Anda di halaman 1dari 25

Jumat, 11 Maret 2011

askep spinal cord injury


Diposkan oleh Amel_Lia

1. Pendahuluan
Spinal Cord Injury (SCI)
Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan
lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah
raga dsb (Arifin cit Sjamsuhidayat, 1997).
Sedangkan pengertian dari Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena
trauma spinal cord atau tekanan pada spinal cord karena kecelakaan
Penyebab dari SCI yaitu ; akibat trauma, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu
lintas (otomobil), kecelakaan olah raga kecelakaan industri, luka tusuk, tembak, tumor
dan sebagainya. Selain itu, SCI dapat pula disebabkan oleh kelainan lain pada vertebra,
misalnya arthropathi spinal, keganasan yang mengakibatkan fraktur patologik, infeksi,
kelainan kongenital, dan gangguan vaskular.Kecelakaan jalan raya adalah penyebab
terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang
olah-raga, tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal.Akibat suatu trauma
mengenai tulang belakang,jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan
olah raga
Dari sumber di atas dapat disimpulkan bahwa etiologi dari Spinal Cord Injury
(SCI) adalah karena trauma.
Kerusakan pada sumsum belakang merupakan kerusakan yang permanen karena
tidak akan terjadi regenerasi dari jaringan saraf. Pada fase awal setelah trauma tidak dapat
dipastikan apakah gangguan fungsi disebabkan oleh kerusakan sebenarnya dari jaringan
saraf atau disebabkan oleh tekanan, memar, atau oedema
Bila dilihat secara patologi suatu penyakit,Akibat suatu trauma mengenai tulang
belakang, jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga,
mengakibatkan patah tulang belakang; paling banyak cervicalis dan lumbalis. Fraktur
dapat berupa patah tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi, sedangkan
sumsum tulang belakang dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang, laserasi
dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, blok syaraf parasimpatis pelepasan
mediator kimia, kelumpuhan otot pernapasan respon nyeri hebat dan akut anestesi.
Iskemia dan hipoksemia syok spinal gangguan fungsi rektum, kandung kemih. Gangguan
kebutuhan gangguan rasa nyaman, nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi,
bradikardia, gangguan eliminasi
Tanda dan gejala yang mungkin timbul bila seseorang diduga mengalami Cedera
tulang belakang adalah di mana setelah cedera pasien mengeluh nyeri serta terbatasnya
pergerakan leher dan pinggang. Deformitas klinis mungkin tidak jelas dan kerusakan
neurologis mungkin tidak tampak pada pasien yang juga mengalami cedera kepala atau
cedera berganda. Tidak lengkap pemeriksaan pada suatu cedera bila fungsi anggota gerak
belum dinilai untuk menyingkirkan kerusakan akibat cedera tulang belakang. Gejala lain
yang biasa dikeluhkan oleh pasien dengan trauma tulang belakang adalah Nyeri mulai
dari leher sampai bawah,Kehilangan fungsi (misal tidak dapat menggerakkan
lengan),Kehilangan atau berubahnya sensasi di berbagai area tubuh, nyeri akut pada
belakang leher, yang menyebar sepanjang saraf yang terkena,paraplegia,tingkat
neurologik,paralisis sensorik motorik total,kehilangan kontrol kandung kemih (refensi
urine, distensi kandung kemih),penurunan keringat dan tonus vasomoto,penurunan fungsi
pernafasan,gagal nafas dan lain lain
Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan yang terjadi.
Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi motorik maupun
sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok spinal terjadi pada
kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya rangsang yang berasal
dari pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama satu hingga enam minggu, kadang
lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan flaksid, anestesia, arefleksi, hilangnya
perspirasi, gangguan fungsi rektum dan kandung kemih, priapismus, bradikardia dan
hipotensi. Setelah syok spinal pulih kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula
tanda gangguan fungsi autonom, berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan
hipotensi ortostatik, serta gangguan fungsi kandung kemih dan gangguan
defekasi.Sindrom sumsum belakang bagian depan menunjukkan kelumpuhan otot lurik di
bawah tempat kerusakan disertai hilangnya rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya,
sedangkan rasa raba dan posisi tidak terganggu.
Berdasarkan patofisiologi di atas, maka sangat penting dilakukan pemeriksaan
diagnostik SCI yang dapat meliputi, sbb:
1. Sinar x spinal : menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau dislok)
2. CT scan : untuk menentukan tempat luka/jejas
3. MRI : untuk mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal
4. Foto rongent thorak : mengetahui keadaan paru
5. AGD : menunjukkan keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi
Komplikasi atau Efek dari cedera kord spinal akut mungkin mengaburkan
penilaian atas cedera lain dan mungkin juga merubah respon terhadap terapi. 60% lebih
pasien dengan cedera kord spinal bersamaan dengan cedera major: kepala atau otak,
toraks, abdominal, atau vaskuler. Berat serta jangkauan cedera penyerta yang berpotensi
didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian ulang yang sistematik
terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab kematian utama setelah cedera
kord spinal adalah aspirasi dan syok.
Defisit neurologis sering meningkat selama beberapa jam atau hari pada
trauma sumsum tulang belakang akut, meskipun sudah mendapat terapi optimal.Salah
satu tanda adanya kemunduran neurologis adalah adanya defisit sensoris.Pasien dengan
trauma sumsum tulang belakang beresiko tinggi terjadi aspirasi, karena itu perlu
pemasangan NGT (Nasogastric Tube),Hipotermia,Dekubitus,Seseorang dengan
tetraplegia beresiko tinggi terjadi komplikasi medis sekunder. Persentase terjadinya
komplikasi pada individu dengan tetraplegia komplit adalah sebagai berikut : pneumonia
(60,3 %), ulkus akibat tekanan (52,8 %), trombosis vena dalam (16,4 %), emboli pulmo
(5,2 %), infeksi pasca operasi (2,2 %).
