Demam satu minggu atau lebih.
 Gangguan saluran pencernaan
 Gangguan kesadaran
Dalam minggu pertama, keluhan dan gejala menyerupai penyakit infeksi
akut pada umumnya, seperti demam, nyeri kepala, anoreksia, mual, muntah,
diare, konstipasi.Pada pemeriksaan fisik, hanya didapatkan suhu badan yang
meningkat. Setelah minggu kedua, gejala/ tanda klinis menjadi makin jelas,
berupa demam remiten, lidah tifoid, pembesaran hati dan limpa, perut kembung
mungkin disertai ganguan kesadaran dari yang ringan sampai berat.
Demam yang terjadi pada penderita anak tidak selalu tipikal seperti pada
orang dewasa, kadang-kadang mempunyai gambaran klasik berupa stepwise
pattern, dapat pula mendadak tinggi dan remiten (39 – 41o C) serta dapat pula
bersifat ireguler terutama pada bayi yang tifoid kongenital.
Lidah tifoid biasanya terjadi beberapa hari setelah panas meningkat
dengan tanda-tanda antara lain, lidah tampak kering, diolapisi selaput tebal, di
bagian belakang tampak lebih pucat, di bagian ujung dan tepi lebih kemerahan.
Bila penyakit makin progresif, akan terjadi deskuamasi epitel sehingga papila
lebih prominen.
Roseola lebih sering terjadi pada akhir minggu pertama dan awal minggu
kedua.Merupakan suatu nodul kecil sedikit menonjol dengan diameter 2 – 4 mm,
berwarna merah pucat serta hilang pada penekanan.Roseola ini merupakan
emboli kuman yang didalamnya mengandung kuman salmonella, dan terutama
didapatkan di daerah perut, dada, kadang-kadang di bokong, ataupun bagian
fleksor lengan atas.
Limpa umumnya membesar dan sering ditemukan pada akhir minggu
pertama dan harus dibedakan dengan pembesaran karena malaria. Pembesaran
limpa pada demam tifoid tidak progresif dengan konsistensi lebih lunak.

16
Rose spot, suatu ruam makulopapular yang berwarna merah dengan
ukuran 1 – 5mm, sering kali dijumpai pada daerah abdomen, toraks, ekstremitas
dan punggung pada orang kulit putih, tidak pernah dilaporkan ditemukan pada
anak Indonesia. Ruam ini muncul pada hari ke 7 – 10 dan bertahan selama 2 -3
hari.1,4,5

2. 6 Kriteria Diagnosis
1. Anamnesis
Selama masa inkubasi mungkin ditemukan gejala prodormal, yaitu perasaan
tidak enak badan, lesu, nyeri kepala, pusing dan tidak bersemangat. Kemudian
menyusul gejala klinis yang biasa ditemukan, yaitu :

a. Demam
Pada kasus-kasus yang khas, demam berlangsung 3 minggu. Bersifat febris
remiten dan suhu tidak berapa tinggi. Selama minggu pertama, suhu tubuh
berangsur-angsur meningkat setiap hari, biasanya menurun pada pagi hari dan
meningkat lagi pada sore dan malam hari. Dalam minggu kedua, penderita
terus berada dalam keadaan demam. Dalam minggu ketiga suhu badan
berangsur-angsur turun dan normal kembali pada kahir minggu ketiga

b. Gangguan saluran pencernaan


Pada mulut terdapat nafas berbau tak sedap. Bibir kering dan pecah-pecah
(ragaden). Lidah ditutupi selaput putih kotor, ujung tepinya kemerahan, jarang
disertai tremor. Pada abdomen mungkin ditemukan keadaan perut kembung.
Hati dan limfa membesar disertai nyeri pada perabaan. Biasanya didapatkan
konstipasi, akan tetapi mungkin pula normal, bahkan dapat terjadi diare.

c. Gangguan kesadaran
Umumnya kesadaran penderita menurun walaupun tidak berapa dalam, yaitu
apatis sampai somnolen. Jarang terjadi sopor, koma dan gelisah.

