Anda di halaman 1dari 27

BAB I

PENDAHULUAN

A. Latar Belakang

Emfisema tergabung dalam Penyakit Paru Obstruktif Kronik yang


merupakan salah satu kelompok penyakit yang menjadi masalah kesehatan di
Indonesia.

Pada Survei Kesehatan Rumat Tangga (SKRT) 1986 emfisema menduduki


peringkat ke-5 sebagai penyebab kesakitan terbanyak dari 10 penyebab
kesakitan utama. SKRT DepKes RI menunjukkan angka kematian karena
emfisema menduduki peringkat ke-6 dari 10 penyebab tersering kematian di
Indonesia. Penyakit emfisema di Indonesia meningkat seiring dengan
meningkatnya jumlah orang yang menghisap rokok, dan pesatnya kemajuan
industri.

Hasil survei penyakit tidak menular oleh Direktorat Jenderal PPM dan PL
di lima rumah sakit di Indonesia ( Jawa Barat, Jawah Tengah, Jawa Timur,
Lampung dan Sumatera selatan), pada tahun 2004 menunjukan PPOK
termasuk emfisema masuk dalam urutan pertama penyumbang angka
kesakitan yaitu 35%, asma bronkial 33%, kanker paru 30% dan lainnya 2% .
Berdasarkan hasil SUSENAS (Survei Sosial Ekonomi Nasional) tahun 2001
sebanyak 54,5% penduduk laki – laki dan 1,2 % perempuan merupakan
perokok, sehingga emfisema mempunyai faktor penyebab dari rokok sebesar
92%.

1
B. Rumusan Masalah
Berdasarkan latar belakang diatas, rumusan masalah yang
ditemukan adalah sebagai berikut :
1. Anatomi dan Fisiologi Emfisema ?
2. Apa Definisi Emfisema ?
3. Bagaimana Etiologi Emfisema ?
4. Bagaimana Patofisiologi Emfisema ?
5. Bagaimana Pathway Emfisema ?
6. Apa klasifikasi Emfisema ?
7. Bagaimana tanda dan gejala Emfisema ?
8. Apa Manifestasi Klinis dari Emfisema ?
9. Apa saja Pemeriksaan Penunjang Emfisema ?
10. Apa komplikasi Emfisema ?
11. Bagaimana Penatalaksanaan Emfisema ?
12. Bagaimana Askep Teori Emfisema ?
C. Tujuan
Tujuan disusun makalah ini adalah sebagai berikut :
1. Tujuan Umum
Untuk mendapatkan pengalaman dalam peranan Asuhan
Keperawatan pada pasien dengan Diagnosa Bronkitis .
2. Tujuan Khusus
a) Mampu melakukan pengkajian keperawatan pada pasien
dengan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada emfisema
b) Merumuskan diagnosa keperawatan pasien dengan pemenuhan
kebutuhan oksigenasi pada emfisema
c) Menyusun rencana Asuhan Keperawatan pasien dengan
pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada emfisema
d) Melakukan implementasi dan evaluasi keperawatan anak
dengan pemenuhan kebutuhan oksigenasi pada emfisema

2
D. Manfaat
1. Bagi Mahasiswa

Untuk memahami tentang Asuhan Keperawatan pada pasien


dengan Emfisema dan menerapkan ilmu yang diperoleh dalam
penanganan pasien Emfisema

2. Bagi institusi

Makalah ini bagi institusi pendidikan kesehatan adalah sebagai


tambahan referensi untuk menguji mahasiswa atau mahasiswinya
tentang Emfisema.

3. Bagi Mahasiswa
Makalah ini bagi masyarakat adalah sebagai penambah wawasan
tentang Emfisema.

3
BAB II
TINJAUAN PUSTAKA
A. Anatomi Fisiologi

1. Hidung

Hidung (nasal) merupakan organ tubuh yang berfungsi


sebagai alat pernafasan (respirasi) dan indra penciuman
(pembau).

Fungsi hidung dalam proses pernafasan meliputi :


a. Udara dihangatkan, oleh permukaan konka dan sputum nasalis
setelah melewati faring, suhu lebih kurang 36C
b. Udara di lembapkan.sejumlah besar udara yang melewati hidung
bila mencapai faring kelembapannya lebih kurang 75%
c. Kotoran disaring oleh bulu-bulu hidung. Partikel di rongga
disaring oleh rambut vestibular, lapisan mukosiliar, dan lisozim
(protein dalam air mata ). Fungsi ini dinamakan fungsi air
conditioning jalan pernafasan atas.
d. Penciuman
2. Faring
Faring (tekak) adalah suatu saluran otot saluran otot selaput
kedudukannya tegak lurus antara basis kranii dan vertebrae servikalis
VI.