Komplikasi pulmo pada trauma tulang belakang biasa terjadi, dimana secara langsung
berhubungan dengan mortalitas dan trauma saraf. Komplikasi pulmo tersebut meliputi
:atelektasis sekunder,menurunnya batuk, sehingga meningkatkan resiko sumbatan oleh
secret, atelektasis dan pneumonia,kelelahan otot.
Penatalaksanaan tindakan-tindakan yang bisa kita lakukan pada penderita
spinal cord injury adalah imobilisasi dan mempertahankan vertebral dalam posisi
lurus,Pemakaian kollar leher, bantal psir atau kantung IV untuk mempertahankan agar
leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila memindahkan pasien.selain itu
Lakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi penggunaan Crutchfield,
Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak.Lakukan tirah baring total dan
pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal stabil ringan.Dan Pembedahan
(laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk mengurangi tekanan pada
spinal bila pada pemeriksaan sinar-x ditemui spinal tidak aktif.
Tindakan-tidakan untuk mengurangi pembengkakan pada medula spinalis
dengan menggunakan glukortiko steroid intravena
Penatalaksanaan Keperawatan meliputi : Pengkajian fisik didasarakan pada pemeriksaan
pada neurologis, kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di bawah area yang
terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih, perusakan fungsi seksual
pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi seksualnya, perubahan fungsi
defekasi.Kaji perasaan pasien terhadap kondisinya,Pemeriksaan diagnostik,dan
Pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing, Circulation)
2. Pengkajian
Adapun beberapa hal penting yang perlu dikaji dalan Spinal Cord Injury dapat
meliputi, sbb: Riwayat trauma (KLL, olahraga, dll),Riwayat penyakit degeneratif
(osteoporosis, osteoartritis, dll),Mekanisme trauma,Stabilisasi dan
monitoring,Pemeriksaan fisik; KU, TTV, defisit neurologis, status kesadaran awal
kejadian, refleks, motorik, lokalis (look, feel, move),Fokus; deformitas leher, memar pada
leher dan bahu, memarpada muka atau abrasi dangakal pada dahi,Pemeriksaan neurologi
penuh.
Pemeriksaan fisik pada Spinal Cord Injury meliputi beberapa pangkajian yaitu :
a. Aktifitas /Istirahat
Aktifitas /Istirahat meliputi Kelumpuhan otot (terjadi kelemahan selama syok pada bawah
lesi. Kelemahan umum /kelemahan otot (trauma dan adanya kompresi saraf).
b. Sirkulasi
Hipotensi, Hipotensi posturak, bradikardi, ekstremitas dingin dan pucat.
c. Eliminasi
Retensi urine, distensi abdomen, peristaltik usus hilang, melena, emisis berwarna seperti
kopi tanah /hematemesis.
d. Integritas Ego
e. Takut, cemas, gelisah, menarik diri.
f. Makanan /cairan
Mengalami distensi abdomen, peristaltik usus hilang (ileus paralitik)
g. Higiene
Sangat ketergantungan dalam melakukan aktifitas sehari-hari (bervariasi)
h. Neurosensori
Kelumpuhan, kelemahan (kejang dapat berkembang saat terjadi perubahan pada syok
spinal).Kehilangan sensasi (derajat bervariasi dapat kembaki normak setelah syok spinal
sembuh).Kehilangan tonus otot /vasomotor, kehilangan refleks /refleks asimetris
termasuk tendon dalam. Perubahan reaksi pupil, ptosis, hilangnya keringat bagian tubuh
yang terkena karena pengaruh trauma spinal.
i. Nyeri /kenyamanan
Mengalami deformitas, postur, nyeri tekan vertebral.
j. Pernapasan
Pernapasan dangkal /labored, periode apnea, penurunan bunyi napas, ronki, pucat,
sianosis.
k. Keamanan
Suhu yang berfluktasi *(suhu tubuh ini diambil dalam suhu kamar).
l. Seksualitas
Ereksi tidak terkendali (priapisme), menstruasi tidak teratur
3. Analisa Data dan Masalah Keperawatan
1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma.
Data subyektif pasien mengeluh sesak nafas.Sedangkan dari sejumlah pengkajian
perawat menemukan beberapa data obyektif yaitu penurunan tekanan inspirasi dan
ekspirasi,pernafasan cuping hidung,fase ekspirasi yang lama,dan penggunaan otot bantu
pernafasan.Kemungkinan penyebabnya adalah kelumpuhan otot diafragma.Dan diagnosa
keperawatan yang bisa diambil adalah Pola napas tidak efektif berhubungan dengan
kelumpuhan otot diafragma
2. Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan
Data subyektif pasien mengeluh aktifitas fisiknya terbatas.Sedangkan dari
sejumlah pengkajian perawat menemukan beberapa data obyektif yaitu : Kesulitan
bergerak,perubahan cara berjalan,keterbatasan kemempuan dalam melakukan
keterampilan motorik kasar dan halus,serta melambatnya pergerakan. Kemungkinan
penyebabnya adalah karena kelumpuhan.Dan dari data tersebut dapat diangkat diagnosa
keperawatan Kerusakan mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan
3. Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera
Data subyektif pasien mengatakan nyeri pada daerah cedera.Dari sejumlah
pengkajian perawat menemukan beberapa data obyektif yaitu : ansietas,gangguan pola
tidur,penurunan interaksi dengan orang lain,dan pasien terlihat gelisah.Kemungkinan
penyebabnya adalah karena cedera yang dialami pasien.Dari data tersebut dapat diangkat
diagnosa keperawatan Gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya
cedera
4. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus
dan rektum
Data subyektif pasien mengatakan ada tekanan pada rektal dan konstipasi.Dan
data obyektif yang ditemukan perawat adalah : perubahan dalam pola defekasi,distensi
abdomen,penurunan frekuensi dan bising usus yang hipoaktif.Kemungkinan
penyebabnya adalah gangguan persarafan pada usus dan rektum.Dari data tersebut dapat
diangkat diagnosa keperawatan Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan
dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum.
5. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan
Data subyektif pasien mengatakan sulit berkemih.Dan data obyektif yang
ditemukan perawat adalah : inkontinensia,adanya retensi urin,dan distensi kandung
kemih.Kemungkinan penyebabnya adalah kelumpuhan syarat perkemihan.Dari data
tersebut dapat diambil diagnosa keperawatan Perubahan pola eliminasi urine
berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan

6. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama


Data subyektif pasien mengatakan ada luka pada jaringan kulitnya.Data
obyektif yang ditemukan perawat adalah : suhu kulit dingin pada ekstremitas,perubahan
tekanan darah pada ekstremitas,adanya lesi dan perubahan warna kulit.Kemungkinan
penyebabnya adalah adanya tirah baring yang lama.Dari data tersebut dapat diambil
diagnosa keperawatan Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring
lama
4. Intervensi Keperawatan
1 Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma
Tujuan perawatan : pola nafas efektif setelah diberikan oksigen
Kriteria hasil : ventilasi adekuat, PaO2 > 80, PaCo2 < rr =" 16-20">
Intervensi keperawatan :
1. Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional: pasien dengan cedera
cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/ mempertahankan jalan
nafas.
2. Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah, jenis dan karakteristik sekret.
Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret,
dan mengurangi resiko infeksi pernapasan.
3. Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi
pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan.
4. Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan
akumulasi sekret yang berakibat pnemonia.
5. Observasi warna kulit. Rasional : menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang
memerlukan tindakan segera
6. Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan
karena kelumpuhan diafragma
7. Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000 cc/hari. Rasional : membantu
mengencerkan sekret, meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran.
8. Lakukan pengukuran kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional :
menentukan fungsi otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi
adanya kegagalan pernapasan.
9. Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan fungsi
pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2 meningkat.
10. Berikan oksigen dengan cara yang tepat : metode dipilih sesuai dengan keadaan
isufisiensi pernapasan.
11. Lakukan fisioterapi nafas. Rasional : mencegah sekret tertahan
2. Diagnosa keperawatan : kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan
Tujuan perawatan : selama perawatan gangguan mobilisasi bisa diminimalisasi sampai
cedera diatasi dengan pembedahan.
Kriteria hasil : tidak ada kontrakstur, kekuatan otot meningkat, pasien mampu beraktifitas
kembali secara bertahap.
Intervensi keperawatan :
1. Kaji secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum
2. Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional memberikan
rasa aman
3. Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif
4. Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdrop
5. Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional : mengetahui adanya
hipotensi ortostatik
6. Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan hilangnya sensai resiko
tinggi kerusakan integritas kulit.
7. Berikan relaksan otot sesuai pesanan seperti diazepam. Rasional : berguna untuk
membatasi dan mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas.
3. Diagnosa keperawatan : gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya
cedera
Tujuan keperawatan : rasa nyaman terpenuhi setelah diberikan perawatan dan pengobatan
Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang
Intervensi keperawatan :
1. Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-5. Rasional : pasien melaporkan nyeri biasanya
diatas tingkat cedera.
2. Bantu pasien dalam identifikasi faktor pencetus. Rasional : nyeri dipengaruhi oleh;
kecemasan, ketegangan, suhu, distensi kandung kemih dan berbaring lama.
3. Berikan tindakan kenyamanan. Rasional : memberikan rasa nayaman dengan cara
membantu mengontrol nyeri.
4. Dorong pasien menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan kembali
perhatian, meningkatkan rasa kontrol.
5. Berikan obat antinyeri sesuai pesanan. Rasional : untuk menghilangkan nyeri otot atau
untuk menghilangkan kecemasan dan meningkatkan istirahat.
4. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan
gangguan persarafan pada usus dan rektum.
Tujuan perawatan : pasien tidak menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi
Kriteria hasil : pasien bisa b.a.b secara teratur sehari 1 kali
Intervensi keperawatan :
1. Auskultasi bising usus, catat lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus
mungkin tidak ada selama syok spinal.
2. Observasi adanya distensi perut.
3. Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional : pendarahan
gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress.
4. Berikan diet seimbang TKTP cair : meningkatkan konsistensi feces
5. Berikan obat pencahar sesuai pesanan. Rasional: merangsang kerja usus
5. Diagnosa keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan
kelumpuhan syarat perkemihan.
Tujuan perawatan : pola eliminasi kembali normal selama perawatan
Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam, keluhan eliminasi uirine tidak ada
Intervensi keperawatan:
1. Kaji pola berkemih, dan catat produksi urine tiap jam. Rasional : mengetahui fungsi
ginjal
2. Palpasi kemungkinan adanya distensi kandung kemih.
3. Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu mempertahankan
fungsi ginjal.
4. Pasang dower kateter. Rasional membantu proses pengeluaran urine
6. Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
Tujuan keperawatan : tidak terjadi gangguan integritas kulit selama perawatan
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering
Intervensi keperawatan :
1. Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit cenderung rusak karena perubahan
sirkulasi perifer.
2. Lakukan perubahan posisi sesuai pesanan: untuk mengurangi penekanan kulit
3. Bersihkan dan keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit
4. Jagalah tenun tetap kering. Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit
5. Berikan terapi kinetik sesuai kebutuhan : Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik&
perifer, menurunkan tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit.
Intervensi

Diagnosa Keperawatan

1. Pola napas tidak efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma


2. kerusakan mobilitas fisik berhubungan dng kelumpuhan

3. gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera


4. Gangguan eliminasi alvi /konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum

7. Perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan syarat perkemihan


8. Gangguan integritas kulit berhubungan dengan tirah baring lama
BAB V
PENUTUP

5.1. Kesimpulan

 Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai cervicalis, vertebralis dan lumbalis
akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga
dsb (Arifin cit Sjamsuhidayat, 1997).
 Spinal Cord Injury (SCI) adalah cidera yang terjadi karena trauma spinal cord atau
tekanan pada spinal cord karena kecelakaan
 Etiologi :
Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal mana cukup kuat untuk merusak
kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga, tersering karena menyelam pada
air yang sangat dangkal Klasifikasi

5.2. Saran

Dalam pembuatan makalah ini kelompok masih jauh dari sempurna. Oleh
karena itu kelompok meminta kritik dan saran yang membangun dari pembaca.
Semoga makalah yang kami buat dapat bermanfaat bagi pembaca