17
2. Pemeriksaan Fisik
Gejala klinis demam tifoid sangat bervariasi, hal tersebut dapat terjadi
disebabkan oleh faktor galur Salmonella, status nutrisi dan imunologik penjamu,
serta lama sakit di rumahnya.Penampilan demam pada kasus demam tifoid
mempunyai istilah khusus yaitu step-ladder temperature chart yang ditandai
dengan demam timbul insidius, kemudian naik secara bertahap tiap harinya dan
mencapai titik tertinggi pada akhir minggu pertama. Setelah itu demam akan
bertahan tinggi. Pada minggu ke-4, demam turun perlahan secara lisis.Demam
lebih tinggi saat sore dan malam hari dibandingkan dengan pagi harinya.
Pada minggu pertama, gejala klinisnya yaitu demam, nyeri kepala, pusing,
nyeri otot, anoreksia, mual, muntah, obstipasi/diare, perasaan tidak enak di perut,
batuk, dan epistaksis.Dalam minggu ke-2, gejala telah lebih jelas, yaitu berupa
demam, bradikardia relatif (peningkatan suhu 1oC tidak diikuti dengan
peningkatan denyut nadi 8 kali per menit), lidah yang berselaput, hepatomegali,
splenomegali, meteroismus, ganguan mental berupa somnolen, stupor, koma,
delirium, dan psikosis.
3. Pemeriksaan penunjang
Pemeriksaan laboratorium untuk membantu menegakkan diagnosis demam tifoid
dibagi dalam empat kelompok, yaitu :
1. Pemeriksaan darah tepi
Pada demam tifoid sering disertai anemia dari yang ringan sampai
sedang dengan peningkatan laju endap darah, gangguan eritrosit normokrom
normositer, yang diduga karena efek toksik supresi sumsum tulang atau
perdarahan usus.Tidak selalu ditemukan leukopenia, diduga leukopenia
disebabkan oleh destruksi leukosit oleh toksin dalam peredaran darah. Sering
hitung leukosit dalam batas normal dan dapat pula leukositosis, terutama bila
disertai komplikasi lain.

18
2. Uji serologis
Uji serologis digunakan untuk membantu menegakkan diagnosis
demam tifoid dengan mendeteksi antibodi spesifik terhadap komponen antigen
S. typhi maupun mendeteksi antigen itu sendiri. Beberapa uji serologis yang
dapat digunakan pada demam tifoid ini meliputi :
a) Uji Widal
Uji serologi standar yang rutin digunakan untuk mendeteksi antibodi
terhadap kuman S.typhi yaitu uji Widal. Uji telah digunakan sejak tahun
1896. Pada uji Widal terjadi reaksi aglutinasi antara antigen kuman S.typhi
dengan antibodi yang disebut aglutinin. Prinsip uji Widal adalah serum
penderita dengan pengenceran yang berbeda ditambah dengan antigen
dalam jumlah yang sama. Jika pada serum terdapat antibodi maka akan
terjadi aglutinasi. Pengenceran tertinggi yang masih menimbulkan
aglutinasi menunjukkan titer antibodi dalam serum.
Maksud uji widal adalah untuk menentukan adanya aglutinin dalam
serum penderita tersangka demam tifoid yaitu;
1. Aglutinin O (dari tubuh kuman)
2. Aglutinin H (flagel kuman)
3. Aglutinin Vi (simpai kuman).
Dari ketiga aglutinin tersebut hanya aglutinin O dan H yang
digunakan untuk diagnosis demam tifoid.Semakin tinggi titernya semakin
besar kemungkinan terinfeksi kuman ini.
Pada demam tifoid mula-mula akan terjadi peningkatan titer antibodi
O. Antibodi H timbul lebih lambat, namun akan tetap menetap lama sampai
beberapa tahun, sedangkan antibodi O lebih cepat hilang. Pada seseorang
yang telah sembuh, aglutinin O masih tetap dijumpai setelah 4-6 bulan,
sedangkan aglutinin H menetap lebih lama antara 9 bulan – 2 tahun.
Antibodi Vi timbul lebih lambat dan biasanya menghilang setelah
penderita sembuh dari sakit. Pada pengidap S.typhi, antibodi Vi cenderung
meningkat. Antigen Vi biasanya tidak dipakai untuk menentukan diagnosis
infeksi, tetapi hanya dipakai untuk menentukan pengidap S.typhi.