4
Faring dibagi menjadi 3 bagian :
a. Nasofaring
Bagian nasal faring terletak di belakang hidung dan di atas
palatum molle.
b. Orofaring
Bagian oral faring terletak di belakang mulut, memanjang dari
bagian bawah palatum molle hingga bagian vertebra servikalis
ke-3.
c. Laringofaring
Bagian laringeal faring memanjang dari atas orofaring dan
berlanjut ke bawah esofagus, yakni dari vertebra servikalis ke-3
hingga 6. Mengelilingi mulut esophagus dan laring, yang
merupakan gerbang untuk system respiratorik selanjutnya.

Fungsi faring terdiri dari :

a. Saluran nafas dan makanan, faring adalah organ yang terlibat


dalam sistem pencernaan dan pernapasan: udara masuk melalui
bagian nasal dan oral, sedangkan makanan melalui bagian oral
dan laring.
b. Penghangat dan pelembab, dengan cara yang sama seperti
hidung, udara dihangatkan dan dilembapkan saat masuk ke
faring.
c. Fungsi Perlindungan, Jaringan limfatik faring dan tonsil laring
menghasilkan antibodi dalam berespon terhadap antigen, misal
mikroba. Tonsil berukuran lebih besar pada anak dan cenderung
mengalami atrofi pada orang dewasa.
3. Laring
Laring atau pangkal tenggorokan merupakan jalinan tulang
rawan yang dilengkapi dengan otot, membran, jaringan ikat, dan
ligamentum.
Fungsi laring :

5
a. Produksi suara, Suara memiliki nada, volume, dan resonansi.
Nada suara bergantung pada panjang dan kerapatan pita suara.
Pada saat pubertas, pita suara pria mulai bertambah panjang,
sehingga nada suara pria semakin rendah. volume suara
bergantung pada besarnya tekanan pada pita suara yang
digetarkan. Semakin besar tekanan udara ekspirasi, semakin
besar getaran pita suara dan semakin keras suara yang dihasilkan.
Resonansi bergantung pada bentuk mulut, posisi lidah dan bibir,
otot wajah, dan udara di paranasal.
b. Berbicara, berbicara terjadi saat ekspirasi ketika suara yang
dihasilkan oleh pita suara
dimanipulasi oleh lidah, pipi, dan bibir.
c. Pelindung saluran napas bawah, saat menelan, laring bergerak ke
atas, menyumbat saluran faring sehingga engsel epiglotis
menutup faring. Hal ini menyebabkan makanan tidak melalui
esofagus dan saluran napas bawah.
d. Jalan masuk udara, bahwa Laring berfungsi sebagai penghubung
jalan napas antara faring dan trakea.
e. Pelembap, penyaring, dan penghangat, dimana proses ini
berlanjut saat udara yang diinspirasi berjalan melalui laring
4. Trakea
Trakea (batang tenggorokan) adalah tabung berbentuk pipa
seperti huruf C yang dibentuk oleh tulang-tulang rawan yang
disempurnakan oleh selaput,terletak siantara vertebrae servikalis VI
sampai ditepi bawah kartilago krikodea vertebra torakalis V.
Fungsi trakea :
a. refleks batuk, Ujung saraf di laring, trakea, dan bronkus peka
terhadap iritasi sehingga membangkitkan impuls saraf yang
dihantarkan oleh saraf vagus ke pusat pernapasan di batang otak.
b. Penghangat, pelembap, dan penyaring, Fungsi ini merupakan
kelanjutan dari hidung, walaupun normalnya, udara sudah jernih
saat mencapai trakea

6
5. Paru-paru
Paru-paru berada dalam rongga torak, yang terkandung
dalam susunan tulang-tulang iga dan letaknya disisi kiri dan kanan
mediastinum yaitu struktur blok padat yang berada dibelakang tulang
dada. Paru-paru menutupi jantung, arteri dan vena besar, esofagus
dan trakea.
Paru-paru berbentuk seperti spons dan berisi udara dengan
pembagaian ruang sebagai berikut :
a. Paru kanan, memiliki tiga lobus yaitu superior, medius dan
inferior.
b. paru kiri berukuran lebih kecil dari paru kanan yang terdiri dari
dua lobus yaitu lobus superior dan inferior

Fungsi paru :

a. sebagai pertukaran oksigen dan karbondioksida yang tidak di


butuhkan tubuh.
b. Sebagai penjaga keseimbangan asam basa tubuh.
c. Sebagai pertukran oksigen dan karbondioksida dalam darah.
6. Bronkus
Bronkus (cabang tenggorokan) merupakan lanjutan dari
trakea,jumlahnya sepasang yang satu menuju paru-paru kanan dan
satunya ke paru-paru kiri. Bronkus utama kanan lebih pendek dan
lebar serta hampir vertikal dengan trakea. Sedangkan bronkus utama
kiri lebih panjang dan sempit. Hal ini yang mengakibatkan paru-
paru kanan lebih mudah terserang penyakit. Struktur bronkus hampir
sama dengan trakea. Perbedaannya dinding trakea lebih tebal
daripada dinding bronkus. Bronkus akan bercabang menjadi
bronkiolus.
7. Bronkiolus
Bronkiolus mengandung kelenjar submukosa yang memproduksi
lendir yang membentuk selimut tidak terputus untuk melapisi bagian
dalam jalan napas.