DAFTAR PUSTAKA

. Nurman ningsih dkk, 2009, ASUHAN KEPERAWATAN PADA KLIEN GANGGUAN


SISTEM MUSKULOSKELETAL, Jakarta: Salemba Medika
ASKEP SPINAL CORD INJURY I. PENDAHULUAN Cidera spinal cord adalah
suatu kerusakan fungsi neurologis yang seringkali disebabkan oleh kecelakaan lalu
lintas. Efek dari spinal cord injury tergantung pada jenis luka dan tingkat dari cedera.
Akibat yang ditimbulkan karena cedera SCI bervariasi, dan yang terparah bisa sampai
mengakibatkan hilangnya fungsi motorik dan sensorik serta kehilangan fungsi
defekasi dan berkemih. Cedera spinal cord injury dapat dibagi menjadi dua jenis,
yaitu cedera lengkap dan tidak lengkap. Cedera lengkap berarti tidak ada fungsi di
bawah tingkat yang cedera, tidak ada sensasi dan tidak ada gerakan atau bisa
dikatakan pasien sudah mengalami kelumpuhan. Cedera tidak lengkap berarti ada
beberapa fungsi di bawah tingkat dasar dari cedera. Ini berarti bahwa pasien tidak
mengalami kelumpuhan total dan masih mampu menggerakkan sebagian anggota
tubuh. Kelumpuhan hanya terjadi pada area cedera. Pada awal tahun 1900, angka
kematian 1 tahun setelah trauma pada pasien dengan lesi komplit mencapai 100 %.
Namun kini, angka ketahanan hidup 5 tahun pada pasien dengan trauma tetraplegia
mencapai 90 %. Pasien dengan trauma spinal cord komplit berpeluang sembuh kurang
dari 5 %. Jika terjadi paralisis komplit dalam waktu 72 jam setelah trauma, peluang
perbaikan adalah nol. Untuk prognosis trauma spinal cord inkomplit lebih baik jika
dibandingkan dengan trauma spinal cord komplit. Jika fungsi sensoris masih ada,
peluang pasien untuk dapat berjalan kembali lebih dari 50 %. Angka kejadian dengan
spinal cord injury dapat dikatakan masih relatif tinggi. Di U.S. saja, insiden trauma
SCI sekitar 5 kasus per satu juta populasi per tahun atau sekitar 14.000 pasien per
tahun. Insiden trauma SCI tertinggi terjadi pada usia 16-30 tahun (53,1 %). Laki-laki-
wanita rasio individu dengan SCI di Amerika Serikat adalah 4:1; yaitu, laki-laki
merupakan sekitar 80% orang dengan SCI. Sekitar 80 % pria dengan trauma SCI rata-
rata berusia 18-25 tahun. Laki-laki berusia antara 18-25 tahun lebih cenderung
menderita spinal cord injury akibat trauma (kecelakaan atau beberapa tindakan
kekerasan). Dan di atas 50 % cedera spinal cord injury ini mengenai daerah servikalis.
60% lebih pasien dengan cedera spinal cord disertai dengan cedera mayor, seperti:
cedera pada kepala atau otak, toraks, abdominal, atau vaskuler. Sementara cedera
nontraumatic (misalnya: osteoporosis) lebih sering terjadi pada wanita yang berusia
lebih dari 40 tahun. SCIWORA (Spinal Cord Injury Without Radiologic Abnormality)
terjadi primer pada anak-anak. Tingginya insiden trauma spinal cord komplit yang
berkaitan dengan SCIWORA dilaporkan terjadi pada anak-anak usia kurang dari 9
tahun. Angka kematian cenderung lebih tinggi pada anak-anak dengan cedera spinal
cord. Tingginya angka kejadian yang dilaporkan karena trauma spinal cord
sebenarnya dapat dikurangi sedikit demi sedikit dengan memproteksi individu itu
sendiri. Misalnya dengan cara menjamin keselamatan kerja untuk karyawan dan
memberikan alat pelindung yang sesuai di tempat rekreasi. Jika akan menyelam ke air
yang dangkal, lakukan pemeriksaan kedalaman, dan mencari batu atau penghalang
lain. Para pemain sepak bola diharuskan menggunakan teknik dan peralatan yang
tepat saat bermain, karena pemain sepak bola sering melakukan gerakan memuntir
dan menekuk punggung atau leher sehingga dapat menyebabkan trauma spinal cord.
Begitu pula dengan olahraga lain yang memungkinkan terjadinya cedera spinal cord,
contohnya para pendaki harus menggunakan perlengkapan yang tepat dan aman saat
mendaki gunung. Untuk mengurangi angka kejadian trauma spinal cord yang
disebabkan karena kecelakaan, para pengguna kendaraan bermotor sangat dianjurkan
untuk menggunakan helm saat mengendarai sepeda motor dan memasang sabuk
pengaman saat mengendarai mobil. Pada kasus ini peran perawat sangat diperlukan
untuk dapat membantu dalam memberikan asuhan keperawatan pada klien dengan
spinal cord injury dengan cara promotif, preventif, kuratif, dan rehabilitatif sehingga
masalah yang dihadapi oleh klien dapat teratasi dan klien dapat terhindar dari masalah
yang paling buruk Pengertian Spinal Cord Injury Spinal cord injury dapat
didefinisikan sebagai berikut: Cedera tulang belakang adalah cedera mengenai
cervicalis, vertebralis dan lumbalis akibat trauma; jatuh dari ketinggian, kecelakakan
lalu lintas, kecelakakan olahraga dsb (Arifin cit Sjamsuhidayat, 1997). Spinal Cord
Injury (SCI) adalah cedera yang terjadi karena trauma spinal cord atau tekanan pada
spinal cord karena kecelakaan. Spinal Cord Injury (SCI) dapat didefinisikan sebagai
kerusakan atau trauma sumsum tulang belakang yang dapat mengakibatkan
kehilangan atau gangguan fungsi yang mengakibatkan berkurangnya mobilitas atau
perasaan (sensasi). Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sumsum tulang belakang
rusak, sehingga mengakibatkan hilangnya beberapa sensasi dan kontrol motorik.
Spinal cord injury (SCI) adalah suatu tekanan terhadap sumsum tulang belakang yang
mengakibatkan perubahan, baik sementara atau permanen, di motorik normal, indera,
atau fungsi otonom. Spinal cord injury (SCI) terjadi ketika sesuatu (seperti: tulang,
disk, atau benda asing) masuk atau mengenai spinal dan merusakkan spinal cord atau
suplai darah (AACN, Marianne Chulay, 2005 : 487). Etiologi Spinal Cord Injury
Penyebab spinal cord injury meliputi kecelakaan sepeda motor (44 %), tindak
kekerasan (24 %), jatuh (22 %) (pada orang usia 65 tahun ke atas), luka karena senjata
api (9%), kecelakaan olahraga (rata-rata pada usia 29 tahun) misal menyelam (8 %),
dan penyebab lain misalnya infeksi atau penyakit, seperti tumor, kista di tulang
belakang, multiple sclerosis, atau cervical spondylosis (degenerasi dari disk dan
tulang belakang di leher) (2 %). Kecelakaan jalan raya adalah penyebab terbesar, hal
mana cukup kuat untuk merusak kord spinal serta kauda ekuina. Di bidang olah-raga,
tersering karena menyelam pada air yang sangat dangkal (Pranida, Iwan Buchori,
2007). Akibat suatu trauma mengenai tulang belakang, jatuh dari ketinggian,