19
Di Indonesia pengambilan angka titer O aglutinin ≥ 1/40 dengan
memakai uji widal slide aglutination (prosedur pemeriksaan membutuhkan
waktu 45 menit) menunjukkan nilai ramal positif 96%. Artinya apabila
hasil tes positif, 96% kasus benar sakit demam tifoid, akan tetapi apabila
negatif tidak menyingkirkan. Banyak senter mengatur pendapat apabila
titer O aglutinin sekali periksa ≥ 1/200 atau pada titer sepasang terjadi
kenaikan 4 kali maka diagnosis demam tifoid dapat ditegakkan. Aglutinin
H banyak dikaitkan dengan pasca imunisasi atau infeksi masa lampau,
sedang Vi aglutinin dipakai pada deteksi pembawa kuman S. typhi (karier).
Banyak peneliti mengemukanan bahwa uji serologi widal kurang dapat
dipercaya sebab dapat timbul positif palsu pada kasus demam tifoid yang
terbukti biakan darah positif.
Beberapa keterbatasan uji Widal ini adalah:
 Negatif Palsu
Pemberian antibiotika yang dilakukan sebelumnya (ini kejadian paling
sering di negara kita, demam –> kasih antibiotika –>nggak sembuh
dalam 5 hari –> tes Widal) menghalangi respon antibodi.
Padahal sebenarnya bisa positif jika dilakukan kultur darah.
 Positif Palsu
Beberapa jenis serotipe Salmonella lainnya (misalnya S. paratyphi A,
B, C) memiliki antigen O dan H juga, sehingga menimbulkan reaksi
silang dengan jenis bakteri lainnya, dan bisa menimbulkan hasil positif
palsu (false positive).
Padahal sebenarnya yang positif kuman non S. typhi (bukan tifoid).

b) Tes TUBEX
Tes TUBEX® merupakan tes aglutinasi kompetitif semi kuantitatif
yang sederhana dan cepat (kurang lebih 2 menit) dengan menggunakan
partikel yang berwarna untuk meningkatkan sensitivitas. Spesifisitas
ditingkatkan dengan menggunakan antigen O9 yang benar-benar spesifik
yang hanya ditemukan pada Salmonella serogrup D. Tes ini sangat akurat

20
dalam diagnosis infeksi akut karena hanya mendeteksi adanya antibodi
IgM dan tidak mendeteksi antibodi IgG dalam waktu beberapa menit.
Tes ini dapat menjadi pemeriksaan yang ideal, dapat digunakan
untuk pemeriksaan secara rutin karena cepat, mudah dan sederhana,
terutama di negara berkembang.6

Ada 4 interpretasi hasil :


 Skala 2-3 adalah Negatif Borderline. Tidak menunjukkan infeksi
demam tifoid. Sebaiknya dilakukan pemeriksaan ulang 3-5 hari
kemudian.
 Skala 4-5 adalah Positif. Menunjukkan infeksi demam tifoid
 Skala > 6 adalah positif. Indikasi kuat infeksi demam tifoid
Kelebihan pemeriksaan menggunakan tes TUBEX :
 Mendeteksi infeksi akut Salmonella
 Muncul pada hari ke 3 demam
 Sensifitas dan spesifitas yang tinggi terhadap kuman Salmonella
 Sampel darah yang diperlukan relatif sedikit
 Hasil dapat diperoleh lebih cepat

3. Pemeriksaan bakteriologis dengan isolasi dan biakan kuman


Diagnosis pasti demam tifoid dapat ditegakkan bila ditemukan
bakteri S. typhi dalam biakan dari darah, urine, feses, sumsum tulang,
cairan duodenum atau dari rose spots. Berkaitan dengan patogenesis
penyakit, maka bakteri akan lebih mudah ditemukan dalam darah dan
sumsum tulang pada awal penyakit, sedangkan pada stadium berikutnya
di dalam urine dan feses.