7
Bronkiolus terdiri dari :
a. Bronkiolus terminalis
Bronkiolus membentuk percabangan menjadi bronkiolus
terminalis (yang tidak mempunyai kelenjar lendir dan silia )
b. Bronkiolus respitatori
Bronkiolus terminalis kemudian menjadi bronkiolus respiratori.
Bronkiolus respiratori dianggap sebagai saluran transisional
antara jalan nafas konduksi dan jalan udara pertukaran gas
c. Duktus alveolar dan sakus alveolar
Bronkiolus respiratori kemudian mengarah ke dalam duktus
alveolar dan sakus alveolar dan kemudian menjadi alveoli.
8. Alveolus
Merupakan ujung dari bronchiolus yang jumlahnya sekitar
600 juta pada paru-paru manusia dewasa. Pada alveoli ini oksigen
akan difusi menjadi karbondioksida yang diambil dari dalam
darah.alveolus terdiri lapisan epitelium pipih dan disilah darah
hampir langsung bersentuhan dengan udara yang berperan penting
dalam pertukaran O2 dari udara bebas sel-sel darah dan CO2 dari
sel-sel darah ke udara.

B. Definisi Emfisema
Emfisema paru adalah suatu keadaan abnormal dimana pada anatomi paru
dengan adanya kondisi klinis berupa melebarnya saluran udara bagian distal
bronkhiolus terminal yang disertai dengan kerusakan dinding alveoli. Kondisi
ini merupakan tahap akhir proses yang mengalami kemajuan dengan lambat
selama beberapa tahun. Pada kenyataannya, ketika klien mengalami gejala
emfisema, fungsi paru sudah sering mengalami kerusakan permanen
(irreversible) yang disertai dengan bronkitis obstruksi kronis. Kondisi ini
merupakan penyebab utama kecacatan.
Menurut WHO, emfisema merupakan gangguan pengembangan patu yang
ditandai dengan pelebaran ruang udara di dalam paru-paru disertai destruksi
jaringan. Sesuai dengan definisi tersebut, jika ditemukan kelainan berupa

8
pelebaran ruang udara (alveolus) tanpa disertai adanya destruksi jaringan
maka keadaan ini sebenarnya tidak termasuk emfisema, melainkan hanya
sebagai overinflation.
Emfisema adalah istilah patologis yang menggambarkan distensi abnormal
ruang udara di luar bronkiolus terminal dan hancurnya dinding-dinding
alveoli. Emfisema adalah atahap akhir dari suatu proses yang berjalan lambat
selama bertahun-tahun.
Emfisema adalah penyakit obstruktif kronis dengan karakteristik
penurunan elastisitas paru dan luas permukaan alveolus yang berkurang akibat
destruksi dinding alveolus dan pelebaran ruang distal udara ke bronkiolus
terminal. Kerusakan dapat terbatas hanya dibagian sentral lobus, dalam hal ini
yang paling terpengaruh adalah integritas dinding bronkiolus atau dapat
mengenai paru secara keseluruhan, yang menyebabkan kerusakan bronkus dan
alveolus.

C. Etiologi
1. Merokok
Merokok merupakan penyebab utama emfisema. Terdapat
hubungan yang erat antara merokok dan penurunan volume ekspirasi
paksa (FEV) (nowak,2004)
2. Keturunan
Belum diketahui jelas apakah faktor keturunan berperan atau tidak
pada emfisema kecuali pada penderita dengan defisiensi enzim alfa 1-
antitripsin. Kerja enzim ini menertralkan enzim proteolitik yang sering
dikeluarkan pada peradangan dan merusak jaringan, termasuk jaringan
paru, karena itu kerusakan jaringan lebih jauh dapat dicegah. Defisiensi
alfa 1- antitripsin adalah suatu kelainan yang diturunkan secara autosom
resesif. Orang yang sering menderita emfisema paru adalah penderita yang
memiliki gen S da Z. Emfisema paru akan lebih cepat timbul bisa
penderita tersebut merokok.