kecelakakan lalu lintas, kecelakakan olah raga (Arifin, 1997). Spinal cord injury
paling banyak disebabkan karena kecelakaan kendaraan bermotor, jatuh, kekerasan,
dan kecelakaan olahraga (AACN, Marianne Chulay, 2005 : 487). Penyebab kerusakan
pada saraf tulang belakang, adalah trauma (mobil / sepeda motor kecelakaan,
tembakan, jatuh, cedera olahraga, dll), atau penyakit (seperti: Transverse Myelitis,
Polio, spina bifida, Friedreich's ataxia, dll) Klasifikasi Cedera Spinal Holdsworth
membuat klasifikasi cedera spinal sebagai berikut: Cedera fleksi: cedera fleksi
menyebabkan beban regangan pada ligamentum posterior, kemudian dapat
menimbulkan kompresi pada bagian anterior korpus vertebra sehingga mengakibatkan
wedge fracture (teardrop fracture). Cedera seperti ini dapat dikategorikan sebagai
cedera yang stabil; Cedera fleksi-rotasi: beban fleksi-rotasi akan menimbulkan cedera
pada ligamentum posterior (terkadang juga dapat melukai prosesus artikularis) lalu,
cedera ini akan mengakibatkan terjadinya dislokasi fraktur rotasional yang
dihubungkan dengan slice fracture korpus vertebra. Cedera ini digolongkan sebagai
cedera yang paling tidak stabil; Cedera ekstensi: cedera ekstensi biasanya merusak
ligamentum longitudinalis anterior dan menimbulkan herniasi diskus. Biasanya terjadi
pada daerah leher. Selama kolumna vertebra dalam posisi fleksi, maka cedera ini
masih tergolong stabil; Cedera kompresi vertikal (vertical compression): cedera
kompresi vertical mengakibatkan pembebanan pada korpus vertebra dan dapat
menimbulkan burst fracture; Cedera robek langsung (direct shearing): cedera robek
biasanya terjadi di daerah torakal dan disebabkan oleh pukulan langsung pada
punggung, sehingga salah satu vertebra bergeser, fraktur prosesus artikularis serta
ruptur ligamen. Patofisiologi Spinal Cord Injury Cedera spinal cord terjadi akibat
patah tulang belakang, dan kasus terbanyak cedera spinal cord mengenai daerah
servikal dan lumbal. Cedera dapat terjadi akibat hiperfleksi, hiperekstensi, kompresi
atau rotasi pada tulang belakang. Fraktur pada cedera spinal cord dapat berupa patah
tulang sederhana, kompresi, kominutif, dan dislokasi. Sedangkan kerusakan pada
cedera spinal cord dapat berupa memar, kontusio, kerusakan melintang laserasi
dengan atau tanpa gangguan peredaran darah, dan perdarahan. Kerusakan ini akan
memblok syaraf parasimpatis untuk melepaskan mediator kimia, kelumpuhan otot
pernapasan, sehingga mengakibatkan respon nyeri hebat dan akut anestesi. Iskemia
dan hipoksemia syok spinal, gangguan fungsi rektum serta kandung kemih. Gangguan
kebutuhan gangguan rasa nyaman nyeri, oksigen dan potensial komplikasi, hipotensi,
bradikardia dan gangguan eliminasi. Temuan fisik pada spinal cord injury sangat
bergantung pada lokasi yang terkena: jika terjadi cedera pada C-1 sampai C-3 pasien
akan mengalami tetraplegia dengan kehilangan fungsi pernapasan atau sistem
muskular total; jika cedera mengenai saraf C-4 dan C-5 akan terjadi tetraplegia
dengan kerusakan, menurunnya kapasitas paru, ketergantungan total terhadap
aktivitas sehari-hari; jika terjadi cedera pada C-6 dan C-7 pasien akan mengalami
tetraplegia dengan beberapa gerakan lengan atau tangan yang memungkinkan untuk
melakukan sebagian aktivitas sehari-hari; jika terjadi kerusakan pada spinal C-7
sampai T-1 seseorang akan mengalami tetraplegia dengan keterbatasan menggunakan
jari tangan, meningkat kemandiriannya; pada T-2 sampai L-1 akan terjadi paraplegia
dengan fungsi tangan dan berbagai fungsi dari otot interkostal dan abdomen masih
baik; jika terjadi cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya, maka orang tersebut akan
kehilangan fungsi motorik dan sensorik, kehilangan fungsi defekasi dan berkemih.
Manifestasi Klinis Gambaran klinis bergantung pada lokasi dan besarnya kerusakan
yang terjadi. Kerusakan melintang memberikan gambaran berupa hilangnya fungsi
motorik maupun sensorik kaudal dari tempat kerusakan disertai syok spinal. Syok
spinal terjadi pada kerusakan mendadak sumsum tulang belakang karena hilangnya
rangsang yang berasal dari saraf pusat. Peristiwa ini umumnya berlangsung selama
satu hingga enam minggu, kadang dapat lebih lama. Tandanya adalah kelumpuhan
flaksid, anestesia, arefleksi, hilangnya perspirasi, gangguan fungsi rektum dan
kandung kemih, priapismus, bradikardia dan hipotensi. Setelah syok spinal pulih
kembali, akan terjadi hiperrefleksi. Terlihat pula tanda gangguan fungsi autonom,
berupa kulit kering karena tidak berkeringat dan hipotensi ortostatik, serta gangguan
fungsi kandung kemih dan gangguan defekasi. Sindrom spinal cord bagian depan
menunjukkan kelumpuhan otot lurik di bawah tempat kerusakan disertai hilangnya
rasa nyeri dan suhu pada kedua sisinya, sedangkan rasa raba dan posisi tidak
terganggu. Cedera spinal cord sentral jarang ditemukan. Keadaan ini pada umumnya
terjadi akibat cedera di daerah servikal dan disebabkan oleh hiperekstensi mendadak
sehingga sumsum belakang terdesak dari dorsal oleh ligamentum flavum yang
terlipat. Cedera tersebut dapat terjadi pada orang yang memikul beban berat di atas
kepala, kemudian terjadi gangguan keseimbangan yang mendadak sehingga beban
jatuh dan tulang belakang hiperekstensi. Gambaran klinis berupa tetraparese parsial.
Gangguan pada ekstremitas bawah lebih ringan daripada ekstremitas atas, sedangkan
daerah perianal tidak terganggu. Sindrom Brown-Sequard disebabkan oleh kerusakan
separuh lateral spinal cord. Sindrom ini jarang ditemukan. Gejala klinis berupa
gangguan motorik dan hilangnya rasa vibrasi dan posisi ipsilateral; di kontralateral
terdapat gangguan rasa nyeri dan suhu. Kerusakan tulang belakang setinggi vertebra
L1-L2 mengakibatkan anestesia perianal, gangguan fungsi defekasi, miksi, impotensi
serta hilangnya refleks anal dan refleks bulbokavernosa. Sindrom ini disebut sindrom
konus medularis. Sindrom kauda equina disebabkan oleh kompresi pada radiks
lumbosakral setinggi ujung konus medularis dan menyebabkan kelumpuhan dan
anestesia di daerah lumbosakral yang mirip dengan sindrom konus medularis. Klien
yang mengalami cidera spinal cord khususnya bone loss pada L2-3 membutuhkan