Hasil biakan yang positif memastikan demam tifoid akan tetapi


hasil negatif tidak menyingkirkan demam tifoid, karena hasilnya
tergantung pada beberapa faktor. Faktor-faktor yang mempengaruhi hasil
biakan meliputi (1) jumlah darah yang diambil; (2) perbandingan volume
darah dari media empedu; dan (3) waktu pengambilan darah.

21
Volume 10-15 mL dianjurkan untuk anak besar, sedangkan pada
anak kecil dibutuhkan 2-4 mL.Sedangkan volume sumsum tulang yang
dibutuhkan untuk kultur hanya sekitar 0.5-1 mL.Bakteri dalam sumsum
tulang ini juga lebih sedikit dipengaruhi oleh antibiotika daripada bakteri
dalam darah. Hal ini dapat menjelaskan teori bahwa kultur sumsum
tulang lebih tinggi hasil positifnya bila dibandingkan dengan darah
walaupun dengan volume sampel yang lebih sedikit dan sudah
mendapatkan terapi antibiotika sebelumnya.Media pembiakan yang
direkomendasikan untuk S.typhi adalah media empedu (gall) dari sapi
dimana dikatakan media Gall ini dapat meningkatkan positivitas hasil
karena hanya S. typhi dan S. paratyphi yang dapat tumbuh pada media
tersebut.

Biakan darah terhadap Salmonella juga tergantung dari saat


pengambilan pada perjalanan penyakit. Beberapa peneliti melaporkan
biakan darah positif 40-80% atau 70-90% dari penderita pada minggu
pertama sakit dan positif 10-50% pada akhir minggu ketiga.
Sensitivitasnya akan menurun pada sampel penderita yang telah
mendapatkan antibiotika dan meningkat sesuai dengan volume darah dan
rasio darah dengan media kultur yang dipakai.Bakteri dalam feses
ditemukan meningkat dari minggu pertama (10-15%) hingga minggu
ketiga (75%) dan turun secara perlahan. Biakan urine positif setelah
minggu pertama.

Biakan sumsum tulang merupakan metode baku emas karena


mempunyai sensitivitas paling tinggi dengan hasil positif didapat pada
80-95% kasus dan sering tetap positif selama perjalanan penyakit dan
menghilang pada fase penyembuhan. Metode ini terutama bermanfaat
untuk penderita yang sudah pernah mendapatkan terapi atau dengan
kultur darah negatif sebelumnya. Prosedur terakhir ini sangat invasif
sehingga tidak dipakai dalam praktek sehari-hari. Pada keadaan tertentu
dapat dilakukan kultur pada spesimen empedu yang diambil dari
duodenum dan memberikan hasil yang cukup baik akan tetapi tidak

22
digunakan secara luas karena adanya risiko aspirasi terutama pada
anak.Salah satu penelitian pada anak menunjukkan bahwa sensitivitas
kombinasi kultur darah dan duodenum hampir sama dengan kultur
sumsum tulang.5,6

Kegagalan dalam isolasi/biakan dapat disebabkan oleh


keterbatasan media yang digunakan, adanya penggunaan antibiotika,
jumlah bakteri yang sangat minimal dalam darah, volume spesimen yang
tidak mencukupi, dan waktu pengambilan spesimen yang tidak tepat.

Walaupun spesifisitasnya tinggi, pemeriksaan kultur mempunyai


sensitivitas yang rendah dan adanya kendala berupa lamanya waktu yang
dibutuhkan (5-7 hari) serta peralatan yang lebih canggih untuk
identifikasi bakteri sehingga tidak praktis dan tidak tepat untuk dipakai
sebagai metode diagnosis baku dalam pelayanan penderita.