9
3. Infeksi
Infeksi dapat menyebabkan kerusakan paru lebih hebat sehingga
gejala-gejalanyq pun menjadi lebih berat. Infeksi saluran pernapasan atas
pada seorang penderita bronkitis kronis hampir selalu menyebabkan
infeksi paru bagian bawah, dan menyebabkan kerusakan paru bertambah.
Eksaserbasi bronkitis kronis disangka paling sering diawali dengan infeksi
virus, yang kemudian menyebabkan infeksi sekunder oleh bakteri.
4. Hipotesis Elastase - Antielastase
Di dalam paru terdapat keseimbangan antara enzim proteolitik
elastase dan antielastase agar tidak terjadi kerusakan jaringan. Perubahan
keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan jaringan.
Perubahan keseimbangan antara keduanya akan menimbulkan kerusakan
pada jaringan elastis paru. Struktur paru akan berubah dan timbullah
enfisema. Sumber elastase yang penting adalah prankeas, sel-sel PMN,
dan makrofag alveolar (pulmonary alveolar macrophage-PAM).
Rangsangan pada paru antara lain oleh asap rokok dan infeksi
menyebabkan elastase bertambah banyak. Aktivitas sistem antielastase,
yaitu sistem enzim alfa1-protase-inhibitor terutama enzim alfa 1-
antitripsin menjadi menurun. Akibat yang ditimbulkan karena tidak ada
lagi keseimbangan antara elastase dan antielastase akan menimbulkan
kerusakan jaringan elastis paru dan kemudian emfisema.
D. Patofisiologi
Adanya inflamasi, pembengkakan bronkhi, produksi lendir yang
berlebihan, kehilangan rekoil elastisitas jalan napas, dan kolaps
bronkhiolus, serta penurunan redistribusi udara ke alveoli menimbulkan
gejala sesak pada klien dengan emfisema.
Pada paru normal terjadi keseimbangan antara tekanan yang
menarik jaringan paru ke luar (yang disebabkan tekanan intrapleural dan
otot-otot dinding dada) dengan tekanan yang menarik jaringan paru ke
dalam (elastisitas paru). Keseimbangan timbul antara kedua tekanan
tersebut, volume paru yang terbentuk disebut sebagai functional residual
capacity (FRC) yang normal. Bila elastisitas paru berkurang timbul

10
keseimbangan baru dan menghasilkan FRC yang lebih besar. Volume
residu bertambah pula, tetapi VC menurun. Pada orang normal sewaktu
terjadi ekspirasi maksimal, tekanan yang menarik jaringan paru akan
berkurang, sehingga saluran pernapasan bagian bawah paru akan tertutup.
Pada klien dengan emfisema, saluran-saluran pernpasan tersebut
akan lebih cepat dan lebih banyak yang tertutup. Akibat cepatnya saluran
pernapasan menutup dan dinding alveoli yang rusak, akan menyebabkan
ventilasi dan perfusi yang tidak seimbang. Namun, semua itu bergantung
pada kerusakannya. Mungkin saja terjadi alveoli dengan ventilasi kurang
atau tidak ada, tetapi perfusinya baik sehingga penyebaran udara
pernafasan maupun aliran darah ke alveoli tidak sama dan merata. Atau
dapat dikatakan juga tidak ada keseimbangan antara ventilasi dan perfusi
di alveoli (V/Q rasio yang tidak sama).
Pada tahap akhir penyakit, sistem eliminasi karbon dioksida
mengalami kerusakan. Hal ini mengakibatkan peningkatan tekanan karbon
dioksida dalam darah arteri (hiperkapnea) dan menyebabkan asidosis
respiratorik. Karena dinding alveolar terus mengalami kerusakan, maka
jaring-jaring kapiler pilmonal berkurang. Aliran darah pulmonal
meningkat dan ventrikel kanan dipaksa untuk mempertahankan tekanan
darah yang tinggi dalam area pulmonal. Dengan demikian, gagal jantung
sebelah kanan (kor pulmonal) adalah salah satu komplikasi emfisema.
Terdapatnya kongesti, edema tungkai (edema dependen), distensi vena
jugularis atau nyeri pada region hepar menandakan terjadinya gagal
jantung (Nowak,2004).
Sekresi yang meningkat dan tertahan menyebabkan klin tidak
mampu melakukan batuk efektif untuk mengeluarkan sekresi. Infeksi akut
dan kronis menetap dalam paru yang mengalami emfisema, ini
memperberat masalah. Individu dengan emfisema akan mengalami
obstruksi kronis yang ditandai oleh peningkatan tahanan jalan napas aliran
masuk dan aliran keluar udara dari paru. Jika demikian, paru berada dalam
keadaan hiperekspansi kronis.

11
Untuk mengalirkan udara ke dalam dan luar paru dibutuhkan
tekanan negatif selama inspirasi dan tekanan positif dalam tingkatadekuat
yang harus dicapai dan dipertahankan selama ekspirasi berlangsung.
Kinerja ini membutuhkan kerja keras otot-otot pernpasan yang berdampak
pada kekakuan dada dan iga-iga terfiksasi pada persendiannya dengan
bermanifestasi pada perubahan bentuk dada dimana rasio diameter AP ;
Tranversal mengalami peningkatan (barrel chest). Hal ini terjadi akibat
hilangnya elastisitas paru karena adanya kecenderungan yang
berkelanjutan pada dinding dada untuk mengembang.
Pada beberapa kasus, barrel chest terjadi akibat kifosis dimana
tulang belakang bagian atas secara abnormal bentuknya membulat atau
cembung. Beberapa klien membungkuk ke depan untuk dapat bernapas,
menggunakan otot-otot bantu napas. Retraksi fosa supraklavikula yang
terjadi pada inspirasi mengakibatkan bahu melengkung ke depan.
Pada penyakit lebih lanjut, otot-otot abdomen juga ikut
berkontraksi saat inspirasi. Terjadi penurunan progresif dalam kapasitas
vital paru. Ekshalasi normal menjadi lebih sulit dan akhirnya tidak
memungkinkan terjadi. Kapasitas vital total (VC) mungkin normal, tetapi
rasio dari volume ekspirasi kuat dalam 1 detik dengan kapasitas vital
(FEV1 : VC) rendah. Hal ini terjadi karena elastisitas alveoli sangat
menurun. Oleh karena itu, dibutuhkan upaya bagi klien untuk
menggerakkan udara dari alveoli yang mengalami kerusakan dan jalan
napas yang menyempit meningkatkan upaya pernapasan (Smeltzer dan
Bare, 2002)