perhatian lebih diantaranya dalam pemenuhan kebutuhan ADL dan dalam pemenuhan
kebutuhan untuk mobilisasi. Selain itu klien juga beresiko mengalami komplikasi
cedera spinal seperti syok spinal, trombosis vena profunda, gagal napas; pneumonia
dan hiperfleksia autonomic. Meskipun gambaran klinis tergantung pada lokasi dan
besarnya kerusakan, namun secara umum jika seseorang mengalami spinal cord
injury, maka mereka akan mengeluh: nyeri mulai dari leher sampai bawah, kehilangan
fungsi (misalnya: tidak dapat menggerakkan lengan), kehilangan atau berubahnya
sensasi di berbagai area tubuh, sakit atau tekanan yang berat di leher, kepala.
Biasanya nyeri terjadi hilang timbul, geli (kesemutan) atau kehilangan sensasi di jari
dan tangan, kehilangan kontrol salah satu atau seluruh bagian tubuh, inkontinensia
urin yang mungkin disebabkan karena kelumpuhan saraf, kesulitan berjalan dengan
keseimbangan, sulit bernafas setelah cedera, tidak berfungsinya saraf pada kepala atau
tulang belakang. f. Pemeriksaan Penunjang Untuk menegakkan diagnosa pada
penderita spinal cord injury, diperlukan beberapa pemeriksaan penunjang yang
meliputi: sinar-x spinal: untuk menentukan lokasi dan jenis cedera tulang (fraktur atau
dislokasi), untuk reduksi setelah dilakukan traksi atau operasi; CT scan untuk
menentukan tempat luka/jejas, mengidentifikasi tulang yang terluka dan tekanan pada
cord, mengevaluasi gangguan struktural, CT- Scan berguna untuk mempercepat
skrining dan menyediakan informasi tambahan jika hasil dari sinar-x kurang akurat
untuk mengetahui status patahan dan spinal yang cedera; MRI: untuk
mengidentifikasi kerusakan syaraf spinal, edema dan kompresi; Foto rontgen thorak:
ditujukan untuk mengetahui keadaan paru klien, (contoh : adakah perubahan pada
diafragma, atelektasis); AGD (analisa gas darah): digunakan untuk menunjukkan
keefektifan pertukaran gas dan upaya ventilasi. Komplikasi Efek dari cedera kord
spinal akut mungkin mengaburkan penilaian terhadap cedera lain yang menyertai dan
mungkin juga mengubah respon terhadap terapi. Berat serta jangkauan cedera
penyerta yang berpotensi didapat dari penilaian primer yang sangat teliti dan penilaian
ulang yang sistematik terhadap pasien setelah cedera kord spinal. Dua penyebab
kematian utama setelah cedera kord spinal adalah aspirasi dan syok. Beberapa
komplikasi yang mungkin ditimbulkan dari cedera saraf tulang belakang adalah:
tekanan darah perubahan - dapat ekstrim (otonom hyperreflexia), disebabkan karena
menurunnya curah jantung, komplikasi imobilitas dapat disebabkan karena tidak
berfungsinya salah satu anggota tubuh sehingga pasien diharuskan tirah baring yang
lama sehingga dapat menyebabkan dekubitus atau kontraktur; deep vein thrombosis,
ini dapat terjadi karena kurangnya sistem koagulasi dalam darah, sehingga terdapat
trombus, karena pergerakan, maka dapat menyebabkan trombus tersebut lepas dan
menjadi emboli, kemudian melalui pembuluh darah mengikuti aliran darah dan
berkumpul di suatu tempat; infeksi paru dapat terjadi jika ada cedera lain yang
menyertai, atau ada kompresi pada cervikalis sehingga fungsi paru terganggu atau
menjadi minimal; kulit breakdown terjadi bila terjadi robekan pada kulit punggung;
kontraktur, terjadi karena pasien immobilisasi; peningkatan risiko cedera pada daerah
kebas tubuh disebabkan karena orang tersebut kehilangan sensasi (mati rasa) sehingga
meskipun orang tersebut terluka oleh benda tajam pada daerah kebas tidak akan
merasakan sakit; peningkatan risiko kerusakan ginjal karena terjadi disfungsi
berkemih sehingga pasien tidak dapat mengeluarkan sisa metabolisme dalam tubuh
melalui urin; meningkatnya risiko infeksi saluran kemih karena banyak bakteri dan
jamur pada saluran kemih; kehilangan kontrol kandung kemih disebabkan karena
cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya; kehilangan kontrol usus disebabkan karena
cedera pada L-1 dan L-2 atau dibawahnya; hilangnya sensasi disebabkan oleh
cederanya spinal L1 dan L2 atau dibawahnya; kehilangan fungsi seksual (impotensi
pria) karena cedera spinal L1 dan L2 atau dibawahnya; muscle spasticity disebabkan
karena C-1 sampai C-3 mengalami cedera; pain, karena diskontinuitas antara tulang
dan jaringan; kelumpuhan otot pernapasan, karena cederanya spinal C1 sampai C3,
dan C4 sampai C5 ; kelumpuhan (paraplegia, quadriplegia), tergantung pada tempat
atau lokasi terjadinya cedera; aspirasi terjadi karena tidak berfungsinya sistem
pernapasan dan pencernaan; shock, biasanya terjadi karena perdarahan pada pasien,
jika kehilangan darah terus menerus, pasien akan menjadi hipotensi, dan untuk
mengkompensasi, jantung bekerja lebih keras, memompa lebih cepat sehingga terjadi
takikardi pada nadi, namun volume darah dalam tubuh tetap sedikit, sehingga darah
hanya digunakan untuk otak, apabila tubuh sudah tidak dapat mengkompensasi lagi,
nadi akan menjadi semakin lemah dan sampai tak teraba dan untuk bagian perifer
tubuh menjadi dingin (akral), dan terjadilah shock hipovolemik. Penatalaksanaan
Penatalaksaan Medis · Tindakan-tindakan untuk imobilisasi dan mempertahankan
vertebral dalam posisi lurus: pemakaian kollar leher, bantal pasir atau kantung IV
untuk mempertahankan agar leher stabil, dan menggunakan papan punggung bila
memindahkan pasien; melakukan traksi skeletal untuk fraktur servikal, yang meliputi
penggunaan Crutchfield, Vinke, atau tong Gard-Wellsbrace pada tengkorak, tirah
baring total dan pakaikan brace haloi untuk pasien dengan fraktur servikal stabil
ringan; pembedahan (laminektomi, fusi spinal atau insersi batang Harrington) untuk
mengurangi tekanan pada spinal bila pada pemeriksaan sinar-X ditemui spinal tidak
aktif. Intervensi bedah = Laminektomi, dilakukan bila: deformitas tidak dapat
dikurangi dengan fraksi, terdapat ketidakstabilan signifikan dari spinal servikal,
cedera terjadi pada region lumbar atau torakal, status neurologis mengalami
penyimpanan untuk mengurangi fraktur spinal atau dislokasi atau dekompres medulla.
(Diane C. Braughman, 2000 ; 88-89) · Tindakan-tidakan untuk mengurangi
pembengkakan pada medula spinalis dengan menggunakan glukortiko steroid