2.7 Penatalaksanaan
1. Medikamentosa
a) Simptomatik
Panas yang merupakan gejala utama pada tifoid dapat diberi
antipiretik. Bila mungkin peroral sebaiknya diberikan yang paling aman
dalam hal ini adalah Paracetamol dengan dosis 10 mg/kg/kali minum,
sedapat mungkin untuk menghindari aspirin dan turunannya karena
mempunyai efek mengiritasi saluran cerna dengan keadaan saluran cerna
yang masih rentan kemungkinan untuk diperberat keadaannya sangatlah
mungkin. Bila tidak mampu intake peroral dapat diberikan via parenteral.

b) Antibiotik
Antibiotik yang sering diberikan adalah : 1,4,5
 Chloramphenicol, merupakan antibiotik pilihan pertama untuk infeksi
tifoid fever terutama di Indonesia. Dosis yang diberikan untuk anak-
anak 50-100 mg/kg/hari dibagi menjadi 4 dosis untuk pemberian

23
intravena biasanya cukup 50 mg/kg/hari. Diberikan selama 10-14 hari
atau sampai 7 hari setelah demam turun.

 Golongan Quinolon.

- Ciprofloksasin, dosis 2 x 750 mg sampai 4 minggu, untuk


menanggulangi karier, karena pasien dapat menularkan secara fecal-
oral (typhoid mary).
- Tidak boleh diberikan pada pasien dengan usia kurang dari 15 tahun,
karena bisa menyebabkan penutupan epifise tulang lebih cepat.
- Keuntungan dari Quinolon: Waktu yang diperlukan untuk terapi lebih
pendek, Bersifat bakterisida.

 Cotrimoxazole, merupakan gabungan dari 2 jenis antibiotika


trimetoprim dan sulfametoxazole dengan perbandingan 1:5. Dosis
Trimetoprim 10 mg/kg/hari dan Sulfametoxzazole 50 mg/kg/hari
dibagi dalam 2 dosis. Untuk pemberian secara syrup dosis yang
diberikan untuk anak 4-5 mg/kg/kali minum sehari diberi 2 kali selama
2 minggu. Efek samping dari pemberian antibiotika golongan ini adalah
terjadinya gangguan sistem hematologi seperti Anemia megaloblastik,
Leukopenia, dan granulositopenia. Dan pada beberapa Negara
antibiotika golongan ini sudah dilaporkan resisten.

 Ampicillin dan Amoxicillin, memiliki kemampuan yang lebih rendah


dibandingkan dengan chloramphenicol dan cotrimoxazole. Namun
untuk anak- anak golongan obat ini cenderung lebih aman dan cukup
efektif. Dosis yang diberikan untuk anak 100-200 mg/kg/hari dibagi
menjadi 4 dosis selama 2 minggu. Penurunan demam biasanya lebih
lama dibandingkan dengan terapi chloramphenicol.

 Sefalosporin generasi ketiga (Ceftriaxone, Cefotaxim, Cefixime),


merupakan pilihan ketiga namun efektifitasnya setara atau bahkan lebih
dari Chloramphenicol dan Cotrimoxazole serta lebih sensitive terhadap

24
Salmonella typhi. Ceftriaxone merupakan prototipnya dengan dosis 100
mg/kg/hari IVdibagi dalam 1-2 dosis (maksimal 4 gram/hari) selama 5-
7 hari. Atau dapat diberikan cefotaxim 150-200 mg/kg/hari dibagi
dalam 3-4 dosis. Bila mampu untuk sediaan Per oral dapat diberikan
Cefixime 10-15 mg/kg/hari selama 10 hari.

Pada demam tifoid berat kasus berat seperti delirium, stupor, koma
sampai syok dapat diberikan kortikosteroid IV (dexametasone) 3 mg/kg
dalam 30 menit untuk dosis awal, dilanjutkan 1 mg/kg tiap 6 jam sampai
48 jam.

Untuk demam tifoid dengan penyulit perdarahan usus kadang-


kadang diperlukan tranfusi darah. Sedangkan yang sudah terjadi perforasi
harus segera dilakukan laparotomi disertai penambahan antibiotika
metronidazol.

2. Non medikamentosa
a. Tirah baring

Seperti kebanyakan penyakit sistemik, istirahat sangat membantu.