12
E. Pathway

Faktor predisposisi: merokok, polusi,


Faktor predisposisi: familial
udara, agen-agen infeksius, alergen,
lingkungan kerja

Inflamasi dan pembengkakan


bronkhus, produksi lendir yang Defisiensi enzim Alfa 1-antitripsin
berlebihan

Kehilangan rekoil elastisitas jalan


Penurunan kemampuan batuk efektif napas, kolapsbronkiolus, dan
penurunan redistribusi udara ke alveoli

 Ketidakefektifan bersihan jalan Peningkatan tahanan jalan napas


napas aliran masuk dan akiran keluar udara
 Risiko tinggi infeksi pernapasan dari paru-paru

Peningkatan kerja pernapasan, Peningkatan usaha dan frekuensi


hipoksemia secara reversibel pernapasan, penggunaan otot bantu
pernapasn

Gangguan pertukaran gas Respons sistemik dan psikologis

Keluhan sistemis, mual, intake nutrisi Keluhan psikososial, kecemasan,


tidak adekuat, malaise, kelemahan, ketidaktahuan akan prognosis
dan keletihan fisik.

 Perubahan pemenuhan  Kecemasan


nutrisi yang kurang dari  Ketidaktahuan/pemenuhan
kebutuhan informasi
 Gangguan pemernuahn ADL
13
F. Klasifikasi emfisema

Terdapat tiga macam emfisema yaitu :

1. Emfisema centriolobular

Merupakan tipe yang sering muncul, menyebabkan kerusakan


bronkiolus, biasanya pada region paru atas. Inflamsi berkembang
pada bronkiolus tetapi biasanya kantong alveolar yang bersisa.

2. Emfisema Panlobular (Panacinar)


Merusak ruang udara pada seluruh asinus dan biasanya
termasuk pada paru bagian bawah. Bentuk ini bersama disebut
centriacinar emfisema, sangat sering timbuk pada seorang perokok.
3. Emfisema Papaseptal
Merusak alveoli pada lobus bagian bawah yang
mengakibatkan isolasi dari blebs sepanjang perifer paru. Peraseptal
emfisema dipercaya sebagai sebab dari pneumotorak spontan.
Panacinar timbul pada orang tua dan klien dengan defisiensi enzim
alpha-antitripsin. Pada keadaan lanjut, terjadi peningkatan dispnea
dan infeksi pulmoner serta sering kali timbul korpulmonal (CHF
bagian kanan)
G. Tanda dan gejala
a. Batuk
b. Sputum putih, jika ada infeksi menjadi purulen atau mukopurulen
c. Sesak sampai menggunakan otot-otot pernafasan tambahan
d. Nafas terengah-engah disertai dengan suara seperti peluit
e. dada berbentuk seperti tong, otot leher tampak menonjol,
membungkuk
f. Bibir tampak kebiruan
g. Berat badan menurun akibat nafsu makan menurun
h. Batuk menahun
H. Manifestasi klinis
a. Penampilan umum

14
a) Kurus, warna kulit pucat dan flattened hemidiafragma
b) Tidak ada tanda CHF kanan dengan edema dependen pada stadium
akhir.
b. Usia 65-75 tahun
c. Pemeriksaaan fisik dan laboratorium
Pada klien emfisema paru akan ditemukan tanda dan gejala seperti berikut
ini :
a) Napas pendek persisten dengan peningkatan dispnea
b) Infeksi sistem respirasi
c) Pada auskultasi terdapat penurunan suara napas meskipun dengan
napas dalam
d) Wheezing ekspirasi tidak ditemukan dengan jelas
e) Produksi sputum dan batuk jarang
f) Hematokrit <60%
d. Pemeriksaan jantung
Tidak terjadi pembesaran jantung, kor pulmonal timbul pada stadium akhir
e. Riwayat merokok
Biasanya didapatkan, tetapi tidak selalu ada riwayat merokok
I. Pemeriksaan Penunjang
1. Chest X-Ray
Dapat menunjukkan hiperinflamation paru flattaned diafragma,
peningkatan ruang udara retrosternal, penurunan tanda vaskular atau
bullae (emfisema), peningkatan suara bronkovaskular (bronkitis), normal
ditemukan saat periode remisi (asma).
2. Pemeriksaan fungsi paru
Dilakukan untuk menentukan penyebab dispnea, menentukan abnormalitas
fungsi tersebut apakah akibat obstruksi atau restriksi, memperkirakan
tingkat disfungsi dan mengevaluasi efek dari terapi misalnya
bronkodilator.
3. Total Lung Capacity (TLC)
Meningkat pada bronkitis berat dan biasanya pada asma, namun menurun
pada emfisema.