intravena Penatalaksanaan Keperawatan Pengkajian fisik didasarakan pada
pemeriksaan pada neurologis, kemungkinan didapati defisit motorik dan sensorik di
bawah area yang terkena: syok spinal, nyeri, perubahan fungsi kandung kemih,
perusakan fungsi seksual pada pria, pada wanita umumnya tidak terganggu fungsi
seksualnya, perubahan fungsi defekasi; kaji perasaan pasien terhadap kondisinya;
lakukan pemeriksaan diagnostik; pertahankan prinsip A-B-C (Airway, Breathing,
Circulation) agar kondisi pasien tidak semakin memburuk. II PENGKAJIAN
Beberapa hal penting yang perlu dikaji pada cedera Spinal Cord Injury adalah,
sebagai berikut: tanyakan riwayat trauma yang dialami oleh klien ( apakah karena
KLL, olahraga atau yang lain), kemudian tanyakan apakah ada riwayat penyakit
degeneratif (seperti: osteoporosis, osteoartritis, dll), bagaimana mekanisme terjadinya
trauma pada pasien, kemudian stabilisasi dan monitoring pada pasien, lakukan
pemeriksaan fisik pada pasien: lihat KU pasien, ukur TTV, adakah defisit neurologis
pada pasien, tanyakan bagaimana status kesadaran awal klien saat kejadian, lakukan
tes refleks, motorik, lokalis (look, feel, move) pada pasien, fokuskan pada deformitas
leher, memar pada leher dan bahu, memar pada muka atau abrasi dangkal pada dahi,
lakukan pemeriksaan neurologi penuh. Data fokus, didapatkan dengan melakukan
pengkajian 11 pola Gordon: · Aktifitas dan istirahat : kelumpuhan otot terjadi
kelemahan selama syok spinal · Sirkulasi : berdebar-debar, pusing saat melakukan
perubahan posisi, hipotensi, bradikardia ekstremitas dingin atau pucat. · Eliminasi :
inkontinensia defekasi dan berkemih, retensi urine, distensi perut, peristaltik usus
hilang. · Integritas ego : menyangkal, tidak percaya, sedih dan marah, takut cemas,
gelisah dan menarik diri. · Pola makan : mengalami distensi perut, peristaltik usus
hilang · Pola kebersihan diri : sangat ketergantungan dalam melakukan ADL ·
Neurosensori : kesemutan, rasa terbakar pada lengan atau kaki, paralisis flasid,
hilangnya sensai dan hilangnya tonus otot, hilangnya reflek, perubahan reaksi pupil,
ptosis. · Nyeri/kenyamanan : nyeri tekan otot, hiperestesi tepat diatas daerah trauma,
dan mengalami deformitas pada derah trauma. · Pernapasan : napas pendek, ada
ronkhi, pucat, sianosis · Keamanan : suhu yang naik turun · Seksualitas : priapismus
(pada laki-laki), haid tidak teratur (pada wanita) III. Analisa Data dan Masalah
Diagnosa 1 Ds: pasien mengatakan kesulitan bernafas Do: sesak nafas, terdapat
tarikan diafragma, sianosis, hasil GDA: PaO2 < 80, PaCo2 > 45, RR = 28 x/menit
Cedera pada servikalis menyebabkan terpotongnya spinal, sehingga persarafan untuk
pernapasan menjadi cedera, menyebabkan pergerakan diafragma terganggu, sehingga
paru-paru sulit mengembang dan px mengalami kesulitan bernafas Masalah: Pola
nafas tidak efektif Diagnosa 2 Ds: pasien mengatakan tidak dapat melakukan
pergerakan pada tangan dan kaki Do: ada kontraktur, kekuatan otot (ROM menurun),
cedera atau lesi pada servikal Cedera servikal menyebabkan tetraplegia sehingga
pasien tidak dapat menggerakkan tangan dan kakinya serta pasien tidak dapat
melakukan aktivitas sehari-hari Masalah: Kerusakan mobilitas fisik Diagnosa 3 Ds:
pasien mengeluh nyeri pada daerah yang cedera Do: wajah pasien meringis, skala
nyeri 4-6, luka atau lesi di tempat yang mengalami cedera Adanya cedera pada spinal
membuat diskontinuitas antara otot dan jaringan sehingga SSP mengeluarkan
transmitter nyeri (seperti: bradikinin) dan menyebabkan rasa nyeri Masalah: gangguan
rasa nyaman nyeri Diagnosa 4 Ds: pasien mengatakan tidak dapat atau sulit untuk
BAB Do: jika dilakukan palpasi pada abdomen akan didapatkan tegang atau keras
pada abdomen pasien, karena feses impaksi pada colon pasien Cedera pada spinal
menyebabkan gangguan persarafan pada usus dan rektum sehingga menyebabkan
menurunnya peristaltik usus dan bising usus serta menurunnya fungsi rektum
Masalah: gangguan eliminasi alvi / konstipasi Diagnosa 5 Ds: pasien mengaku
kesulitan saat berkemih, dan berkemihnya juga jarang Do: produksi urine < 50 cc/jam,
luka karena cedera spinal, adanya distensi bladder Cedera spinal pada lumbalis akan
merusakkan saraf yang mengatur seseorang untuk berkemih, sehingga terjadi retensi
urin Masalah: : perubahan pola eliminasi urine Diagnosa 6 Ds: pasien mengatakan
nyeri pada punggung Do: adanya kemerahan, bernanah, kulit lembab, luka dekubitus
Cedera pada spinal menyebabkan kelumpuhan, sehingga pasien harus tirah baring
dalam waktu yang cukup lama, apabila tidak dilakukan mobilisasi selama 2 jam
sekali, maka akan menurunkan aliran darah ke tempat yang cedera serta
meningkatkan tekanan pada daerah tersebut dan terjadilah ulkus dekubitus Masalah: :
gangguan integritas kulit IV. Intervensi 1. Diagnosa keperawatan: Pola napas tidak
efektif berhubungan dengan kelumpuhan otot diafragma Tujuan perawatan : setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama maksimal 1 jam, pola nafas pasien menjadi
efektif Kriteria hasil : sesak nafas berkurang, tidak ditemukan tarikan diafragma,
sianosis tidak ada, PaO2 > 80, PaCo2 < 45,RR = 16-20 x/menit Intervensi
keperawatan : a) Pertahankan jalan nafas; posisi kepala tanpa gerak. Rasional : pasien
dengan cedera cervicalis akan membutuhkan bantuan untuk mencegah aspirasi/
mempertahankan jalan nafas. b) Lakukan penghisapan lendir bila perlu, catat jumlah,
jenis dan karakteristik sekret. Rasional : jika batuk tidak efektif, penghisapan
dibutuhkan untuk mengeluarkan sekret, dan mengurangi resiko infeksi pernapasan. c)
Kaji fungsi pernapasan. Rasional : trauma pada C5-6 menyebabkan hilangnya fungsi
pernapasan secara partial, karena otot pernapasan mengalami kelumpuhan. d)
Auskultasi suara napas. Rasional : hipoventilasi biasanya terjadi atau menyebabkan
akumulasi sekret yang berakibat pneumonia. e) Observasi warna kulit. Rasional :
menggambarkan adanya kegagalan pernapasan yang memerlukan tindakan segera f)
Kaji distensi perut dan spasme otot. Rasional : kelainan penuh pada perut disebabkan
karena kelumpuhan diafragma g) Anjurkan pasien untuk minum minimal 2000
cc/hari, jika tidak ada kontraindikasi. Rasional : membantu mengencerkan sekret,