Pasien harus diedukasi untuk tinggal di rumah dan tidak bekerja sampai
pemulihan.5
b. Nutrisi
Pemberian makanan tinggi kalori dan tinggi protein (TKTP) rendah
serat adalah yang paling membantu dalam memenuhi nutrisi penderita
namun tidak memperburuk kondisi usus. Sebaiknya rendah selulosa
(rendah serat) untuk mencegah perdarahan dan perforasi. Diet untuk
penderita demam tifoid, basanya diklasifikasikan atas diet cair, bubur
lunak, tim, dan nasi biasa.
c. Cairan

Penderita harus mendapat cairan yang cukup, baik secara oral


maupun parenteral. Cairan parenteral diindikasikan pada penderita sakit
berat, ada komplikasi, penurunan kesadaran serta yang sulit makan.Cairan

25
harus mengandung elektrolit dan kalori yang optimal.Kebutuhan kalori
anak pada infus setara dengan kebutuhan cairan rumatannya.
b. Kompres air hangat
Mekanisme tubuh terhadap kompres hangat dalam upaya
menurunkan suhu tubuh yaitu dengan pemberian kompres hangat pada
daerah tubuh akan memberikan sinyal ke hipotalamus melalui sumsum
tulang belakang. Ketika reseptor yang peka terhadap panas dihipotalamus
dirangsang, sistem efektor mengeluarkan sinyal yang memulai
berkeringat dan vasodilatasi perifer.Perubahan ukuran pembuluh darah
diatur oleh pusat vasomotor pada medulla oblongata dari tangkai otak,
dibawah pengaruh hipotalamik bagian anterior sehingga terjadi
vasodilatasi. Terjadinya vasodilatasi ini menyebabkan pembuangan/
kehilangan energi/ panas melalui kulit meningkat (berkeringat),
diharapkan akan terjadi penurunan suhu tubuh sehingga mencapai
keadaan normal kembali.Hal ini sependapat dengan teori yang
dikemukakan oleh Aden (2010) bahwa tubuh memiliki pusat pengaturan
suhu (thermoregulator) di hipotalamus. Jika suhu tubuh meningkat,
makapusat pengaturan suhu berusaha menurunkannya begitu juga
sebaliknya.7

2.8 Komplikasi

Komplikasi demam tifoid dapat dibagi 2 bagian :4


1. Komplikasi pada usus halus
a) Perdarahan usus
Bila sedikit hanya ditemukan jika dilakukan pemeriksaan tinja
dengan benzidin. Jika perdarahan banyak terjadi melena dapat
disertai nyeri perut dengan tanda – tanda renjatan.
b) Perforasi usus
Timbul biasanya pada minggu ketiga atau setengahnya dan
terjadi pada bagian distal ileum.Perforasi yang tidak disertai
peritonitis hanya dapat ditemukan bila terdapat udara dirongga
peritoneum yaitu pekak hati menghilang dan terdapat udara diantara

26
hati dan diafragma pada foto rontgen abdomen yang dibuat dalam
keadaan tegak.
c) Peritonitis
Biasanya menyertai perforasi tetapi dapat terjadi tanpa
perforasi usus.Ditemukan gejala akut, yaitu nyeri perut yang hebat,
dinding abdomen tegang, dan nyeri tekan.
2. Komplikasi diluar usus halus
a) Bronkitis dan bronkopneumonia
Pada sebagian besar kasus didapatkan batuk, bersifat ringan
dan disebabkan oleh bronkitis, pneumonia bisa merupakan infeksi
sekunder dan dapat timbul pada awal sakit atau fase akut lanjut.
Komplikasi lain yang terjadi adalah abses paru, efusi, dan empiema.
b) Kolesistitis
Pada anak jarang terjadi, bila terjadi umumnya pada akhi
minggu kedua dengan gejala dan tanda klinis yang tidak khas, bila
terjadi kolesistitis maka penderita cenderung untuk menjadi seorang
karier.
c) Typhoid ensefalopati
Merupakan komplikasi tifoid dengan gejala dan tanda klinis
berupa kesadaran menurun, kejang – kejang, muntah, demam tinggi,
pemeriksaan otak dalam batas normal. Bila disertai kejang – kejang
maka biasanya prognosisnya jelek dan bila sembuh sering diikuti oleh
gejala sesuai dengan lokasi yang terkena.
d) Meningitis
Menigitis oleh karena Salmonella typhi yang lain lebih sering
didapatkan pada neonatus/bayi dibandingkan dengan anak, dengan
gejala klinis tidak jelas sehingga diagnosis sering terlambat. Ternyata
peyebabnya adalah Salmonella havanadan Salmonella oranemburg.
e) Miokarditis
Komplikasi ini pada anak masih kurang dilaporkan serta
gambaran klinis tidak khas.Insidensnya terutama pada anak berumur
7 tahun keatas serta sering terjadi pada minggu kedua dan