15
4. Kapasitas Inspirasi
Menurun pada Emfisema
5. FEVI/FCV
Rasio tekanan volume ekspirasi (FEV) terhadap tekanan kapasitas vital
(FVC) menurun pada bronkitis dan asma.
6. Arterial Blood Gasses (ABGs)
Menunjukkan proses penyakit kronis, sering kali PaO2 dan PaCO2 normal
atau meningkat (bronkitis kronis dan emfisema), tetapi sering kali
menurun pada asma, pH normal atau asidosis, alkalosis respiratori ringan
sekunder terhadap hiperventilasi (emfisema sedang atau asma).
7. Bronkogram
Dapat menunjukkan dilatasi dari bronki saat inspirasi, kolaps bronkial
pada tekanan ekspirasi (emfisema), pembesaran kelenjar mukus (bronkitis)
8. Darah Lengkap
Terjadi peningkatan hemoglobin (emfisema berat) dan eosinofil (asma).
9. Kimia Darah
Alpha 1-antitripsin kemungkinan kurang pada emfisema primer
10. Sputum kultur
Untuk menentukan adanya infeksi dan mengidentifikasi patogen,
sedangkan pemeriksaan sitologi digunakan untuk menentukan penyakit
keganasan atau alergi.
11. Electrokardiogram (ECG)
Deviasi aksis kanan, gelombang P tinggi (asma berat), atrial disritmia
(bronkitis), gelombang P pada Leads II,III dan AVF panjang, tinggi (pada
bronkitis dan emfisema) dan aksis QRS vertikal (emfisema).
12. Exercise ECG, Stress Test
Membantu dalam mengkaji tingkat disfungsi pernapasan, mengevaluasi
keefektifan obat bronkodilator dan merencanakan atau evaluasi program.
J. Komplikasi
1. Hipertensi paru akibat vasokonstriksi hipoksik paru kronis, yang
akhirnya menyebabkan kor pulmonalise
2. Penurunan kualitas hisup pada pengidap penyakit ini yang parah.

16
K. Penatalaksanaan
1. Penatalaksanaan Medis

Penatalaksanaan utama pada klien emfisema adalah meningkatkan


kualitas hidup, memperlambat perkembangan proses penyakit dan
mengobati obstruksi saluran nafas agar tidak terjadi hipoksia. Pendekatan
terapi mencakup :

a. Pemberian terapi untuk meningkatkan ventilasi dan menurunkan kerja


napas
b. Mencegah dan mengobati infeksi
c. Teknik terapi fisik untuk memperbaki dan meningkatkan ventilasi
paru,
d. Memelihara kondisi lingkunga yang memungkinkan untuk
memfasilitasi pernapasan yang adekuat.
e. Dukungan psikologis
f. Edukasi dan rehabilitasi klien

2. Terapi farmakologi
a. Bronkodilators
b. Terapi aerasol
c. Terapi infeksi
d. Kortikosteroid
e. Oksigenasi

3. Terapi non farmakologi


a. Mendorong pasien agar berhenti merokok.
b. Mengatur posisi dan pola bernapas untuk mengurangi jumlah udara
yang terperangkap.
c. Memberi pengajaran mengenai teknik-teknik relaksasi dan cara-cara
untuk menyimpan energi.
d. Banyak pasien emfisema akhirnya akan memerlukan terapi oksigen
agar dapat menjalankan tugas sehari-hari.

17
L. Askep Teori
1. Pengkajian
a. Identitas
Identitas klien yang harus diketahui perawat meliputi nama, umur,
jenis kelamin, alamat, agama, suku bangsa, bahasa yang dipakai, status
pendidikan, pekerjaan klien dan asuransi kesehatan.
b. Riwayat Penyakit
a) Keluhan Utama
Dispnea adalah keluhan utama emfisema dan mempunyai serangan
(onset) yang membahayakan .
b) Riwayat Penyakit Sekarang
Klien biasanya mempunyai riwayat merokok, batuk kronis yang
lama, mengi, serta napas pendek dan cepat (takipnea). Gejala-gejala
diperburuk oleh infeksi pernapasan. Perawat perlu mengkaji obat-
obat yang biasa diminum klien, memeriksa kembali setiap jenis obat
apakah masih relavan untuk digunakan kembali.
c) Riwayat penyakit Dahulu
Klien selama 3 tahun terakhir mengalami batuk produktif .
d) Riwayat Penyakit Keluarga
Ada atau tidaknya penyakit keturunan dari keluarga.
2. Pemeriksaan Fisik
a) Inspeksi : Pada klien dengan emfisema terlihat adanya
peningkatan usaha dan frekuensi pernapasan serta penggunaan otot
bantu napas. Pada inspeksi, klien biasanya tampak mempunyai
bentuk dada barrel chest (akibat udara yang tertangkap), penipisan
masa otot dan pernapsan dengan bibir dirapatkan. Pernapasan
abnormal tidak efektif dan penggunaan otot-otot bantu napas
(sternokleidomastoideus). Pada tahap lannjut, dispnea terjadi saat
aktivitas bahkan pada aktivitas kehidupan sehari-hari seperti
makan dan mandi. Pengkajian batuk produktif dengan sputum