meningkatkan mobilisasi sekret sebagai ekspektoran. h) Lakukan pengukuran
kapasitas vital, volume tidal dan kekuatan pernapasan. Rasional : menentukan fungsi
otot-otot pernapasan. Pengkajian terus menerus untuk mendeteksi adanya kegagalan
pernapasan. i) Pantau analisa gas darah. Rasional : untuk mengetahui adanya kelainan
fungsi pertukaran gas sebagai contoh : hiperventilasi PaO2 rendah dan PaCO2
meningkat. j) Berikan oksigen dengan cara yang tepat. Rasional : metode dipilih
sesuai dengan keadaan insufisiensi pernapasan. k) Lakukan fisioterapi nafas. Rasional
: mencegah sekret tertahan pada paru-paru 2. Diagnosa keperawatan : kerusakan
mobilitas fisik berhubungan dengan kelumpuhan Tujuan perawatan : setelah
dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, perawatan gangguan mobilisasi
bisa diminimalisasi sampai cedera diatasi dengan pembedahan Kriteria hasil : tidak
ada kontraktur, kekuatan otot meningkat ROM meningkat (antara 4-5), lesi berkurang,
pasien mampu beraktifitas kembali secara bertahap. Intervensi keperawatan: a) Kaji
secara teratur fungsi motorik. Rasional : mengevaluasi keadaan secara umum b)
Instruksikan pasien untuk memanggil bila minta pertolongan. Rasional: memberikan
rasa aman c) Lakukan log rolling. Rasional : membantu ROM secara pasif d)
Pertahankan sendi 90 derajad terhadap papan kaki. Rasional mencegah footdro e)
Ukur tekanan darah sebelum dan sesudah log rolling. Rasional : mengetahui adanya
hipotensi ortostatik f) Inspeksi kulit setiap hari. Rasional : gangguan sirkulasi dan
hilangnya sensai resiko tinggi kerusakan integritas kulit. g) Berikan relaksan otot
sesuai keperluan, seperti diazepam. Rasional : berguna untuk membatasi dan
mengurangi nyeri yang berhubungan dengan spastisitas 3. Diagnosa keperawatan :
gangguan rasa nyaman nyeri berhubungan dengan adanya cedera Tujuan
keperawatan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 1 jam, nyeri pasien
berkurang Kriteria hasil : melaporkan rasa nyerinya berkurang, wajah pasien rileks,
skala nyeri 1-3, luka atau lesi di tempat yang mengalami cedera berkurang Intervensi
keperawatan: a) Kaji terhadap nyeri dengan skala 0-10. Rasional : pasien melaporkan
nyeri biasanya diatas tingkat cedera. b) Bantu pasien dalam identifikasi faktor
pencetus. Rasional : nyeri dipengaruhi oleh; kecemasan, ketegangan, suhu, distensi
kandung kemih dan berbaring lama. c) Berikan tindakan kenyamanan. Rasional :
memberikan rasa nyaman dengan cara membantu mengontrol nyeri. d) Dorong pasien
menggunakan tehnik relaksasi. Rasional : memfokuskan kembali perhatian,
meningkatkan rasa kontrol. e) Berikan obat antinyeri sesuai keperluan. Rasional :
untuk menghilangkan nyeri otot atau untuk menghilangkan kecemasan dan
meningkatkan istirahat. 4. Diagnosa keperawatan : gangguan eliminasi alvi
/konstipasi berhubungan dengan gangguan persarafan pada usus dan rektum. Tujuan
perawatan : setelah dilakukan tindakan keperawatan selama 2x24 jam, pasien tidak
menunjukkan adanya gangguan eliminasi alvi/konstipasi Kriteria hasil : pasien bisa
BAB secara teratur sehari 1 kali, jika dilakukan palpasi pada akan didapatkan hasil
abdomen yang tidak tegang Intervensi keperawatan: a) Auskultasi bising usus, catat
lokasi dan karakteristiknya.Rasional : bising usus mungkin tidak ada selama syok
spinal. b) Observasi adanya distensi perut. Rasional: untuk mengetahui penurunan
bising usus c) Catat adanya keluhan mual dan ingin muntah, pasang NGT. Rasional :
pendarahan gantrointentinal dan lambung mungkin terjadi akibat trauma dan stress. d)
Berikan diet seimbang TKTP cair. Rasional: meningkatkan konsistensi feces e)
Berikan obat pencahar sesuai keperluan. Rasional: merangsang kerja usus 5. Diagnosa
keperawatan : perubahan pola eliminasi urine berhubungan dengan kelumpuhan
syarat perkemihan. Tujuan perawatan : setelah dilakukan tindakan keperawtan selama
1 jam, pola eliminasi kembali normal Kriteria hasil : produksi urine 50 cc/jam,
keluhan eliminasi urine tidak ada, luka karena cedera spinal berkurang, tidak adanya
distensi bladder Intervensi keperawatan : a) Kaji pola berkemih, dan catat produksi
urine tiap jam. Rasional : mengetahui fungsi ginjal b) Palpasi kemungkinan adanya
distensi kandung kemih. Rasional: untuk mengetahui tindakan yang harus dilakukan
dengan segera c) Anjurkan pasien untuk minum 2000 cc/hari. Rasional : membantu
mempertahankan fungsi ginjal. d) Pasang dower kateter. Rasional membantu proses
pengeluaran urine 6. Diagnosa keperawatan : gangguan integritas kulit berhubungan
dengan tirah baring lama Tujuan keperawatan : setelah dilakukan tindakan
keperawatan selama 3x24 jam, pasien tidak mengalami gangguan integritas kulit
Kriteria hasil : tidak ada dekibitus, kulit kering, tidak ada kulit yang kemerahan atau
bernanah Intervensi keperawatan : a) Inspeksi seluruh lapisan kulit. Rasional : kulit
cenderung rusak karena perubahan sirkulasi perifer. b) Lakukan perubahan posisi
sesuai keperluan. Rasional: untuk mengurangi penekanan pada kulit c) Bersihkan dan
keringkan kulit. Rasional: meningkatkan integritas kulit d) Jagalah baju tetap kering.
Rasional: mengurangi resiko kelembaban kulit e) Berikan terapi kinetik sesuai
kebutuhan. Rasional : meningkatkan sirkulasi sistemik dan perifer dan menurunkan
tekanan pada kulit serta mengurangi kerusakan kulit Daftar Pustaka Chulay, Marianne
and Burns, Suzanne.2005.AACN Essentials of Critical Care Nursing.United States of
America: McGraw-Hill Doengoes, M. E.1999.Rencana Asuham Keperawatan
Pedoman untuk Perencanaan dan Pendokumentasian Perawatan Pasien.Edisi 3.
Jakarta ; EGC Ns.Dedex Oktaviana.Jam 15.10.Tanggal 23 Maret 2010.Hari Selasa.
http://dedexdox.blogspot.com/ http://portal.cbn.net.id/cbprtl/cybermed/detail.aspx?
x=Work+Out&y=cybermed%7C0%7C0%7C7%7C198 http://tulus-
andi.blogspot.com/asuhan-keperawatan-spinal cord injury Jam 15.59.23 Maret
2010.Laporan Pendahuluan pada Cedera Medulla
Spinalis.http://www.scribd.com/doc/28667692/askep-spinal-cord-injury-cedera-
medulaspinals?secret_password=&autodown=doc Make Money at :
http://bit.ly/adflywin Make Money at : http://bit.ly/adflywin

Make Money at : http://bit.ly/adflywin

Anda mungkin juga menyukai