27
ketiga.Gambaran EKG dapat bervariasi antara lain : sinus takikardi,
depresi segmen ST, perubahan gelombangan I, AV blok tingkat I,
aritmia, supraventrikular takikardi.
f) Infeksi saluran kemih
Sebagian kasus demam tifoid mengeluarkan bakteri
Salmonella typhi melalui urin pada saat sakit maupun setelah sembuh.
Sistitis maupun pilonefritis dapat juga merupakan penyulit demam
tifoid. Proteinuria transien sering dijumpai, sedangkan
glomerulonefritis yang dapat bermanifestasi sebagai gagal ginjal
maupun sidrom nefrotik mempunyai prognosis yang buruk.
g) Karier kronik
Tifoid karier adalah seorang yang tidak menunjukkan gejala
penyakit demam tifoid, tetapi mengandung kuman Salmonella
typhosa di sekretnya.Karier temporer- ekskresi S.typhi pada feces
selama tiga bulan.Hal ini tampak pada 10% pasien konvalesen.
Relapse terjadi pada 5-10% pasien biasanya 2-3 minggu setelah
demam mengalami resolusi dan pada isolasi organisme memiliki
bentuk sensivitas yang sama seperti semula. Faktor predisposisi
menjadi kronik karier adalah jenis kelamin perempuan, pada
kelompok usia dewasa, dan cholelithiasis. Pasien dengan traktus
urinarius yang abnormal, seperti schistosomiasis, mungkin
memgeluarkan bakteri pada urinya dalam waktu yang lama.

28
BAB III
ANALISA KASUS

Hubungan diagnosis dengan keadaan rumah dan lingkungan sekitar:


 Penyakit yang diderita pasien dapat mempunyai hubungan dengan keadaan
rumah dan lingkungan sekitar. Namun setelah dilakukan kunjungan rumah
kebersihan dan kesehatan rumah dan lingkungan sekitar rumah pasien baik.
 Jadi pada pasien ini tidak terdapat hubungan antara diagnosis dengan keadaan
rumah dan lingkungan sekitar.

Hubungan diagnosa dengan keadaan keluarga dan hubungan dalam keluarga:


 Pasien merupakan anak pertama dari dua bersaudara dan disayang oleh kedua
orangtuanya. Pasien tinggal dirumah bersama kedua orangtua, adik perempuan
serta kakek dan neneknya. Hubungan antar anggota keluarga baik. Kedua orang
tua pasien bekerja di luar kota sampai sore, pasien dan adiknya diasuh oleh
kakek dan neneknya setiap hari sampai orang tuanya pulang bekerja.
 Pada pasien ini dapat terjadi hubungan antara diagnosa dengan keaadaan
keluarga dan hubungan dalam keluarga.

Hubungan diagnosis dengan perilaku kesehatan dalam keluarga dan


lingkungan sekitar
 Pasien sering membeli jajanan dipinggir jalan di depan sekolahan
ataupun di sekitar lingkungan rumah
 Pasien juga mengatakan sering bermain di lapangan dan bermain hujan
di dekat rumah bersama teman-temannya
 Ibu pasien dan pasien mengatakan pasien jarang mencuci tangan setiap
kali hendak memakan makanan atau jajanan
 Sumber air bersih untuk minum dan masak keluarga adalah dari air
minum isi ulang
 Terdapat hubungan diagnosis pasien dengan perilaku kesehatan dalam
keluarga dan lingkungan sekitar.