18
purulen disertai demam mengindikasikan adanya tanda pertama
infeksi pernafasan.
b) Palpasi : Pada palpasi, ekspansi meningkat dan taktil fremitus
biasanya menurun.
c) Perkusi : Pada perkusi didapatkan suara normal sampai
hipersonor, sedangkan diafragma menurun
d) Auskultasi : Sering didapatkan adanya bunyi nafas ronchi dan
wheezing, sesuai dengan tingkat beratnya obstruktif pada
bronkiolus. Pada pengkajian lain, didapatkan kadar oksigen yang
rendah (hipoksemia) dan kadar karbondioksida yang tinggi
(hiperkapnea) terjadi pada tahap lanjut penyakit. Pada waktunya,
bahkan gerakan ringan sekalipun seperti membungkuk untuk
mengikatkan tali sepatu, mengakibatkan dispnea dan keletihan
(dispnea eksersional). Paru yang mengalami enfisematosa tidak
berkontraksi saat ekspirasi dan bronkiolus tidak dikosongkan
secara efektif dari sekresi yang dihasilkannya. Klien rentan
terhadap reaksi inflamasi dan infeksi akibat pengumpulan sekresi
ini. Setelah infeksi ini terjadi, klien mengalami mengi yang
berkepanjangan saat ekspirasi. Anureksia, penurunan berat badan
,dan kelemahan merupakan hal yang umum terjadi. Vena jugularis
mugkin mengalami distensi selama ekspirasi.

3. Pemeriksaan Penunjang
a. Pengukuran fungsi paru (Spirometri)
Pengukuran fungsi paru biasanya menunjukkan peningkatan
kapasitas paru total (TLC) dan volume residual (RV). Terjadi
penurunan dalam kapasitas vital (VC) dan volume ekspirasi paksa
(FEV). Temuan-temuan ini menegaskan kesulitan yang dialami klien
dalam mendorong udara ke luar dari paru.
b. Pemeriksaan Laboratorium

19
Hemoglobin dan hematokrit mungkin normal pada tahap awal
penyakit. Dengan berkembangnya penyakit, pemeriksaan gas darah
arteri dapat menunjukkan adanya hipoksia ringan dengan hiperkapnea.
c. Pemeriksaan Radiologis
Rontgen thoraks menunjukkan adanya hiperinflasi, pendataran
diafragma, pelebaran margin interkosta, dan jantung sering ditemukan
bagai tergantung (heart till drop) .

4. Diagnosa Keperawatan
a. Ketidakefektifan bersihan jalan nafas yang berhubungan dengan
adanya bronkhokonstriksi, akumulasi sekret jalan napas, dan
menurunnya kemampuan batuk efektif.
b. Risiko tinggi infeksi pernapasan yang berhubungan dengan akumulasi
sekret jalan napas dan menurunnya kemampuan batuk efektif.
c. Gangguan pertukaran gas yang berhubungan dengan peningkatan kerja
pernapasan, hipoksemia secara reversible/menetap.
d. Gangguan pemenuhan kebutuhan nutrisi : kurang dari kebutuhan tubuh
yang berhubungan dengan penurunan nafsu makan.
e. Gangguan ADL yang berhubungan dengan kelemahan fisikumum,
keletihan
f. Cemas yang berhubungan dengan adanya ancaman kematian yang
dibayangkan (ketidakmampuan untuk bernapas).
g. Kurangnya pengetahuan yang berhubungan dengan informasi yang
tidak adekuat mengenai proses penyakit dan pengobatan.

20
5. Rencana Keperawatan
No Diagnosa Keperawatan Perencanaan
(NANDA) Tujuan (NOC) Intervensi (NIC)
1. Bersihan jalan nafas tidak Status respirasi : a. Menejemen
efektif berhubungan kepatenan jalan napas jalan napas
dengan : dengan skala ....... (1-5) b. Penurunan
 Bronkospasme setelah diberikan kecemasan
 Peningkatan perawatan selama .... c. Aspirationn
produksi sekret ( hari, dengan kriteria : precautions
sekret yang  Tidak ada d. Fisioterapi
tertahan, kental) demam dada
 Menururnnya  Tidak ada e. Latih batuk
energi/ fatigue cemas efektif
 RR dalam f. Terapi oksigen
Ditandai dengan : batas normal g. Pemberian
 Klien mengeluh  Irama napas posisi
sulit untuk dalam batas h. Monitoring
bernapas normal respirasi
 Perubahan  Pergerakan i. Surveillance
kedalaman/jumlah sputum keluar j. Monitoring
napas, penggunaan dari jalan tanda-tanda
otot bantu napas vital
pernapasan  Bebas dari
 Suara napas suara napas
abnormal seperti tambahan
weezing, ronchi,
dan crackles
 Batuk (persisten)
dengan / tanpa
produksi sputum.
2. Kerusakan pertukaran gas Status respirasi : a. Menejemen
yang berhubungan dengan pertukaran gas dengan asam dan basa

21
: skala .....(1-5) setelah tubuh
 Kurangnya suplai diberikan perawatan b. Manajemen
oksigen (obstruksi selama ... hari, dengan jalan napas
jalan napas oleh kriteria : c. Latihan batuk
sekret,  Status mental efektif
bronkospasme, air dalam batas d. Tingkatkan
trapping) normal aktivitas
 Destruksi alveoli  Bernapas e. Terapi oksigen
dengan mudah f. Monitoring
Ditandai dengan :  Tidak ada respirasi
 Dispnea sianosis g. Monitoring
 Confusion, lemah  PaO2 dan tanda-tanda
 Tidak mampu PaCO2 dalam vital
mengeluarkan batas normal
sekret  Saturasi O2
 Nilai ABGs dalam rentang
abnormal normal
(hipoksia dan
hiperkapnea)
 Perubahan tanda
tanda vital
 Menurunnya
toleransi terhadap
aktivitas

22
3. Ketidakseimbangan Status nutrisi : intake a. Manajemen
nutrisi : kurang dari cairan dan makanan cairan
kebutuhan tubuh yang gas dengan skala .... b. Monitoring
berhubungan dengan : (1-5) setelah diberikan cairan
 Dispnea, fatigue perawatan selama .... c. Status diet
 Efek samping hari dengan kriteria :
pengobatan  Asupan
 Produksi sputum makanan
 Anoreksia, adekuat, dengan
nausea/vomiting skala ... (1-5)
 Intake cairan
Ditandai dengan : per oral
 Penururnan berat adekuat, dengan
badan skala .... (1-5)
 Kehilangan masa  Intake cairan
otot, tonus otot adekuat, dengan
jelek skala ... (1-5)
 Dilaporkan adanya
perubahan sensasi
rasa
 Tidak bernafsu
untuk makan, tidak
tertarik makan

23
Status nutrisi : intake a. Manajemen
nutrien gas dengan gangguan
skala ... (1-5) setelah makan
diberikan perawatan b. Manajemen
selama .., hari dengan nutrisi
kriteria : c. Terapi oksigen
 Intake kalori d. Konseling
adekuat, dengan nutrisi
skala ... (1-5) e. Kontroling
 Intake protein, nutrisi
karbohidrat dan f. Terapi menelan
lemak adekuat, g. Monitoring
dengan skala ... tanda vital
(1-5) h. Bantuan untuk
peningkatan BB
i. Manajemen
Kontrol berat badan berat badan
dengan skala ... (1-5)
setelah diberikan
perawatan selama ..
hari dengan ktiteria :
 Mampu
memelihara
intake kalori
secara optimal
(1-5)
(menunjukkan)
 Mampu
memelihara
keseimbangan
cairan (1-5)

24
(menunjukkan)
 Mampu
mengontrol
asupan
makanan secara
adekuat (1-5)
(menunjukkan)

25
BAB III
PENUTUP
A. KESIMPULAN

Emfisema merupakan pengembangan paru yang ditandaidengan pelebaran


ruang udara didalam paru-paru disertai destruksi jaringan yang disebabkan
oleh beberapa faktor antara lain asap tembakau / rokok dan fakor genetik
dengan defisiensi alfa antitripsin. Akibat dua faktor tersebut perjalanan udara
terganggu dan kesulitan ekspirasi sebagai akibat dari destruksi dinding di
antara alveoli , kolaps jalan nafas sebagian, dan kehilangan elastisitas paru.
Emfisema dapat diketahui dengan pemeriksaan sinar X dada, yang dapat
menujukkan hiperinflation paru, mendatarnya diafragma, peningkatan ruang
udara restrostinal .Dalam asuhan keperawatan , aktifitas, pernafasan, sampai
pada penyuluhan / pembelajaran.

B. SARAN

Setelah mempelajari apa yang dibahas, diharapkan mampu dan mau


menerapkannya dalam memberikan asuhan keperawatan . Dan untuk
menurunkan tingkat kematian karena emfisema, hindari faktor penyebabnya
seperti merokok.

26
DAFTAR PUSTAKA
Syaifuddin, A. 2006. ANATOMI FISIOLOGI untuk mahasiswa keperawatan edisi
3. Jakarta: EGC.
Muttaqin, Arif. 2014. Buku Ajar Asuhan Keperawatan Klien dengan Gangguan
Sistem Pernapasan. Jakarta: Salemba Medika.

Corwin, Elizabeth J. 2009. Buku Saku Patofisiologi. Jakarta : EGC


Somantri, Irman. 2009. Asuhan Keperawatan Pada Klien dengan
Gangguan Sistem Pernapasan. Jakarta : Salemba Medika.

27

Anda mungkin juga menyukai