29
Analisis kemungkinan berbagai faktor risiko atau etiologi penyakit pada
pasien ini:
Pada pasien ini kemungkinan faktor resiko nya adalah :
 Pasien sering membeli jajanan dipinggir jalan di depan sekolahan
ataupun di sekitar lingkungan rumah
 Pasien juga mengatakan sering bermain di lapangan dan bermain hujan
di dekat rumah bersama teman-temannya
 Ibu pasien dan pasien mengatakan pasien jarang mencuci tangan setiap
kali hendak memakan makanan atau jajanan
 Sumber air bersih untuk minum dan masak keluarga adalah dari air
minum isi ulang

Analisis untuk mengurangi paparan atau memutus rantai penularan dengan


faktor resiko atau etiologi pada pasien ini
 Tidak membeli jajanan sembarangan, misalnya dengan membawa bekal ke
sekolah dan membuat cemilan untuk dimakan dirumah
 Mengurangi aktifitas bermain diluar rumah, menggunakan sepatu atau sandal
saat bermain di lapangan
 Mengajarkan dan membiasakan mencuci tangan dengan sabun secara benar
 Menggunakan air minum yang telah direbus / dimasak untuk pasien dan keluarga

Edukasi yang diberikan pada pasien atau keluarga


 Jelaskan kepada pasien dan keluarga bahwa secara klinis dan laboratorium
sederhana penyakit pasien kemungkinan disebabkan oleh bakteri yang masuk
melalui saluran pencernaan dan berkembang serta menetap dalam aliran darah.
 Sampaikan kepada pasien dan ibunya bahwa selama sakit penting untuk
menjaga agar asupan nutrisi tetap seimbang, mengurangi makanan tinggi serat
agar usus tidak bekerja terlalu keras, makan makanan biasa atau makanan lunak
tinggi karbohidrat dan tinggi protein.
 Sampaikan kepada pasien dan keluarga bahwa apabila demam kembali, dapat
diberikan obat penurun demam, dapat pula dikompres dengan menggunakan air

30
hangat untuk membantu mempercepat turunnya demam. Dan apabila suhu
tubuh terlalu tinggi silahkan untuk langsung ke IGD terdekat.
 Sampaikan kepada pasien dan keluarga bahwa penting untuk dilakukan
pemeriksaan penunjang lanjutan pada pasien, yaitu test widal atau tubex dan
kultur bakteri untuk menegakkan diagnosa pasti dan pemilihan terapi.
 Menekankan kepada pasien dan keluarga untuk tidak jajan sembarangan
sehingga tidak kembali terjadi penyakit serupa.

31
DAFTAR PUSTAKA

1. Sudoyo AW, Setiyohadi B, Alwi I, Simadibrata M, Setiati S, editor. Buku Ajar Ilmu
Penyakit Dalam. Edisi IV. Jilid III. Jakarta : Pusat Penerbitan Departemen Ilmu
Penyakit Dalam FKUI ; 2006.
2. Behrman, dkk. 2000 Ilmu Kesehatan Anak, Penerjemah: A. Samik Wahab. Jakarta:
Penerbit Buku Kedokteran EGC.
3. Widodo D, 2009. Demam Tifoid. Buku Ajar Ilmu Penyakit Dalam Jilid II Edisi
Kelima. Jakarta Balai Penerbit FKUI. Hal 2797 – 2806.
4. Soedarmo SS, et al, 2002. Buku Ajar Ilmu Kesehatan Anak, Infeksi dan Penyakit
Tropis Edisi 1. Jakarta: Balai Penerbit FKUI.
5. WHO. Diagnosis, treatment, and prevention of thypoid fever. Geneva: WHO; May
2003.
6. Harrison TR et al. Harrison’s Principles of Internal Medicine. 16th ed. Philadelphia:
McGrawHill; 2005. p.898-890.
7. Tatang KS, et al, 2000. Pedoman Pelayanan Kesehatan Anak RS Sumber Waras.
Jakarta: UPT. Penerbitan Universitas Tarumanagara.

32

Anda mungkin juga menyukai